Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

“CORNELIA DE LANGE SYNDROME”

Oleh :
Sana Ghita Fauziah G4A019033

Pembimbing :
dr. Nenden Nursyamsi Agustina, Sp.A

KSM ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
CORNELIA DE LANGE SYNDROME

Disusun Oleh:
Sana Ghita Fauziah G4A019033

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Juni 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Nenden Nursyamsi Agustina, Sp.A

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas keberkahannya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini dengan
judul “Cornelia de Lange Syndrome”
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Anak, terutama dr. Nenden Nursyamsi Agustina,
Sp.A selaku pembimbing penulis. Referat ini merupakan salah satu tugas di SMF
Ilmu Kesehatan Anak. Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo, khususnya bagi penulis yang sedang menempuh
pendidikan.

Purwokerto, Juni 2021

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................1


KATA PENGANTAR ............................................................................................2
I. PENDAHULUAN ...............................................................................................1
II. LAPORAN KASUS ..........................................................................................3
III. TINJAUAN PUSATKA ................................................................................10
A. Pengertian Cornelia de Lange Syndrome ..................................................10
B. Epidemiologi Cornelia de Lange Syndrome .............................................10
C. Etiopatogenesis Cornelia de Lange Syndrome ..........................................11
D. Tanda dan Gejala Cornelia de Lange Syndrome.......................................15
E. Diagnosis Cornelia de Lange Syndrome ...................................................22
F. Diagnosis Banding Cornelia de Lange Syndrome .....................................28
G. Tatalaksana Cornelia de Lange Syndrome ................................................30
H. Komplikasi Cornelia de Lange Syndrome ................................................33
III. KESIMPULAN ..............................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................35

3
I. PENDAHULUAN

Cornelia de Lange syndrome (CdLS) adalah sindrom yang ditandai


dengan gangguan perkembangan multisistem dengan wajah dismorfik yang
menjadi ciri diagnostik utama (Desai et al., 2021). CdLS terjadi akibat
gangguan fungsi kohesin akibat mutasi dari tujuh gen yang telah teridentifikasi,
yakni Nipped-B-Like Protein (NIPBL), Structural maintenance of
chromosomes 1A (SMC1A) dan 3 (SMC3A), double strand break repair
protein rad21 homolog (RAD21), bromodomain-containing protein 4 (BRD4),
histone deacetylase 8 (HDAC8_, dan ankyrin repeat domain-containing
protein 11 (ANKRD11) (Kline et al., 2018).
Cornelia de Lange syndrome (CdLS) merupakan suatu kasus yang jarang
ditemukan dengan insidensi yang dilaporkan bervariasi, yaitu 1 kasus per
10.000 hingga 50.000 kelahiran (Swols et al., 2021). Saat ini di Indonesia
terdapat 30 penderita Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) yang tersebar di
seluruh provinsi, dan di Jawa Tengah terdapat 2 penderita CdLS yaitu di
Yogyakarta dan Semarang (Susanti et al., 2019).
Pasien dengan CdLS sebagian besar terdiagnosis segera setelah lahir dan
terkadang juga dapat didiagnosis sebelum lahir (prenatal) melalui USG. Secara
klinis, fenotip CdLS dapat dikategorikan menjadi klasik dan non-klasik.
Pemeriksaan genetik molekuler diperlukan untuk konfirmasi diagnosis, karena
dapat mendeteksi varian gen yang terlibat dalam etiopatogenesis CdLS (Kline
et al., 2018).
Intervensi dini pada pasien dengan CdLS diperlukan terutama untuk
memperbaiki gangguan makan, gangguan pendengaran dan penglihatan,
penyakit jantung bawaan, dan abnromalitas sistem urinaria. Oleh karena itu
dalam perawatannya perlu konsultasi dengan berbagai bidang spesialisasi
seperti geneticist, ophtalmologist, cardiologist, dan nephrologist. Sebagian
besar anak dengan sindrom ini tidak dapat bertahan hingga usia lebih dari 2
tahun. Pnerumonia, bersamaan dengan abnormalitas jantung, respiratori, dan
gastrointestinal merupakan penyebab kematian utama pada pasien ini (Desai
et al., 2021).

1
2

Berdasarkan prevalensinya, CdLS merupakan kasus yang sangat jarang


terjadi. Oleh karena itu, pada karya tulis ini penulis ingin membahas mengenai
pengertian, etiopatogenesis, manajemen, dan terutama diagnosis pada pasien
CdLS
3

II. LAPORAN KASUS

Kasus yang ditemukan di RSUD Margono Soekarjo (RSMS), yaitu seorang


anak laki-laki usia 2 tahun 5 bulan yang datang ke Poliklinik RSMS dengan keluhan
utama tumbuh kembang pasien yang tidak sesuai dengan usia. Berikut merupakan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang penulis temukan.

A. Identitas Pasien

 Nama : An. A.M


 Tanggal lahir : 27 Januari 2019
 Usia : 2 tahun 5 bulan
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Rejamulya RT 01/RW 07, Kedungreja. Cilacap
 No. RM : 02169351
 Waktu Anamnesis : 03 Juni 2021 (10.00)

B. Anamnesis

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang anak laki – laki berusia 2 tahun 5 bulan dibawa oleh orang
tua ke poliklinik Anak RSMS pada Hari Kamis, 03 Juni 2021 dengan
keluhan tumbuh kembang anaknya tidak sesuai usianya. Dimana diakui
oleh ibunya bahwa jalannya belum normal, kakinya bengkok, belum
dapat berbicara, dan terdapat seperti tonjolan tulang pada dadanya. Pasien
baru bisa berjalan saat usia 20 bulan, Merangkak saat usia 8 bulan, serta
baru dapat duduk sendiri saat usia 12 bulan. Diakui ibu pasien, bahwa
pasien juga sulit makan, hanya ingin minum susu saja, serta sulit BAB,
apabila BAB keras dan seperti kesakitan.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat Hernia Diafragma saat usia 2 bulan, dan
sudah menjalani operasi saat usia 3 bulan di RS Banyumas. Serta
melakukan kontrol post-operasi sebanyak 1 kali.
4

3. Riwayat Pribadi
Pasien lahir dari ibu G3P2A0 usia 42 tahun lahir sectiocecaria atas
indikasi perdaharan ante partum dan plasenta previa. Saat hamil ibu
pasien tidak memiliki Hipertensi Gestasional, Diabetes Mellitus, Riwayat
trauma ataupun Infeksi. Serta rutin memeriksakan kandungannya di
bidan, dan hanya mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan bidan.
Pasien lahir diusia kehamilan 37 minggu dengan berat lahir 3.100 gram,
panjang lahir 49 cm. Saat lahir langsung menangis, tidak ada riwayat
pemakaian oksigen, dan setelah lahir dirawat gabung dengan ibu. Pada
saat usia 2 bulan terdapat benjolan pada perut dan dilakukan operasi pada
usia 3 bulan, saat 7 bulan pasien pernah dibawa ke dokter anak dan
disarankan dirujuk ke RSMS karena kepala yang kecil dan disarankan
untuk CT-Scan, namun keluarga menolak.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga, kakak kandung, ataupun kakek / nenek yang
mengalami keluhan serupa seperti pasien.
5. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan kakaknya. Pekerjaan
ayah buruh lepas, pekerjaan ibu IRT. Rumah terdiri dari 2 kamar tidur, 1
kamar mandi, lantai keramik, berdinding tembok, atap genteng
penerangan cukup, dan ventilasi yang cukup. Di sekitar rumah banyak
asap dan debu terdapat tempat pembakaran sampah di sekitar rumah.
Sumber air dari sumur. Tempat pembuangan berjarak 10 meter dari
sumber air.
5

6. Riwayat keluarga

4
46 th 44 th

Laki-Laki

Perempuan

23 th
Pasien
8 th 2 th

Meninggal

7. Kesimpulan Anamnesis
Seorang anak laki – laki usia 2 tahun 5 bulan dibawa oleh orang tua ke
Poliklinik Anak RSMS pada Hari Kamis, 03 Juni 2021 dengan keluhan
tumbuh kembang tidak sesuai usia. Menurut keterangan ibu, pasien beulm bisa
berjalan normal dan belum dapat berbicara. Pasien merangkak saat usia 8
bulan dan baru dapat duduk sendiri pada usia 12 bulan. Keluhan lain yang
dialami pasien yaitu pasien sulit makan dan sulit BAB. Pasien memiliki
riwayat hernia diafragma yang diketahui saat usia 2 bulan dan telah menjalani
operasi pada usia 3 bulan.
6

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Baik / Composmentis


2. Vital sign
a. Nadi : 112 x/menit
b. Respiratory rate : 26 x/menit
c. Suhu : 36.4 0C
d. SpO2 : 99 %
3. Status Gizi & Antropometri
a. Usia : 2 tahun 5 bulan
b. BB : 12.5 kg
c. PB : 98 cm
d. BB/U : - 0.62 (BB Normal)
e. PB/U : 1.80 (TB baik)
f. BB/PB : - 2.62 (Gizi kurang)
4. Kepala : Mikrosefal LK : 44.5

Gambar 2.1 Berdasarkan kurva head circumference WHO menurut umur,


ukuran lingkar kepala An. A. M berada pada persentil -2 SD hingga -3 SD
dibawah rata-rata
7

a. Rambut : Warna hitam, distribusi merata


b. Wajah : Dismorfik, Alis tebal dan rapih, bulu mata panjang
dan lentik, mikrognatia
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC (+/+),
pupil isokor 3mm/3mm, mata cekung (-/-), downturned
eyes (+/+)
d. Hidung : NCH (-/-), discharge (-)
e. Telinga : Serumen (-), discharge (-), low set ear (+)
f. Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+), makroglossia (-)
g. Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

Gambar 2.2 Alis tebal dan rapi, bulu mata panjang dan lentik, mikrognatia
5. Pemeriksaan thorax
a. Dinding dada : Bentuk tidak simetris, retraksi substernal (+),
prominensia (tonjolan) pada sternum

Gambar 2.3 Prominensia (tonjolan) pada sternum


b. Paru
1) Inspeksi : Retraksi substernal (+), gerakan simetri
2) Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
3) Perkusi : Sonor (+) semua lapang paru
8

4) Auskultasi : SD vesikuler (+/+) menurun, RBK (+/+), RBH


(+/+), wheezing (-/-)
c. Jantung : bising sistolik (+), murmur (+)
6. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Datar, scar (+) post operasi hernia
diafragmatika pada LLQ
b. Palpasi : Supel (+), distensi (-), nyeri tekan (-), turgor
kulit < 2 detik, hepatomegali (-), splenomegali
(-)
c. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, asites (-)
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
7. Pemeriksaan Punggung : Deformitas (-)
8. Pemeriksaan ekstremitas : Edema (-/-//-/-), akral hangat (+/+/+/+),
CRT <2 detik, ukuran kaki relatif kecil, deformitas valgus (bow-legged)

Gambar 2.4 Ukuran kaki relatif kecil dan tampak valgus deformity (bow-
legged)
9. Pemeriksaan Genitalia : fimosis (-),parafimosis (-),testis (+)
9

Gambar 2.5 Scar pada LLQ dan undescended testis

10. Kesimpulan Pemeriksaan


Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan gizi kurang (WFH -2,62);
kepala mikrosefal; wajah dismorfik dengan ciri alis tebal dan rapih, bulu
mata panjang dan lentik, mikrognatia, downturned eyes, low set ear;
makroglosia. Pada pemeriksaan thorax didapatkan prominensia (tonjolan)
pada sternum. Pada abdomen didapatkan scar (+) post operatif pada left
lower quadrant (LLQ). Pada ekstremitas didapatkan ukuran kedua
tungkai relatif kecil dan tampak deformitas valgus. Pada genitalia
eksterna didapatkan testis belum turun atau undescended testis
(kriptokidismus).
10

III. TINJAUAN PUSATKA

A. Pengertian Cornelia de Lange Syndrome

Cornelia de Lange syndrome (CdLS) adalah sindrom yang ditandai


dengan gangguan perkembangan multisistem dengan wajah dismorfik yang
menjadi ciri diagnostik utama. Wajah dismorfik yang dimaksud yaitu
mikrosefali, alis yang lebat (bushy eyebrow) dengan synophris, bulu mata
panjang, hirsutisme, filtrum panjang dan halus, low set ear, mulut berbentuk
seperti ikan mas, dan lubang hidung yang melebar dan anteversi (Desai et al.,
2021). Gangguan perkembangan multisistem yang dapat ditemukan yaitu
berat badan lahir rendah, hambatan atau kegagalan pertumbuhan pada masa
prenatal dan postnatal, gangguan makan (feeding difficulties), keterlambatan
perkembangan psikomotor, gangguan perilaku, serta malformasi yang
terutama melibatkan ekstremitas atas (Swols et al., 2021).
Pada tahun 1916, dr. W. Brachmann pertama kali menemukan sindrom
dengan karakteristik yang sama dengan CdLS, namun pada tahun 1933,
seorang pediatrisian Belanda dari Amsterdam yaitu Cornelia de Lange,
merupakan orang yang pertama kali melaporkan dua kasus dari sindrom ini.
Oleh karena itu, CdLS juga seringkali disebut sebagai Amsterdam dwarfism,
Bushy Syndrome, atau Brachmann de Lange Syndome (Desai et al., 2021).

B. Epidemiologi Cornelia de Lange Syndrome

Cornelia de Lange syndrome (CdLS) merupakan suatu kasus yang jarang


ditemukan dengan insidensi yang dilaporkan bervariasi, yaitu 1 kasus per
10.000 hingga 50.000 kelahiran dan tidak terdapat predileksi ras. Sindrom ini
didapatkan sedikit lebih banyak dialami oleh perempuan dibandingkan laki-
laki dengan rasio 1.3:1 (Swols et al., 2021; Desai et al., 2021). Saat ini di
Indonesia terdapat 30 penderita Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) yang
tersebar di seluruh provinsi, dan di Jawa Tengah terdapat 2 penderita CdLS
yaitu di Yogyakarta dan Semarang (Susanti et al., 2019).

10
11

Sebagian besar anak dengan sindrom ini tidak dapat bertahan hingga usia
lebih dari 2 tahun. Pnerumonia, bersamaan dengan abnormalitas jantung,
respiratori, dan gastrointestinal merupakan penyebab kematian utama pada
pasien ini (Desai et al., 2021).

C. Etiopatogenesis Cornelia de Lange Syndrome

Spektrum CdLS telah dihubungkan dengan adanya abnormalitas


molekuler pada gen yang berfungsi untuk regulasi kromatin, terutama yang
terlibat dalam komplex kohesin. Kohesin adalah regulator penting dalam
sebagian besar aspek proses biologis kromosom, termasuk pemisahan
kromosom, pemeliharaan stabilitas kromosom, regulasi ekspresi gen, struktur
kromatin, organisasi genom. Gangguan fungsi kohesi disebut juga sebagai
kohesinopati. Telah ditetapkan bahwa penyebab CdLS adalah kohesinopati,
tetapi tidak semua kohesinopati pasti menyebabkan CdLS (Kline et al., 2018).
Tujuh gen yang telah teridentifikasi berhubungan dengan CdLS adalah
Nipped-B-Like Protein (NIPBL), Structural maintenance of chromosomes 1A
(SMC1A) dan 3 (SMC3A), double strand break repair protein rad21 homolog
(RAD21), bromodomain-containing protein 4 (BRD4), histone deacetylase 8
(HDAC8), dan ankyrin repeat domain-containing protein 11 (ANKRD11).
Kebanyakan individu dengan CdLS memiliki varian patogenik heterozigot
yaitu NIPBL, RAD21, atau SMC3 atau varian patogenik hemizigot yaitu
HDAC8 atau SMC1A. Namun mutasi yang paling sering ditemukan adalah
pada gen NIPBL, yaitu pada 60-70% kasus. Ketika orang tua secara klinis
tidak memiliki CdLS, risiko terjadinya CdLS terkait NIPBL diperkirakan 1,5%
akibat dari adanya kemungkinan germline mosaicism (Panaitescu et al., 2021;
Li et al., 2020).
Kasus CdLS lebih dari 99% bersifat sporadis dan 10% dari total kasus
memiliki perubahan pada kromosomnya seperti penataan ulang kromosom
yang tidak seimbang, duplikasi, atau trisomi parsial kromosom. (Swols et al.,
2021; Desai et al, 2021). Mutasi pada gen NIPBL merupakan kontriburor
utama penyebab sekitar lebih dari 50% kasus CdLS di seluruh dunia (Li et al.,
2020).
12

NIPBL, SMC3, dan RAD21 bersifat autosomal dominan. SMC1A dan


HDAC8 bersfifat dominan terkait-kromosom X. Terdapat bukti bahwa mutasi
pada EP300 juga dapat menyebabkan CdLS (Swols et al., 2021). Sebuah studi
oleh Aoi et al menunjukkan bahwa kelainan pada gen ZMYND11, MED13L,
dan PHIP juga dapat menyebabkan sindrom Cornelia de Lange atau kondisi
serupa (Aoi et al., 2019).
Kompleks kohesin, terdiri dari empat subunit inti, SMC1A, SMC3,
RAD21 dan STAG memiliki peran penting dalam kohesi kromatid, regulasi
ekspresi gen, dan perbaikan DNA. Faktor lain, seperti NIPBL dan HDAC8
mengatur aktivitas kohesin selama siklus sel. Pemuatan kohesin ke kromatin
dimediasi oleh NIPBL bersama dengan molekul pasngannya mAU2. Proses
ini terjadi pada fase G1 pada ragi atau pada akhir fase telofase pada sel
mamalia (Panaitescu et al., 2021).

Gambar 3.1 Kompleks Kohesin yang terlibat dalam patogenesis


Cornelia de Lange Syndrome (Kline et al., 2018)
Pada CdLS terjadi mutasi genetik yang mempengaruhi subunit atau
regulator dari kompleks kohesin. Komponen struktural inti terdiri dari RAD
21, SMC1A, dan SMC3A yang diperkiraan membentuk cincin tripartit yang
menjebak kromatid. Pada manusia, subunit kohesin SA1 (STAG1), STAG2,
atau STAG3 secara langsung menempel pada cincin tersebut dam membentuk
bagian dari kompleks ini. NIPBL dan MAU2 chromatid cohesion factor
homologue membentuk kompleks heterodimer bernama kollerin yang
diperlukan untuk pemuatan kohesin ke DNA, dan dimana protein yang
mengandung BRD4 berinteraksi dengan NIPBL. HDAC8 mengatur pelepasan
kompleks kohesin dari kromatin dengan mendeasetilasi SMC3. Interaksi
13

anatara ANKRD11 dengan kohesin masih dipelajari dan belum diketahi


hingga saat ini (Kline et al., 2018).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa CdLS
disebabkan oleh mutasi pada kohesin dan maupun regulator kohesin. Mutasi
ini menyebabkan perubahan dalam banyak proses biologis mendasar seperti
transkripsi, perbaikan (repair) DNA dan translasi, yang menyebabkan
disregulasi ekspresi gen, stres oksidatif tingkat tinggi, dan ketidakstabilan
genom. Beberapa kasus terjadi akibat mutasi pada gen yang mengkode mesin
transkripsi atau yang terlibat dalam remodeling kromatin dan modifikasi
histon, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan gen (Sarogni et al.,
2020).

Gambar 3.2 Ilustrasi patogenesis pada pasien CdLS (Sarogni et al.,


2020)
Kaur et al menunjukkan dan menyatakan bahwa tingkat ekspresi gen
NIPBL maupun gen lainnya, berkorelasi dengan keparahan fenotipik pada
CdLS. Mutasi non-sense pada NIPBL menyebabkan penurunan ekspresi
sekitar 35% dan memunculkan fenotipe yang parah. Delesi missense dan
inframe pada NIPBL dan gen lain dikaitkan dengan penurunan ekspresi 20%
dan menghasilkan fenotipe yang lebih ringan (Kaur et al., 2016).
Pasien dengan mutasi pada SMC1A dan SMC3 secara konsisten memiliki
fenotipe yang lebih ringan, dimana tidak ditemukan malformasi yang parah
pada ekstremitas dan anomali struktural lainnya. Fenotipe pada beberapa
pasien mirip dengan pasien yang mengalami retardasi mental nonsindromik.
Berdasarkan studi Gil-Rodríguez et al mengenai fenotipe CdLS akibat mutasi
14

SMC3, terdapat kecenderungan temuan klinis pada 16 pasien ke arah berikut


(Gill-Rodriquez et al., 2015) :
1. Gambaran kraniofasial terkait sindrom yang kurang khas (walaupun,
seperti pada kasussindrom Cornelia de Lange lain, mikrosefali
merupakan karakteristik)
2. Lebih sedikit mengalami cacat jantung bawaa
3. Anggota badan normal (seperti yang disebutkan di atas)
4. Retardasi pertumbuhan prenatal yang lebih ringan (meskipun menjadi
lebih parah pada masa kanak-kanak)

Gambar 3.3 Korelasi genotip dan fenotip CdLS. Varian patogenetik dari
pemotongan (translokasi, nonsense/framsehift) NIPBL menghasilkan fenotip
yang cenderung lebih berat. Sedangkan pada gen lain cenderung
mengasilkan fenotip yang lebih ringan (Sarogini et al., 2020).
Beberapa data otopsi menunjukkan disgenesis serebral, dengan
penurunan jumlah neuron, heterotopia neuronal, dan kelainan lipatan giral
fokal, sebagai penyebab keterlambatan psikomotor (Swols et al., 2021).
Mutasi NIPBL dikaitkan dengan fenotip CDLS klasik. Mutasi RAD21
jarang diobservasi dan biasanya dikaitkan dengan CDLS non-klasik disertai
dengan temuan anomali struktural yang konsisten, namun dengan tingkat
keterlambatan perkembangan yang ringan. Mutasi SMC3A dikaitkan dengan
CDLS non-klasik yang disertai dengan keterlambatan kognitif, namun dengan
dismorfisme wajah yang ringan dan tidak disertai dengan reduksi atau absans
ekstermitas atau digiti. Mutasi BRD4 diperkirakan terlalu jarang terjadi
sehingga tidak dapat diambil kesimpulan mengenai karakteristik fenotip yang
paling menonjol. Mutasi ANKRD11 dihubungkan dengan fenotip CDLS non-
15

klasik. Mutasi HDAC8 menghasilkan feotip yang sangat bervariasi dengan


beberapa individu memenuhi kriteria klasik CdLS. Mutasi SMC1A
merupakan mutasi kedua yang paling umum mengakibatkan CdLS dengan
fenotip non-klasik dengan dominasi retardasi mental yang bervariasi dari
ringan hingga berat (Panaitescu et al., 2021).

D. Tanda dan Gejala Cornelia de Lange Syndrome

1. Riwayat Pasien
Riwayat yang berkaitan dengan pasien sindrom Cornelia de Lange
(CdLS) adalah sebagai berikut (Swols et al., 2021):
a. Intrauterine Growth Retardation (IUGR) (68%)
1) Berat lahir rata-rata 2221 g untuk anak laki-laki dan 2.145 g (4
lb untuk anak perempuan.
2) Kebanyakan pasien mengalami pertumbuhan di bawah kurva
pertumbuhan normal sepanjang hidupnya.
3) Kecepatan pertumbuhan tinggi badan normal, tetapi
pertumbuhan saat pubertas melambat.
4) Kecepatan pertambahan berat badan lebih rendah dari kisaran
normal sampai remaja akhir.
5) Rerata lingkar kepala kurang dari persentil kedua.
b. Prematuritas (31%)
c. Tangisan bernada rendah, menangis lemah pada saat bayi. Gejala ini
tercatat sebagai kasus klasik dan menghilang saat anak tumbuh (74%)
d. Hipertonisitas awal (100%)
e. Kesulitan bernapas dan makan pada periode bayi baru lahir
(newborn) dan bayi (infant) (71%)
1) Kesulitan bernapas dan makan biasanya mengakibatkan gagal
tumbuh.
2) Temuan lain yang mungkin terkait diantaranya
gastroesophageal reflux (90%), stenosis pilorus (3%);
malrotasi atau duplikasi usus dengan obstruksi (10%); dan
hernia diafragmatika kongenital.
16

f. Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental (Crawford et al.,


2017)
1) Sebagian besar perkembangan keterampilan awal anak agak
tertunda.
2) Keterlambatan bicara berat yang bersifat tipikal (khas). Sekitar
setengah dari pasien berusia 4 tahun atau lebih dapat
menggabungkan 2 kata atau lebih menjadi kalimat, sepertiga
tidak mampu berbicara atau hanya 1-2 patah kata, dan hanya 4%
yang memiliki kemampuan bahasa normal atau rendah. Anak-
anak yang memiliki gangguan bicara yang parah cenderung
mengalami IUGR, gangguan pendengaran, malformasi
ekstremitas atas, interaksi sosial yang buruk, dan keterlambatan
motorik yang berat.
3) Sebagian besar individu yang terkena CdLS mengalami
retardasi mental ringan sampai sedang (intelligence quotient
[IQ] 30-85, dengan rata-rata 53). Pasien dengan IQ lebih tinggi
dari ini cenderung memiliki berat lahir dan lingkar kepala yang
relatif besar.
4) Memori visual-spasial dan keterampilan organisasi perseptual
merupakan kelebihan dan kekuatan pada pasien CdLs.
Organisasi perseptual, yang melibatkan penggunaan
keterampilan motorik halus, keterampilan, dan
menggabungkan memori visual-spasial, juga berada pada
tingkat yang lebih tinggi daripada aspek lainnya.
5) Pada pasien dengan sindrom Cornelia de Lange ringan,
keterbelakangan psikomotor tidak begitu parah dan gangguan
pertumbuhan prenatal dan postnatal lebih ringan daripada
sindrom Cornelia de Lange yang berat. Selain itu, malformasi
mayor tidak ada atau dapat diperbaiki dengan pembedahan.
Anak-anak dengan penyakit ringan mungkin memiliki wajah
yang klasik saat lahir tetapi perkembangan intelektual yang
lebih baik daripada yang diharapkan pada sindrom Cornelia de
17

Lange klasik. Sebagai alternatif, perubahan wajah khas mereka


dapat berkembang selama 2-4 tahun pertama kehidupan.
Meskipun individu dengan sindrom Cornelia de Lange ringan
berfungsi pada kisaran normal rendah dan meskipun mereka
memiliki karakteristik tertentu dari sindrom tersebut, penyakit
mereka kadang-kadang tidak terdiagnosis sampai mereka
memiliki anak dengan temuan klasik.
g. Kejang (23%) dengan pola EEG yang tidak spesifik
h. Manifestasi perilaku
1) Hiperaktif (40%), melukai diri sendiri (44%), agresi harian
(49%), dan gangguan tidur (55%)
2) Manifestasi perilaku berhubungan dengan adanya sindrom
mirip autis (autistic-like syndrome) dan dsiertai dengan
berbagai tingkat retardasi mental
3) Anak-anak dengan sindrom Cornelia de Lange lebih menyukai
rutinitas yang terstruktur dan mengalami kesulitan dengan
perubahan dalam rutinitas harian mereka. Aktivitas yang
merangsang sistem vestibular, seperti berayun, lompat-lompat,
berenang, dan menunggang kuda, menyenangkan bagi pasien
dengan sindrom Cornelia de Lange,
4) Bentuk perilaku melukai diri sendiri pada beberapa anak
dengan CdLS dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Namun,
karakteristik peristiwa tersebut sangat bervariasi antar individu.
5) Karakteristik utama pada anak-anak yang terkena dampak
CdLS yang berat termasuk kemampuan interaksi sosial yang
rendah, perilaku berulang dan stereotip, ekspresi wajah emosi
yang jarang, dan keterlambatan bahasa yang berat.
6) Bahkan dalam kasus ringan, fenotipe perilaku dapat membantu
untuk diagnosis.
7) Sindrom Cornelia de Lange dikaitkan dengan berbagai
gangguan kecemasan, termasuk gangguan kecemasan umum
dan kecemasan perpisahan (separation anxiety)
18

Sebuah studi oleh Srivastava et al menemukan bahwa dari 50 anak


dengan CdLS menunjukkan setidaknya satu jenis perilaku berulang
(repetitif), dengan 64% subjek mengalami perilaku repetitif tersebut
selama lebih dari 1 jam per hari. Para peneliti juga melaporkan bahwa 44%
dari subjek menunjukkan perilaku melukai diri sendiri. Studi ini
menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan CdLs, terdapat hubungan
antara fungsi adaptif yang lebih rendah, yang diukur dengan Vineland
Adaptive Behaviour, dan skor perilaku stereotip dan melukai diri yang
lebih besar, yang diukur dengan Abberant Behaviour Checlist (Srivastava
et al., 2020).
2. Manifestasi Klinis
Temuan fisik pada pasien dengan CdLS diantaranya yaitu (Dowsett
et al., 2019):
a. Perawakan pendek : Pada beberapa pasien, perawakan pendek yang
ekstrem disebabkan oleh kekurangan growth hormon. Oleh karena
itu terdapat kurva pertumbuhan spesifik untuk pasien CdLS. Berat
rata-rata orang dewasa adalah 30,5 kg untuk wanita dan 47,6 kg
untuk pria; tinggi rata-rata adalah 131 cm untuk wanita dan 156 cm
untuk pria.
b. Mikrosefali (98%): Rata-rata lingkar kepala orang dewasa adalah 49
cm baik pada wanita maupun pria
c. Fitur wajah
1) Fitur wajah menjadi manifestasi klinis yang paling dapat
digunakan untuk diagnostik dari semua tanda fisik CdLS. [19]
Kombinasi temuan ini mungkin tidak ada pada pasien pria
pascapubertas.
2) Berikut ini merupakan fitur wajah yang klasik dari pasien CdLS:
a) Alis yang menyatu (synophrys) (99%)
b) Bulu mata keriting dan panjang (99%)
c) Garis rambut (hairline) anterior dan posterior rendah
(92%)
d) Lengkung orbital yang tidak terlalu berkembang (100%)
19

e) Alis yang rapi dan melengkung (seolah-olah dibuat


dengan pensil)
f) Filtrum yang panjang
g) Lubang hidung anteversi atau mengarah ke depan (88%)
h) Sudut mulut yang mengarah ke bawah (94%)
i) Bibir tipis (terutama vermillion border superior)
j) Telinga low-set dan mengalami rotasi ke posterior
k) Jembatan hidung (nose bridge) tertekan atau mengalami
depresi (lebih ke bawah) (83%)
l) Arkus palatum yang tinggi (86%) dan cleft palate yang
terbuka atau terbatas pada submukosa (20%)

Gambar 3.4 Cleft Palate pada pasien CdLS (Rodriguez &


Asturias, 2020)
m) Gigi terlambat tumbuh atau muncul dengan jarak antar
gigi yang besar (86%)
n) Mikrognatia (84%)

Gambar 3.5 Synophrys dan alis tebal (Desai et al., 2021)


20

Gambar 3.6 Filtrum panjang dan halus, vermilion bibir atas


tipis, dan mikrognatia (Desai et al., 2021)
3) Leher pendek (66%)
4) Hirsutisme (78%)

Gambar 3.7 Hirsutisme Generalisata pada pasien CdLS


(Rodriguez & Asturias, 2020)
a) Hirsutisme umum diamati paling mudah pada individu
berambut gelap.
b) Banyak bayi kehilangan rambut tubuh yang berlebihan di
kemudian hari.
5) Cutis marmorata dan sianosis perioral (56%)
6) Puting dan umbilikus hipoplastik (50%)
7) Mikromelia (93%)
a) Abnormalitas ekstremitas berat, seperti oligodaktili (jari 5
hilang) atau defisiensi lain pada lengan (27%), biasanya
terjadi pada pasien yang terkena dampak berat CdLS
21

Gambar 3.8 Simian crease, klinodactili, dan brachidactili


(Desai et al., 2021)
b) Temuan ekstremitas yang kurang mencolok termasuk
lipatan fleksi palmar tunggal (simian crease), klinodaktili
jari kelima, ibu jari yang terletak di proksimal, sindaktili
parsial pada jari kaki kedua dan ketiga, dan keterbatasan
ekstensi siku.
c) Tangan atau kaki yang relatif kecil terjadi hampir
universal pada pasien CdLS
8) Penyakit jantung bawaan (25%), biasanya Ventricular septal
defect (VSD) atau Atrial Septal Defect (ASD) atau defek
septum atrium
9) Abnormalitas pinggul, termasuk dislokasi atau displasia (10%),
skoliosis, tendon Achilles yang kencang dan perkembangan
bunion
10) Hipoplasia genitalia eksterna pria (57%), atau labia mayor kecil
11) Undescended testis (73%)

Gambar 3.9 Kriptokidismus bilateral pada pasien CdLS


(Rodriguez & Asturias, 2020)
12) Hipospadia (33%)
13) Manifestasi oftalmologis (50%)
22

a) Miopia (58%), ptosis (44%), blepharitis (25%), epifora


(22%), mikrokornea (21%), strabismus (16%), nistagmus
(14%). Peripapillary pigment ring ditemukan pada
sebagian besar pasien.
b) Kacamata seringkali tidak dapat ditoleransi
c) Astigmatisme, atrofi optik, koloboma saraf optik, aniridia,
dan glaukoma kongenital
14) Gangguan pendengaran: Meskipun gangguan pendengaran
sensorineural merupakan penyebab signifikan gangguan
pendengaran pada CdLS, penelitian menunjukkan bahwa
gangguan pendengaran pada CdLS juga dapat bersifat
konduktif; sebuah studi oleh Marchisio et al menemukan
gangguan pendengaran konduktif pada 26 dari 44 (59%) pasien
anak dengan sindrom tersebut.

E. Diagnosis Cornelia de Lange Syndrome

1. Kriteria Diagnosis
Fenotip CdLS terdiri atas berbagai spektrum yang terbagi menjadi
CdLS klasik dan non klasik yang mirip dengan fenotip sindrom lain
(Coffin-Siris syndrome, Rubinstein-Taybi syndrome, Nicolaides
Baraitser syndrome) yang secara klinis hampir identik (Desai et al.,
2021) . Karakteristik klinis pasien CdLS berdasarkan First International
Consensus Statement (2018), diantaranya yaitu dapat dilihat pada Tabel
2. berikut
Tabel 3.1 Karakteristik Klinis pasien CdLS (Kline et al., 2018)
Tanda kardinal (jika positif, skor 2 poin)
1. Synophrys dan/atau alis tebal
2. Hidung pendek, nasal ridge (tonjolan hidung) konkaf (cekung)
3. Filtrum panjang dan/atau halus
4. Vermilion bibir superior tipis dan/atau sudut bibir melengkung ke
bawah (downturned)
5. Tangan oligodaktili dan/atau adaktili
6. Hernia diafragma kongenital
Tanda Sugestif (jika positif, 1 poin)
1. Global developmental delay dan/atau gangguan intelektual
23

2. Retardasi pertumbuhan prenatal (<2 SD)


3. Retardasi pertumbuhan postnatal (<2 SD)
4. Mikrosefali (prenatal dan/atau postnatal)
5. Tangan dan/atau kaki kecil
6. Jari kelima pendek
7. Hirsutisme
Skor Klinis
Skor ≥11 poin dimana setidaknya terdapat 3 tanda kardinal : CdLS
klasik
Skor 9-10 poin dimana minimal terdapat 2 tanda kardinal : CdLS non-
klasik
Skor 4-8 poin : Indikasi pemeriksaan molekular untuk diagnosis
CDLS
Skor < 4 poin : tanda klinis tidak cukup untuk mengindikasikan
pemeriksaan molekuler yang mengarahkan diagnosis ke CdLS

Gambar 3.10 Tanda kardinal pada wajah pasien CdLS (Kline et al.,
2018)
Hingga saat ini penilaian derajat keparahan (Severitas) Cornelia de
Lange yang masih digunakan oleh beberapa studi terbaru masih
menggunakan kriteria dari Kline et al. (1996) (Marchisio et al., 2014).
Tidak ada skor yang memperhitungkan severitas pada keluarga yang
mengalami riwayat CdLS atau memperkirakan severitas semua sistem
organ yang mungkin terpengaruh pada CdLS. Konsensus Internasional
(2018) menyarankan bahwa skor severitas harus digunakan dengan hati-
hati dan harus diakui bahwa perlu dilakukan pengembangan skor
severitas yang mewakili keparahan yang dialami oleh keluarga, dan
sebaiknya dikelompokkan berdasarkan gen penyebab (Kline et al., 2018).
24

Tabel 3.2 Skor Tingkat Keparahan (Severitas) Cornelia de Lange


Syndome (Kline et al., 1996)
Parameter Skor 1 Skor 2 Skor 3
Berat badan Lahir >2500 g 2000-2500 g <2000 g
Duduk sendiri < 9 bulan 9-20 bulan >20 bulan
Berjalan sendiri <18 bulan 18-24 bulan >42 bulan
Mengucapkan kata <24 bulan 24-48 bulan >48 bulan
pertama
Malformasi Tidak ada Defek parsial (>2 Defek berat
ekstremitas superior defek digiti) (<2 digiti)
Jumlah malformasi 0-1 2-3 >3
mayor
Hearing loss Tidak ada
Interpretasi dari sistem skoring ini adalah apabila skor <15 maka
mengindikasikan CdLS ringan, skor 15-22 menindikasikan CdLS sedang
(moderate), sedangkan skor >22 mengindikasikan CdLS berat (Kline et
al., 1996).
2. Pemeriksaan Genetik Molekuler
Diagnosis genetik molekuler dapat dilakukan dengan menggunakan
analisis sekuensing dan delesi/duplikasi NIPBL, SMC3, RAD21,
SMC1A, dan HDA C8.Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi diagnosis,
terutama pada kasus ringan atau atipikal, dan hasilnya dapat membantu
dalam mengidentifikasi mutasi spesifik keluarga untuk evaluasi prenatal
pada kehamilan berikutnya (Swols et al., 2021).
Berdasarkan Konsensun Internasional CdLS (2018), panel
sekuensing merupakan cara yang paling efektif untuk mendeteksi varian
gen yang menyebabkan CdLS, dan pemeriksaan molekuler lini pertama
harus menggunakan panel yang berisi setidaknya tujuh gen penyebab
CdLS yang telah diketahui. Sebagian besar laboratorium diagnostik
menyertakan beberapa gen tambahan yang dapat menyebabkan fenotipe
yang menyerupai CdLS, seperti CREBBP dan EP300 (Kline et al., 2018).
Namun, karena ketersediaan panel sekuensing di setiap negara
sangat bervariasi, dapat digunakan pemeriksaan Sanger sekuensing pada
individu yang menunjukkan fenotip CdLS klasik. Sedangkan untuk
individu dengan fenotip CdLS non-klasik, evaluasi fenotip mungkin
dapat membantu dokter yang berpengalaman untuk menentukan urutan
25

gen mana yang kemungkinan menjadi penyebab CdLS sehingga dapat


dilakukan pemeriksaan gen yang telah diprioritaskan. Jika panel ataupun
Sanger sekuensing tidak dapat mendeteksi varian penyebab, maka studi
yang bertujuan untuk mendeteksi mosaikisme harus diperti,bangkan. Jika
negatif makan perlu dipertimbangkan pemeriksaan delesi atau duplikasi
NIPBL menggunakan multiple ligation-dependent probe amplification
(MLPA) (Kline et al., 2018)
Konsensus Internasional (2018) menyatakan bahwa pasien dengan
fenotip CdLS klasik, pendekatan diagnosis molekuler lini pertama harus
menggunakan NGS (Next Generation Sequencing) berbasis skrining,
baik panel gen, Whole-Exome-Sequencing (WES), atau Whole-Genome-
Sequencing (WGS). Jika NGS tidak tersedia, pemeriksaan molekular
harus dimulai dari target sekuensing NIPBL. Sedangkan pada individu
dengan CdLS non klasik, fenotip yang tampak pada pasien dapat menjadi
panduan dokter yang berpengalaman mempriritaskan gen yang akan
diperiksa, jika tidak dapat ditentukan dapat menggunakan pemeriksaan
dengan WES atau WGS. Jika hasil negatif, harus dilakukan uji
mosaikisme menggunakan jaringan selain darah seperti fibrobals, swab
buccal, atau sel epitel kandung kemih dari urin. Pemeriksaan delesi dan
duplikasi NIPBL pun perlu dipertimbangkan menggunakan MLPA
(Kline, 2018).

Gambar 3.11 Alur pemeriksaan molekuler CdLS (Kline et al., 2018)


26

3. Diagnosis prenatal Cornelia de Lange Syndrome


Indikasi mayor dilakukannya diagnosis prenatal yaitu jika pada
kehamilan anak pertama mengalami CdLS, kehamilan awal pada
keluarga yang diketahui memiliki gangguan pada gen terkait CdLS, atau
tidak ada riwayat keluarga yang mengalami CdLS namun berdasarkan
pemeriksaan janin melalui ultrasonofragi (USG) sugestif mengalami
CdLS. Temuan USG yang paling umum ditemukan mengarah ke
diagnosis CdLS yaitu Intrauterune Growth Restriction (IUGR) pada
trimester kedua (80%), anomali ekstremitas (66%), dan wajah dismorfik
(50%). Temuan lain yang telah dilaporkan pada hasil USG yaitu nuchal
thickness (51%), hernia diafragmatika (28%), dan malformasi jantung
(15%).
Pemeriksaan molekuler pada janin yang sugestif CdLS berdasarkan
hasil USG, dilakukan dengan mengambil sample dari villi korionik atau
amniosentesis atau sel embrionik yang diambil melalui fertilisasi in vitro
(Panaitescu et al., 2021; Kline et al., 2021).

Gambar 3.12 Pemeriksaan USG menunjukan wajah janin dengan CdLS


fenotip klasik (A) Gambaran 2D janin usia kehamilan 29 minggu, tampak
mikrognatia/ retrognatia, filtrum abnormal, depressed nasal bridge; (B)
Rekonstruksi volume wajah janin usia kehamilan 29 minggu; (C)
Rekonstruksi volume wajah janin usia kehamilan 34 minggu (Panaitescu et
al., 2021)
27

Gambar 3.13 USG prenatal 2 Dimensi dan 3 Dimensi yang menunjukkan


lengan yang pendek dengan ukuran 7 mm dan 9 mm, serta humerus dan
femur yang pendek (-2,1 SD) (Kinjo et al., 2019)
3. Pencitraan
Pemeriksaan radiografi dapat menjumpai hal-hal berikut ini pada
pasien CdLS (Swols et al., 2021):
a. Delayed bone age (100%)
b. Spurs (taji) pada sudut anterior mandibula (42%) dan simfisis yang
menonjol (66%)
c. Abnormalitas digiti, yang bervariasi dari acheiria hingga
oligodaktili
d. Abnormalitas tulang panjang termasuk aplasia dan/atau hipoplasia
ulnaris, aplasia dan/atau hipoplasia kaput radialis, atau fusi siku.
Jika terdapay satu tulang dengan lengan bawah, sering terjadi fusi
pada siku dan oligodaktili. Kondisi ini menyebabkan kesulitan
untuk menentukan apakah radius atau ulna yang tidak ada.
e. Hipoplasia metakarpal pertama (79%), hipoplasia falang kelima
bagian medial (93%), dan klinodaktili (64%)
f. Sternum pendek dan mengalami fusi sebelum waktunya (54%)
g. Costae berjumlah 13 (56%)
h. Korteks costae tipis dengan tampilan bergelombang (33%)
i. Hernia hiatal
j. Pneumonia aspirasi (50%)
k. Gastroesophageal Reflux (90%)
l. Obstruksi usus, malrotasi, volvulus (17%)
m. Abnromalitas panggul (33%)
28

Pemeriksaaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk menilai


kelainan ginjal dan saluran kemih (40%), dapat ditemukan abnormalitas
berikut pada pasien CdLS, yaitu (Swols et al., 2021):
a. Horseshoe kidney
b. Diferensiasi kortikomedular
c. Dilatasi pelvis
d. Small kidney
e. Kista renal
f. Ektopik ginjal
Pencitraan lain yang dapat dilakukan yaitu voiding
cystouretrography diindikasikan untuk mengevaluasi infeksi saluran
kemih berulang atau hidronefrosis. Ekokardiografi diindikasikan untuk
mengevaluasi penyakit jantung bawaan. Temuan radiologis pada otak
meliputi pembesaran ventrikel, pembesaran sisterna basal, penipisan atau
atrofi substansia alba terutama ada lobus frontal dan sedikit pada lobus
parietal, hipoplasia batang otak, dan hipoplasia atau agenesis vermis
serebellum (Swols et al., 2021).
4. Pemeriksaan Lain
a. Pemeriksaan fungsi pendengaran sangat direkomendasikan untuk
pasien CdLS
b. Studi kromosomal high-resolution diindikasikan ketika diagnosis
sindrom tidak pasti
c. Pemeriksaan spektrum endokrinopati dapat dilakukan pada pasien
CdLS, sebagai tambahan dilakukannya pemeriksaan growth hormon.
Pasien CdLS juga dikaitkan dengan adanya gangguan pada hormon
gonadotropin, sekresi prolaktin, dan panhypopituitarism (Swols et
al., 2021).

F. Diagnosis Banding Cornelia de Lange Syndrome

1. Sindrom Dup (3q) : sindrom ini terjadi akibat duplikasi dari fragmen lengan
panjang kromosom 3, terutama pada 3q1`-qter. Pasien dengan sindrom ini
berdasarkan hasil observasi mengalami abnormalitas pada sistem saraf pusat,
29

mikrosefali dismorfik wajah, penyakit jantung kongenital, defek pada traktus


urogenital, disabilitas intelektual, dan gangguan pertumbuhan. Karakteristik
wajah pasien dengan sindroma ini yaitu synophrys, hidung lebar, nostril
anteversi, maksila besar dan mandibula yang kecil dan retraksi. (Pasinska et al.,
2019).

Gambar 3.14 Sindrome dup(3q) (Molck et al., 2018)


2. Sindrom Coffin-Siris : merupakan sindrom anomali kongenital multipel yang
disebabkan paling sering akibat mutasi ARID1B. Manifestasi klinis pasien
tersebut diantaranya gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
hipo/hiperplasia kuku atau jari tangan yang biasanya mengenai jari kelima,
wajah dismorfik dengan fitur wajah yang kasar, dan bisa disertai hipertrikosis
atau hirsutisme dengan rambut pada kulit kepala yang jarang (Zarate et al.,
2016).

Gambar 3.15 Sindrom Coffin-Siris (A) rambut kulit kepala jarang, fitur wajah
kasar dengan bibir tebal, bulu mata panjang; (B) hipoplasia kuku (C) low set ear
dan rambut kulit kepala jarang (Zarate et al., 2016)
30

G. Tatalaksana Cornelia de Lange Syndrome

Intervensi dini pada pasien dengan sindrom Cornelia de Lange (CdLS)


diperlukan terutama untuk memperbaiki gangguan makan, gangguan
pendengaran dan penglihatan, penyakit jantung bawaan, dan abnromalitas
sistem urinaria. Sebuah studi retrospektif oleh Janek et al menunjukkan bahwa
gangguan pendengaran pada CdLS dapat membaik dari waktu ke waktu. Dari
78 subjek penelitian, tampak pada saat pasien CdLS dewasa lebih dari
setengagnya mengalami peningkatan fungsi pendengaran, termasuk sebagian
pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural (Janek et al., 2016)
Intervensi dini untuk keterlambatan psikomotor juga diindikasikan.
Program komputer dapat membantu meningkatkan memori visual lebih efektif
dibandingkan metode standar dengan instruksi verbal. Latihan untuk
organisasi perseptual harus ditekankan. Stimulasi taktil juga membantu anak-
anak dalam mengingat dan tampil dengan maksimal (Swols et al., 2021).
Aktivitas motorik halus, apabila gangguan fisik tidak membatasi, harus
ditekankan dalam pendidikan pasien CdLS, terutama aktivitas yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari (Swols et al., 2021).
Perawatan surgikal mungkin diperlukan untuk kondisi-kondisi seperti
cleft palate, polip nasal, GERD, stenosis pilorus, malrotasi/ volvulus intestinal,
undescended testis, stenosis duktus lakrimal, dislokasi hip (Swols et al., 2021).
Dalam tatalaksana pasien CdLS, konsultasi dengan berbagai bidang
spesialisasi mungkin diperlukan seperti geneticist, cardiologist, nephrologist
(jika infeksi traktus urinarius berulang, terjadi kerusakan fungsi ginal, atau
terdapat abnormalitas kongenital), oftalmologis, spesialis pendengaran, dan
neurologis. Hingga saat ini terapi dengan obat-obatan bukan merupakan
komponen standar untuk perawatan pasien CdLS, kecuali jika didapatkan situasi
klinis seperti kejang, GERD, dan ganggaun perilaku(Swols et al., 2021).
1. Bayi atau pertama kali didiagnosis
Ketika diagnosis CdLS terkonfirmasi, sejumlah pemeriksaan yang
direkomendasikan yaitu (Kline et al., 2018):
a. Ekokardiogram.
b. Sonogram ginjal
31

c. Evaluasi oftalmologis pediatrik dengan refraksi sikloplegia.


d. Evaluasi pendengaran
e. emeriksaan traktus gastrointerstinal atas untuk menyingkirkan
malrotasi dan refluks – jika malrotasi terdeteksi, perbaikan dini
diindikasikan.
f. Evaluasi GERD termasuk pemeriksaan pH dan/atau endoskopi, dan,
jika ditemukan, diobati secara medis (misalnya, prokinetik) atau, jika
gagal, pembedahan (misalnya, fundoplikasi Nissan, tabung
gastrostomi).
g. Penilaian tumbuh kembang pada masa bayi dan berlanjut setiap 1-3
tahun.
h. Penilaian pertumbuhan menggunakan kurva pertumbuhan khusus
untuk CdLS. Terapi dengan pemberian formula kalori tinggi
dianjurkan, dan dapat membantu pertambahan berat badan, meskipun
secara tipikal, individu dengan CdLS tampaknya tumbuh dengan
kecepatannya masing-masing. Informasi mengenai organisasi atau
klompok support perlu diberikan kepada keluarga
i. Pertimbangkan pemeriksaan molekuler kepada orang tua, jika
berminati, untuk mempersiapkan kehamilan selanjutnya atau untuk
diagnosis prenatal.
2. Anak-Anak usia Awal (1-8 tahun)
Setiap individu dengan CdLS harus dilakukan evaluasi berkala dan
imunsisasi sesuai dengan panduan nasional masing-masing negara
a. Pada pasien laki-laki, perbaikan kriptokidismus dilakukan pada usia 18
bulan
b. Layanan tumbuh kembang berkelanjutan yang bersifat individual.
Kemungkinan sebagian besar individu akan mendapat manfaat dari
terapi fisik, okupasi, dan wicara. Penggunaan bahasa isyarat
dianjurkan karena ini akan membantu memfasilitasi komunikasi lisan.
c. Terus pantau pertumbuhan dengan grafik khusus pertumbuhan CdLS.
d. Lakukan perawatan gigi setiap 6 bulan
32

e. Evaluasi ofatlmologi setidaknya satu kali setiap tahun, jika


diindikasikan pada saat pemeriksaan pertama
f. Pemeriksaan fungsi pendenaragan tiap 2-3 tahun
g. Jika ada kecurigaan klinis perburukan atau awal mula munculnya
GERD, ulangi evaluasi. Endoskopi biasanya memberikan hasil terbaik,
namun pemeriksaan pH juga dapat dipertimbangkan
h. Setiap tanda yang curiga mengarah pada volvulus (misal muntah bilier
atau withdrawl bilier akibat tube gastrotomi, nyeri abdomen akut dan
mendadak) harus segera datang ke IGD, dilakukan perawatan, dan
kemungkinan dapat menjalani operasi
i. Follow up dengan subspesialis tertentu yang berkaitan sangat
diperlukan
j. Kapanpun tindakan operatif dilakukan, harus dikonsultasikan kepada
seluruh spesialis yang terlibat untuk memaksimalkan penggunakan
anestesi.
3. Anak-Anak usia lanjut (8 tahun-pubertas)
a. Perbaikan ortopedi jika terdapat kontraktur sendi, komplikasi pinggul,
bunion, skoliosis, atau penggunakan orthotic
b. Penilaian perilaku jika timbul gangguan, termasuk ADHD dan perilaku
membahayaan diri
4. Remaja (pubertas-20 tahun)
a. Layanan perkembangan lebih lanjut yang bersifat individual. Rencana
harus dimulai lebih awal untuk penempatan anak ke sekolah atau
tempat kerja setelah sekolah menengah, pelatihan kerja dan/atau
pendidikan tinggi.
b. Untuk wanita, pertimbangkan pemeriksaan panggul dengan Pap smear
secara teratur, setidaknya setiap 3 tahun, tergantung pada aktivitas
seksual, dari remaja akhir hingga dewasa. Diskusikan terapi hormonal
dengan pasien dan keluarga, baik dari sudut pandang pencegahan
kehamilan, dan manajemen menstruasi (individual untuk pasien dan
keluarga tertentu).
33

5. Dewasa
a. pemeriksaan payudara rutin, atau pemeriksaan testis dan prostat rutin
b. Mendiskusikan pelatihan kerja atau masalah pekerjaan, dan pendidikan
yang lebihtinggi.
c. Penilaian perilaku atau psikiatri jika muncul masalah, seperti ADHD,
gejala obsesif-kompulsif, perilaku melukai diri sendiri, depresi.
d. Pertimbangkan DEXA scan untuk menyingkirkan osteoporosis.

H. Komplikasi Cornelia de Lange Syndrome

Komplikasi penyakit gastrointestinal adalah salah satu penyebab


kematian paling umum pada sindrom ini, seperti hernia diafragmatika pada
saat bayi (infant) dan pneumonia aspirasi dan volvulus ketika usia anak lebih
tua. Sebuah tinjauan retrospektif menemukan bahwa masalah respiratorik
(misalnya, aspirasi, refluks, pneumonia) adalah penyebab kematian yang
paling umum (31%), diikuti oleh penyakit gastrointestinal, termasuk
obstruksi/volvulus (19%), anomali kongenital (15%), penyebab neurologis,
(8%), kecelakaan (8%), sepsis (4%), penyakit jantung didapat (3%), kanker
(2%), penyakit ginjal (1,7%), dan penyebab lainnya (9%) (Swosl et al., 2021).
IV. KESIMPULAN
1. Cornelia de Lange syndrome (CdLS) adalah sindrom yang ditandai dengan
gangguan perkembangan multisistem dengan wajah dismorfik
2. CdLS terjadi akibat gangguan fungsi kohesin akibat mutasi dari tujuh gen yang
telah teridentifikasi, yakni NIPBL, SMC1A dan SMC3A, RAD21, BRD4,
HDAC8, dan ANKRD11
3. Manifestasi CdLS sangat bervariasi, namun fitur wajah dismorfik merupakan
ciri diagnostik utama. Wajah dismorfik yang dimaksud adalah synophrys
dan/atau alis tebal Hidung pendek, nasal ridge (tonjolan hidung) konkaf
(cekung), filtrum panjang dan/atau halus, vermilion bibir superior tipis
dan/atau sudut bibir melengkung ke bawah (downturned)
4. Kasus yang ditemukan di RSMS yaitu anak A.M (laki-laki) usia 2 tahun 5
bulan yang datang dengan keluhan utama keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat
2 tanda kardinal yang mengarahkan ke diagnosis CdLS pada pasien, meskipun
tidak terlalu khas), yaitu wajah dismorfik yang ditandai dengan alis tebal dan
rapih, serta memiliki riwayat hernia diafragmatika. Sedangkan tanda sugestif
yang mengarahkan ke diagnosis CdLS lain yaitu adanya global
developemental delay (pasien belum bisa berjalan dan berbicara), mikrosefali,
ukuran tungkai yang realtif kecil, dan retardasi pertumbuhan postnatal (<2 SD).
Sehingga dapat disimpulkan skor kriteria diagnosis CdLS pada An, AM adalah
8 poin.
5. Intervensi dini pada pasien dengan sindrom Cornelia de Lange (CdLS)
diperlukan terutama untuk memperbaiki gangguan makan, gangguan
pendengaran dan penglihatan, penyakit jantung bawaan, dan abnromalitas
sistem urinaria

34
35

DAFTAR PUSTAKA

Aoi H, Mizuguchi T, Ceroni JR, et al. 2019. Comprehensive genetic analysis of 57


families with clinically suspected Cornelia de Lange syndrome. J Hum Genet,
64 (10):967-78.

Cereda A, Mariani M, Rebora P, et al. 2016. A new prognostic index of severity of


intellectual disabilities in Cornelia de Lange syndrome. Am J Med Genet C
Semin Med Genet, 172 (2):179-89.

Crawford H, Waite J, Oliver C. 2017. Diverse Profiles of Anxiety Related Disorders


in Fragile X, Cornelia de Lange and Rubinstein-Taybi Syndromes. J Autism
Dev Disord, 47 (12):3728-40.

Desai, J.J., Nair, S.B., Pappachan, S. 2021. Classic Cornelia de Lange Syndrome
with Variant of Unknown Significance Detected in NIPBL Gene Mutation : a
Case Report. Egyptian Journal of Medical Human Genetics, 22-28.

Dowsett L, Porras AR, Kruszka P, et al. 2019. Cornelia de Lange syndrome in


diverse populations. Am J Med Genet A,179 (2):150-8.

Gil-Rodriguez MC, Deardorff MA, Ansari M, et al. 2015. De Novo Heterozygous


Mutations in SMC3 Cause a Range of Cornelia de Lange Syndrome-
Overlapping Phenotypes. Hum Mutat,36(4):454-62.

Janek KC, Smith DF, Kline AD, et al. 2016 Improvement in hearing loss over time
in Cornelia de Lange syndrome. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 87:203-7.

Kaur M, Mehta D, Noon SE, Deardorff MA, Zhang Z, Krantz ID. 2016. NIPBL
expression levels in CdLS probands as a predictor of mutation type and
phenotypic severity. Am J Med Genet C Semin Med Genet, 172 (2):163-70.

Kinjo, T., Mekaru, K., Nakada, M., Hayase, N., Masamoto, H., Aoki, Y. 2019. A
Case of Cornelia de Lange Syndrome : Difficulty Prenatal Diagnosis. Hindawi
Case Reports in Obsttetrics and Gynecology, 1-3.

Kline AD, Jackson LG, Kliewer M. 1996. A scoring system forclinical severity
correlates with brain findings in Cornelia deLange syndrome. Am J Hum Genet,
59:A97.

Kline AD, Moss JF, Selicorni A, Bisgaard AM, Deardorff MA, Gillett PM et
al .2018. Diagnosis and management of Cornelia de Lange syndrome: first
international consensus statement. Nat Rev Genet, 19(10):649 –666

Li S, Miao H, Yang H, Wang L, Gong F, Chen S, Zhu H, Pan H. 2020. A report of


2 cases of Cornelia de Lange syndrome (CdLS) and an analysis of clinical and
genetic characteristics in a Chinese CdLS cohort. Mol Genet Genomic Med,
8(2):e1066.

35
36

Marchisio, P., Selicorni, A., Bianhini, S., Milani, D., Baggi, E., Cerutti, M., Larizza,
L., Principi, N., Esposito, S. 2014. Audiological Findings, Genotype and
Clinical Severity Score in Cornelia de Lange Syndrome. International Journal
of Pediatric Otorhinolaryngology, 78 : 1045-1048.

Molck, M.C., Simioni, M., Vieira, T.P., Monteiro, F.P., Lopes, V.G.S. 2018. A Pure
2-Mb 3q26.2 Dupliation Proximal to the Critical Region of 3q Duplication
Syndrome.Mol Syndromol, 9 :197-204.

Panaitescu, A.M., Duta, S., Gia, N., Botezatu, R., Nedelea, F., Peltecu, G., et al.
2021. A Broader Perspective on the Prenatal Diagnosis of Cornelia de Lange
Syndrome : Review of the Literature and Case Presentation. Diagnostics, 11
(142) : 1-12.

Pasinska, M., Adamzack, R., Repczynska, A., Lazarczyk, E., Iskra, B., Runge, A.K.,
Haus, O. 2019. Prenatal Identification of Partial 3q Duplication Syndrome.
BMC Medical Genomics, 12 (85) :1-8

Rodriguez, P., & Asturias, K. 2020. A 16 Day Old Infant with Clinical Diagnosis
of Classical Cornelia de Lange Syndrome. Hindawi Case Report in Pediatrics,
1-4.

Sopori A, Bajaj M, Sharma J, Jangwal C (2020) Newborn with classical Cornelia


de Lange syndrome: a rare case report. Indian J Case Rep 6(9):529 – 531 12.

Srivastava S, Clark B, Landy-Schmitt C, et al. Repetitive and Self-injurious


Behaviors in Children with Cornelia de Lange Syndrome. J Autism Dev
Disord. 2020 Aug 18.

Susanti, T.R.I., Erawati, M., Nurniningsih, D.R. 2019. Gambaran Perkembangan


Komunikasi Anak Cornelia de Lange Syndrome (CdLS). Jurnal Ilmu
Keperawatan Anak, 2(1) : 27-34.

Swols, D.M., Tekin, M., Windle, M.L, Descrates, M., Fasullo, M., Bodurtha, J.,
Flannery, D. 2021. Cornelia De Lange Syndrome. Diakses dari
emedicine.medscape.com/article/942792-overview#a1 pada 11 Juni 2021

Zarate, Y.A., Bhoj. E., Kaylor, J., Dong, L., Tsuruzaki, Y., Miyake, N., et al. 2016.
SMARCE1, a Rare Cause of Coffin-Siris Syndrome : Clinical Description
of Three Additional Cases. Am J Med Genet A 170(8) :1967-1973.

36

Anda mungkin juga menyukai