Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI PUSKESMAS CIPAGERAN KOTA CIMAHI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Praktik Kerja Profesi Apoteker


pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani

Baso Hernandi, S.Farm


2250201157

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


DI PUSKESMAS CIPAGERAN KOTA CIMAHI

April 2023

Baso Hernandi, S.Farm


2250201157

Disetujui Oleh :

apt. Dra. Siti Susiani, M.Si. apt. Yohanar Mas'Ula, S.Farm.


Pembimbing PKPA Preseptor PKPA Puskesmas
Universitas Jenderal Achmad Yani Cipageran Kota Cimahi

ii
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


DI PUSKESMAS CIPAGERAN KOTA CIMAHI

April 2023

Baso Hernandi, S.Farm


2250201157

Disetujui Oleh:

apt. Dra. Siti Susiani, M.Si. apt. Yohanar Mas'Ula, S.Farm.


Pembimbing PKPA Universitas Jenderal Preseptor PKPA Puskesmas Cipageran
Achmad Yani Kota Cimahi

Mengetahui:
Dekan Fakultas Farmasi Ketua Program Studi Profesi Apoteker

Dr. apt. Fahrauk Faramayuda, S.Si., M.Sc. apt. Linda P Suherman, S.Farm,. M.Si.
NID. 4121.71986 NID. 4121 788 87

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas
limpahan berkat dan rahmat-Nya selama penulisan laporan akhir ini, yang
akhirnya dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Rasa syukur selalu
tercurahkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, keluarga, serta sahabat. Laporan
akhir Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Puskesmas Cipageran kota
Cimahi disusun sebagai persyaratan untuk mengikuti ujian profesi Apoteker
pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal
Achmad Yani. Penulisan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan
banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
penulis dengan penuh kesungguhan dan kerendahan hati menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Kepala Puskesmas Cipageran Kota Cimahi ibu drg. Irmawati Puspita Sari
2. Bapak Dr. apt. Fahrauk Faramayuda, S.Si.,M.Si., selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani.
3. Ibu apt. Linda P. Suherman, S.Farm., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani.
4. Ibu apt. Dra. Siti Susiani, M.Si. selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi
Apoteker Universitas Jenderal Achmad Yani yang telah mengarahkan dan
memberi masukan selama masa PKPA.
5. Bapak apt. Yohanar Mas'Ula, S.Farm selaku Pembimbing Praktik Kerja
Profesi Apoteker di Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
6. Seluruh Staf dan Petugas Kefarmasian Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
yang telah berbagi ilmu, pengalaman dan bantuan selama Praktik Kerja
Profesi Apoteker.
7. Segenap staf pengajar dan karyawan Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani.
8. Kepada kedua orang tuaku tersayang dan tercinta, Bpk. HI. Baso Herman
dan Ibu HJ. Lusni., terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tulus serta
penuh pengorbanan, kerja keras dan kesabaran mereka telah membesarkan
dan mendidik serta senantiasa memberi semangat berupa dorongan moril
dan materil yang tidak henti-hentinya, serta kepada adikku yang tersayang
Besse Herninda Rahma Sari Dan Besse Herlika Fatina Balqis, terima kasih
atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang luar biasa selama
penyelesaian studi.
9. Rekan PSPA angkatan 34 khususnya geng one shoot, mami, kak iki, kak
gina, kak suci, riska ,Faisal, Friska, Wira, Ririn, Indah, Wirham, Kak
Yuda, Olivia, kak Lalu, Desi, alfan. Masyaallah teman sekaligus sudah aku
anggap keluarga kecilku, dan semua mempunyai kelebihan masing-
masing.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis yang
telah banyak membantu hingga terselesainya laporan ini. Penulis
menyadari dengan sepenuhnya bahwa penulisan laporan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,

iv
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. Besar harapan penulis, kiranya laporan ini dapat bermanfaat
dan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang farmasi sehingga akan memberi dampak pula dalam
dunia kesehatan dan semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Aamiin ya rabbal alamin.
Cimahi, April 2023

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Tujuan..............................................................................................2
1.3 Waktu dan Tempat...........................................................................2
1.4 Gambar lokasi Puskesmas................................................................2
BAB II PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER........3
2.1. Tinjauan Umum Puskesmas.............................................................3
2.1.1 Pengertian Puskesmas..........................................................3
2.1.2 Prinsip Penyelenggaraan, Tugas, dan Fungsi Puskesmas....3
2.1.3 Persyaratan Puskesmas.........................................................4
2.1.4 Perizinan Puskesmas............................................................5
2.1.5 Organisasi Puskesmas..........................................................5
2.1.6 Pendanaan Puskesmas..........................................................5
2.1.7 Sistem Informasi Puskesmas................................................5
2.2. Tinjauan Khusus Puskesmas Cipageran Kota Cimahi.....................6
2.2.1. Sejarah Puskesmas Cipageran Kota Cimahi........................6
2.2.2. Visi dan Misi Puskesmas Cipageran Kota Cimahi...............6
2.3. Tugas pokok Puskesmas Cipageran Kota Cimahi............................7
2.3.1 Struktur Organisasi...............................................................7
2.3.2 Tugas Dan Fungsi Tenaga Kerja UPT Puskesmas Cimahi
Tengah..................................................................................7
2.3.3 Alur pelayanan resep............................................................8
2.4. Peran, Tugas dan Fungsi Apoteker di Puskesmas............................9
2.4.1 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP). 9
BAB III TUGAS KHUSUS..................................................................................14
3.1 Pendahuluan...................................................................................14
vi
3.2 Tinjauan Pustaka............................................................................15
3.2.1 Pelayanan Informasi Obat..................................................15
3.2.2 Diabetes Melitus.................................................................16
3.2.3 Leaflet.................................................................................21
3.3 Pelaksanaan....................................................................................22
3.4 Analisis...........................................................................................22
3.5 Hasil dan Pembahasan....................................................................23
3.5.1 Hasil...................................................................................23
3.5.2 Pembahasan........................................................................23
3.6 Kesimpulan.....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32
Lampiran 1............................................................................................................33
Lampiran 2............................................................................................................34

vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas menyatakan bahwa Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Pembangunan kesehatan telah
menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa
Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan secara optimal.

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan memiliki peran yaitu menyediakan


data dan informasi obat dan pengelolaan obat (kegiatan perencanaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, pencatatan dan pelaporan, dan evaluasi). Obat dan
perbekalan kesehatan hendaknya dikelola secara optimal untuk menjamin
tercapainya tepat jumlah, tepat jenis, tepat penyimpanan, tepat waktu
pendistribusian, tepat penggunaan dan tepat mutunya di tiap unit (Kementerian
Kesehatan RI, 2014).
Secara nasional Puskesmas memiliki standar wilayah kerja satu kecamatan.
Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung
jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas dengan memperhatikan kebutuhan
konsep wilayah yaitu desa/ kelurahan atau dusun/rukun warga (RW). Puskesmas
sebagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kesehatan pada
wilayah tersebut memiliki fasilitas didalamnya berupa dokter umum, dokter gigi,
uji laboratorium, dan yang tidak kalah penting yaitu unit farmasi. Fasilitas
pelayanan kefarmasian yaitu apotek dan gudang obat.
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Menurut PP No 51
Tahun 2009 menyatakan seorang apoteker harus ada di pelayanan kefarmasian
termasuk di Puskesmas. Kompetensi apoteker diantaranya mampu memberikan
dan menyediakan pelayanan kefarmasian yang bermutu, mampu mengambil
keputusan secara profesional, mampu berkomunikasi dengan pasien maupun
profesi kesehatan lain (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu pelayanan kefarmasian mengharuskan tenaga kefarmasian
memberikan pelayanan yang berorientasi kepada pasien dengan prinsip
pharmaceutical care (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan pelayanan farmasi klinik dan
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi dan bahan
medis habis pakai.

1
Berdasarkan uraian tersebut, maka pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Puskesmas sangat penting untuk dilakukan oleh setiap calon apoteker.
Hal ini dikarenakan mengingat pentingnya pemahaman calon apoteker terhadap
tugas tanggung jawab dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Sehingga,
diharapkan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari pelaksanaan PKPA
di Puskesmas dapat diterapkan di masa mendatang secara keseluruhan.
1.2 Tujuan
Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker bagi mahasiswa program studi Profesi
Apoteker adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan pengetahuan serta pemahaman calon apoteker tentang tugas,
keterampilan, dan tanggung jawab dalam melakukan pelayanan kefarmasian di
Puskesmas.
2. Mempersiapkan calon apoteker agar dapat bekerjasama dengan tenaga
kesehatan lainnya dalam dunia kerja sebagai seorang apoteker yang
profesional.
3. Membekali calon apoteker dengan berbagai macam wawasan maupun
pengalaman dalam menjalankan praktek kefarmasian di Puskesmas dan
memberikan gambaran nyata tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi
di Puskesmas.
4. Memberikan kesempatan kepada calon apoteker untuk belajar pengalaman
praktik profesi apoteker di Puskesmas dalam kaitan dengan peran, tugas dan
fungsi Apoteker dalam bidang kesehatan masyarakat.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Profesi Apoteker Pelaksanaan kegiatan Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Puskesmas Cipageran Kota Cimahi Utara yang terletak di Jl.
Bobojong No.148, Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, kota Cimahi, Jawa Barat
dalam kurun waktu satu bulan yang dimulai tanggal 01 April 2023 sampai dengan
30 April 2023. Kegiatan PKPA dilaksanakan secara offline ada hari Senin hingga
Sabtu dengan jam kerja pada pukul 07.30-13.30 WIB selama bulan puasa.
1.4 Gambar lokasi Puskesmas

Gambar 1.1 Lokasi Puskesmas Cipageran


2
BAB II
PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
2.1. Tinjauan Umum Puskesmas
2.1.1 Pengertian Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 74 tahun 2016,
tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas pada pasal 1 menyebutkan
bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Puskesmas merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 43 Tahun 2019
tentang Puskesmas pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan
yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
yang:
a. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat
b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu;
c. Hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat.

2.1.2 Prinsip Penyelenggaraan, Tugas, dan Fungsi Puskesmas


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 43 Tahun 2019
tentang Puskesmas prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:
1. Paradigma sehat (Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan
untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan
yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat);
2. Pertanggungjawaban wilayah (Puskesmas menggerakkan dan bertanggung
jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya);
3. Kemandirian masyarakat (Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat
bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat);
4. Pemerataan (Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat
diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara
adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan
kepercayaan);
5. Teknologi tepat guna (Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan
dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan);
dan
6. Keterpaduan dan kesinambungan (Puskesmas mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas

3
sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan manajemen
Puskesmas).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
pasal 4, Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya Puskesmas
mengintegrasikan program yang dilaksanakannya dengan pendekatan keluarga.
Pendekatan keluarga merupakan salah satu cara Puskesmas mengintegrasikan
program untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses
pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Puskesmas
memiliki fungsi:
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat (UKM) tingkat pertama di
wilayah kerjanya; Dalam menyelenggarakan fungsinya penyelenggaraan
UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas berwenang untuk :
a. Menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah
kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerja sama dengan pimpinan wilayah dan sektor lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan pelayanan
Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat;
f. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,
kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor biologis,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual;
i. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,
dan cakupan Pelayanan Kesehatan;
j. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat kepada
dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem kewaspadaan
dini, dan respon penanggulangan penyakit;
k. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga; dan
l. Melakukan kolaborasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui pengoordinasian
sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan perseorangan (UKP) tingkat pertama di
wilayah kerjanya.
2.1.3 Persyaratan Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
tentang Puskesmas, persyaratan Puskesmas adalah sebagai berikut:
1. Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan.

4
2. Dalam kondisi tertentu, pada 1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1
(satu) Puskesmas.
3. Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan
pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan aksesibilitas.
4. Pendirian Puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, peralatan kesehatan, ketenagaan, kefarmasian dan laboratorium
klinik.

2.1.4 Perizinan Puskesmas


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
tentang Puskesmas pasal 30, perizinan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sebagai berikut :
1. Setiap Puskesmas wajib memiliki izin untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Izin berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan.
4. Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
mengajukan permohonan perpanjangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
sebelum habis masa berlakunya izin operasional.
2.1.5 Organisasi Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
tentang Puskesmas, organisasi Puskesmas diatur pada pasal 41 paling sedikit
terdiri atas:
1. Kepala Puskesmas;
2. Kepala tata usaha
3. Penanggung jawab
2.1.6 Pendanaan Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
tentang Puskesmas pasal 61, menyebutkan bahwa pendanaan di Puskesmas
bersumber dari: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); sumber-sumber lain yang sah dan tidak
mengikat.
2.1.7 Sistem Informasi Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43 tahun 2019
tentang Puskesmas pasal 62, menyebutkan bahwa setiap Puskesmas wajib
melakukan kegiatan sistem informasi Puskesmas. Sistem Informasi Puskesmas
merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan kabupaten/kota, dapat
diselenggarakan secara elektronik atau nonelektronik. Sistem informasi
Puskesmas paling sedikit mencakup: pencatatan dan pelaporan kegiatan
Puskesmas dan jaringannya; pencatatan dan pelaporan keuangan Puskesmas dan
jaringannya; survei lapangan; laporan lintas sektor terkait; dan laporan jejaring
Puskesmas di wilayah kerjanya.

5
2.2. Tinjauan Khusus Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
2.2.1. Sejarah Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
Puskesmas Cipageran beralamat di Jl. Bobojong No. 148 Kel. Cipageran, Kec.
Cimahi Utara, tlp. 022 6627698, email:pkmCipageran2@gmail.com, dengan
wilayah kerja Kelurahan Cipageran dengan penduduk 48.082 jiwa, 14.283 KK
dengan Luas 5.94 Km2. Puskesmas Cipageran memiliki 40 Posyandu dan 22
Posbindu PTM, dengan Jumlah Personil 24 orang yang terdiri dari 1 apoteker,
Dokter Umum 2 orang dan 2 orang Dokter Gigi, 1 dokter internship

Gambar 2.2.1. Puskesmas Cipageran Kota Cimahi


2.2.2. Visi dan Misi Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
i). Visi
Puskesmas Cipageran adalah menjadi Puskesmas dengan pelayanan prima menuju
Cimahi sehat dan mandiri. Motto Puskesmas Cipageran adalah “SAHABAT”
yang dimana:
S = Senyum, Sapa, Salam sopan santun pedoman hidup kami.
A = Senyum, Sapa, Salam sopan santun pedoman hidup kami.
H = Hangat dan ramah pelayanan kami
A = Akses pelayananan kesehatan dasar yang berkualitas dan
terjangkau strategi kami
B = Berbudaya sehat menjadi keseharian kami
A = Agamis mewarnai keseharian kami
T = Target Puskesmas efektif dan responsive menjadi etos kerja
kami
ii). Misi
Misi suatu Puskesmas wajib dijalankan agar visi dapat terlaksana. Puskesmas
Cipageran kota Cimahi mempunyai misi sebagai berikut:
1. Memberikan pelayan yang bermutu dengan memperhatikan kebutuhan
pelanggan.
2. Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kemandirian untuk
hidup sehat.
3. Menggalang kemitraan dari berbagai pihak yang terkait di bidang kesehatan di
wilayah kelurahan Cipageran.

6
2.3. Tugas pokok Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
Puskesmas Cipageran merupakan salah satu unit pelaksana teknis dinas kesehatan
Kota Cimahi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kesehatan
diwilayah kelurahan Cipageran. Puskesmas berperan dalam menyelenggarakan
upaya kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yang sesuai
dengan undang undang No. 23 tahun 1992. Upaya kesehatan yang dilaksanakan di
Puskesmas Cipageran terdiri dari upaya kesehatan wajib atau pokok merupakan
upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh seluruh Puskesmas di Indonesia. Upaya
ini memberikan daya angkat paling besar terhadap keberhasilan pembangunan
kesehatan melalui peningkatan Indeks Pembangunan manusia IPM serta
merupakan kesepakatan global maupun nasional.
2.3.1 Struktur Organisasi
Puskesmas Cipageran Kota Cimahi terdiri atas:
1. Unsur Pimpinan : Kepala Puskesmas
2. Unsur Pembantu Pimpinan : Kepala Sub. Bagian Tata Usaha
3. Pelaksana Tata Usaha : Sistem Informasi Puskesmas, Kepegawaian Rumah
Tangga dan Keuangan
4. Koordinator UKM (Usaha kesehatan masyarakat)
5. Koordinator UKP (Usaha kesehatan perorangan) : Pelayanan rawat jalan,
Kefarmasian, Laboratorium.
Penanggung jawab Pelayanan Kefarmasian sendiri berada di bawah Koordinator
UKP. Penanggung jawab Pelayanan Kefarmasian, di UPT Puskesmas Cimahi
Tengah adalah seorang Apoteker 1 dan 2 orang Tenaga Teknis Kefarmasian
(TTK).

i). Alamat Puskesmas Cipageran


Puskesmas Cipageran beralamat di Jl. Bobojong No. 148 Kel. Cipageran, Kec.
Cimahi Utara tepatnya berdekatan dengan SMP Cipageran. Lokasinya lumayan
strategis dengan lingkungan padat penduduk dan mudah dijangkau oleh
masyarakat.
ii). Tata Ruang Instalasi Farmasi
1. Ruang penerimaan resep dan penyerahan obat kepada pasien
2. Ruang penyiapan obat dan penyimpanan obat
3. Ruang penyimpanan obat sementara atau disebut gudang
2.3.2 Tugas Dan Fungsi Tenaga Kerja UPT Puskesmas Cimahi Tengah
Tugas Kerja Apoteker di Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
1. Penyiapan rencana kerja kefarmasian Menyiapkan rencana kegiatan, membuat
kerangka acuan
2. Pengelolaan perbekalan farmasi
a. Pemilihan : Merekapitulasi data dan menentukan jenis
perbekalan farmasi
b. Perencanaan : Mengolah data dan menyusun rencana kebutuhan
c. Penerimaan : Memeriksa perbekalan farmasi
d. Penyimpanan : Mengelompokkan, menyusun dan memeriksa bukti
perbekalan farmasi
e. Pendistribusian : Mengkaji permintaan perbekalan farmasi

7
f. Penghapusan : Merekapitulasi daftar penghapusan atau resep yang
akan dihapuskan
g. Penyusunan laporan kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi.
3. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Dispensing : resep individual
1) Mengkaji resep
2) Meracik obat
3) Memeriksa perbekalan farmasi
4) Menyerahkan perbekalan farmasi
b. Pelayanan informasi obat
c. Konseling obat
d. Diskusi dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya,
e. Evaluasi penggunaan obat f. Pemantauan penggunaan obat
f. Monitoring efek samping obat
g. Menyusun laporan kegiatan farmasi klinik
4. Program khusus sarana pelayanan kesehatan
a. Melakukan penyuluhan di bidang kefarmasian/ kesehatan
b. Mengajar, melatih atau membimbing yang berkaitan dengan kefarmasian
atau kesehatan.

2.3.3 Alur pelayanan resep


Alur pelayanan obat di Puskesmas Cipageran Kota Cimahi yaitu pasien
melakukan pendaftaran di loket pendaftaran dengan membawa identitas diri
seperti KTP/SIM, dan kartu BPJS. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan (BP
Umum, BP Gigi, Poli KIA, atau pemeriksaan laboratorium), kemudian dokter
akan membuat resep secara manual untuk kemudian dikerjakan oleh bagian
farmasi. Selanjutnya dilakukan skrining resep secara administrasi meliputi nama
pasien, umur pasien, jenis kelamin, alamat pasien, diagnosa dokter, tanggal
penulisan resep, nama dokter penulis resep, jumlah obat, nama obat; secara
farmasetik meliputi bentuk sediaan, kekuatan sediaan, stabilitas obat,
kompatibilitas obat; dan secara klinis meliputi ketepatan indikasi dan dosis obat,
aturan, cara dan lama penggunaan obat, duplikasi, efek samping obat, dan
interaksi obat.
Jika dalam skrining resep dinyatakan telah memenuhi syarat, maka petugas
farmasi di Puskesmas membuat etiket secara manual yang berisi tanggal, nama
pasien, nomor pasien, nama obat, cara penggunaan, aturan pakai, dan bentuk
sediaan, jika diperlukan ditulis indikasi obat tersebut sesuai dengan permintaan
pasien. Untuk obat antibiotik tablet, etiket ditulis dengan keterangan waktu
meminum obat. Untuk obat diabetes, hipertensi dan untuk pengobatan scabies
menggunakan etiket khusus yang berisikan cara dan aturan pakai obat secara
detail sehingga memudahkan pasien, dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Penggunaan obat oral menggunakan etiket putih sedangkan penggunaan obat luar
menggunakan etiket biru. Setelah etiket dibuat, disiapkan obat sesuai dengan yang
terdapat dalam resep untuk dikemas. Pada saat pengemasan, obat dimasukkan
dalam plastik secara terpisah untuk masing-masing obat dan memasukkan etiket
ke dalam plastik yang berisi obat untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah.

8
Pengawasan terakhir dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien. Proses
penyerahan resep dilakukan dengan cara memanggil nama pasien dan alamat
pasien disertai dengan melihat kertas resep. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan pemberian resep kepada pasien yang tidak tepat (salah orang). Nama
pasien dan tanggal lahir pasien ditulis dalam buku, serta dilengkapi dengan obat
yang diberikan, cara penggunaan khusus.
Saat penyerahan obat ke pasien diberikan pelayanan informasi obat berupa
penjelasan khasiat obat, aturan pakai, cara pakai yang tepat dan juga berupa
konseling khusus untuk pasien yang menderita beberapa penyakit seperti
hipertensi, diabetes, TB, scabies dan Infeksi menular Seksual (IMS).
Secara garis besar proses pengelolaan obat di Puskesmas Cipageran Kota Cimahi
mulai dari perencanaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi sampai pencatatan
dan pelaporan sudah berjalan dan dilakukan dengan baik. Pelayanan obat yang
dilakukan oleh Puskesmas Cipageran Kota Cimahi sudah tepat dimana
pengemasan obat dan penyerahan obat kepada pasien dilakukan oleh petugas yang
berbeda sehingga menghindari kesalahan pemberian obat.
Pada Puskesmas Cipageran Kota Cimahi juga melengkapi tulisan etiket untuk
penggunaan antibiotik, pasien hipertensi, diabetes mellitus, dan pasien dengan
scabies yang sangat bermanfaat sekali bagi pasien untuk memudahkan
terlaksananya terapi, menghindari pasien gagal menerima obat karena tidak
memahami aturan pakai obat dengan benar dan meningkatkan kepatuhan pasien
sehingga dapat diharapkan meningkatkan derajat kesehatan manusia setinggi-
tingginya.
2.4. Peran, Tugas dan Fungsi Apoteker di Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 74 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk:
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi
tenaga kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Pada pasal 3
menyebutkan bahwa standar pelayanan kefarmasian meliputi :
2.4.1 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu kegiatan
pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta
pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan
ketersediaan dan keterjangkauan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien,
efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian,
mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan.
Kegiatan pengelolaan obat dan BMHP meliputi:
1. Perencanaan Kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai Perencanaan
merupakan proses kegiatan seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai untuk
menentukan jenis dan jumlah Obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:

9
a. Perkiraan jenis dan jumlah Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang
mendekati kebutuhan.
b. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
c. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat. Perencanaan kebutuhan obat dan
bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh
Ruang Farmasi di Puskesmas. Proses seleksi obat dan bahan medis habis
pakai dilakukan dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi
obat periode sebelumnya, data mutasi obat, dan rencana pengembangan.
Proses seleksi obat dan bahan medis habis pakai juga mengacu pada
Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga
kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan
perawat, serta pengelola program yang berkaitan dengan pengobatan.
Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang
(bottom- up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat
dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO). Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan
kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah
kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan
memperhitungkan waktu kekosongan obat, buffer stock, serta menghindari
stok berlebih.
2. Permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi
kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.
3. Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dari
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara
mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar
Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat, dan mutu.
4. Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar
dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia
di Puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
a. Bentuk dan jenis sediaan;
b. Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan
Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
c. Mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
d. Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan

10
e. Tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
5. Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub
unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada
di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat.
Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas
b. Puskesmas Keliling;
c. Posyandu;
d. Polindes
6. Pemusnahan dan Penarikan Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin
edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan
tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM. Penarikan Bahan Medis
Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. Telah kadaluwarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
d. Dicabut izin edarnya. Tahapan pemusnahan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai terdiri dari: Membuat daftar Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan; menyiapkan Berita
Acara Pemusnahan; mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat
pemusnahan kepada pihak terkait; menyiapkan tempat pemusnahan; dan
melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
7. Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan
dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit
pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
pengendalian persediaan; Pengendalian penggunaan; dan penanganan sediaan
farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
8. Administrasi
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian
kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai,
baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.

11
9. Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
habis Pakai
a. Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga
kualitas maupun pemerataan pelayanan;
b. Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai; dan
c. Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1) Pengkajian dan pelayanan resep
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:


Nama, Umur, Jenis Kelamin dan Berat Badan Pasien, Nama Dokter, dan
Paraf Dokter, Tanggal Resep, Ruangan/Unit Asal Resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:


Bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat, stabilitas dan
ketersediaan, aturan dan cara penggunaan, inkompatibilitas
(ketidakcampuran obat).

Persyaratan klinis meliputi:


Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat, duplikasi
pengobatan, alergi, interaksi dan efek samping obat, kontra indikasi, efek
adiktif.

Kegiatan penyerahan (dispensing) dan pemberian informasi obat


merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan sediaan
farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian.
Tujuan: pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan
klinis/pengobatan, pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi
instruksi pengobatan. Kegiatan pemberian obat di Puskesmas Cipageran
kota Cimahi, seperti biasanya pemberian dilakukan oleh tenaga
kefarmasian ataupun apoteker yang bertugas. Yaitu nama pasien dipanggil
terlebih dahulu kemudian ditanyakan alamat serta tanggal lahir pasien dan
di cocokan dengan data yang di resep. Kemudian pemberian informasi
obat dengan menggunakan metode singkat padat dan jelas seperti nama
obat indikasi obat dosis obat minum obat cara pakai obat dan juga
penyimpanan obat.

2) Pelayanan Informasi Obat (PIO) Merupakan kegiatan pelayanan yang


dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas
dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya
dan pasien. Tujuannya adalah untuk menyediakan informasi mengenai

12
obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan
masyarakat serta menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan obat (contoh: kebijakan permintaan obat oleh
jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat
penyimpanan yang memadai) dan menunjang penggunaan obat yang
rasional. Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO seperti
sumber informasi obat, tempat, tenaga, perlengkapan. Kegiatan pemberian
informasi obat di Puskesmas Cipageran kota Cimahi, dilakukan oleh
tenaga kefarmasi dan juga oleh apoteker. Pemberian informasi obat tidak
hanya ke pasien tapi juga ke dokter dan tenaga kesehatan lainya. Dari
indikasi dan sampai efek samping obat.
3) Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat
pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan
dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.
Kegiatan konseling antara lain :
a) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b) Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh
dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended
question), misalnya apa yang dikatakan dokter mengenai obat,
bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari obat
tersebut, dan lain-lain.
Kegiatan konseling di Puskesmas Cipageran berjalan seperti biasanya,
yaitu dengan sasaran pasien dengan polifarmasi, obat obatan khusus, dan
juga pasien dengan penderita penyakit jangka panjang, contoh seperti
penggunaan obat ovula, penggunaan cream skabies (permetrin)
penggunaan obat dan evaluasi obat pada pasien gangguan jiwa. Pasien
hipertensi, pasien diabetes melitus yang penggunaan obatnya harus
dipantau dan diberikan kesempatan untuk komunikasi 2 (dua) arah. Untuk
pasien pengidap tuberkulosis untuk pemberian obatnya di Puskesmas
Cipageran punya petugas khusus dari tenaga kesehatan perawat.

4) Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat.


Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat
untuk mengoptimalkan tujuan terapi. Faktor yang perlu diperhatikan dalam
konseling yaitu:
a) Kriteria pasien seperti : pasien rujukan dokter, pasien dengan penyakit
kronis, pasien dengan obat yang ber-indeks terapetik sempit dan
polifarmasi, pasien geriatri, pasien pediatrik, pasien pulang sesuai
dengan kriteria di atas.
b) Sarana dan prasarana seperti : ruangan khusus dan kartu pasien/catatan
konseling.

13
c) Home Care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan
15 komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di
tempat tinggal pasien yang bertujuan untuk meningkatkan,
mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan
tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit. Secara
umum, tujuan dari home care adalah untuk membantu meningkatkan
kualitas hidup dari segi kesehatan pasien. Sedangkan secara khusus,
untuk memenuhi kebutuhan biopsikososial dan spiritual pasien secara
mandiri, membuat pasien lebih mandiri dalam menjaga kesehatan, dan
juga meningkatkan layanan kesehatan kesehatan di sebuah rumah.
Selain itu, tujuan Home Care adalah untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada individu dengan melibatkan peranan keluarga
pasien. Yang mana tujuannya adalah untuk menyembuhkan,
meningkatkan dan menjaga secara fisik dan mental. Ruang lingkup
perawatan Home Care adalah sebagai berikut:
a. Pasien post partum
b. Pasien dengan gangguan mental
c. Pasien lansia
d. Pasien terminal
e. Pasien Alzheimer
f. Pasien HIV/AIDS
g. Pasien dengan penyakit kronis
h. Pasien diabetes
i. Pasien berkebutuhan khusus seperti terapi cairan infus, dll
Kegiatan pelaksanaan verifikasi kepahaman pasien atas pemberian
informasi yang telah diberikan di Puskesmas Cipageran yaitu dengan
cara memberikan kesempatan pasien untuk mengulangi hal yang telah
disampaikan. Meliputi indikasi obat umum, cara penggunaan, dosis
nya kapan waktu penggunaan nya.

14
BAB III
TUGAS KHUSUS
PEMBUATAN LEAFLET EDUKASI DIABETES MELITUS

3.1 Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit masalah utama di Dunia,
dan banyak diderita di Indonesia. Organisasi International Diabetes Federation
(IDF, 2019) menyatakan Indonesia berada di peringkat ke 7 diantara 10 negara
dengan jumlah penderita terbanyak, yaitu sebesar 10,7 juta (Retaningsih dan
Firmina, 2022). Penatalaksanaan DM terbagi menjadi 2, yaitu penggunaan obat
antidiabetik oral dan insulin. Terapi Insulin digunakan pada pasien DM tipe 1,
DM tipe 2, maupun DM gestasional. Di Indonesia, terdapat banyak jenis insulin
sehingga diperlukan pengetahuan bagi pasien DM untuk meningkatkan efektivitas
terapi (Anggriani, dkk., 2018).

Tingginya prevalensi penyakit DM di Indonesia dan masih rendahnya tingkat


pengetahuan tentang manajemen terapi khususnya penggunaan insulin dan pola
hidup sehat pada pasien DM merupakan kenyataan yang masih memerlukan
pengetahuan. Penyakit DM merupakan penyakit kronis, maka manajemen terapi
mandiri sangat diperlukan (Hartayu dkk., 2013). Menurut laporan World Health
Organization (WHO) pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi
jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju sebesar 50% dan di
negara berkembang diperkirakan akan lebih rendah. Faktor kunci kepatuhan
pasien terhadap pengobatan adalah pemahaman tentang penyakit dan pengobatan.
Peningkatan pemahaman tentang penyakit, instruksi pengobatan dan peningkatan
kepatuhan pasien sangat dipengaruhi intervensi pelayanan kefarmasian, yaitu
pelayanan informasi obat (Rahmatullah dkk., 2020).

Pelayanan informasi obat (PIO) adalah kegiatan pelayanan kefarmasian berupa


pemberian informasi mengenai obat dan instruksi pengobatan secara akurat, tidak
biasa, dan terkini kepada pasien dan tenaga kesehatan. PIO bertujuan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan serta menunjang pengobatan
yang rasional (Arifin dkk., 2020). Leaflet adalah salah satu media promosi
kesehatan yang dapat digunakan untuk melakukan pelayanan informasi obat.
Leaflet berupa lembaran yang dilipat berisis informasi berupa kalimat, gambar
atau kombinasi. Pemberian pelayanan informasi obat kepada pasien merupakan
salah satu tugas dan tanggungjawab Apoteker dalam menjalankan pelayanan
kepada pasien. Pelayanan di Apotek selain pelayanan resep juga meliputi promosi
dan edukasi serta pelayanan residensial. Dalam upaya melaksanakan tanggung
jawab, seorang Apoteker yang bekerja di Apotek dituntut untuk selalu hadir di
Apotek agar dapat memberikan layanan informasi obat secara optimal (Hartayu
dkk., 2013).

Pelayanan informasi obat (PIO) adalah kegiatan pelayanan kefarmasian berupa


pemberian informasi mengenai obat dan instruksi pengobatan secara akurat, tidak
biasa, dan terkini kepada pasien dan tenaga kesehatan. PIO bertujuan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan serta menunjang

15
pengobatan yang rasional (Arifin dkk., 2020). Leaflet adalah salah satu media
promosi kesehatan yang dapat digunakan untuk melakukan pelayanan informasi
obat. Leaflet berupa lembaran yang dilipat berisis informasi berupa kalimat,
gambar atau kombinasi. Pemberian pelayanan informasi obat kepada pasien
merupakan salah satu tugas dan tanggungjawab Apoteker dalam menjalankan
pelayanan kepada pasien. Pelayanan di Apotek selain pelayanan resep juga
meliputi promosi dan edukasi serta pelayanan residensial. Dalam upaya
melaksanakan tanggung jawab, seorang Apoteker yang bekerja di Apotek dituntut
untuk selalu hadir di Apotek agar dapat memberikan layanan informasi obat
secara optimal (Hartayu dkk., 2013).

3.2 Tinjauan Pustaka


3.2.1 Pelayanan Informasi Obat
Menurut Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Tahun
2019, Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam penyediaan dan pemberian informasi mengenai obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai sediaan farmasi dan BMHP. Informasi mengenai obat
termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat
fisika atau kimia dari obat dan lain- lain.
1. Tujuan PIO
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan di lingkungan
Apotek
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional
2. Manfaat PIO
a. Promosi/peningkatan kesehatan (promotif), seperti penyuluhan
b. Pencegahan penyakit (preventif), seperti penyuluhan imunisasi,
penyuluhan terhadap bahaya merokok dan narkotika
c. Penyembuhan penyakit (kuratif), seperti keterlibatan dalam program
eliminasi malaria dan tuberkulosis dan HIV
d. Pemulihan kesehatan (rehabilitatif), seperti kepatuhan pada pasien pasca
stroke
3. Sasaran informasi obat
a. Pasien, keluarga pasien dan atau masyarakat umum
b. Tenaga kesehatan, seperti dokter, dokter gigi, Apoteker, tenaga teknis
kefarmasian, dan lain-lain.
c. Pihak lain, seperti manajemen dan lain-lain.
4. Pelaksana
Pemberian informasi obat (PIO) dilakukan oleh Apoteker
5. Persiapan
Sebelum melakukan kegiatan PIO, petugas harus menyiapkan buku
referensi/e-book, formulir PIO dan software interaksi obat
16
6. Pelaksanaan
a. Jenis kegiatan PIO, meliputi menjawab pertanyaan baik lisan maupun
tulisan, membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan), memberikan informasi dan edukasi kepada
pasien, memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktik profesi, melakukan penelitian penggunaan
obat, membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah, dan
melakukan program jaminan mutu.
b. Tahapan pelaksanaan PIO, meliputi:
1) Apoteker menerima dan mencatat pertanyaan lewat telepon, pesan
tertulis atau tatap muka
2) Mengidentifikasi penanya, seperti nama dan status
3) Menanyakan secara rinci data/informasi terkait pertanyaan
4) Menetapkan urgensi pertanyaan
5) Memformulasikan jawaban
6) Menyampaikan jawaban kepada penanya secara verbal atau tertulis
7. Evaluasi
Dilakukan evaluasi setiap akhir bulan dengan merekapitulasi jumlah
pertanyaan, penanya, jenis pertanyaan, ruangan, dan tujuan permintaan
informasi.

3.2.2 Diabetes Melitus


Menurut organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan
sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di Dunia menderita
diabetes pada tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9,3 % dari
total penduduk pada usia yang sama. Berdasarkan jenis kelamin, IDF
memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2019 yaitu 9% pada perempuan dan
9,65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan meningkat seiring
penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada umur 65-
79 tahun. Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun
2030 dan 700 juta di tahun 2045. Peningkatan kasus juga terjadi di Indonesia.
Berdasarkan data badan pusat statistik indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa.
Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun 2030
nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi DM pada urban (14,7 %) dan rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat
28 juta pasien diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah rural. Laporan hasil
riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh departemen kesehatan
menunjukkan peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5% (Perkeni, 2021;
P2PTM,2020).

Diabetes melitus adalah penyakit menahun (kronis) berupa gangguan metabolik


yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi batas normal. Penyebab
kenaikan kadar gula darah tersebut menjadi landasan pengelompokkan jenis
diabetes melitus. Diabetes melitus dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Diabetes melitus tipe 1 merupakan diabetes yang disebabkan kenaikan kadar
gula darah karena kerusakan sel beta pankreas sehingga produksi insulin

17
tidak sama sekali. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh pankreas
untuk mencerna gula dalam darah. Penderita diabetes tipe ini membutuhkan
asupan insulin dari luar tubuhnya.
2. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang disebabkan kenaikan gula
darah karena penurunan sekresi insulin yang rendah oleh kelenjar pankreas.
3. Diabetes melitus tipe gestasional. Merupakan diabetes yang ditandai dengan
kenaikan gula darah pada selama masa kehamilan. Gangguan ini biasanya
terjadi pada minggu ke-24 kehamilan dan kadar gula darah akan kembali
normal setelah persalinan.
4. Diabetes melitus tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain.
Merupakan diabetes yang disebabkan karena sindrom diabetes monogenic
(diabetes neonatal, maturity onset diabetes of the young (MODY)), penyakit
eksokrin pankreas (fibrosis kistik, pankreatitis), serta diabetes yang
disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya penggunaan glukokortikoid
pada terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (Perkeni, 2021;
p2ptm, 2020).

Patogenesis diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin pada sel otot
dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas. Selain itu, organ lain juga terlibat
pada DM tipe 2 seperti jaringan lemak (meningkatkan lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorbsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa. Menurut schwarts, 2016 terdapat 11 organ yang
berperan pada patogenesis DM atau disebut sebagai the egregious eleven yang
dapat dilihat pada Gambar II.1 (Perkeni, 2021).

Gambar II.1. Patogenesis diabetes melitus

Kadar tes laboratorium glukosa darah dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes melitus
(Perkeni,2021)

Kategori HbA1c (%) Glukosa Darah Glukosa Plasma


Puasa (mg/dL) 2 Jam Setelah
Makan (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pre-Diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 - 199

18
Normal < 5,7 70 – 99 70 - 139

19
Terapi farmakologis pasien diabetes melitus diberikan bersama dengan
pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan
1. Obat anti hiperglikemia oral (Perkeni, 2021; Nurdiana, 2022)
Obat anti hiperglikemia oral dapat dilihat pada tabel II.3.
Tabel II.3. Profil obat anti hiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
No Golongan Obat Contoh Mekanisme Catatan
Obat Kerja
1. Sulfonilurea Glibenklami Meningkatkan Diberikan
d Sekresi insulin sebelum
Glipizid dengan makan ES:
Gliclazid meningkatkan BB naik,
Glimepirid asupan kalsium hipoglikemi
Gliquidone dan mengaktifkan a
cAMP
hipoglikemia

2. Glinid Repaglinid Meningkatkan ES: BB


Nateglinide sekresi insulin naik,
dengan hipoglikemi
meningkatkan a
asupan kalsium
dan mengaktifkan
cAMP

3. Thiazolidinedio Pioglitazon Menganalisis Tidak


n PPAR-gamma, bergantung
sehingga jadwak
meningkatkan makan ES :
sensitifitas edema
terhadap insulin

20
4. Penghambat Acarbose Menghambat Doberikan
alfa-glukosidase enzim bersama
alfaglukosidase, suapan
mencegah absobsi pertama
glukosa ES : flatulen
tinja lembek

5. Biguanid Metformin Menurunkan Bersama/


produksi glukosa sesudah
di hati dan makan. ES :
meningkatkan dyspepsia,
diare,
asidosis
laktat

6. Penghambat Vidagliptin Meningkatkan Tidak


DPP-4 Sitagliptin sekresi insulin bergantung
Linagliptin dan menghambat jadwal
sekresi glucagon, makan. ES :
Menghambat Sebah
kerja enzim DPP- muntah
4, enzim ini
berperan sebagai
pengurai incretin

7. Penghambat Dapaglifozin Menghambat Tidak


SLGT-2 Empaglifozin reabsorbsi bergantung
glukosa di tubulus jadwal
distal makan. ES :
ISK dan
gental

Tabel II.4. Profil obat anti hiperglikemia oral kombinasi tetap


(Perkeni,2021)

Kategori Nama Obat Dosis Harian Catatan


(mg)
Obat kombinasi Glibenklamid + 1,25/250 Bersama/Sesudah
tetap metformin 2,5/500 makan

21
(Glucovance) 5/500 Lama kerja 12-24
Glimepirid 1/250 Jam
+ Metformin 2/500
(Amaryl M)
Sitagliptin 50/500
+ Metformin 50/850
(Janumet) 50/1000
Vildagliptin 50/500
+ Metformin 50/850
(Galvusmet) 50/1000
Linagliptin 2,5/500
+ Metformin 2,5/850
(Trajento duo) 2,5/1000
Dapaglifozin 2,5/1000
+ Metformin 5/500
HCl XR (Xigduo 5/1000
XR) 10/500

2. Insulin (Perkeni, 2021; Nurdiana, 2022)


Profil Insulin dapat dilihat pada Tabel II.5

Tabel II.5 Profil Insulin Eksogen


Jenis Insulin Onset Puncak Durasi Cara Suntik
Efek
Insulin analog rapid acting
Lispro 5-15 Menit 1-2 Jam 4-6 Jam SC/IV bolus
(Humalog) SC : 15
Aspart menit
(Novorapid) sebelum
Glusin makan atau
(Apidra) segera
makan
Insulin manusia short acting
Humulin R 30-60 Menit 2-4 Jam 6-8 Jam SC : 30
Aclrapid menit
sebelum atau
segera saat
makan
Insulin analog long acting
Glargine 1-3 Jam Hampir 12-24 Jam SC : malam
(lantus) tanpa puncak hari
Detemir
(Levemir)
Insulin analog ultra long acting
Degludec 30 – 60 Hampir 48 Jam SC
(Tresiba) menit tanpa puncak
Glargine 1-3 Jam 24 Jam
22
U300
(Lantus XR)
Insulin manusia campur
70/30 30-60 menit 3-12 Jam SC
humulin
(70% NPH,
30& regular)
70/30
mixtard
(70% NPH,
30% regular)
75/25 12-30 menit 1-4 Jam 4-6 jam
Humalogmix
(75%
Protamin
lispro, 25%
lispro)
70/30
Novomix
(70%
protamin
aspart, 30%
aspart)

3.2.3 Leaflet
Leaflet adalah selembaran kertas yang berisi tulisan dengan kalimat-kalimat
singkat, padat, mudah dimengerti, dan gambar-gambar yang sederhana.
Leaflet atau sering juga disebut pamflet merupakan selembar kertas yang
berisi tulisan cetak tentang suatu masalah khusus untuk sasaran dan tujuan
tertentu. Ukuran leaflet biasanya 20 x 30 cm yang berisi tulisan 200 – 400
kata. Ada beberapa leaflet yang disajikan secara berlipat (Agustini, 2014).

Leaflet digunakan untuk memberikan keterangan singkat tentang suatu


masalah, misalnya deskripsi cara penggunaan obat-obat khusus, dan lain-
lain. Leaflet dapat diberikan atau disebarkan pada saat pertemuan-pertemuan
dilakukan seperti pertemuan focus group discussion (FDC), posyandu,
kunjungan rumah, Apotek, dan lain-lain (Agustini, 2014).

Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat leaflet, meliputi (Agustini, 2014):
1. Tentukan kelompok sasaran yang ingin dicapai
2. Tuliskan apa tujuannya
3. Tentukan isi singkat hal-hal yang mau ditulis dalam leaflet
4. Kumpulan tentang subjek yang akan disampaikan
5. Buat garis-garis besar secara penyajian pesan, termasuk didalamnya
bagaimana bentuk tulisan gambar serta tata letaknya
6. Buatkan konsepnya

23
Kegunaan leaflet, meliputi (Agustini, 2014):
1. Mengingat kembali tentang hal-hal yang telah diajarkan atau
dikomunikasikan
2. Diberikan sewaktu kampanye untuk memperkuat ide yang telah disampaikan
3. Untuk memperkenalkan ide-ide baru kepada orang banyak

Keuntungan leaflet, meliputi (Agustini, 2014):


1. Dapat disimpan lama
2. Sebagai referensi
3. Jangkauan dapat jauh

24
4. Membantu media lain
5. Isi dapat dicetak kembali dan dapat sebagai bahan diskusi

3.3 Pelaksanaan
Promosi kesehatan menggunakan leaflet bertujuan agar masyarakat
dapat mengetahui dan memahami tentang Diabetes Melitus. Salah
satu cara membuat media cetak berupa leaflet adalah menggunakan
aplikasi canva. Aplikasi canva adalah aplikasi yang biasa digunakan
untuk mendesain media promosi. Adapun tahapan pelaksanaan
pembuatan leaflet, yaitu:

1. Pengumpulan informasi. Merupakan langkah awal digunakan


untuk mengumpulkan sumber informasi yang akan dijadikan sebagai
bahan promosi kesehatan. Pengumpulan informasi tentang edukasi
Diabetes Melitus bersumber dari buku ataupun jurnal seperti buku
PERKENI dan PIONAS.
2. Pemilihan format leaflet. Merupakan langkah kedua dalam
pembuatan leaflet, dimana pada tahap ini dilakukan pemilihan
bentuk leaflet yang akan dibuat seperti leaflet satu lipat atau ganda.
3. Pemilihan template. Merupakan langkah ketiga dalam pembuatan
leaflet. Pada tahap ini dilakukan pemilihan template dan layout
yang akan digunakan, diperlukan penyesuaian template dengan
informasi yang akan dipromosikan agar terlihat tepat dan menarik.
4. Desain. Merupakan tahap keempat dimana melakukan desain leaflet
yang berisi kalimat, gambar dan icon lainnya sesuai dengan judul.
5. Cetak leaflet. Merupakan langkah terakhir dimana mencetak desain
yang telah rampung dan disesuaikan dengan format dan desain yang
telah dibuat sehingga leaflet siap untuk dilakukan promosi
kesehatan.

3.4 Analisis
Berdasarkan data epidemiologi terdapat banyak pasien yang
mengalami penyakit diabetes melitus dan menggunakan insulin.
Dimana masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang
diabetes melitus dan cara penggunaan insulin yang dapat
membahayakan kesehatan pasien. Untuk mengoptimalkan
pengetahun dan pengobatan pasien maka dibuatlah leaflet edukasi
Diabetes Melitus sebagai media pelayanan informasi obat bagi
pasien untuk dapat membawa pulang sebagai informasi tambahan
jika pasien mengalami gejala lain atau lupa cara penggunaan insulin.

25
3.5 Hasil dan Pembahasan
3.5.1 Hasil
Hasil pembuatan leaflet sebagai media promosi kesehatan tentang
edukasi diabetes melitus dan cara penggunaan insulin yang tepat dapat
dilihat pada gambar II.2.

Gambar II.2 Leaflet Edukasi Diabetes Melitus


3.5.2 Pembahasan
i. Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus khususnya DM
tipe 2 terjadi akibat toleransi glukosa yang diakibatkan oleh sebelas
organ penting (egregious eleven), yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan,
fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat antidiabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, maglitinid, agonis glucagon-like peptide
(GLP-1) dn penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas. Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa di hati (hepatic glucose
production) dalam keadaan basal meningkat secara bermakna dibanding

26
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 receptor agonist (GLP-1
RA), penghambat DPP-4 dan amilin.
3. Sel lemak. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free
fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot,
sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
tiazolidinedion.
4. Otot. Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kerja insulin yang multiple
di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin,
sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar. Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja
melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak. Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obesitas baik DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 RA, amilin dan
bromokriptin.
7. Kolon/mikrobiota. Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon
berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti
berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebihan akan
berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai
mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibandingkan bila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek
inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagonlike polypeptide-1
(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada pasien DM tipe 2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kerja DPP-4 adalah
penghambat DPP-4. Selain itu, saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kerja enzim alfa glukosidase yang
akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap
oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Obat yang bekerja untuk menghambat kerja enzim alfa glukosidase adalah
acarbose.
9. Ginjal. Ginjal memfiltrasi sekitar 163-gram glukosa sehari. Dimana 90%
akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter -2
(SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% akan

27
diabsorbsi melalui peran enzim sodium glucose co-transporter -1 (SGLT-1)
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga tidak ada glukosa dalam urin.
Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi
peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
penghambatan SGLT-2 seperti dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin.
10. Lambung. Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi
kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan
percepatan pengosongan lambung dan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem imun. Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut
yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat
rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin (Perkeni, 2021).

Berdasarkan etiologi, penyakit diabetes melitus terbagi menjadi 4 yaitu:


1. Tipe 1. DM dimana terjadi destruksi sel beta pankreas, umumnya
berhubungan dengan defisiensi insulin absolut. Hal ini dikarenakan autoimun
dan idiopatik
2. Tipe 2. DM dimana penyebabnya bervariasi, mulai yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
3. Diabetes melitus gestasional. DM yang terjadi pada trimester kedua atau
ketiga kehamilan dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes
4. Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain. DM ini terjadi akibat
penyakit, penggunaan obat atau zat kimia (Perkeni, 2021).

Gejala penyakit diabetes melitus terbagi menjadi 2, yaitu gejala utama


berupa poliuria atau sering buang air kecil dengan volume banyak,
polidipsia atau haus yang berlebihan, dan polifagia atau sering lapar.
Namun, gejala lainnya meliputi berat badan turun drastis, luka sulit
sembuh, mudah mengantuk, mudah lelah, penglihatan hilang timbul, dan
gejala lainnya. Komplikasi penyakit diabetes melitus, meliputi:
1. Kerusakan jantung dan pembuluh darah
2. Kerusakan saraf
5. Kerusakan ginjal
6. Gangguan penglihatan
7. Disfungsi seksual
Seperti penyakit tidak menular lainnya, diabetes melitus memiliki faktor
resiko yang berkontribusi terhadap kejadian penyakit. Faktor resiko
diabetes terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak
dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah
ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus,
riwayat melahirkan bayi > 4.000 gram, riwayat lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR atau < 2.500 gram). Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi yaitu berat badan lebih, obesitas abdominal/sentral,
kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat atau

28
tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes ditandai dengan
toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dL) atau gula darah puasa
terganggu (GDPT < 140 mg/dL), dan merokok. Pada risksesdas 2018,
prevalensi diabetes melitus pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 1,78% terhadap 1,21%. Prevalensi
diabetes melitus menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya
umur penderita yang mencapai puncaknya pada umur 55-64 tahun dan
menurun setelah melewati rentang umur tersebut (P2PTM, 2020).
Upaya pencegahan dan pengendalian diabetes melitus di Indonesia
dilakukan agar individu yang sehat tetap sehat, orang yang sedang
memiliki faktor resiko dapat mengendalikan faktor resiko, dan orang
yang sudah menderita diabetes melitus dapat mengendalikan penyakitnya
agar tidak terjadi komplikasi atau kematian dini. Upaya pencegahan dan
pengendalian diabetes dilakukan melalui edukasi, deteksi dini faktor
resiko PTM, dan tatalaksana sesuai standar. Individu dengan riwayat
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa (GDP)
terganggu atau kelompok pre-diabetes seharusnya lebih mawas diri dan
perlu untuk menerapkan pola hidup sehat dengan memperhatikan asupan
makan dan minumnya, serta teratur untuk melakukan aktivitas fisik
sehingga kondisi ini tidak berlanjut menjadi diabetes melitus. Beberapa
hal yang dilakukan dalam pengendalian diabetes melitus sebagai berikut:
1. Pengatur pola makan.
Pengaturan pola makan menyesuaikan dengan kebutuhan kalori yang
dibutuhkan oleh penyandang diabetes melitus, dikombinasikan juga dengan
aktivitas fisik hariannya sehingga tercukupi dengan baik. Pengaturan meliputi
kandungan, kuantitas dan waktu asupan makanan (3 J- Jenis, Jumlah, Jadwal)
agar penyandang DM memiliki berat badan yang ideal dan gula darah dapat
terkontrol dengan baik.
2. Aktivitas fisik.
Aktivitas fisik menyesuaikan dengan kemampuan tubuh, dikombinasikan
juga dengan asupan makan. Aktivitas fisik dilakukan dengan durasi minimal
30 menit/hari atau 150 menit/minggu dengan intensitas sedang (50-70%
maximum heart rate). Target dari kegiatan ini berupa kepatuhan para
penyandang diabetes melitus untuk melakukan latihan fisik secara teratur
sehingga tercapai berat badan ideal dengan gula darah dapat terkontrol
dengan baik
3. Pelibatan peran keluarga.
Keterlibatan keluarga untuk mendorong penyandang diabetes untuk
patuh minum obat, berperilaku hidup sehat, atau memodifikasi gaya hidupnya
menjadi lebih sehat juga menjadi kunci keberhasilan penyandang diabetes
melitus untuk mengendalikan penyakitnya.
4. Tatalaksanan/terapi farmakologi.
Tatalaksana/terapi farmakologi harus mengikuti anjuran dari dokter. Selain
itu, penting bagi penyandang diabetes melitus untuk memantau kadar gula
darah secara berkala. Paling tidak setiap 6 bulan sekali penyandang diabetes
dinilai/ dievaluasi pengobatan dan gaya hidupnya untuk mengontrol
kepatuhan penyandang diabetes terhadap modifikasi gaya hidup. Dengan
penilaian ini diharapkan penyandang diabetes melitus menjadi lebih sehat

29
serta mematuhi tatalaksana farmakologi sehingga penyakitnya lebih
terkontrol dan terkendali (P2PTM, 2020).

Prinsip penatalaksanaan DM tipe 1 bertujuan untuk menggantikan insulin


yang tidak lagi diproduksi dari dalam tubuh. Pasien dengan DM tipe 1
hanya dapat diterapi dengan insulin. Adapun Prinsip penatalaksanaan DM
tipe 2 didasarkan pada pemilihan dan penggunaan obat
mempertimbangkan faktor pembiayaan, ketersediaan obat, efektifitas,
manfaat kardiorenal, efek samping, berat badan, serta pilihan pasien.
Algoritma pengelolaan DM tipe 2 dapat dilihat pada gambar II.5
(Perkeni, 2021).

Gambar II.4. Algoritma pengobatan DM tipe 2

Berdasarkan gambar II.4 dapat dijelaskan bahwa untuk pasien DM tipe 2


dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka pengobatan dimulai dengan
modifikasi gaya hidup sehat dengan monoterapi oral. Sedangkan untuk
pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% atau pasien yang
sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa
mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam
obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang
memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap
metformin, maka diberikan obat lain. Kombinasi 3 obat perlu diberikan
bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3 bulan tidak tercapai target
HbA1c < 7%. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun
tanpa disertai dengan gejala dekopensasi metabolik atau penurunan berat
badan dengan cepat, maka dapat diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat,
yang terdiri dari metformin ditambah obat dari lini ke 2. Untuk pasien
dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala dekompensasi
metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat hipoglikemik
lainnya. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau
tanpa insulin, namun tidak tercapai target HbA1c < 7% selama minimal 3
bulan pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi
intensifikasi insulin. Serta jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat
dilakukan, maka keputusan pemberian terapi dapat menggunakan
pemeriksaan glukosa darah (Perkeni, 2021).

Pertimbangan pemilihan obat monoterapi obat anti hiperglikemia oral


(Perkeni,2021)

30
1. Metformin dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada sebagian besar
pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan efektivitas relatif baik, efek samping
hipoglikemianya rendah, netral terhadap peningkatan berat badan,
memperbaiki luaran kardiovaskular, dan harganya murah. Jika terjadi alergi
metformin maka dapat diberikan obat lain sesuai dengan keadaan pasien dan
ketersediaan.
2. Sulfonilurea dapat dipilih sebagai obat pertama jika ada keterbatasan biaya,
obat tersedia di fasilitas kesehatan dan pasien tidak rentan terhadap
hipoglikemia
3. Acarbose dapat digunakan sebagai alternatif untuk lini pertama jika terdapat
peningkatan kadar glukosa prandial yang lebih tinggi dibandingkan kadar
glukosa puasa.
4. Thiazolidinedione dapat juga dipilih sebagai pilihan pertama, namun harus
mempertimbangkan risiko peningkatan berat badan. Pemberian obat ini harus
diperhatikan pada pasien gagal jantung karena dapat menyebabkan retensi
cairan. Obat ini terbatas ketersediaannya, terutama di fasilitas kesehatan
tingkat pertama.
5. Penghambat DPP-4 dapat digunakan sebagai obat pilihan pada lini pertama
karena risiko hipoglikemiannya rendah dan bersifat netral terhadap berat
badan. Pemilihan obat ini tetap dipertimbangkan ketersediaan dan harga
6. Penghambat SGLT-2 merupakan pilihan pertama pasien dengan PKVAS
(Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik), gagal jantung atau penyakit ginjal
kronik. Pemilihan obat ini harus mempertimbangkan ketersediaan dan harga.
7. Obat GLP-1 RA merupakan pilihan pada pasien dengan PKVAS atau
memiliki
8. resiko tinggi untuk mengalami PKVAS atau penyakit ginjal kronik.
Pemilihan obat ini harus mempertimbangkan ketersediaan dan harga.
ii. Insulin
Insulin adalah hormon alami yang diproduksi oleh salah satu organ tubuh
kita, tepatnya pankreas. Saat anda sedang makan, pankreas akan
melepaskan hormon insulin untuk mengubah glukosa menjadi energi,
kemudian disebarkan ke seluruh tubuh. Sehubungan dengan fungsinya
untuk mengendalikan kadar gula, insulin berkaitan erat dengan beberapa
masalah kesehatan. Pada individu normal, insulin disekresikan oleh sel
beta pankreas pada kondisi puasa/basal untuk mengendalikan kadar
glukosa darah basal. Insulin juga disekresikan saat makan (prandial)
untuk mengendalikan kadar glukosa darah sesudah makan. Tujuan terapi
insulin adalah meniru pola sekresi insulin endogen pada individu normal.
pada penderita DM, subtitusi insulin basal bertujuan untuk
mengendalikan kadar glukosa darah basal, subtitusi insulin prandial
bertujuan untuk mengendalikan kadar glukosa darah post- prandial
(Perkeni, 2021).
Insulin digunakan pada keadaan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% dan sudah
menggunakan satu atau dua obat antidiabetes, HbA1c saat diperiksa > 9%,
Penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis,
krisis hiperglikemia, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres
berat (infeksi iskemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke),
kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

31
perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,
kontraindikasi atau alergi terhadap OHO, dan kondisi perioperatif sesuai
dengan indikasi (Perkeni, 2021).
Terdapat berbagai ketersediaan insulin di Indonesia, yang dapat
dikelompokkan berdasarkan 3 hal yaitu fungsi insulin terhadap kontrol
glukosa darah, jenis bahan pembuat insulin, dan profil farmakokinetik
(Gambar II.5) (Perkeni, 2021).
1. Karakteristik insulin berdasarkan fungsi kontrol glukosa darah
a. Insulin prandial. Insulin yang berfungsi untuk mengontrol kenaikan
kadar glukosa darah setelah makan (post prandial). Insulin prandial
diberikan sebelum makan (pre-meal). Jenis insulin yang tergolong dalam
kategori ini adalah insulin yang memiliki lama kerja pendek atau cepat.
b. Insulin basal. Insulin basal dapat diberikan sebanyak satu atau dua laki
sehari, diantara waktu makan malam dan tengah malam dengan
menyesuaikan produksi glukosa hepatik endogen. Berdasarkan profil
farmakokinetiknya, insulin yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
insulin kerja menengah atau lama.
2. Karakteristik insulin berdasarkan jenis insulin
a. Human insulin
b. Insulin analog
c. Insulin biosimilar
3. Karakteristik insulin berdasarkan lama kerja
a. Insulin kerja pendek/cepat. Lama kerja 4-8 jam, digunakan untuk
mengendalikan glukosa darah sesudah makan, dan diberikan sesaat
sebelum makan
b. Insulin kerja menengah. Lama kerja 8-12 jam, diabsorbsi lebih lambat, dan
meniru pola sekresi insulin endogen (insulin basal). Digunakan untuk
mengendalikan glukosa darah puasa (saat tidak makan/puasa).
c. Insulin kerja panjang. Lama kerja 12-24 jam, diabsorbsi lebih lambat,
mengendalikan glukosa darah puasa. Digunakan 1 kali (malam hari
sebelum tidur) atau 2 kali (pagi dan malam hari).
d. Untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu, juga tersedia insulin campur
(premixed), yang merupakan campuran antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah (human insulin) atau insulin kerja cepat dan kerja
menengah (insulin analog). Insulin campur tersedia dalam perbandingan
tetap (fixed-does ratio) antara insulin kerja pendek atau cepat dan
menengah.

32
Gambar II.4. Pola farmakokinetik berbagai jenis insulin

Indikasi insulin (Perkeni, 2021)


1. Indikasi absolut
a. Diabetes melitus tipe 1
b. Diabetes gestasional yang tidak terkontrol.
2. Indikasi temporer
a. Gagal mencapai sasaran dengan penggunaan kombinasi obat
antihiprglikemia oral dosis optimal selama 3-6 bulan
b. Dekompensasi metabolik, yang ditandai antara lain dengan gejala klasik
diabetes (polidipsia, poliuria, polifagia) dan penurunan berat badan disertai
glukosa darah puasa (GDP) ≥ 250 mg/dL atau glukosa darah sewaktu
(GDS) > 300 mg/dL atau HbA1c > 9%, dan/atau sudah mendapatkan
terapi obat antihiprglikemia oral.
c. Terapi steroid dosis tinggi yang menyebabkan glukosa darah tidak
terkendali. Pemberian steroid dapat mengubah karbohidrat melalui
mekanisme kompleks termasuk efek fungsi sel beta dan menginduksi
resistensi insulin dengan mempengaruhi reseptor insulin pada hati, otot,
dan jaringan adiposa sehingga menyebabkan hiperglikemia pada individu
dengan faktor resiko
d. Perencanaan operasi yang kadar glukosa darahnya perlu segera
diturunkan
e. Beberapa kondisi tertentu yang dapat memerlukan pemakaian insulin,
seperti infeksi tuberkulosis, penyakit hati kronik, dan gangguan fungsi
ginjal. Pada gangguan ginja resistensi insulin dan hiperinsulinemia dapat
mempengaruhi pencapaian sasaran kendali glikemik pada pasien gagal
ginjal. Terapi insulin intensif merupakan pilihan adekuat untuk
memperbaiki kendali glikemik pada gagal ginjal kronik (GGK) meskipun
mungkin akan meningkatkan risiko hipoglikemia, sehingga pada gangguan
ginjal direkomendasikan pemberian insulin kerja pendek. Pada gangguan
hati, Insulin merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan penyakit
hati menahun seperti sirosis atau hepatitis kronik. Sebaiknya digunakan
insulin kerja pendek karena durasi aksinya pada penyakit hati
kemungkinan bervariasi. Hanya dapat diberikan human insulin karena
antibodi insulin terperangkap oleh sel-sel kuffer dan hal ini dapat
menginduksi reaksi inflamasi lebih lanjut.

Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat pengaruh pelayanan


informasi obat terhadap kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes
melitus. Pelayanan informasi obat dapat meningkatkan pengetahuan
pasien baik tentang penyakit maupun cara penggunaan obat diabetes
khususnya insulin yang hasilnya dapat meningkatkan keberhasilan terapi
pada pasien diabetes melitus agar gula darah yang stabil serta mencegah
terjadinya komplikasi karena diabetes melitus (Rahmatullah, dkk., 2020).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arifin dkk., 2020 bahwa
keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus tipe 2 usia lanjut tidak
sepenuhnya bergantung pada pelayanan informasi obat, akan tetapi
banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi. Faktor-faktor

33
yang mempengaruhi keberhasilan terapi penderita penyakit DM tipe 2
yaitu karakteristik individu
meliputi tingkat pendidikan dan status ekonomi serta gaya hidup, edukasi
dan pelatihan yang intensif tentang pengetahuan dan praktek DM,
kegiatan jasmani dan kebiasaan olahraga, pola diet dan perencanaan
makan serta kepatuhan penderita penyakit DM tipe 2 dalam
penanganannya. Sehingga pada tugas khusus ini kami membuat
pelayanan informasi obat cara penggunaan insulin yang tepat dan juga
promosi kesehatan tentang penyakit diabetes melitus guna pasien dapat
mengetahui penyakit dan cara penggunaan obat yang tepat sehingga
diharapkan dapat mencapai tujuan terapi yakni kadar glukosa darah yang
terkontrol dan dapat beraktivitas normal.
Pemberian pendidikan kesehatan, dapat meningkatkan pengetahuan dan
bila pengetahuan memadai, hal ini dapat mempengaruhi perilaku
kesehatan seseorang. Sebelumnya penelitian untuk mengedukasi
responden melalui pesan singkat (SMS) juga telah berhasil meningkatkan
kepatuhan pasien, terkait kepedulian terhadap kesehatan, mengendalikan
diet, melakukan aktivitas fisik, gaya hidup dan mengendalikan berat
badan. Hasilnya dari 171 pasien yang dibagi dalam dua kelompok,
intervensi dan kontrol, hasilnya terjadi perubahan perilaku pada
kelompok intervensi menjadi lebih baik. Pelayanan informasi obat/
konseling dimana leaflet sebagai media promosi kesehatan merupakan
bentuk pendidikan kesehatan yang dianggap penting untuk dilakukan
sebagai seorang Apoteker. Kegiatan meningkatkan pengetahuan kepada
penderita penyakit kronis, seperti diabetes sangat perlu dilakukan, sebab
kelompok ini harus melakukan terapi dalam jangka panjang (Simamora,
dkk., 2021).
3.6 Kesimpulan
Kesimpulan dari tugas khusus ini adalah pembuatan leaflet sebagai
promosi kesehatan dan layanan informasi obat memiliki banyak manfaat,
diantaranya dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada
masyarakat tentang edukasi diabetes melitus yang dapat meningkatkan
kualitas hidup dan tujuan terapi penyakit yang belum banyak diketahui
oleh masyarakat luas.

34
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, A. (2014). Promosi Kesehatan. Deepublish: Yogyakarta.
Anggriani, Y., Alfina, R., Annisa, N.P., Sondang, K. (2018). Evaluasi Biaya
Pengobatan Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Dengan
Terapi Insulin Di RSUP X di Jakarta Periode Januari 2016-Desember 2017.
Pharmaceutical Journal of Indonesia, 4(2).
Arifin, H., Widya, K., Hafizah. (2020). Studi Cross Sectional Pelayanan
Informasi Obat Diabetes Melitus Tipe 2 Terhadap Keberhasilan Terapi
Pasien Usia Lanjut Di Rawatan Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Farmasi Higea, 12 (1).
Hartayu, T.S., Aris, W., dan Yosef, W. (2013). Peningkatan Pelayanan Informasi
Obat bagi Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 2 (3).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 tentang Tempat
Pelayanan Kesehatan dan Persyaratan Klasifikasinya. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pelayanan
Kefarmasian di Fasilitas Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2019 tentang Petunjuk
Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Nurdiana, R. (2022). Expert Pharmacist Edisi 8. Belajar Obat.
P2PTM, 2020. Infodating Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Perkeni, 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia. PB. PERKENI. Jakarta.
Perkeni, 2021. Pedoman Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien
Diabetes Melitus. PB. PERKENI. Jakarta.
Retaningsih, V. dan Firmina T.K. (2022). Peningkatan Kualitas Hidup Pasien
DM Dengan Menjaga Kadar Gula Darah. IKARS, 1(2).
Simamora, S., Sarmadi, Mona, R. R., dan Ferawati, S. (2021). Peduli
Penggunaan Insulin. Junal Pengabdian Kepada Masyarakat. 5(3).

35
Lampiran 1

36
Lampiran 2

37
38

Anda mungkin juga menyukai