Anda di halaman 1dari 61

Free PPT Templates

Insert the Subtitle of Your Presentation


http://www.free-powerpoint-templates-design.com
KEGAWATAN DALAM

DERMATOLOGI
DISUSUN OLEH:

Roziq Bagas Maulana, S.Ked 19710114


I Made Gede Luky Prasetyeo Linggih, S.Ked 19710078

 
Pembimbing:
dr. Sylvia Marfianti, Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD DR. MOH. SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
BAB I
BAB 1 PENDAHULUAN
Kegawat daruratan merupakan kondisi pasien dimana bisa terjadi dimana saja dan
kapan saja. Hal ini membutuhkan Tindakan penanganan segera dan cepat di rumah sakit.
Adapun juga Tindakan penanganan lanjutan dimaksud untuk menyelamatkan pasien dalam
hal mencegah dan membatasi kecacatan serta meringankan kondisi pasien tersebut.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat, sebab penanganan yang salah justru dapat
menambah parah kondisi seseorang, bahkan dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian.

Dalam kegawat daruratan di bidang dermatologi, Tindakan penanganan dilakukan oleh


dokter yang memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan tersebut. Adapun beberapa
penyakit yang merupakan penyakit kegawat daruratan yang perlu ditangani secara cepat dan
tepat, agar menghindari kecacatan sampai menyebabkan kematian. Beberapa penyakit itu
diantaranya, Stevens Johnson Syndrome, Nekrolisis Epidermal Toxic, Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome, Pemfigus Vulgaris, selulitis dan eritroderma.
BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

DEFINISI
Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis (TEN)
atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom
tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas
dan memisahkan dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi
kulit dan selaput lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

ETIOLOGI

1. Infeksi
2. Alergi Sistemik terhadap Obat
3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler.
4. Pasca vaksinasi : - BCG, Smalpox dan Poliomyelits.
5. Penyakit-penyakit keganasan : - Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma, dan polisitemia.
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma.
8. Radioterapi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

PATOGENESIS
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik
terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan
sel Limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini,
yaitu: IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B (Effendi, 2016).

Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-
NET. Obat-obat yang sering menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromatik, alopurinol, anti
inflamasi non-steroid dan neviparin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor
genetik yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat menjadi penyebab SSJ-NET,
namun tidak sebanyak pada kasus eritema multiformis, misalnya infeksi virus dan mycoplasma (Effendi, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

GAMBARAN KLINIS

Kelainan pada Kulit Kelainan pada Mukosa Kelainan pada Mata


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemerikasaan yang perlu dilakukan adalah darah tepi lengkap, analisis gas darah, kadar elektrolit,
albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu, dan foto rontgen paru. Selama
perawatan, perlu diwaspadai tanda-tandad sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menunjang diagnosa sepsis (Effendi, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

DIAGNOSIS KLINIS

Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan
penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat terasangka dan gambaran
klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan
pada <10% LPB, NET bila epidemolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis
10-30% LPB. (Effendi, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

DIFFERENT DIAGNOSA
Eritema multiformis (EM)
1
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
2
Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
3
Erupsi Pustural Obat
4 I hope and I believe that this Template will your Time, Money and Reputation. Get a modern
PowerPoint Presentation that is beautifully designed.
Erupsi Fototoksik
5
Toxic shock syndrome
6
a) Staphylococcal scalded skin syndrome
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

PENATALAKSANAAN

UMUM SPESIFIK

a. Penghentian Obat Penyebab a. Kortikosteroid Sistemik


b. Menjaga Keseimbangan Cairan, b. Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Termoregulasi dan Nutrisi c. Siklosporin A
c. Antibiotik d. Agen TNF-α
d. Perawatan Luka e. Plasmafaresis atau Hemodialisis
e. Perawatan Mata dan Mulut
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STEVENS JHONSON SYNDROM DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

PROGNOSIS

Dalam perjalanan penyakitnya, SJJ-NET dapat mengalami penyulit yang dapat mengancam
nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan
SCORTEN
Clinical-Biologic Parameter Individual score Nilai SCORTEN Angka kematian
Age >40 years Yes = 1, No=0 0-1 3,2
Malignancy Yes = 1, No=0 2 12,1
Tachycardia (>120/min) Yes = 1, No=0 3 35,8
Initial surface of epidermal Yes = 1, No=0 4 58,3
detachment >10% 5 90
Tabel 2.1 Angka Kematian Pasien SSJ-NET berdasarkan nilai SCORTEN
Serum urea >10 mmol/L Yes = 1, No=0
Serum glucosa >14 mmol/L Yes = 1, No=0
Bicarbonate <20 mmol/L Yes = 1, No=0
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

DEFINISI
Staphylococcal Scaled Skin Syndrome adalah infeksi kulit oleh staphylococcus aureus tipe tertentu
dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis (Djuanda, 2016). Staphylococcus aureus adalah patogen
jenis Staphylococcus, yang dapat menyebabkan infeksi supurasi atau sepsis dengan berbagai jenis manifestasi
seperti impetigo, piodermas, infeksi pada kulit, dan pneumonia. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
disebabkan oleh racun eksfoliatif yang diproduksi secara kasar 5% dari Staphylococcus aureus (Grama dkk,
2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

ETIOLOGI

Staphylococcal scalded skin syndrome [SSSS] atau penyakit Ritter adalah penyakit kulit vesikulasi yang
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus phage grup 2 strain 55 dan 71, paling sering terlihat pada anak-
anak di bawah usia 5 tahun. (Asokan dkk, 2019).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

PATOGENESIS
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorokan dan telinga. Eksositosin yang dikeluarkan
bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan
menyebabkan kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak
selalu ditemukan kuman penyebab (Djuanda, 2016).

Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-anak dan bayi diduga fungsi
ekskresi ginjal belum sempurna karena itu umumnya penyakit ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit
ini menyerang orang dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik,
termasuk yang mendapat obat imunosupresif (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

GEJALA KLINIS

Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran nafas bagian atas. Kelainan kulit
yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada wajah, leher, aksila dan lipatan paha,
kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar
berndinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas
sehingga memberi tanda Nikolsky positif.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

PEMERIKSAAN PENUNJANG
•Pemeriksaan bakterial
Jika terdapat infeksi ditempat lain, misalnya disaluran
nafas dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga
sebaiknya jika diperiksa mengenai tipe kuman, karena
Staphylococcal Scaled Skin Syndrome disebabkan oleh
staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit, seperti telah
disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan
kulit akibat toksin (Djuanda, 2016).
•Histopatologi
Pada Staphylococcal Scaled Skin Syndrome terdapat
gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal, celah
terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh sering
mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya
utuh tanpa disertai nekrosis sel (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

DIFFERENT DIAGNOSA

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

PENATALAKSANAAN

Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat pinisilin hendaknya


yang juga efektif bagi staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase.
Misal kloksasilin dengan dosis 3x250 mg untuk orang dewasa sehari peroral.
MEDIKAMENTOSA
Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3x50 mg sehari per os. Obat lain yang
dapat diberikan yaitu klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat
diberikan sofratulle atau krim antibiotik. Selain itu harus juga diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit. (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
STAPHYLOCOCCAL SCALED SKIN SYNDROME

PROGNOSIS

Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia dibawah setahun. Yang berkisar antara 1-10%.
Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

DEFINISI
Pemfigus merupakan kelainan autoimun berupa bulla atau vesikel di kulit ataupun mukosa, berasal dari
lapisan suprabasal epidermis dan disebabkan oleh proses akantolisis, secara imunopatologi terdapat
imunglobulin yang menyerang sel keratinosit. Pemfigus dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pemfigus
vulgaris dan pemfigus foliaceus. Pada pemfigus vulgaris, bulla muncul dari lapisan suprabasal epidermis,
sedangkan pada pemfigus foliaceus, bulla muncul pada lapisan granulosum. (William, 2016).

Pemfigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatose yang bersifat kronis, disertai dengan adanya
proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis (Murtiastutik dkk, 2016)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

ETIOLOGI

Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh
obat (drug induce pemphigus), misalnya D-penisilin dan katopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk
pemfigus foliaseus (termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul
dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus
yang sporadik, pemeriksaan imunoflorensi langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan
imunoflourensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif (Wiryadi, 2016).

Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai
pemfigus paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan bersam-sama dengan penyakit autoimun yang lain,
misalnya lupus eritemastus sistemik, pemfigoid bulosa, mistenia gravis dan anemia pernisiosa(Wiryadi, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

PATOGENESIS
Lepuh pada Pemfigus Vulgaris akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen Pemfigus Vulgaris. Antigen
ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160kD untuk Pemfigus Foliaesus dan berat molekul
130 kD untuk Pemfigus Vulgaris yang terdapat pada permukaan sel-sel keratinosit. Target antigen pada Pemfigus
Vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada
pemfigus foliaseus , target antigennya ialah desmoglein 1 (Wiryadi, 2016).

Desmoglain adalah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain misalnya desmoplakin, plakoglobin
dan desmokolin. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat
pada kulit dan mukosa. Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas igG dan igG4, tetapi
yang patogenik ialah igG4. Pada pemfigus juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4 (Wiryadi,
2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

GEJALA KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang
disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah diagnosa sebagai pioderma pada kulit
kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi ditempat tersebut dapat
berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalista. Semua selaput lendir dengan
epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir konjungtiva, hidung, faring, laring,
esofagus, uretra, vulva dan serviks (Wiryadi, 2016).
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan diatas kulit yang
terkelupas tersebut. Bula dapat timbul diatas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa
dan generalisata. Tanda nikolsky positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui
tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan
kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas
karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan. Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus,
tetapi penderita sering mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah
penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa
jaringan parut(Wiryadi, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Histopatologi
b. Imunofluoresensi
 Imunofluoresensi langsung
 Imunofluoresensi tidak langsung
c. Tzanck test
: Histo-PA Pemfigus Vulgaris
d. Biopsi
e. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik :
 Leukositosis  
 Eosinofilia
 Serum protein rendah
 Gangguan elektrolit
 Anemia
(A). Imunofluoresensi langsung. (B).Imunofluoresensi pada pemfigus.
 Peningkatan laju endap darah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

DIFFERENT DIAGNOSA

Dermatitis Herpetiformis
1

Pemfigoid Bulosa
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis Pemfigus Vulgaris dapat ditegakan berdasarkan anamnesis,  pemeriksaan  pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan pemeriksaan fisik dapat ditemukan tidak adanya
adhesi pada epidermis, dengan pemeriksaan:

 Nikolsky Sign : penekanan dan atau penggosokan pada lesi menyebabkan terbentuknya lesi,
epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.
 Bullae spread phenomenon : bula ditekan → isinya tampak menjauhi tekanan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD dr.Soetomo
edisi 3 adalah sebagai berikut :

1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan yang tepat.
2. Topikal : a. Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl0.9%) b. Lesi Kering : talcum Acidum Salicylicum 2%.
3. Sistemik :
a. Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder
b. Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris, diberikan Dexamethasone atau sejenisnya.
Dosis : bila keras dapat diberikan 3-4 mg Dexamethasone/hari.
c. Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat diberikan Azathioprine (Imuran) 1-2
mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PEMFIGUS VULGARIS

PROGNOSIS

Terapi kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang
yang tidak mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi serta gangguan
yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk
menginduksi remisi, dan adanya penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia
lanjut dan yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil
kasus pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus (Zeina, 2011).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

DEFINISI
Selulitis adalah suatu inflamasi jaringan subkutan dimana proses inflamasi yang
umumnya dianggap sebagai penyebab adalah bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus
(Murtiastutik dkk, 2016). Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti
eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti
demam dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis yang mengalami supurasi disebut
flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang
disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan
yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus
(Djuanda, 2008).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

ETIOLOGI

Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta
hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib),
Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B
adalah penyebab yang jarang pada selulitis (Concheiro, 2009).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

PATOGENESIS

Biasanya timbul setelah adanya luka. Selulitis dapat terjadi melalui pintu masuk berupa luka
pada berbagai tempat di mukokutan atau lebih jarang lagi melalui penyebaran secara hematogen ke
jaringan lunak (Sawitri dkk, 2005).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

GEJALA KLINIS

Gambaran klinis umumnya semua bentuk


ditandai dengan gejala malaise, demam, menggigil.
Pada lesi kulit berupa eritema lokal yang nyeri
dengan cepat maka akan menjadi merah, meluas
namun batasnya tidak jelas (difus) dan tepi tidak
meninggi. Kadang pada bagian tengahnya menjadi
nodular dan diatasnya terdapat vesikula yang pecah
mengeluarkan pus (nanah) serta jaringan nekrotik
(Murtiastutik dkk, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan darah lengkap umumnya terdapat leukositosis ≥20.000/mmᶟ. Kultur


darah serta spesimen dari cairan vesikel/erosi/ulkus. Untuk organisme penyebab juga bisa
didapatkan pada fisura, daerah trauma yang letaknya dekat atau jauh dari anggota badan yang
terinfeksi. Sedangkan apabila lesi berada pada wajah maka kuman yang harus dicari pada
daerah hidung, tenggorokan, konjungtiva beserta sinus-sinus (Murtiastutik, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

DIFFERENT DIAGNOSA

Erisipelas
1

Dermatitis Kontak
2

Trombosis Vena Dalam


3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada pemeriksaan
klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat
dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat
menjadi septikemia (Wolff, 2008).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
SELULUTIS

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana untuk penyakit Selulitis menurut Murtiastutik


dkk, 2016 pada Buku Atlas Kedokteran yaitu: 4. Obat alternatif:
a. Eritromisin stearat 4 dd 250-500mg; anak
1. Sebaiknya tirah baring 40mg/KgBB/hari, 10 hari
2. Bagian tubuh yang terkena diimobilisasi b. Penicillinase resistant penicillin:
3. Obat pilihan adalah penisilin:  Kloksasilin 4 dd 250-500mg 10 hari
a. Benzyl penicillin 600-1200 mg, iv tiap 6 jam minimal 10  Dikloksasilin 4 dd 250-500 10 hari
hari c. Klindamisin 4 dd 150-300mg; anak 15 mg/kgBB/hari 10
b. Penisilin G kristal: 1,2 juta IU, im/iv 6 kali/24jam, 10 hari
hari d. Siprofloksasin 2 dd 500mg 7 hari (untuk anak diatas 13
c. Penisilin G prokain: 0,6-1,2 juta IU, im, 2kali/24jam, 10 tahun)
hari e. Sephalosporins. Misalnya Sephaleksin 4 dd 250-500mg;
d. Aminopenisilin: anak 40-50mg/ KGBB/hari 10 hari.
 Amoksisilin 3 dd 500mg
 Ampisilin 4 dd 250-500mg, 7-10 hari
 Amoksisilin dengan Klavulanik asid
20mg/kgBB/hari, 10 hari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

DEFINISI
Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema universalis (90%-
100%), biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara 50%-90% kami menamainya pre-
eritroderma. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema, sedangkan skuama
tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya
tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama. Pada
eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas, karena bercampur dengan hiperpigmentasi
(Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

ETIOLOGI

Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit,
penyakit sistemik termasuk keganasan. Penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma
diantaranya adalah psoriasis, dermatitis deskuamativum, alergi obat, CTCL atau sindrom sezary
(Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

PATOGENESIS

Patofisiologi eritroderma belum jelas yang dapat diketahui ialah akibat suatu agent, dalam tubuh,
maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal Kemungkinan
pelbagai sitokin berperan. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran
darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah Akibatnya pasien merasa dingin dan
menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat
peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin me ningkat dapat menyebabkan dehidrasi Bila
suhu badan meningkat, kehilangan panas juga me ningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas
menyebabkan hipermetabolisme kompen satoar dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan
cairan oleh transpirasi meningkat sebanding dengan laju metabolisme basal (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

GEJALA KLINIS

a. Eritroderma akibat alergi obat sistemik


b. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
 Eritroderma karena psoriasis
 Penyakit linear
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
d. sindrom sezary

Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan leukositosis (rata-rata 20.000/mm), 19% dengan
eosinofilia dan limfo sitosis. Selain itu, terdapat pula limfosit atipik yang disebut sel Sézary. Sel ini besarnya 10-20 um,
mempunyai sifat yang khas, inti homogen, lobular dan tak teratur. Selain terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam
kelenjar getah bening dan kulit. Biopsi pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis
bagian atas dan terdapatnya sel Sézary.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

DIFFERENT DIAGNOSA

Dermatitis (kontak/atopic)
1

Psoriasis vulgaris
2

Drug eruption
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis dapat ditegakkan apabila ditemukan secara klinis keradangan kulit yang eritematus
disertai deskuamasi, yang meliputi daerah yang luas hingga mencapai 90% atau lebih luas permukaan
tubuh (Murtiastutik, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

PENATALAKSANAAN
Umumnya pengobatan eritroderma adalah kortikosteroid. Pengobatan penyakit Leiner dengan kortiko steroid
1. Golongan I : Prednison 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi memberi hasil yang baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari.
cepat, umumnya dalam beberapa hari - beberapa minggu. Pada sindrom Sézary peng obatannya terdiri atas
kortikosteroid (prednison 30 mg sehari) atau metilprednisolon
2. Golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan ekuivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil
kortikosteroid. Dosis mula prednison 4x 10-15 mg sehari. dengan dosis 2 -6 mg sehari (Djuanda, 2016).
Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi
dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan protein, karena terlepasnya skuama meng akibatkan
perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan pada kehilangan protem. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien
psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema,
karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin (lihat misalnya dengan salap lanolin 10% atau krim urea 10%
pengobatan sistemik psoriasis). Lama penyembuhan golongan (Djuanda, 2016).
II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi
tidak secepat seperti golongan I. (Djuanda, 2016).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ERITRODERMA

PROGNOSIS

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik, prognosisnya baik.
Penyembuhan golongan ini ialah yang ter cepat dibandingkan dengan golongan yang lain. Pada eritroderma yang
belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien akan mengalami
ketergantungan kortikosteroid (corticosteroid dependence) (Djuanda, 2016).

Sindrom Sézary prognosisnya buruk, pasien laki-laki umumnya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan
pasien perempuan setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis
fungoides (Djuanda, 2016).
BAB III
PEM

Kegawatan dalam dermatologi Kegawat daruratan merupakan kondisi pasien


BAHA

dimana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Hal ini membutuhkan Tindakan
penanganan segera dan cepat di rumah sakit. Adapun juga Tindakan penanganan
SA

lanjutan dimaksud untuk menyelamatkan pasien dalam hal memcegah dan


membatasi kecacatan sertta meringankan kondisi pasien tersebut.
N

Adapun beberapa penyakit yang merupakan penyakit kegawat daruratan


yang perlu ditangani secara cepat dan tepat, agar menghindari kecacatan sampai
menyebabkan kematian. Beberapa penyakit itu diantaranya yaitu Stevens
Johnson Syndrome dan Nekrolisis Epidermal Toxic, Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome, Pemfigus Vulgaris, Selulitis dan Eritroderma.
PEM 1. Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit
sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas
BAHA

kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan
multifaktorial. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini yaitu infeksi (bakteri,virus,
jamur), alergi sistemik terhadap obat, Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler, Pasca vaksinasi (BCG, Smalpox dan
SA

Poliomyelits), Penyakit-penyakit keganasan (Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma, dan


polisitemia), Kehamilan dan Menstruasi, Neoplasma, Radioterapi. SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang,
N

secara umum insiden SJJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0,4-1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5%-12%.
Penyakit ini dapat terjadi setiap usia, terjadi peningkatan resiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih
sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum
sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan
apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel Limfosit T CD8+ yang spesifik
terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu: IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-
18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.Gejala SJJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan
obat. Sebelum terjadi lesi kulit dapat timbul gejala non spesifik.
PEM Gejala awal mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata menyengat dan ketidaknyamanan
setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala ini mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal
keterlibatan kulit adalah wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki. Keterlibatan
BAHA

(eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan
dalam beberapa kasus sistem pernapasan dan pencernaan juga dipengaruhi. Tidak ada pemeriksaan laboratorium
yang penting untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding,
SA

dan umumnya diperlukan untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi
keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien. Pemerikasaan yang perlu dilakukan adalah darah tepi lengkap,
N

analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu, dan
foto rontgen paru. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menunjang diagnosa sepsis. Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama
seperti pada luka bakar. Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen
cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan
infeksi. Pada penatalaksanaan yang spesifik yaitu Kortikosteroid Sistemik, Immunoglobulin Intravena (IVIG),
Siklosporin A, Agen TNF-α, Plasmafaresis atau Hemodialisis. Dalam perjalanan penyakitnya, SJJ-NET dapat
mengalami penyulit yang dapat mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET
dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN.
PEM 2. Staphylococcal Scaled Skin Syndrome adalah infeksi kulit oleh staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Staphylococcal scalded skin syndrome [SSSS] atau penyakit Ritter
adalah penyakit kulit vesikulasi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus phage grup 2 strain 55 dan
BAHA

71. Penyakit ini terutama terdapat pada anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak daripada wanita. Sebagai
sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorokan dan telinga. Eksositosin yang dikeluarkan bersifat
epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan menyebabkan
SA

kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab. Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran nafas bagian
N

atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada wajah, leher, aksila dan
lipatan paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar
berndinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas
sehingga memberi tanda Nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan
lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya
mirip kombutio. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi dalam 10 hari. Meskipun bibir
sering dikenai, tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa
disertai sikatriks.
PEM
2. Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan bakterial Jika terdapat infeksi ditempat lain
sebaiknya jika diperiksa mengenai tipe kuman, karena Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
BAHA

disebabkan oleh staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada pemeriksaan histopatologi pada
Staphylococcal Scaled Skin Syndrome terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh sering mengandung
SA

sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa disertai nekrosis sel. Pengobatannya
N

ialah antibiotik, jika dipilih derivat pinisilin hendaknya yang juga efektif bagi staphylococcus
aureus yang membentuk penisilinase. Misal kloksasilin dengan dosis 3x250 mg untuk orang
dewasa sehari peroral. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3x50 mg sehari per os. Obat lain
yang dapat diberikan yaitu klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat diberikan
sofratulle atau krim antibiotik. Selain itu harus juga diperhatikan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia dibawah setahun. Yang berkisar
antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan
sepsis.
PEM
3. Pemfigus merupakan kelainan autoimun berupa bulla atau vesikel di kulit ataupun mukosa, berasal dari
lapisan suprabasal epidermis dan disebabkan oleh proses akantolisis, secara imunopatologi terdapat
BAHA

imunglobulin yang menyerang sel keratinosit. juga dapat disebabkan oleh obat (drug induce pemphigus),
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai
pemfigus paraneoplastik. Prevalensi pemfigus vulgaris 1-4 kasus per 100.000, dengan insidens 0,5-4 kasus per
1 juta orang per tahun; kejadian tertinggi di dunia terdapat di Amerika Serikat dan Eropa. Dapat terjadi pada
SA

seluruh kelompok usia, umumnya pada kelompok usia 50-60 tahun, sama antara pria dan wanita. Pemfigus
N

vulgaris banyak terjadi pada keturunan Yahudi dan Timur Tengah, berhubungan dengan human leukocyte
antigen (HLA) DR4 dan DR6. Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di
kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai
pembentukan krusta, sehingga sering salah diagnosa sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau
dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi ditempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul
bula generalista. Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir
konjungtiva, hidung, faring, laring, esofagus, uretra, vulva dan serviks. Kebanyakan penderita stomatitis aftosa
sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi dimulut ini dapat meluas dan dapat mengganggu pada waktu
penderita makan karena rasa nyeri.
PEM
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit terkelupas, dan diikuti oleh
pembentukan krusta yang lama bertahan diatas kulit yang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul diatas kulit
yang tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda nikolsky positif disebabkan oleh adanya
BAHA

akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara
dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena
cairan yang didalamnya mengalami tekanan. Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering
mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut. Pada pemeriksaan penunjang yaitu
SA

pemeriksaan histopatologi didapatkan bula intrapidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami
akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan uji Tzanck positif. Uji ini berguna untuk menentukan adanya
N

sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop elektron dapat diketahui, bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan
segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.
Pemeriksaan immunofouresensi ada 2 yaitu immunofouresensi lansung dan tidak langsung. Pemeriksaan
Tzanck test bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa maka tampak sel akantolitik atau sel tzanck.
Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari adanya bula intraepidemal.
Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik(Leukositosis, Eosinofilia, Serum protein rendah, Gangguan
elektrolit,Anemia, Peningkatan laju endap darah). Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris yaitu
Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan yang tepat. Pemberian obat
topikal jika lesi basah kompres garam faali (NaCl0.9%) dan jika lesi kering berikan talcum Acidum
Salicylicum 2%. Pemberian obat Sistemik yaitu antibiotik diberikan bila timbul infeksi sekunder, dengan
sebelumnya dilakukan pemeriksaan gram, kultur dan tes sensitivitas, antibiotik spectrum luas 7-10 hari.
PEM
Kortikosteroid merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris, diberikan Dexamethasone atau sejenisnya.
Dosis bila keras dapat diberikan 3-4 mg Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak timbul bula
baru, dosis dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan Azathioprine untuk mencegah relaps, sampai
BAHA

dengan dosis terandah yang tidak menimbulkan bula baru. Imunosupresan untuk mengurangi dosis
kortikosteroid dapat diberikan Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet. Morbiditas
dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk menginduksi
remisi, dan adanya penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia lanjut dan
yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil kasus
SA

pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus


N
PEM 4. Selulitis adalah suatu inflamasi jaringan subkutan dimana proses inflamasi yang umumnya dianggap sebagai
penyebab adalah bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus. Penyebab selulitis paling sering pada orang
dewasa adalah Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis
BAHA

pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus
aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang pada selulitis. Biasanya timbul
setelah adanya luka. Selulitis dapat terjadi melalui pintu masuk berupa luka pada berbagai tempat di mukokutan
atau lebih jarang lagi melalui penyebaran secara hematogen ke jaringan lunak. Gambaran klinis umumnya semua
SA

bentuk ditandai dengan gejala malaise, demam, menggigil. Pada lesi kulit berupa eritema lokal yang nyeri dengan
N

cepat maka akan menjadi merah, meluas namun batasnya tidak jelas (difus) dan tepi tidak meninggi. Kadang pada
bagian tengahnya menjadi nodular dan diatasnya terdapat vesikula yang pecah mengeluarkan pus (nanah) serta
jaringan nekrotik. Pada pemeriksaan darah lengkap umumnya terdapat leukositosis ≥20.000/mmᶟ. Kultur darah
serta spesimen dari cairan vesikel/erosi/ulkus. Untuk organisme penyebab juga bisa didapatkan pada fisura, daerah
trauma yang letaknya dekat atau jauh dari anggota badan yang terinfeksi. Sedangkan apabila lesi berada pada
wajah maka kuman yang harus dicari pada daerah hidung, tenggorokan, konjungtiva beserta sinus-sinus.
Tatalaksana untuk penyakit Selulitis yaitu sebaiknya tirah baring, bagian tubuh yang terkena diimobilisasi, obat
pilihan adalah penisilin seperti(Benzyl penicillin,Penisilin G kristal, Penisilin G prokain, Aminopenisilin yaitu
Amoksisilin, Ampisilin, Amoksisilin dengan Klavulanik asid), obat alternatif yaitu Eritromisin stearat,
Penicillinase resistant penicillin: (Kloksasilin ,Dikloksasilin) Klindamisin, Siprofloksasin, Sephalosporins.
PEM 5. Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema universalis (90%-100%), biasanya disertai
skuama. Bila eritemanya antara 50%-90% kami menamainya pre-eritroderma. Eritroderma dapat disebabkan oleh
akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. Penyakit kulit
BAHA

yang dapat menimbulkan eritroderma diantaranya adalah psoriasis, dermatitis deskuamativum, alergi obat, CTCL
atau sindrom sezary. Patofisiologi eritroderma belum jelas yang dapat diketahui ialah akibat suatu agent, dalam
tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal Kemungkinan
pelbagai sitokin berperan. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
SA

kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada
N

eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit.
Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi Bila suhu badan meningkat, kehilangan
panas juga me ningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompen
satoar dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding dengan
laju metabolisme basal. Gejala eritroderma akibat alergi obat sistemik ialah masuknya obat ke dalam tubuh dengan
berbagai cara, misalnya melalui mulut, hidung, rektum dan vagina, serta dengan cara suntikan/infus. Selain itu
alergi dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi dan melalui kulit sebagai obat luar. Bila ada obat
lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh yang diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering
menimbulkan alergi.
PEM
Gambaran klinisnya berupa eritema universal dan skuama akan timbul di stadium penyembuhan. Eritroderma
akibat perluasan penyakit kulit yaitu penyakit yang sering terjadi ialah akibat psoriasis, dermatitis seboroik
pada bayi(penyakit linear). Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan Setiap kasus eritroderma
yang tidak termasuk golongan I dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus diperiksa secara
BAHA

menyeluruh (termasuk peme riksaan laboratorium dan sinar-X toraks). sindrom sezary. Penyakit ini termasuk
limfoma, ada yang berpendapat merupakan stadium dini mikosis fungoides. Sindrom ini ditandai dengan
eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu, terdapat
pula infiltrat pada kulit dan edema. Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan
leukositosis (rata-rata 20.000/mm), 19% dengan eosinofilia dan limfo sitosis. Selain itu, terdapat pula limfosit
SA

atipik yang disebut sel Sézary. Sel ini besarnya 10-20 um, mempunyai sifat yang khas, inti homogen, lobular
dan tak teratur. Selain terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam kelenjar getah bening dan kulit.
N

Biopsi pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis bagian atas dan
terdapatnya sel Sézary. Penatalaksanaan non medikamentosa pada eritroderma golongan I, obat yang diduga
sebagai penyebab harus segera dihentikan. Pada penatalaksanaan medikamentosa umumnya pengobatan
eritroderma adalah kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis
prednison 4 x 10 mg. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis
mula prednison 4x 10-15 mg sehari. . Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan.
Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni
karena alergi obat secara sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang ter cepat
dibandingkan dengan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan
dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien akan mengalami ketergantungan kortikosteroid.
Sindrom Sézary prognosisnya buruk, pasien laki-laki umumnya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan
pasien perempuan setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi
mikosis fungoides.
THANK YOU
DAFTAR PUSTAKA

Asokan S, Eashwar A, Gopalakrishnan S. 2019. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Indian Journal of Public Health Research &Development. Vol. 10. No.8.
Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94.
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008.
Djuanda A. 2016. Eritroderma dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:FKUI.
Djuanda A. 2016. Staphylococcal Scaled Skin Syndrome dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:FKUI.
Effendi E.H. 2016. Sindrom Steven Jhonson (SJJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta:FKUI.
Fitriany J, Alratisda F. 2019. Sindrom Steven Jhonson (SJJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET). Jurnal Averrous Vol.5.
Grama A, Marginean O.C, Melit L.E, Georgescu A.M. 2016. Staphylococcal Scaled Skin Syndrome. The Journal of Critical Care Medicine.
Hafeez J, Shaikh ZI, Mashood AA, et al. Frequency of various etiological factors associated with erythroderma. Journal of Pakistan Association of dermatologists 2010;20:70-74.
Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S. 2016. Pemfigus Vulgaris. Atlas penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi 2. Surabaya. Dep/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD
Dr.Soetomo Surabaya.hal 145.
Sawitri, Listiawan M.Y, SP C.R. 2005. Pedoman dan Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Edisi ke III Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
William V. 2016.Pemfigus Vulgaris: Diagnosa dan Tatalaksana. CKD-247. Vol 43. No.12
Wiryadi, Benny.E 2015. Ilmu Penyakit Penyakit Kulit dan Kelamin, Kelamin, Edisi keenam Cetakan Ketiga. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 234-238.
Wiryadi B E. 2016. Pemfigus Vulgaris. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:FKUI.
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically dermatology. New York: McGrawHill. 2008.
Zeina B, Elston D. Pemphigus vulgaris. Medscape Reference [Internet]. [cited 2011 June 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/ article/1064187.

Anda mungkin juga menyukai