Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

IMPETIGO KRUSTOSA

Disusun Oleh :
Rukmana Devi Lestari, S.Ked
NIM : 71 2018 002

Pembimbing :
dr. Lucille Anisa Suardin, Sp. KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

1
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus dengan judul

Impetigo Krustosa

Disajikan Oleh :
Rukmana Devi Lestari, S.Ked
NIM : 71 2018 002

Pembimbing :
dr. Lucille Annisa Suardin, Sp. KK

Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.

Palembang, Juni 2020

Pembimbing,

dr. Lucille Annisa Suardin, Sp. KK


iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Dermatitis Venenata dan Neurodermatitis sirkumsskrip”, untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr. Lucille Annisa Suardin, Sp.
KK yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini sehingga dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini menguraikan tentang Pemfigoid Bulosa. Dengan laporan
kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan orang banyak
yang membacanya terutama mengenai penyakit ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.

Palembang, Juni 2020

Penyusun
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv

BAB I LATAR BELAKANG


1.1 Latar Belakang..................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien..................................................................... 3
3.2 Anamnesis............................................................................ 3
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................. 4
3.4 Diagnosis Banding............................................................... 6
3.5 Diagnosa Kerja..................................................................... 6
3.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................ 6
3.7 Penatalaksanaan.................................................................... 7
3.8 Prognosis.............................................................................. 7

BAB III PEMBAHASAN


4.1 Pembahasan.......................................................................... 8

BAB IV KESIMPULAN............................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi
piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia
anak-anak walaupun pada orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo
tergolong tinggi, terutama melalui kontak langsung. Individu yang terinfeksi
dapat menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi.
Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di sekolah, tempat penitipan anak
atau pada tempat dengan hygiene buruk atau juga tempat tinggal yang padat
penduduk. 1,2,3
Impetigo krustosa merupakan jenis infeksi piogenik yang paling
banyak ditemukan di dunia (70% dari kasus impetigo). Impetigo krustosa
harus diobati secara cepat dan tepat karena dapat menyebabkan beberapa
komplikasi terutama glomerulonefritis akut. Terapi antibiotik topikal
merupakan pilihan pertama impetigo terutama bila lesi yang terbatas, tanpa
gejala sistemik atau komplikasi sementara terapi sistemik dipertimbangkan
bila diperlukan. 1,2

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan bagi semua dokter muda dapat memahami kasus mengenai
impetigo krustosa.
2. Diharapkan kemudian hari dokter muda mampu mengenali dan
memberikan tatalaksana secara benar tentang penyakit impetigo
krustosa.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
1. Bagi institusi diharapkan laporan kasus ini dapat menambah sumber
ilmu pengetahuan dan bahan referensi dalam bidang ilmu kesehatan
kulit dan kelamin tentang impetigo krustosa.
2

2. Agar dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan khusus


selanjutnya.

1.3.2. Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan laporan kasus
ini dalam kegiatan kepanitraan klinik senior (KKS) dan dapat digunakan di
kemudian hari dalam penegakan diagnosis dan penatalaksanaan.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : An. A
Usia : 6 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : TK
Alamat : Jl. Panca
Tanggal Periksa : 22 Juni 2020

2.2. Anamnesis
Aloanamnesis dilakukan tanggal 22 Juni 2020, Pukul 11.30 WIB

2.2.1. Keluhan Utama

Timbul koreng di atas bibir sejak 5 hari yang lalu

2.2.2. Keluhan Tambahan


Gatal dan nyeri

2.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan timbul koreng di atas bibir sejak 5 hari
yang lalu. Selain timbul keluhan koreng di atas bibir, pasien juga mengeluh
koreng terasa gatal dan sekarang semakin nyeri. Rasa gatal dirasakan tidak
menentu. Keluhan ini awalnya timbul seperti jerawat 7 hari yang lalu,
namun karena gatal, pasien sering menggaruk-garuk sehingga menjadi
korengan. Selain itu, pasien juga mengaku ada riwayat sakit flu 7 hari yang
4

lalu. Untuk mengurangi keluhan tersebut, pasien belum pernah berobat


kedokter atau memakai obat-obatan warung.
Selain itu pasien juga sering bermain pasir. Riwayat main atau
pelihara hewan tidak ada. Keluhan korengan ini hanya ada di atas dan
sekitar bibir, keluhan timbul koreng atau keluhan seperti jerawat di bagian
tubuh lainnya seperti di kaki dan perut tidak ada. Selain itu, keluhan demam
tidak ada dan tidak ada perbesaran kelenjar getah bening di leher dan
sekitarnya.

2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada, riwayat penyakit
alergi obat dan makanan tidak ada.

2.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan yang sama pada keluarga tidak ada. Riwayat penyakit dengan
keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada

2.2.6. Riwayat Kebiasaan

Pasien mandi 2x sehari, berganti pakaian dalam 2x setelah mandi.


Riwayat pemakaian handuk bersama tidak ada.

2.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,6 °C
Pernapasan : 21 x/menit
5

BB : 25 kg

3.3.2 Keadaan Spesifik

Kepala : Normocephali

Wajah : Pucat (-), Kemerahan (-)

Mata : Konjungtiva anemi (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

Hidung : pada status dermatologikus

Telinga : dalam batas normal

Mulut : pada status dermatologikus

Leher : dalam batas normal

Thoraks : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

3.3.3 Status Dermatologikus

Pada regio oralis, dan zygomatikum, terdapat makula eritematosa, multiple,


ireguler, berukuran 0,3-0,5cm x 0,4-1 cm, penyebaran diskret dan terdapat krusta
berwana kuning seperti madu diatasnya.
6

Pada regio oralis, nasalis, dan zygomatikum, terdapat makula eritematosa,


multipel, ireguler, berukuran 1,5-2,5cm x 0,7-3,5 cm, penyebaran diskret dan
terdapat krusta berwana kuning seperti madu diatasnya.

3.4 Diagnosis Banding


1. Impetigo krustosa
2. Ektima
3. Varisela

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Histopatologi
Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian atas.
Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris
berupa leukosit dan sel epidermis. Pada dermis terjadi inflamasi ringan
yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear.5 Seringkali terjadi spongiosis yang mendasari
pustula. Pada lesi terdapat kokus Gram positif

3.6 Diagnosis Kerja


Impetigo Krustosa
7

3.7 Tatalaksana

A. Nonfarmakologi
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya
2. Menjaga higienis tubuh seperti mandi teratur dengan sabum, rajin
mencuci tangan.
3. Hindari menggaruk-garuk luka.

B. Farmakologi
- Sebelum mengoleskan salep dan krusta banyak, krusta dapat dilepas
dengan mencuci menggunakan H2O2 dalam air.
- Salep mupirocin 2% 10 gram, 3 kali sehari selama 5 hari

3.8 Prognosis

Quo ad vitam : bonam


Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmetika : bonam
8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hasil dan Pembahasan


Pada kasus ini membahas mengenai seorang pasien an. A usia 6 tahun
datang dengan keluhan timbul koreng di atas bibir sejak 5 hari yang lalu.
Awalnya keluhan ini muncul seperti jerawat 7 hari yang lalu dan karena di
garuk sehingga menjadi koreng. Selain keluhan tersebut, pasien juga
mengeluh gatal dan nyeri pada tempat koreng itu. Keluhan timbul bintil
seperti jerawat di bagian tubuh lainnya seperti di perut dan kaki tidak ada. 7
hari yang lalu, pasien juga mengalami flu. Keluhan demam dan timbul
benjolan di leher di sangkal.
Dari hasil anamnesis, kemungkinan diagnosis pada kasus ini adalah
impetigo krustosa. Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik
kulit superfisial yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus
group A beta-hemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan
digambarkan dengan perubahan vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi
pustul dan ruptur serta mengering membentuk krusta Honey-colored.
dengan tepi yang mudah dilepaskan.1,2
Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-
hemolitikus (Streptococcus pyogenes). Banyak penelitian yang menemukan
50-60% kasus impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus
aureus dan 20-45% kasus merupakan kombinasi Staphylococcus aureus
dengan Streptococcus pyogenes. Namun di negara berkembang, yang
menjadi penyebab utama impetigo krustosa adalah Streptococcus pyogenes.
Staphylococcus aureus banyak terdapat pada faring, hidung, aksila dan
perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit impetigo krustosa.3
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong
relatif sering. Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5
tahun dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika,
impetigo merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit
9

infeksi kulit bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada
anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak
2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. 1,3,4
Diagnosis banding impetigo krustosa adalah ektima dan varisela.
Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang
disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus. Ektima tampak sebagai
krusta tebal berwarna kuning dan biasanya berlokasi di tungkai bawah,
yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Semua kalangan umur,
jenis kelamin, dan ras bisa terkena, terutama anak-anak, manula, dan
pasien dengan immunokompromise (misal, diabetes, neutropenia,
pengobatan immunosupressive, keganasan, HIV). Kasus ektima terjadi
diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Ektima
disebabkan oleh Streptococcus group A beta haemoliticus,
Staphylococcus aureus dan atau kedua-duanya dapat terisolasi pada
kultur. Infeksi Bakteri dikulit terutama disebabkan oleh kedua bakteri
tersebut. Pada ektima, tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning,
biasanya berlokasi ditungkai bawah, yaitu tempat yang relatif
mendapat banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan dampak
ulkus yang dangkal. Lesi ektima dapat berkembang dari pioderma
primer, penyakit kulit, atau trauma yang sudah ada sebelumnya
Sedangkan ektima gangrenosum merupakan luka kutaneus yang
disebabkan Pseudomonas aeruginosa dan mirip dengan ektima
Staphylococcus atau Streptococcus.5,6
Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Pada orang yang
belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi pada anak-anak dibawah 10
tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia lebih dari 15 tahun. Sementara
pada pasien yang mendapat imunisasi, insiden terjadinya varicella secara
nyata menurun. Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan,
dengan kisaran 10 sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada
pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang telah menerima
10

pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi


terhadap varicella Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal.
Sementara pada anak yang lebih besar dan dewasa, ruam yang seringkali
didahului oleh demam selama 2-3 hari, kedinginan, Pada pasien yang belum
mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan skalp, dan kemudian
menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas. Lesi baru
muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di bagian sentral. Ruam
cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara tulang belikat
daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada medial
daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan
dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah
yang lebih besar di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan
matahari.7,8
Adapun diagnosis banding dari impetigo krustosa yaitu ektima dan
varisella berdasarkan epidemiologi, etiologi, dan predileksinya.

Tabel 1. Diagnosis Banding Berdasarkan Epidemiologi, etiologi dan


predileksinya.

Diagnosis Banding
Kasus Impetigo Ektima Varisella
Krustosa
Epidemiologi Anak usia Penyakit ini Semua kalangan Pada orang
6 tahun banyak terjadi umur, jenis yang belum
berjenis pada anak - kelamin, dan ras mendapat
kelamin anak kisaran bisa terkena, vaksinasi, 90%
laki-laki usia 2-5 tahun terutama anak-anak, kasus terjadi
dengan rasio manula, dan pasien pada anak-anak
yang sama dengan dibawah 10
antara laki- immunokompromise tahun, 5%
laki dan (misal, diabetes, terjadi pada
perempuan. Di neutropenia, orang yang
Amerika, pengobatan berusia lebih
impetigo immunosupressive, dari 15 tahun.
merupakan keganasan, HIV).
10% dari Kasus ektima
penyakit kulit terjadi diseluruh
anak yang dunia, terutama di
menjadi daerah tropis dan
11

penyakit subtropis.
infeksi kulit
bakteri utama
dan penyakit
kulit peringkat
tiga terbesar
pada anak. Di
Inggris
kejadian
impetigo pada
anak sampai
usia 4 tahun
sebanyak
2,8% pertahun
dan 1,6% pada
anak usia 5-15
tahun.
Etiologi Staphylococcu Ektima disebabkan infeksi akut
s aureus, oleh Streptococcus primer oleh
group A beta virus varicella
Streptococcus
haemoliticus, zoster
group A beta- Staphylococcus
hemolitikus aureus dan atau
kedua-duanya
(GABHS) atau
kedua-duanya.
Predileksi Diatas Daerah yang Ekstremitas bawah, Pada pasien
bibir dan terpajan, wajah, dan ketiak yang belum
pipi terutama mendapat
wajah di vaksinasi,
sekitar hidung ruam dimulai
dan mulut, dari muka dan
tangan, leher, skalp, dan
dan kemudian
ekstremitas. menyebar
secara cepat ke
badan dan
sedikit ke
ekstremitas.
Lesi baru
muncul
berturut-turut,
dengan
distribusi
terutama di
bagian sentral.
12

Ruam
cenderung
padat kecil-
kecil di
punggung dan
antara tulang
belikat
daripada
skapula dan
bokong dan
lebih banyak
terdapat pada
medial
daripada
tungkai sebelah
lateral.

Bila ditinjau dari gejala klinis, pada kasus ini adanya lesi pada Pada
regio oralis, dan zygomatikum, terdapat makula eritematosa, multiple,
ireguler, berukuran 0,3-0,5cm x 0,4-1 cm, penyebaran diskret dan terdapat
krusta berwana kuning seperti madu diatasnya. Pada regio oralis, nasalis,
dan zygomatikum, terdapat makula eritematosa, multipel, ireguler,
berukuran 1,5-2,5cm x 0,7-3,5 cm, penyebaran diskret dan terdapat krusta
berwana kuning seperti madu diatasnya.
Sesuai dengan teori yaitu Impetigo krustosa dapat terjadi di mana
saja pada tubuh, tetapi biasanya pada bagian tubuh yang sering terpapar
dari luar misalnya wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo Krustosa
diawali dengan munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang
dengan cepat membentuk vesikel, bula atau pustul berdinding tipis.
Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut ruptur menjadi erosi kemudian
eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna kuning
keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya
berkelompok dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit
dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar
yang eritema tanpa pembentukan jaringan scar.
13

Tabel 2. Diagnosis Banding Berdasarkan Gejala Klinis

Diagnosis Banding
Kasus Impetigo Krustosa Ektima Varisella
lesi pada regio Impetigo Krustosa Macula eritematosa Gambaran dari
oralis, nasalis, diawali dengan lentikuler hingga lesi varicella
Gejala dan munculnya eritema numuler, vesikel berkembang
Klinis zygomatikum, berukuran kurang dan pustula miliar secara cepat,
terdapat patch lebih 2 mm yang hingga nummular, yaitu lebih
eritematosa, dengan cepat difus, simetris, kurang 12 jam,
multiple, membentuk vesikel, serta krusta dimana mula-
ireguler, bula atau pustul kehijauan yang mula berupa
berukuran 0,3- berdinding tipis. sukar dilepas. makula
2,5cm x 0,4-3,5 Kemudian vesikel, eritematosa yang
cm, penyebaran bula atau pustul berkembang
diskret dan tersebut ruptur menjadi papul,
terdapat krusta menjadi erosi vesikel, pustul,
berwana kuning kemudian eksudat dan krusta.
seperti madu seropurulen Vesikel dari
diatasnya. mengering dan varicella
menjadi krusta yang berdiameter 2-3
berwarna kuning mm, dan
keemasan (honey- berbentuk elips,
colored) dan dapat dengan aksis
meluas lebih dari 2 panjangnya
cm. Lesi biasanya sejajar dengan
berkelompok dan lipatan kulit.
sering konfluen Vesikel biasanya
meluas secara superfisial dan
irreguler. Pada kulit berdinding tipis,
dengan banyak dan dikelilingi
pigmen, lesi dapat daerah
disertai eritematosa
hipopigmentasi atau sehingga tampak
hiperpigmentasi. terlihat seperti “
Krusta pada embun di atas
akhirnya mengering daun mawar”.
dan lepas dari dasar
yang eritema tanpa
pembentukan
jaringan scar.
14

Rencana pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu


pemeriksaan histopatologi dan kultur bakteri. Pada pemeriksaan
histopatologi didapatkan Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel
pilosebaseus bagian atas. Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi
coccus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis. Pada dermis terjadi
inflamasi ringan yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah, edema,
dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Seringkali terjadi spongiosis yang
mendasari pustula. Pada lesi terdapat kokus Gram positif.4
Pada kasus ini diberikan tatalaksana farmakologi dan
norfarmakologi. Tatalaksana untuk non farmakologinya adalah 1)
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya; 2) Menjaga higienis
tubuh seperti mandi teratur dengan sabum, rajin mencuci tangan; dan 3)
Hindari menggaruk-garuk luka. Pada pemeriksaan farmakologi dapat
diberikan adalah 1) Sebelum mengoleskan salep dan krusta banyak, krusta
dapat dilepas dengan mencuci menggunakan H2O2 dalam air dan 2) Salep
mupirocin 2% 10 gram, 3 kali sehari selama 5 hari. First line pengobatan
topical untuk impetigo adalah mupirosin, asam fusidat dan retapamulin.
Namun, pada pasien ini diberikan obat mupirosin topical. Pada kasus ini
juga pemberian antibiotic sistemik tidak diperlukan karena indikasi
pemberian antibiotic pada kasus impetigo krustosa adalah apabila lesi yang
banyak dan disertai dengan gejala konstitusi seperti demam.
Mupirocin adalah antibiotik baru yang dihasilkan melalui fermentasi
Pseudomonas flourecens. Mupirocin menghambat isoleusil t-RNA
sintetase sehingga dapat menekan sintesis protein bakteri. Mupirocin
bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah atau hambat minimum dan
bersifat bakterisida pada konsentrasi yang lebih tinggi. Ini terutama
bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Karena cara kerjanya
yang unik untuk menghambat aktivitas bakteri isoleucyl-tRNA synthetase,
mupirocin tidak menunjukkan resistansi silang dengan kelas lain dari agen
antimikroba, memberikan keuntungan terapeutik. Ini tersedia dalam
formulasi topikal hanya karena metabolisme sistemik yang luas dan
digunakan dalam pengobatan impetigo yang disebabkan oleh
15

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dan lesi kulit


traumatis akibat infeksi kulit sekunder yang disebabkan oleh S. aureus dan
S. pyogenes . Mupirocin umumnya dipasarkan dengan nama merek
Bactroban.8
Mupirocin dilaporkan aktif terhadap kuman gram positif gram aerob
yang rentan, seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
dan streptococcus. Dalam satu studi klinis yang menyelidiki efektivitas
terapi mupirocin topikal dalam impetigo, tingkat respons terapeutik adalah
sekitar 94 hingga 98% setelah 5 hari terapi.8
Absorspi sistemik dari mupirocin melalui kulit manusia rendah.
Pada uji klinis, ketika diberikan secara sistemik mupirocin dimetabolisme
dan menghasilkan metabolit inaktif yaitu asam monik dan cepat
dieksresikan. Mupirocin cepat dieliminasi dari tubuh dengan hasil
metabolisme berupa metabolit inaktif asam monik yang cepat dieskresikan
oleh ginjal. Mupirocin aktif terhadap gram positif cocci, termasuk strain
methicillin-rentan dan methicillin-resistant staphylococcus aureus.
Kebanyakan bakteri aerob gram positif, termasuk methicillin-resistant
staphylococcus aureus (MRSA) yang sensitif terhadap mupirocin. Indikasi
obat topical ini adalah untuk pengobatan topikal infeksi lesi sekunder yaitu
luka kecil, luka jahitan atau lecet. Infeksi kulit oleh bakteri seperti
impetigo, folikulitis dan furunkulosis. Sediannya dapat berupa sediaan
krim atau salep. Kontraindikasi pada mupirosin adalah orang dengan
reaksi hipersensitivitas. Efek samping pada penggunaan salep ini adalah
pada penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan pertumbuhan
berlebih dari organisme yang tidak rentan terhadap mupirocin. Selain itu,
dapat juga menyebabkan gangguan system imun. Reaksi alergi sistemik
telah dilaporkan dari penggunaan salep ini.8
Pilihan obat lain yaitu asam fusidat. Asam fusidat adalah antibiotik
yang sering digunakan secara topikal dalam krim dan obat tetes mata,
tetapi dapat juga diberikan secara sistemik sebagai tablet atau suntikan.
Asam fusid bertindak sebagai penghambat sintesis protein bakteri dengan
mencegah pergantian faktor G ( EF-G ) dari ribosom . Asam fusidik
16

efektif terutama pada bakteri Gram-positif seperti spesies Staphylococcus ,


spesies Streptococcus , dan spesies Corynebacterium . Asam fusidat
menghambat perkembangan bakteri dan tidak membunuh bakteri, dan oleh
karena itu disebut " bakteriostatik ".
Asam fusid adalah antibiotik , yang berasal dari jamur Fusidium
coccineum dan dikembangkan oleh Leo Pharma di Ballerup, Denmark dan
dirilis untuk penggunaan klinis pada 1960-an. Itu juga telah diisolasi dari
Mucor ramannianus dan Isaria kogana . Obat ini dilisensikan untuk
digunakan sebagai natrium garam natrium fusidat , dan disetujui untuk
digunakan dengan resep di Korea Selatan, Jepang, Kanada, Uni Eropa,
Australia, Selandia Baru, Kolombia, Thailand, India, dan Taiwan.
Regimen dosis oral yang berbeda, berdasarkan pada profil
farmakokinetik / farmakodinamik (PK-PD) dalam pengembangan klinis di
AS sebagai Taksta. Asam fusidic tidak boleh digunakan sendiri untuk
mengobati infeksi S. aureus ketika digunakan pada dosis obat yang rendah.
Namun, dimungkinkan untuk menggunakan asam fusidic sebagai
monoterapi ketika digunakan pada dosis yang lebih tinggi. Penggunaan
sediaan topikal (krim kulit dan salep mata) yang mengandung asam fusid
sangat terkait dengan perkembangan resistensi, dan ada yang menentang
penggunaan monoterapi asam fusidat. Sediaan topikal yang digunakan di
Eropa sering mengandung kombinasi asam fusidic dan gentamisin , yang
membantu mencegah perkembangan resistensi. Efek samping dari
penggunaan asam fusidat dapat menyebabkan penyakit liver.
17

Gambar 3.1. Dosis, Durasi, dan Harga Obat Untuk Impetigo

Gambar 3.2. Rekomendasi Tatalaksana untuk Impetigo Krustosa


18

Retapamulin, antibakteri baru yang disetujui oleh Food and Drug


administration (FDA) pada 2007 untuk pengobatan topikal impetigo pada
anak di atas 9 bulan baru-baru ini tersedia di pasar India. Obat ini terikat
protein 94% dan terutama dimetabolisme di hati oleh mono-oksigenasi dan
N demethylation. Ini memiliki bioavailabilitas yang rendah dan karenanya
efek samping sistemik rendah setelah aplikasi lokal.9
Retapamulin efektif terhadap organisme gram positif dan hanya
beberapa organisme gram negatif. Ini aktif terhadap S. aureus , S.
pyogenes , Streptococcus agalactia, β streptokokus hemolitik, streptokokus
viridian, dan koagulase stafilokokus negatif. Retapamulin telah
menunjukkan aktivitas in vitro yang signifikan terhadap anaerob. Dalam
sebuah penelitian yang mengevaluasi 232 isolat anaerob, pada level <2 mg
/ L retapamulin ditemukan menghambat 90% strain. Berdasarkan
konsentrasi penghambatan, retapamulin ditemukan lebih efektif daripada
clindamycin, metronidazole dan ceftriaxone terhadap bacteroides fragilis,
clostridium perfringes, propionibacterium acnes.9
FDA AS menyetujui retapamulin 1% untuk digunakan pada orang
dewasa dan anak-anak> 9 bulan dan lebih tua untuk pengobatan topikal
impetigo (hingga 100 cm 2 area pada orang dewasa dan 2% total area
permukaan tubuh pada pasien anak). Namun, di Uni Eropa retapamulin
1% disetujui untuk digunakan pada pasien dengan impetigo atau mereka
yang laserasi, lecet, luka jahit tanpa abses. Namun, retapamulin tidak
diindikasikan untuk impetigo sekunder terhadap Staphylococcus aureus
yang resisten metisilin (MRSA).9
Pengobatan retapamulin belum terlihat terkait dengan efek
samping utama. Efek samping terkait pengobatan yang paling umum
dicatat adalah iritasi pada tempat aplikasi. Ada beberapa laporan pasien
yang mengalami dermatitis kontak sekunder akibat penggunaan
retapamulin.9
Retapamulin tampaknya menjadi obat yang menjanjikan untuk
pengobatan impetigo dan SITL lain yang disebabkan karena S. aureus dan
S. pyogenes . Obat dengan mekanisme kerja baru, formulasi topikal, dan
19

durasi aksi yang lebih pendek dan dosis yang sedikit akan membantu
memastikan kepatuhan dan juga mencegah perkembangan resistensi
terhadap agen antibakteri. Obat ini aman dan memiliki penyerapan
sistemik yang buruk sehingga efek sistemiknya sedikit. Retapamulin
adalah pilihan terapi yang nyaman dan aman untuk pengobatan impetigo
dan SITL untuk semua kelompok umur termasuk anak-anak. 9
Pada pasien ini diberikan obat mupirosin topical daripada
memberikan asam fusidat dan juga retapamulin. Alasannya menurut teori-
teori di atas adalah karena mupirosin tingkat efektivitasnya dan
penyembuhannya 94-98% setelah pemberian 5 hari. Selain itu, efek
samping yang jarang dan minimal. Untuk penggunaan asam fusidat dapat
menimbulkan resistensi dan tidak dapat diberikan tanpa kombinasi obat
lain. Selain itu juga, efek samping dari asam fusidat dapat menyebabkan
gangguan liver. Lalu untuk retapamulin, menurut teori diatas, efektivitas
terhadap penyembuhan impetigo baik serta efek samping minimal, namun
obat retapamulin lebih mahal harganya dan sulit didapatkan daripada obat
mupirosin.
Untuk menghitung jumlah salep yang diresepkan, sebaiknya
menggunakan ukuran “fingertip unit” yang dibuat oleh Long dan Finley.
Satu “fingertip unit” setara dengan 0,5 gram krim atau salep.

Gambar 5. Fingertip Unit

Pada laki-laki satu fingertip unit setara dengan 0,5 gram,


sedangkan pada perempuan setara dengan 0,4 gram. Bayi dan anak kira-
20

kira 1/4 atau 1/3 nya. Jumlah krim atau salep yang dibutuhkan per hari
dapat dikalkulasi mendekati jumlah yang seharusnya diresepkan.
Pada kasus ini diperlukan 2 FTU untuk wajah. Perkiraan jumlah
yang dibutuhkan adalah 1 gram perhari untuk satu kali pengolesan

Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya


impetigo krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila
tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada
tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat
menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi. Dapat pula terjadi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) pada bayi dan dewasa
yang mengalami immunocompromised atau gangguan fungsi ginjal. Bila
terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik
daripada dewasa.10
21
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit superfisial


yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus group A beta-
hemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan digambarkan dengan
perubahan vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi pustul dan ruptur serta
mengering membentuk krusta Honey-colored. dengan tepi yang mudah
dilepaskan.

Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab,
seperti Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan,
dengan puncak insiden di akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah
paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan.

Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo
krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati
impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta
menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis,
atau bakteriemi. Dapat pula terjadi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
(SSSS) pada bayi dan dewasa yang mengalami immunocompromised atau
gangguan fungsi ginjal. Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis
anak- anak lebih baik daripada dewasa
22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox
N, Griffiths C (eds). Rook’s Text Book of Dermatology. 7th ed. Turin:
Blackwell. 2004. p.27.13-15.
2. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rapini RP (eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2017.
p.1075-77.
3. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American
Academy of Family Physician. Vol.75. No.6. 2017. p.859-864.
4. Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial
Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7 th Ed. New York: McGraw
Hill. 2008. p.1695-1705.
5. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.
Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine seventh edition, vol 1 and 2,
2008, page 1885-1895
6. Anonim, Varicella ( chickenpox ), 2009.
(http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact- sheets/varicella-fact-sheet.pdf )
7. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G,
Elston D.M (eds). Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10
th Ed. Canada: Saunders Elsevier. 2016. p.255-6.
8. Charles Cole and John. Diagnosis and Treatment of Impetigo. 2017
9. Dhingra, Parakh, dan Ramachandran. Retapamulin : A Newer Topical
Antibiotic. Drug Rivew. 2016.
10. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G,
Elston D.M (eds). Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10
th Ed. Canada: Saunders Elsevier. 2016. p.255-6.

Anda mungkin juga menyukai