Disusun oleh:
Pendamping:
2018
1
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-
obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi
berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan
menambah jumlah dari lokasi lesi.
II. ETIOLOGI
2
III. PATOGENESIS
Patofisiologi FDE belum diketahui secara pasti. Namun penelitian
terakhir menyebutkan adanya peran sel mediator yang mengawali
munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi suatu antibodi-dependent
dan reaksi sel mediator sitotoksik.
Obat-obat yang masuk dianggap sebagai hapten yang berikatan dengan
sel basal keratinosit atau dengan melanosit pada lapisan basal
epidermis, yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi. Melalui
pelepasan sitokin, seperti TNF-α, keratinosit mengekspresikan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Pengaturan ICAM-1 akan
mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke lokasi lesi. Datangnya
sel CD8 dan bertahan di lokasi lesi akan menyebabkan kerusakan
jaringan yang terus-menerus akibat produk inflamasi, seperti sitokin
interferon gamma dan TNF-α.
Sel CD4 memproduksi IL-10, yang menekan sistem imun, yang
menyebabkan lesi yang terus aktif. Jika respon inflamasinya sudah
hilang, IL-15 yang diekspresikan keratinosit akan membantu
mempertahankan sel CD8, yang akan memberikan memori fenotipe.
Sehingga ketika paparan obat berulang, respon akan berkembang lebih
cepat pada lokasi yang sama.
3
dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi
obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast.
Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang
terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang
mensensitisasi sel-sel.
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh interaksi
antigen-antibodi, mengakibatkan produksi lokal anafilotoksin (C5a),
leukosit polimorfonuklear (PMN) dan cedera jaringan akibat pelepasan
hidrolitik neutrofil enzim setelah autolisis. Reaksi tipe ini dapat
disebabkan oleh obat (antigen) dan memerlukan penggabungan antara
IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Hal ini
menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi
pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel
biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel,
sehingga reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.
C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi
(IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan
berbagai mediator di antaranya enzim-enzim yang dapat merusak
jaringan dan mengakibatkan reaksi radang. Kompleks imun akan
beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC), dan
sel Langerhan yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit
T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di
sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan
dengan antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.
4
biasanya numular, timbul bercak eritema kehitaman, seringkali dengan
bagian tengah berwarna keunguan, berbatas tegas, seiring dengan
waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi
krusta.
Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal
biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka
lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru.
Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat
yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit tersebut.
Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah ekstremitas
dan genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit
kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai
5
eritema dan rasa panas setempat. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa
terbakar, dapat juga timbul demam dan malaise. Tidak dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika
menyembuh akan meninggalkan bekas radang dengan
hiperpigmentasi.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tidak berguna untuk diagnosis FDE, meskipun
eosinofilia umum terjadi pada erupsi obat. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah:
A. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan histologis inflamasi /
lesi akut menunjukkan dermatitis dengan perubahan vakuolar dan
badan Civatte. Pola keseluruhan mungkin mengikuti yang terlihat
pada eritema multiforme. Dyskeratosis dan keratinosit nekrotik
individual dalam epidermis merupakan hal yang menonjol.
Infiltrate limfositik dapat cukup menonjol untuk mengaburkan
persimpangan dermoepidermal. Spongiosis, edema dermal,
eosinofil, dan neutrofil mungkin ada sesekali. Inkontinensia pigmen
dalam dermis papillary adalah fitur karakteristik dan mungkin satu-
satunya fitur yang terlihat pada yang lebih tua, lesi yang tidak
inflamasi. Lesi kronis atau tidak aktif juga dapat menunjukkan
akantosis ringan, hiperkeratosis, dan sedikit sel inflamasi.
B. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya. Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya
dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah
penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji
tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan
melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera
sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel
sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi
mereda. Khusus untuk FDE, dapat digunakan cara uji tempel yang
agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau
etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan
6
punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama dan
dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan
selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan
pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam. Hasil uji tempel
yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil
yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab
meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih
memerlukan banyak perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan
penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat,
vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di kulit.
C. Uji provokasi oral bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala
klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya
dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi
reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam
beberapa jam. Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji
ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang
terlatih.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis
yang khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala
klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi
obat sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Adanya kelainan
klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat
pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat
tersebut.
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya
untuk mendeteksi obat penyebab FDE namun dapat juga dilakukan
biopsi kulit, uji tempel obat, dan uji provokasi oral untuk membantu
menegakkan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding.
7
VII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding FDE di antaranya adalah eritema multiforme dan
Post-Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH). Eritema multiforme adalah
penyakit inflamasi akut pada kulit dan mukosa yang menyebabkan
berbagai bentuk lesi akibat deposit imunokompleks. Etiologinya belum
jelas, tetapi ada beberapa faktor yang diduga berperan yaitu obat-
obatan golongan sulfa, penisilin, analgesik, dan antipiretik. Kelainan ini
timbul cepat dengan gejala prodromal dalam 48 jam.
G
Lesi patognomonik adalah lesi target pada kulit yang terdiri dari bula
dikelilingi oleh edema dan eritema. Lesi pada eritema multiforme lebih
besar, tidak teratur, lebih dalam, biasanya berdarah, dan dapat terjadi
pada semua mukosa mulut. Lesi pada bibir khas berbentuk lesi yang
ditutupi krusta merah kehitaman.
8
Distribusi dari lesi hipermelanotik tergantung pada lokasi inflamasi
dermatosis asli. Warna lesi berkisar dari cahaya coklat sampai hitam,
dengan penampilan cokelat lebih ringan jika pigmen berada dalam
epidermis dan penampilan yang lebih gelap abu-abu jika lesi mengandung
melanin kulit.
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat penyebab (apabila obat
penyebab telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari
obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat penyebab (satu
golongan).
B. Pengobatan sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Dosis standar untuk FDE pada orang dewasa ialah prednison 3 x 10 mg
sehari.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan
kortikosteroid.
C. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan basah dapat diberi kompres
terbuka NaCl 0,9% dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid
potensi ringan sedang, misalnya krim hidrokortison 2,5% atau krim
mometason furoat 0,1%.
IX. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik. Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan
menyembuh jika obat penyebabnya dapat diketahui dan disingkirkan.
Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang
memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat
9
ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat),
sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan
terulangnya FDE.
10
DAFTAR PUSTAKA
11