Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

KEGAWATDARURATAN DERMATOLOGI

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:
Ahmad Musafi H. G4A019028
Dewi Itika Basuki G4A019048
Mahendra Aulia R. G4A019051
Citra Kharisma Z. G4A019055

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
KEGAWATDARURATAN DERMATOLOGI

Disusun Oleh:
Ahmad Musafi H. G4A019028
Dewi Itika Basuki G4A019048
Mahendra Aulia R. G4A019051
Citra Kharisma Z. G4A019055

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.

Purwokerto, Juni 2020


Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
A. NEKROLISIS EPIDERMAL (SINDROM STEVENS-JOHNSON / SSJ
DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK / NET)...................................3
B. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME (S4)...........................9
C. ERITRODERMA.........................................................................................13
D. PEMFIGUS VULGARIS.............................................................................21
BAB III KESIMPULAN......................................................................................26
Daftar Pustaka........................................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun


sekelompok orangpada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan
penyakit secara mendadak, kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini
membutuhkan pertolongan segera dapatberupa pertolongan pertama sampai pada
pertolongan selanjutnya secara mantap di rumahsakit. Tindakan tersebut
dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah, dan membatasicacat serta
meringankan penderitaan penderita. Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh
orang-orang di sekitar korban. Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab
penanganan yang salah justru dapatberakibat kematian atau cacat tubuh.
Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita tibadi rumah sakit dapat
dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyaikompetensi
untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut (ATLS, 2010).
Tidak terkecuali pada penyakit kulit dapat juga terjadi kegawatdaruratan
yang dikenal dalam beberapa penyakit. Penyakit yang dianggap sebagai suatu
kasuskegawatdaruratan adalah kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan
yang cepat dantepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.Keadaan
dari pasien terus dipantau karena kemungkinan terjadi perburukan sangat besar.
Selain itu, tanda klini dari penyakit ini sangat luas dan bisa menimbulkan infeksi
sekunder pada pasien. Penyakit yang masuk dalam kategori kegawatdaruratan
dalam kulit adalah Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), Toxic Epidermal Nekrolisis
(TEN), Eritroderma, Pemfigus vulgaris, dan Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (S4). Kelima penyakit tersebut mempunyai mortalitas > 10% dan
mempunyai manifestasi lesi terbuka pada bagian kulit luar. Untuk SSJ, NET, dan
pemphigus memiliki kaitan erat dengan penyakit autoimon. Eritroderma berkaitan
dengan reaksi alergi dan bisa juga perluasan dari dermatitis, sedangkan S4
merupakan salah satu kegawatan akibat infesi bakteri Staphylococcus
aureusakibat sistem imun yang tidak sempurna atau terjadi imunokompresi (Rifai,
2017).

1
Penanganan dari kegawatdaruratan penyakit ini menjadi sangat penting
untuk menghindari ancama jiwa dan kecacatan akibat penyakit ini. Resusitasi
cairan dan perbaikan keadaan umum harus dilakukan pada setiap pasien dengan
keluhan serupa. Penatalaksanaan secara spesifik dari pasien dilakukan pada
tingkat lanjut dan perlu adanya rawat inap untuk pemantauan berkala
(PERDOSKI, 2017).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. NEKROLISIS EPIDERMAL (SINDROM STEVENS-JOHNSON / SSJ


DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK / NET)
1. Definisi
Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). Nekrolisis epidermal adalah
reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa,ditandai dengan nekrosis
dan pelepasan epidermis yang ekstensif. Kedua penyakit ini merupakan
kelainan kulit berat ditandai oleh bula di kulit bersifat akut dan erosi
membran mukosa (Harr dan French, 2010). Kedua kondisi ini
digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, karena
adanya kesamaan temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan
terdapatpada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area
permukaan kulit yangterkena(Allanore dan Roujeau, 2012).
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan kumpulan gejala
klinis yang ditandai oleh triaskelainan pada kulit, mukosa orifisium (oral,
konjungtiva dan anogenital), serta mata disertai olehgejala umum yang
berat.Penyakit ini mempunyai banyak sinonim, diantaranya sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-
okular,dan dermatostomatitis. SSJ merupakan bentuk kegawatdaruratan
dengan angka kematian dan kejadian kecacatanyang cukup tinggi
(Witarini, 2019).
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) ialah reaksi mukokutan akut
yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis >30% luas
permukaan badan (LPB), disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan
kematian (Anggraini dan Sulistyo, 2017). Nekrolisis epidermal
diklasifikasikan menjadi SSJ, SSJ overlap NET, dan NET dibedakan dari
luas permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Pada SSJ, hanya
terdapat epidermolisis sebesar <10% LPB, sedangkan SSJ overlap NET
sebesar 10-30% LPB (Rahmawati dan Indramaya, 2016).

3
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi SSJ dan NET belum diketahui secara pasti. Nekrosis
epidermolitik merupakan reaksi hipersensitivitas yg dimediasi oleh reaksi
sitotoksik dan kompleks imun. Penyakit ini juga dikaitkan dengan
kerentanan genetik HLA-B1502. Etiologi SSJ dan NET disebabkan oleh
beberapa faktor. Beberapa faktor penyebab diantaranya (Harr dan
French, 2010):
a. Obat : antibiotik golongan penisilin, sulfonamid, sefalosporin,
antikonvulsan, NSAIDs, alopurinol, ARV.
b. Infeksi
1) Virus : Herpes simplex, mycoplasma pneumonia,
2) Jamur : Koksidioidomikosis, Histoplasma
3) Bakteri :Streptococcus sp., Staphylococcus haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonela sp.
4) Parasit : Plasmodium sp.
c. Keganasan
d. Idiopatik
Sebagian besar kasus SSJ (74%-94% kasus) berkaitan dengan
respon imun terhadap obat. Keterlibatan kausal ditujukan terhadap obat
yang diberikan sebelum masa awitan gejala klinis yang dicurigai (dapat
sampai 21 hari). Bila obat yang diberikan lebih darisatu macam maka
semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Faktor
fisik, seperti udara dingin, sinar matahari, sinar X berperan sebagai
pencetus (Subanda et al., 2013).
3. Penegakan Diagnosis
a. Klinis
Penegakan diagnosis secara klinis didapatkan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Anamnesis penting untuk mengidentifikasi
penyebab. Penyebab terpenting adalah penggunaan obat. Beberapa hal
yang perlu ditanyakan kepada pasien selain secret seven dan
fundamental four adalah pertama, riwayat penggunaan obat sistemik
(jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, urutan

4
pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi,
eskoriasi, ulkus) atau mukosa. Kedua, jangka waktu dari pemberian
obat sampai timbul kelainan kulit (segera, beberapa saat atau jam atau
hari atau hingga 8 minggu) (Creamer et al., 2016). Ketiga,
mengidentifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma
pneumoniae virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang
belakang (Allanore dan Roujeau, 2012).
Pemeriksaan fisik dari SSJ dan NET ditandai dengan
keterlibatan kulit dan membran mukosa. Kelainan kulit yang
ditemukan yaitu berupa eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Saat dilakukan tes
tanda Nikolsky hasilnya positif. Kelainan mukosa (setidaknya pada
dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada
mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis
kataralis, purulenta, atau ulkus (Allanore dan Roujeau, 2012).
Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup
pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa
erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan) (Harr dan French,
2010). Gejala ekstrakutaneus, seperti demam, nyeri dan lemah badan,
keterlibatan organ dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi
sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta
komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena,
atau perforasi kolon. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET
berdasarkan luas area epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu:
SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-30%), dan
NET (>30%) (Creamer et al., 2016).
b. Diagnosis banding
1) Eritema multiforme major (EEM)
2) Pemfigus vulgaris
3) Mucous membrane pemphigoid
4) Pemfigoid bulosa
5) Pemfigus paraneoplastik

5
6) Bullous lupus erythematosus
7) Linear IgA dermatosis
8) Generalized bullous fixed drug eruption
9) Bullous acute graft-versus-host disease
10) Staphylococcal scalded skin syndrome
11) Acute generalized exanthematous pustulosis (PERDOSKI, 2017).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan
diagnosis, tetapiuntuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana
keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
hematologi rutin, urea serum, analisisgas darah, dan gula darah
sewaktu.Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada
fase akut untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
sekunder.Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis
meragukan.Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu
setelah lesi kulit hilangdengan (PERDOSKI, 2017) :
1) Uji tempel tertutup
2) Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation
assays (LPA) dapat digunakan secara retrospektif untuk
menentukan obat yang diduga menjadi pencetus.
4. Tatalaksana
a. Nonmedikamentosa
1) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2) Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti aspirasi
bula, kompres dan mencegah infeksi sekunder. Bila terdapat
jaringan nekrotik debridement kemudian diberikan dressing
berbasis kolagen/madu.
3) Perhatian khusus untuk jalan napas, stabilitas hemodinamik, dan
manajemen nyeri
4) Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupunnasogastrik (Rajaratnam et al., 2010).

6
b. Medikamentosa
Prinsip penatalaksanaan medikamentosa SSJ dan NET
diantaranya adalah pertama, menghentikan obat yang dicurigai
sebagai pencetus. Kedua, pasien dirawat (sebaiknya dirawat di
ruangan intensif) dan dimonitor ketatuntuk mencegah Hospital
Associated Infections (HAIs). Ketiga, segera mengatasi keadaan yang
mengancam jiwa (Magana et al., 2011).
Idealnya pasien nekrosis epidermolitik ini dilakukan perawatan
di ICU atau unit luka bakar. Ruang isolasi dijaga agar tetap steril dan
hangat. Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih
banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.
Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun pembedahan
(debrideman). Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel
petroleum dengan 50% cairan parafin. Keterlibatan mata harus
ditangani oleh dokter spesialis mata (Rajaratnam et al., 2010).
Terapisistemik SSJ dan NET menggunakan kortikosteroid.
Penggunaan korikosteroid ini masih kontroversial. Dampak posif dari
pemberian kortikosteroid adalah menekan proses nekrolisis kulit dan
organ antiapoptosis pada keratinosit. Sedangkan dampak negatifnya
adalah provokasi penyembuhan luka yang lama, meningkatkan risiko
infeksi, menutupi tanda-tanda awal sepsis, provokasi perdarahan
gastrointestinal, dan meningkatkan mortalitas. Di Indonesia,tetap
menggunakan korikosteroid dengan alasan lebih baik diberikan
daripada hanya terapi suportif saja (Rahmawati dan Indramaya, 2016).
Kortikosteroid sistemik yang digunakan deksametason intravena
dengan dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4
mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk NET
(PERDOSKI, 2017).
Terapi pilihan lain yang dapat digunakan adalah Intravenous
immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan segera setelah
pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3hari.
Siklosporin juga dapat diberikan. Kombinasi IVIg dengan

7
kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu penyembuhan,
tetapi tidak menurunkan angka mortalitas. Analgesik dapat diberikan,
jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, danjika nyeri berat
dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol. Antibiotik
sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi (PERDOSKI, 2017).
5. Prognosis
Ditentukan berdasarkan SCORTEN, yaitu suatu perhitungan untuk
memperkirakanmortalitas pasien dengan nekrolisis epidermal. Masing-
masing dinilai 1 dan setelahdijumlahkan mengarah pada prognosis angka
mortalitas penyakit (Ye et al., 2016).
a. Usia >40 tahun
b. Denyut jantung >120 kali/menit
c. Ada keganasan
d. Luas epidermolisis >10% luas permukaan tubuh
e. Serum urea >28 mg/dL
f. Glukosa >252 mg/dL
g. Bikarbonat <20 mmol/L
Nilai SCORTEN akan menentukan persentase angka mortalitas
pada pasien SSJ atau NET, yaitu sebagai berikut:
0-1: 3,2%
2 : 12,1%
3 : 35,8%
4 : 58,3%
5 : 90%
Penilaian SCORTEN, paling baik dilakukan pada 24 jam pertama dan
hari ke-5 (Creamer, 2016).
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

8
B. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME (S4)
1. Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (S4) merupakan salah satu
infeksi kulit utama. Pada infeksi ini, permukaan kulit dari sebagian besar
tubuh terkelupas dan terlihat seperti kulit yang terbakar oleh cairan panas
(Mishra et al., 2016). SSSS juga disebut sebagai penyakit Ritter von
Ritterschein, penyakit Ritter, penyakit Lyell dan nekrolisis stafilokokus
epidermis. Penyakit ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir, memiliki
lepuh yang luar biasa pada permukaan kulit yang dangkal yang
disebabkan oleh racun eksfoliatif yang dilepaskan dari Staphylococcus
aureus (Conway et al., 2012).
2. Etiologi
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin
eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang
dihasilkandari strain toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup
2). Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab
sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul
di antara desmosom dikenali sebagai desmogleindan kemudiannya
memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh. Toksin eksfoliatif memiliki
target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein
transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis
(Luk, 2002).
3. Faktor Risiko
a. Imunitas yang lemah
Balita dan anak-anak masih memiliki daya tahan tubuh yang
cukup lemah sehingga rentan sekali terkena infeksi. 
b. Infeksi berulang
Infeksi bakteri berulang yang terletak di organ lainnya dapat
berdampak pada terjadinya infeksi kulit seperti pada
penyakit Staphylococcal Scalded Skin Syndrome 
c. Gagal ginjal kronik

9
4. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur
mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi (Luk, 2002). Pada
umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran
nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul
mendadak pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak yang kemudian
meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan membran mukosa dengan
Nikolsky’s sign positif (Gambar.4) dan nyeri tekan. Dalam waktu 24-48
jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang selanjutnya
akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-
lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang mirip dengan
kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatrik (Wolff
et al., 2011).

Gambar 1. Nikolsky’s sign positif pada penderita S4


Pemeriksaan kultur bula yang intak pada S4 biasanya steril (tidak
ditemukan Staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis
penyebaran toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh.
Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan
gram menunjukkan adanya Staphylococcus (Morgan, 2007).
Gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis
antara stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada

10
stratum granulosum dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan
pada lesi awal, pada tahap deskuamasi tampak epidermis yang utuh
dengan celah pada stratum korneum (Gambar.2). Beberapa limfosit
mengelilingi pembuluh darah superficial. Dua ET (ETA dan ETB) dapat
dilihat pada imunofluoresensi, dimana ET berikatan dengan granula-
granula keratohialin (Travers and Mousdicas, 2008).

Gambar 2. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada


epidermis superfisial.
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa
merupakan penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada
impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur
bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara
hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada
bagian tempat terjauh (Travers and Mousdicas, 2008).
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari nekrolisis
epidermal toksik (NET) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan,
dimana S4 terjadi pada intraepidermal sedangkan NET menyebabkan
nekrosis pada seluruh lapisan epidermal (pada batas membran dasar).
Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan yang
lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa jika
dibandingkan dengan NET. Pada S4, hasil pemeriksaan preparat Tzanck
dari area lepuh yang dipecahkan akan didapatkan sejumlah sel epitel
dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak ditemukan sel-sel
inflamasi sedangkan NET hanya memiliki sel epitel yang sedikit dan

11
tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel inflamasi
(Travers and Mousdicas, 2008).
5. Tata Laksana
Terapi untuk S4 harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S.
aureus. Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian
antibiotik anti-staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat,
antibiotik oral dapat diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari.
Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada lesi SSSS,
menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan
ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat
berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang
meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya
pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk
membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis.
Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada
area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik
sistemik (Travers and Mousdicas, 2008).
a. Pengelupasan luas → unit luka bakar
b. Rehidrasi dan evaluasi kesimbangan cairan & elektrolit
c. Perawatan luka ~ luka bakar
d. Antibiotik spektrum luas
Penisilin MRSA → Nafcillin, Oxacillin, Vancomycin,
Clindamycin
e. Jangan berikan steroid karena kontraindikasi pada S4.
6. Prognosis
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien S4 adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang
sering terjadi berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus S4
pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih
rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-
60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan
peningkatan kejadian sepsis.

12
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
Jika segera diobati, angka mortalitas dapat diturunkan. Tapi pada
orang dewasa, angka mortalitas tinggi (40-63%), kemungkinan karena
komorbiditas yang mendasari. Kelainan kulit sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut.

C. ERITRODERMA
1. Definisi
Eritroderma merupakan penyakit sekunder pada kulit yang
termasuk dalam kelompok papulosquamous eruption, dengan
karakteristik eritema dan skuama pada lebih dari 90% area permukaan
tubuh. Eritroderma disebut juga exfoliative dermatitis, walaupun bentuk
eksfoliatif pada eritroderma ini skuamanya ringan (Oktarlina dan
Suryani, 2017; Barboza et al., 2018).
2. Etiologi
Eritroderma paling sering disebabkan oleh perluasan dari penyakit
kulit dengan frekuensi kejadian terbanyak adalah psoriasis (25-50%)
(Barboza et al., 2018). Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat
dibagikan dalam 2 kelompok (Djuanda et al., 2017) :
a. Eritroderma eksfoliativa primer
Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan
ini eritroderma iksioformis konginetalis dan eritroderma
eksfoliativa neonatorum dengan rata-rata kejadian kasus antara
0-5%.
b. Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma eksfoliativa sekunder adalah yang paling
sering terjadi dan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1) Eritroderma akibat alergi obat
Eritroderma akibat alergi obat terjadi sebanyak (11,3 –
21,6%) (Barboza et al., 2018). Obat yang paling sering

13
menyebabkan eritroderma adalah obat golongan Calcium
Channel Blocker, antiepilepsi, antimikroba (sefalosporin,
golongan penisilin, sulfonamid, vankomisin), alopurinol,
golongan lithium, quinidine, simetidin, Non Steroid
Antiinflamation Drugs (NSAID), dan dapson (Asrawati et
al., 2013; Deepika et al., 2015). Golongan obat lain seperti
antimalaria, derivat pirazalon dan derivat hidantoin juga
dapat menyebabkan eritroderma (Deepika et al., 2015;
Maryam et al., 2015).
2) Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Eritroderma akibat penyakit kulit primer disebabkan
oleh ekzema, psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis
seborroik, dermatitis spongiotik, dermatitis bulosa, pityriasis
rubra, pemfigoid, pemfigus foliaceus, liken planus, scabies,
dan lain-lain (Oktarlina dan Suryani, 2017). Eritroderma pada
golongan ini paling banyak disebabkan oleh psoriasis (25-
50%), eczema (5,12 – 25,3%), dan dermatitis (4,76 – 23,9%)
(Barboza et al., 2018).
3) Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Eritroderma akibat penyakit sistemik dapat disebabkan
oleh hepatitis dan HIV (Oktarlina dan Suryani, 2017).
Eritroderma akibat keganasan paling banyak disebabkan oleh
keganasan pada system hamatologi dan cutaneous T-cell
lymphoma (CTCL) dengan angka kejadian sebanyak 25-40%.
Mycosis fungoides dan sindrom Sezary adalah penyebab
terbanyak pada kasus CTCL (Barboza et al., 2018).
3. Faktor Risiko
Tidak ada faktor risiko spesifik yang dapat menyebabkan
eritroderma. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, eritroderma banyak
terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 2:1 dan
umur rata-rata 40-60 tahun (Khaled et al., 2010).

14
4. Penegakan Diagnosis
a. Gambaran klinis
Gambaran klinis meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan. Eritroderma
secara umum terjadi secara tiba-tiba sebagai akibat dari berbagai
etiologi seperti alergi obat sistemik, perluasan penyakit kulit, penyakit
sistemik ataupun keganasan limfoma. Gambaran klinis eritroderma
secara umum meliputi (Shimizu, 2017):
1) Eritema di hampir seluruh tubuh/generalisata dengan atau tanpa
deskuamasi
2) Hipoalbuminemia akibat deskuamasi
3) Rasa sangat gatal pada area eritem
4) Akantosis (+), hiperkeratotik (+), dan fisura (+), jika eritroderma
juga terjadi pada palmar dan plantar
5) Rambut kepala rontok jika eritem terjadi di kulit kepala
6) Ridged nails
7) Kulit mengkilap
8) Kulit kering dan bersisik di hampir seluruh tubuh
9) Hiperpigmentasi pada area dengan erupsi kronik
10) Dapat disertai dengan demam, menggigil, dan malaise
11) Ektropion
Gambaran klinis eritroderma berdasarkan etiologi :
1) Eritroderma akibat alergi obat sistemik
Rentang waktu masuknya obat ke dalam tubuh hingga
timbulnya eritroderma bervariasi dari segera sampai 2 minggu.
Alergi pada umumnya timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Jika
pasien mengonsumsi banyak obat, maka agen yang disangka
sebagai penyebabnya adalah obat yang paling sering menyebabkan
alergi. Diawali dengan kulit kemerahan di hampir seluruh tubuh
tanpa disertai skuama. Skuama akan muncul pada fase
penyembuhan (Djuanda et al., 2017). Pasien biasanya datang
dengan kulit bersisik dengan eksfoliasi yang diawali oleh erupsi

15
morbiliformis, edema wajah, dan gatal pada area eritematosa
(Barboza et al., 2018).

Gambar 3. Eritroderma Akibat Alergi Obat Sistemik (Wolff et al.,


2011).
2) Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
a) Psoriasis
Eritroderma akibat psoriasis dapat terjadi karena
perjalanan penyakit psoriasis atau karena terapi yang terlalu kuat
(Djuanda et al., 2017). Anamnesis pasien mengenai riwayat
psoriasis, mayoritas eritroderma terjadi pada penderita psoriasis
≥ 10 tahun; reaksi withdrawal sistemik/topikal terhadap
penggunaan kortikosteroid, metotreksat, atau siklosporin jangka
panjang (Barboza et al., 2018). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan eritema yang tidak merata. Area psoriasis
sebelumnya akan tampak plak yang lebih eritematosa dan
skuama yang lebih tebal. Palmoplantar keratoderma, pitting
nail, arthritis, dan seborrhoic dermatitis-like features dapat
ditemukan (Djuanda et al., 2017; Barboza et al., 2018).
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan seperti
dermoskopi dan biopsi untuk dilihat gambaran histopatologinya.
Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan adanya sisik berwarna
keputihan, pembuluh darah yang tampak seperti titik-titik
dengan latar belakang berwarna kemerahan yang tersusun
regular dan homogen (Errichetti et al., 2016). Gambaran

16
histopatologi menunjukkan gambaran epidermal hyperplasia
psoriasiformis dengan parakeratosis konfluen yang dilapisi
neutrofil, hipergranulosis, dan dilatasi pembuluh darah perifer,
mikroabses Munro, dan pustule spongiformis Kogoj (Wolff et
al., 2011).

Gambar 4. Eritroderma akibat Psoriasis (Wolff et al., 2011).


b) Ekzema
Eritroderma jenis ini banyak terjadi pada laki-laki dan
disebabkan oleh dermatitis atopik (paling sering), dermatitis
kontak, dan dermatitis seboroik. Pasien datang dengan gambaran
klinis berupa kulit edema eritematosa dan kulit bersisik di
seluruh tubuh. Gejala disertai dengan rasa gatal yang hebat,
kadang disertai limfadenopati terutama pada nnll. Inguinal.
Gejala sistemik berupa demam, dehidrasi, hipoalbuminemia, dan
infeksi oportunistik. Kulit atrofi, hiperpigmentasi, pityroid
scaling, dan kulit mengkilap muncul pada erupsi kronis
(Shimizu, 2017).
c) Dermatitis spongiotik
Eritroderma yang disebabkan oleh dermatitis spongiotik
memiliki gambaran klinis berupa kulit bersisik, likenifikasi (+),
gatal hebat, oozing skin¸kulit papul dan plak di atas kulit
eritematosa. Tanyakan riwayat dermatitis atopic, kontak, dan
seborroik pada pasien (Barboza et al., 2018). Pada pemeriksaan
dermoskopi ditemukan sisik/serokrusta kekuningan dan

17
pembuluh darah yang tampak seperti titik-titik yang terdistribusi
tidak merata (Errichetti et al., 2016). Gambaran histopatologi
menunjukkan adanya infiltrate eosinofil pada superfisial
perivaskular dermis diatas spongiosis (Wolff et al., 2011).
d) Pityriasis rubra
Eritroderma karena pityriasis rubra terjadi pada pasien
dengan usia 60 tahun. Predileksi lesi terutama di sefalokaudal.
Gambaran klinis berupa papul hiperkeratotik folikuler, islands
of sparing, palpoplantar keratoderma berwarna keoranan, dan
ektropion (Barboza et al., 2018). Pemeriksaan dermoskopi
menggambarkan adanya sisik putih, papul berwarna orange, dan
area kulit non-eritematosa (Errichetti et al., 2016). Gambaran
histopatologi menunjukkan adanya epidermal hyperplasia
dengan ortokeratosis horizontal dan vertical (Wolff et al., 2011).
e) Penyakit leiner
Penyakit leiner atau eritroderma deskuamativum
merupakan penyakit eritroderma yang belum diketahui secara
pasti etiologinya, namun sering disebabkan oleh dermatitis
seboroik yang meluas. Biasa terjadi pada pasien yang berusia 4
– 20 minggu. Pasien datang dengan keadaan umum baik dan
cenderung tanpa keluhan, namun terdapat kulit eritematosa
universal disertai skuama kasar (Djuanda et al., 2017).
3) Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan (CTCL)
a) Sindrom Sezary
Eritroderma oleh sindrom Sezary menyerang laki-laki
dengan rerata usia 64 tahun dan perempuan dengan rerata usia
53 tahun. Sindrom ini ditandai dengan kulit eritematosa yang
sangat cerah disertai skuama distribusi universal dan rasa gatal
di area eritematosa. Ditemukan splenomegali, limfadenopati
superficial, alopesia, hiperpigmentasi, palmoplantar
hyperkeratosis, dan kuku distrofik yang dapat terjadi pada 1/3 –
½ penderitanya. Pemeriksaan darah ditemukan leukositosis

18
dengan rerata 20.000/mm3 dnegan atau tanpa eosinofilia da
limfositosis. Ditemukan pula sel limfosit atipik yang disebut sel
Sezary yang memiliki inti homogeny, lobular, dan tidak teratur.
Pemeriksaan biopsi kulit menunjukkan adanya infiltrate di
dermis bagian atas yang disebut sel Sezary (Djuanda et al.,
2017).
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengetahui
etiologi dari eritroderma untuk keperluan terapi. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan seperti (Barboza et al., 2018) :
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Patch test, pemeriksaan ini dilakukan terutama pada eritroderma
akibat alergi obat yang tidak diketahui agen obat penyebabnya.
3) Dermoskopi
4) Pemeriksaan histopatologi
5) Biopsi kulit
c. Diagnosis banding
1) SSJ
2) TEN
3) S4
4) Pemfigus vulgaris
5) Dan lain-lain tergantung golongan eritroderma
5. Tata Laksana
Hal pertama yang harus dilakukan pada kegawatdaruratan
eritroderma adalah life support meliputi basic dan advanced life support.
Prinsip manajemen eritroderma, yaitu (Patrizi dan Venturi, 2015):
a. Menjaga kelembaban kulit
b. Mencegah garukan
c. Menghindari faktor pencetus/predisposisi
d. Pemberian steroid topikal
e. Mengobati penyakit yg mendasari.

19
Manajemen tata laksana dapat dilakukan secara
nonmedikamentosa, medikamentosa, dan monitoring sebagai berikut :
a. Nonmedikamentosa
Eritroderma akibat alergi obat sistemik, obat yang diduga
penyebab alergi harus segera dihentikan penggunaannya. Berikan
nutrisi tinggi karbohidrat tinggi protein (Djuanda et al., 2017).
b. Medikamentosa
1) Hidrasi dengan cairan kristaloid (NaCl)
Jika pasien dalam kondisi syok hipovolemik berikan NaCl
0,9% sebanyak 130-154 mmol/L dengan bolus 500 mL selama < 15
menit.
2) Pemberian steroid sistemik, kecuali pada eritroderma akibat
psoriasis karena dapat memperparah psoriasis.
3) Pemberian antihistamin untuk mengurangi refleks menggaruk dan
rasa gatal di hampir seluruh tubuh pasien.
4) Pertimbangkan pemberian antibiotic spectrum luas seperti
golongan penisilin pada pasien dengan tanda-tanda infeksi
sekunder.
5) Pertimbangkan pemberian albumin plasma (Patrizi dan Venturi,
2015).
c. Monitoring
Lakukan pengawasan ketat terhadap tanda vital, keseimbangan
cairan dan elektrolit, dan tanda-tanda infeksi sekunder (Shimizu,
2017).
6. Prognosis
Prognosis eritroderma berbeda-berbeda tergantung etiologinya.
Eritroderma akibat alergi obat memiliki prognosis ad vitam, ad
sanationam, dan ad fungsionam adalah dubia ad bonam. Eritroderma
akibat perluasan penyakit kulit tidak semua memiliki prognosis baik.
Eritroderma akibat keganasan memiliki prognosis terburuk diantara 3
kelompok eritroderma (Djuanda et al., 2017).

20
D. PEMFIGUS VULGARIS
1. Definisi
Pemfigus Vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis
yangbersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan
terbentuknya bulapada epidermis. Kata pemfigus diambil dari bahasa
Yunani, pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus
dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis. Istilah pemfigusberarti
kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa
dengankarakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal
disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan
secara imunopatologisadanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara
langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit (Lubis, 2008).
Akantolisis ini dapat terjadi karenakerusakan atau hilangnya adesi
intersel akibatautoantibodi IgG atau kadang-kadang autoantibodi IgA dan
IgM terutama terhadap desmoglein 3dapatjuga pada desmoglein 1
(Scully dan Challachombe, 2002). Hal ini menyebabkan pelepasan sel
epitel yang dikenaldengan akantolisis. Perluasan ulserasi yangdiikuti
ruptur pada lepuhan dapat menyebabkanrasa sakit, kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemfigus ini juga berpotensi mengancam jiwa karena dapat
melemahkan kondisi pasien jika penanganannya tidak adekuat. Lesi bisa
menjadi semakin luas dan menyebabkan kehilangan banyak cairan atau
dapat menyebabkan infeksi hingga sepsis (Rezegi et al., 2003).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab pasti dari pemphigus tidak diketahui sampai sekarang.
Faktor terjadinya karena pembentukan antibody IgG yang disebabkan
oleh factor potensial yaitu (Stanley, 2003):
a. Faktor genetik: molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II berhubungan dengan human leukocyte antigen
DR4 dan human leukocyte antigen DRw6
b. Pemfigus sering terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun
yang lain terutama pada Myasthenia Gravis dan Thymoma

21
c. Beberapa kasus konsumsi obat captopril dan D-penicillamine
dapat menginduksi pemphigus (kasus jarang)
d. Adapun factor risiko usia paruh baya – tua dapat meningkatkan
risiko dan kelainan autoimun yang dapat diturunkan
3. Penegakan Diagnosis
a. Klinis
Anamnesis pasien dengan curiga pemfigus vulgaris biasanya
didapatkan lesi awal berada pada mulut atau mukosa lainnya. Keluhan
luka dimulut yang menetap dan bertambah parah,terasa sangat sakit
hingga pasien tidak dapat makan dan berbicara. Rata – rata setelah 3
bulan keluhan di mulut atau mukosa terus menurus kemudian muncul
lesi yang timbul dikulit berupa lepuhan. Selain itu, umumnya keluhan
meningkat pada usia 40-60 tahun dan perjalanan klinis dapat berulang
hingga sering diperlukan terapi seumur hidup (Harman et al., 2003).
Pemeriksaan fisik pada pasien sering kali didapatkan pasien
mengalami keadaan umum yang buruk. Mukosa pada mulut
didapatkan hampir seluruh mukosa terdapat erosi multipel, mudah
berdarah (hemorrhagic area) dan ulserasi difus dengan tepi ireguler.
Lesi pada awalnya dapatberupa vesikel dan bula dengan ukuran lebih
besar dari 1 sentimeter yang mudah ruptur membentuk ulser dangkal
(Payne dan Stanley, 2012). Ulser dirasakan sangat sakit dan dapat
ditemui pada permukaan epitel, sepertirongga mulut, esofagus, laring,
faring, kulit,vagina, anus dan mata. Setelah itu, kulit akan
menimbulkan manifestasi dari pemfigus berupa bula yang lembek
(berdinding kendur) berisi cairan jernih pada kulit normal atau dengan
dasar eritematosus. Bula mudah pecah dan yang utuh jarang dijumpai
karena sifatnya yang mudah pecah. Bula yang pecah akan
menimbulkan erosi yang nyeri dan dapat meninggalkan krusta pada
sekitar lesi. Predileksi lesi pada kulit dari badan, umbilicus, kulit
kepala, wajah, ketiak, lipatan paha, dan daerah yang terkena tekanan
cukup sering kemudian lesi akan meluas. Pemeriksaan fisik Nikolsky
Sign pada bula aktif akan menjadi positif (Han dan Zeichner, 2009).

22
b. Diagnosis banding
1) Pemfigoid bulosa
2) Dermatitis hepertiformis
3) Lichen planus tipe erosif
4) Erythema multiforme
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang
berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Gambaran
histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan
keratinosit satudengan yang lain. Pemeriksaan histologi untuk
mengeleminasi diagnosis banding adalah Tzank test. Pemeriksaan
ini dapat melihat adanya akantolitik tetapi tidak ada gambaran sel
datia berinti banyak.
2) Pemeriksaan imunofluoresens
Pemeriksaan imunofluoresensi langsung berdasarkan sampel
yang diambil dari biopsi dan diwarnai dengan cairan fluoresens.
Pemeriksaan ini dinamakan direct immunofluorescence (DIF).
Pemeriksaan DIF memerlukan mikroskop khusus untuk dapat
melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnaidengan cairan
fluoresens. Pemeriksaan lain secara imunofluoresensi tidak
langsung dengan reaksi antibodi terhadap keratinosit dideteksi
melalui serum pasien.
3) Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan ini berdasarkan kadar IgG di dalam serum
meningkat-titer IgG autoantibodi terhadap desmoglein 3. Hal ini
biasanya berkorelasi dengan aktivitas penyakit; oleh karenanya
respon klinis dapat dimonitor dengan titer antibodi.
4) Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan lain dari
organ tubuh seperti hati, ginjal, atau glukosa darah. Pemberian
kortikosteroid jangka panjang perlu adanya pemeriksaan fungsi

23
ginjal dan fungsi hati, kadar gula darah,reduksi urin dan kadar
kortisol (Hoffman dan Jacob, 2012).
4. Tatalaksana
a. Nonmedikamentosa
1) Perbaikan dari keadaan umu dengan pemberian cairan elektrolit
sesuai dengan indikasi keadaan hemodinamik atau derajat syok
2) Membalut luka erosi dengan daun pisang (PERDOSKI, 2017).
b. Medikamentosa
1) Terapi lini pertama : kortikosteroid sistemik, dimulai dengan dosis
1mg/kgBB/hari. Tappering off atau pengurangan dosis secara
bertahap dapat dilakukan bila telah terdapat responklinis yang baik.
Keadaan klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi
denyut. Cara pemberian kortikosteroid secara terapi denyut
(pulsedtherapy): metilprednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3
jam, 500-1000mg atau injeksi deksametason atau metil prednisolon
i.v 1g/hari selama 4-5 hari (Sahidi et al., 2007).
2) Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan sebagai steroid
sparing agent: mikofenolat mofetil 2-2,5 g/hari 2 kali sehari,
azathioprine 1-3 mg/kgBB/hari atau 50 mg setiap 12 jam namun
disesuaikan dengan kadar TPMT, siklofosfamid (50-200 mg/hari),
dapson 100mg/hari, imunoglobulin intravena 1,2-2 g/kgBB
terbagidalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu untuk 1-34
siklus, Rituximab (0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan dapat diulang
sebagai monoterapi setiap 21 hari (Kanwar et al., 2014).
3) Terapi untuk topikal diberikan sebagai antiinflamasi adalah steroid
topikal dengan dosis rendah.
c. Edukasi
1) Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai penyebab,
terapi dan prognosis penyakit.
2) Memberi edukasi cara merawat lesi kulit yang lepuh.
3) Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter.
4) Meminimalisir trauma pada kulit karena dapat memperluas lesi

24
5) Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyekit
kronis dan mudah sekali kambuh
6) Menjelaskan kepada pasien mengenai dosis obat dan gejala
toksisitas obat sehingga mereka dapat melaporkan kepada dokter
dengan segera
7) Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya perawatan lesi
yang eksudatif (Sighn, 2011).
5. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

25
BAB III
KESIMPULAN

1. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


merupakan penyakit dengan nekrolisis epidermal. Nekrolisis epidermal adalah
reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa,ditandai dengan nekrosis dan
pelepasan epidermis yang ekstensif. Kedua penyakit ini merupakan kelainan
kulit berat ditandai oleh bula di kulit bersifat akut dan erosi membran mukosa.
Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang
serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan
terdapatpada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area permukaan kulit
yang terkena.
2. Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (S4) merupakan suatu penyakit
epidermolisis yang disebabkan oleh ET (ETA dan ETB) dari Staphylococcus
aureus. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya
benjolan-benjolan berisi cairan, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,
identifikasi ET, dan hasil biopsi. Terapi untuk S4 bertujuan untuk
mengeradikasi infeksi S. aureus dengan pemberian antibiotik, pemantauan
cairan, dan perawatan kulit. Prognosis pada anak lebih baik dibandingkan
dewasa karena jarang terjadi sepsis. Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis merupakan komplikasi S4
yang sering terjadi.
3. Eritroderma adalah papulosquamous eruption dengan karakteristik eritema dan
skuama pada lebih dari 90% area permukaan tubuh. Eritroderma dibedakan
menjadi tiga kelompok berdasarkan etiologinya, yaitu eritroderma akibat alergi
obat sistemik, akibat perluasan penyakit kulit, dan akibat penyakit
sistemik/keganasan. Eritroderma merupakan salah satu kegawatdaruratan yang
memiliki prognosis beragam dan diobati berdasarkan etiologinya, secara umum
dapat diberikan steroid sistemik dan antihistamin.
4. Pemfigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat
kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bulapada

26
epidermis. Pemfigus dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis. Istilah
pemfigus berarti kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran
mukosa dengan karakteristik secara histologis berupa adanya bula
intraepidermal disebabkan olehakantolisis (terpisahnya ikatan antara sel
epidermis) dan secara imunopatologisadanya IgG in vivo maupun sirkulasi
yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit.

27
Daftar Pustaka

Allanore, L. V., Roujeau, J. C. 2012. Epidermal necrolysis (Steven-Johnson


syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith L,
Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors. Fitzpatrick‟s dermatology
in general medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill h.439- 448.
American College of Surgeons. 2010. Advanced Trauma Life Support
(ATLS,2010) Untuk Dokter Edisi 7. Jakarta : IKABI.
Anggraini, D. I., Sulistyo, G. 2017. Nekrolisis Epidermal Toksik: Laporan Kasus
pada Pasien Geriatri. Jurnal Kesehatan dan Argomedicine. Vol 4(1):156-
159.
Asrawati, S., Sitti, N.R., Asnawi, M. 2013. Erythroderma Caused Drug Allergies.
J Med Fac Hasanuddin Univ. Vol 1(4):27-32.
Barboza, C.A., Candiani, O.J., Ruelas, H.E.M. 2018. A Practica Approach o the
Diagnosis and Treatment of Adult Erythroderma. Actas Dermosifiliogr. Vol
109(9):777-790.
Conway, D.G., Lyon, R.F., Heiner, J.D. 2013. A desquamating rash;
staphylococcal scalded skin syndrome. Ann Emerg Med. 61(1): 118-119,
129.
Creamer, D., Walsh, S., Dziewulski, P. 2016. UK Guidelines for The
Management of Stevens-Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis in
Adults. Br J Dermatol. Vol 174:1194-1227.
Deepika, G., Ravishankar, M., Shwetha, S. 2015. Phenobarbital Induced
Erythroderma: A Case Report. Inter J Basic Clinic Pharm.Vol 4(1):181-3.
Djuanda, et al. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta : FK
UI.
Errichetti, E., Piccirillo, A., Stinco, G. 2016. Dermoscopy As An Auxiliary Tool
In The Differentiation Of The Main Types Of Erythroderma Due To
Dermatological Disorders. Int J Dermatol. Vol 55:e616-8.
Han A, Zeichner JA. 2009. A practical approach to treating autoimmune bullous
disorders withsystemic medications. J Clin Aestetic Dermatol. Vol 2:19-28.
Hanakawa, Y., Schechter, N.M., Lin, C., Garza, N., Yamaguchi, T. Molecular
Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest.2002;110: 53–60.
Harman KE, Albert S, Black MM. 2003. Guidelines for the management of
pemphigus vulgaris. Br J Dermatol. Vol 149:926-37.
Harr, T., French, L. E. 2010. Toxic epidermal necrolysis and Steven-Johnson
syndrome. Orphanet Journal Rare Disease. Vol 5:39.
Hofmann, S., Jakob, T. 2012. Bulous autoimmune skin disease. In: Shoenfeld Y,
Meroni PL, editors. The general practice guide to autoimmune diseases.
Berlin: Pabst Science. h.127-34.
Kanwar AJ, Vinay K, Sawatkar GU, Dogra S, Minz RW, Shear NH, et al. 2014.
Clinical and immunological outcomes of high and low dose rituximab
treatments in pemphigus patients: a randomized comparative observer
blinded study. BJD. Vol 170:1341-9.
Khaled, A., Sellami, A., Fazaa, B., Kharfi, M., Zeglaoui, F., Kamoun, M. 2010.
Acquired Erythroderma In Adults: A Clinical And Prognostic Study. J Euro
Dermatol. Vol 24:781-788.

28
Ladhani, S., Robbie, S., Garratt, R.C., Chapple, D.S., Joannou, C.L., Evans, R.W.
2001. Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal
Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin
Microbiol. 39(20): 50-54.
Lubis, Ramona. 2008. Gambaran Histopatologi Pemphigus Vulgaris. Medan: FK
USU
Luk, N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.
Magana BRD, Langner AL, et al. 2011. A systematic review of treatment of drug-
induced Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in
children. J PopulTherClinPharmacol. Vol 18(1):e121-e133.
Maryam, A., Zahra, G., Siavash, T., Dabbaghian. 2015. Erythroderma: A Clinical
Study Of 97 Cases. J Tehran Univ Med Sci. Vol 2(1):1-6.
Mishra, A.K., Yadav, P., Mishra, A. 2016. A Systemic Review on Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome (SSSS): A Rare and Critical Disease of Neonates.
The Open Microbiology Journal, 2016, 10, 150-159.
Morgan, M.B., Smoller, B.R., Somach, S.C. 2007. Staphylococcal Toxin-
Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly
Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland:
Springer. (13): 3-6.
Oktarlina, Z.R., Suryani, A.P.D. 2017. Eritroderma et causa Alergi Obat.
Majority. Vol 6(2):98-101.
Patrizi, A., Venturi, M. 2015. Erythroderma. In: Katsambas AD, Lotti TM,
Dessinioti C, Angelo Massimiliano D’Erme, editors. European Handbook
Of Dermatological Treatments. USA : Springer.
Payne AS, Stanley JR. 2012. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith LA, Kazt SI,
Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editors. Fitzpatrick‟s Dematology in
general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill.h. 586-99.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). 2017.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
Rahmawati, Y. W. &Indramaya, D. M. 2016. Studi Retrospektif: Sindrom
Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Periodical of
Dermatology and Venereology. Vol 28(2):68-76.
Rajaratnam, R., Mann C, Balasubramaniam P, Marsden J, Taibjee S, Shah F, et
al. 2010. Toxic epidermal necrolysis: retrospective analysis of 21
consecutive cases managed at a tertiary centre. Clin Exp Dermatol. Vol
35(8):853-62
Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2003. Oral pathology clinical pathologic
correlations, 4 ed. St. Louis, Missouri: Saunders, p.11-15.
Rifai, Chadiah. 2017. Kegawatdaruratan Di Bidang Dermatologi. Jakarta: FK
UMJ.
Scully, C., Challacombe, S. J. 2002. Pemphigus vulgaris:update on
etiopathogenesis, oral manifestations, and management. Crit Rev Oral Biol
Med.. 13 (5): 397-408.
Shahidi-Dadras M, Karami A, Toosy P, Shafiyan A. 2007. Pulse versus Oral
Methylprednisolone Therapy in Pemphigus Vulgaris. Arch Iranian Med.
Vol 10(1):1-6.

29
Shimizu, H. 2017. Shimizu’s Textbook of Deratology 2nd Edition. New Jersey :
Wiley Blackwell Publisher.
Singh S. 2011. Evidence-based treatments for pemphigus vulgaris, pemphigus
foliaceus, and bullouspemphigoid: A systematic review. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. Vol 77(4):456-70.
Stanley, Jr. 2003. Pemphigus in Dermatology in General Medicine 4th Edition.
New York: Mc Graw-Hill.
Subanda, Wati, K. D. K., Yuliana, Apriastini, N. K. T. 2013. Comprehensive
Management of Growth & Development, Infection, Allergy Imunollogy, and
Nephrology in Daily Practice. Bali: Fakultas Kedokteran Udayana
Travers, J.B., Mousdicas, N. 2008. Gram-positive Infections Associated with
Toxin Production. In: Freedberg, I.M., Eisen, A.Z., Austen, K.F.,
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill. (17):10-19.
Witarini, K. A. 2019. Diagnosis dan tatalaksana Sindroma Stevens-Johnson (SJS)
pada anak: tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis. 10(3):592-596.
Wolff, K., Johnson, R.A., Suurmond, D. 2011. Bacterial infections involving the
skin. In Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi
ke-8. USA: Mc. Graw Hill.
Ye L, Zhang C, Zhu Q. 2016. The effect of intravenous immunoglobulin
combined with corticosteroid on the progression of Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis: a meta analysis. PLos One. 1-17.

30

Anda mungkin juga menyukai