Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cholangiocarcinoma adalah suatu keganasan dari sistem duktus biliaris yang

berasal dari hati dan berakhir pada ampulla vateri. Jadi proses keganasan ini dapat

terjadi sepanjang sistem saluran biliaris, baik intrahepatik atau ekstrahepatik.

Penyakit ini merupakan jenis tumor hati terbanyak kedua di Indonesia setelah

karsinoma hepatoseluler. Semua cholangiocarcinoma pertumbuhannya lambat,

infiltratif lokal, dan metastasenya lambat.

Tumor Klatskin merupakan suatu cholangiocarcinoma tipe ekstrahepatik.

Tumor ini merupakan tumor yang terdapat pada sistem duktus biliaris. Dr. G.

Klastkin mendeskripsikan mengenai tumor ini pertama kali pada tahun 1965 dan

menemukannya dalam 13 kasus.

Setiap tahun di AS tercatat 2.500 kasus penyakit tumor Klatskin dibandingkan

dengan 5.000 kasus untuk kanker kandung empedu dan 15.000 kasus untuk kanker

hepatoseluler. Prevalensi tertinggi terdapat di kalangan orang Asia (10 kali lebih

banyak) yang diakibatkan oleh infeksi parasit kronik endemik.

1
Peranan pemeriksaan radiologis sebagai salah satu komponen penunjang

diagnosis sangatlah penting. Beberapa teknik yang sering digunakan adalah USG

abdomen, CT-scan, cholangiography dan ERCP.

Dengan teknik pemeriksaan radiologi yang semakin berkembang, diharapkan

diagnosa untuk tumor Klatskin dapat ditegakkan secara dini, sehingga dapat

meningkatkan derajat keberhasilan terapi dan menurunkan angka mortalitas pada

pasien-pasien dengan tumor Klatskin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi

Sistem bilier terdiri dari kandung empedu dan saluran yang berasalh dari

hepar dan vesica fellea. Fungsi primernya adalah sebagai organ yang memproduksi ,

menyimpan empedu dan mengalirkan ke duodenum melalui saluran-saluran empedu.

Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan ukuran

5 x 7 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya menonjol sedikit

keluar tepi hati , di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral M.Rektus Abdominis.

Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaingan hati. Masing-masing

sel hati juga terletak dekat dengan beberapa kanalikulus mengalir ke dalam duktus

biliaris intralobulus dan duktus-duktus ini bergabung melalui duktus biliaris antar

lobulus membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri. Diluar hati duktus ini bersatu

dan membentuk duktus hepatikus komunis. Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri

masing-masing antara 1-4 cm sedangkan panjang duktus hepatikus komunis sangat

bervariasi bergantung pada letak muara duktus sistikus.

Duktus sistikus berjalan keluar dari kandung empedu. Panjangnya 30-37

mm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral

Heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung

empedu tapi menahan aliran keluarnya. Duktus hepatikus komunis akan bersatu

3
dengan duktus sistikus dan membentuk duktus koledokus yang panjangnnya 7,5 cm

dengan diameter 6 mm. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus

jpankreas, bergabung dengan duktus pankreatikus mayor wisungi dan bersatu pada

bagian medial dinding duodenum desenden membentuk papila vateri. Unung

distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi.

Dinding duktus biliaris ekstrahepatik dan kandung empedu mengandung

jaringan fibrosa dan otot polos. Membran mukosa mengandung kelenjat-kelenjar

mukosa dan dilapisi oleh selapis sel kolumnar.

2.1.2 Fisiologi

Fungsi utama dari system bilier adalah sebagai tempat penyimpanan dan

saluran cairan empedu. Empedu di produksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500

ml/hari. Empedu terdiri dari garam empedu, lesitin dan kolesterol merupakan

komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak dan

4
garam anorganik. Di luar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam

kandung empedu dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %.

Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor , yaitu sekresi empedu oleh hati

, kontraksi kandung empedu dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa

produksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung

empedu berkontraksi , sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum.

Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan

saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter.

Hormon kolesistokinin (CCK) dari selaput lender usus halus yang disekresi

karena rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus,

merangsang nervus vagus , sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Demikian

CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan,

Empedu yang dikeluarkan dari kandung emepdu akan dialirkan ke duktus koledokus

yang merupakan lanjutan dari duktus sistikus dan duktus hepatikus. Duktus

koledokus kemudian membawa empedu ke bagian atas dari duodenum, dimana

empedu mulai membantu proses pemecahan lemak di dalam makanan. Sebagian

komponen empedu diserap ulang dalam usus kemudian dieksresikan kembali oleh

hati.

5
2.2 Definisi

Cholangiocarsinoma adalah suatu tumor ganas dari duktus biliaris atau

saluran empedu. Hal ini ditandai dengan perkembangan yang abnormal dari saluran

empedu intrahepatik dan ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih, merupakan

tumor kelenjar yang berasal dari epitel saluran empedu. Sel-sel tumor mirip dengan

epitel saluran empedu.

Lebih dari 90 % kasus merupakan adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor

sel squamosa. Cholangiocarcinoma ditemui dalam 3 daerah, yaitu intrahepatik,

ekstrahepatik (perihiliar) dan distal ekstrahepatik. Dari semuanya, tumor perihilar

yang disebut dengan tumor Klatskin (terjadi pada bifurcatio duktus hepatica/biliaris

kanan dan kiri), adalah yang paling sering dan tumor intrahepatik adalah yang paling

jarang.

2.3 Epidemiologi

Angka kejadian tertinggi terdapat pada pria, dengan angka perbandingan pria :

wanita = 5:1, dengan usia 60 tahun. Setiap tahun di AS tercatat 2.500 kasus

penyakit tumor Klatskin dibandingkan dengan 5.000 kasus untuk kanker kandung

empedu dan 15.000 kasus untuk kanker hepatoseluler. Prevalensi tertinggi terdapat di

6
kalangan orang Asia (10 kali lebih banyak) yang diakibatkan oleh infeksi parasit

kronik endemik.

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Faktor penyebab dari semua kanker saluran empedu masih tetap tidak dapat

ditentukan dengan pasti. Proses inflamasi kronis, seperti pada Primary Sclerosing

Cholangitis (PSC) atau infeksi parasit kronis diduga mempunyai peranan dalam

menginduksi hyperplasia. Proliferasi kronis diduga mempunyai peranan dalam

menginduksi hiperplasia, proliferasi seluler dan terutama transformasi maligna.

Sedangkan batu empedu, hepatitis kronis dan sirosis bukan merupakan faktor resiko

terjadinya penyakit ini.

a. Sclerosing Primer Cholangitis (PSC)

Merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan cacat jaringan

sehingga terjadi penyempitan duktus biliaris dan menghambat aliran empedu

ke usus. Kalau proses ini terjadi berulang-ulang maka akan terjadi proses

iritasi kronis sehingga kecenderungan untuk terjadinya kanker akan menigkat.

Pasien yang mengalami pencangkokan hati untuk PSC, 10-30%

mempunyai tumor Klatskin tak terduga pada spesimen hepatektomi. Antigen

7
Carcinoembryonic (CEA) dan karbohidrat antigen 19-9 di dalam kombinasi

mempunyai suatu kepekaan 66% dan spesifitas 100% dalam mendiagnosis

cholangiocarcinoma pada pasien dengan PSC.

b. Inflamatory Bowel Disease

Ada hubungan antara tumor Klatskin dengan kolitis ulseratif. Biasanya

tumor ini dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan kolitis ulseratif kronis.

Mayoritas pasien dengan PSC yang memiliki tumor Klatskin, mempunyai

ulseratif radang usus besar. Timbulnya tumor Klastkin pada pasien dengan

ulceratif radang usus besar dan PSC, meningkat lebih lanjut jika mereka

memiliki malignansi kolorektal. Pasien dengan PSC secara klinis mengalami

pembusukan lebih cepat, jaundice, kehilangan berat/beban, dan kegelisahan

abdominal (pada kasus dilatasi biliaris intrahepatic dengan USG abdomen

suspect cholangiocarcinoma).

c. Infestasi Parasit

Di negara-negara Asia Timur (China, Hongkong, Korea, Jepang),

Clonorchis sinensis (suatu cacing trematoda hati pada domba) merupakan

penyebab terjadinya tumor Klatskin (20% dari tumor hati primer).

8
Di Asia Tenggara, infeksi kronis cacing pita, Clonorchis sinensis dan

Opisthorochis viverrini (sering ditemukan di Thailand, Laos, dan Malaysia

Barat) mempunyai hubungan kausal yang erat dengan tumor Klatskin.

Infeksi parasit biasanya terjadi ketika seseorang mengkonsumsi ikan

yang mengandung kista cacing pipih. Cacing pipih dewasa bermigrasi ke

duktus biliaris dimana cacing ini akan merusak dinding duktus. Jenis cacing

yang paling banyak menyebabkan sumbatan adalah Clonorchis sinensis.

d. Paparan Material Beracun dan Obat-Obatan

Paparan zat kimia telah berimplikasi dalam perkembangan kanker

saluran empedu ekstrahepatik. Biasanya hal ini terjadi pada pekerja di bidang

penerbangan, plastik dan industri wood finishing. Tumor Klastkin juga dapat

terjadi beberapa tahun setelah penggunaan thorium dioxide (thorofrast) yaitu

suatu zat yang digunakan pada sinar X, pemaparan radionuklida, obat

kontrasepsi oral, methyldopa, dan isoniazid, serta segala zat karsinogenik

(misalnya, arsenic, dioxin, nitrosamine, polychlorinated biphenyls).

e. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital dari cabang-cabang bilier termasuk kista

koledokal dan Carolis disease (dilatasi kistik) juga berhubungan dengan

tumor Klatskin.

9
2.5 Tipe Morfologi

a. Tipe Obstruktif/Nodular Thickening (obstruksi berbentuk huruf u/v,

saluran empedu secara fokal menebal, bila terlihat adanya massa mural).

b. Tipe Stenotik/Infiltratif (tipe ini dapat terdiagnosa bila saluran empedu

menyempit dan dindingnya irregular/ lumen kaku berstriktur dengan batas

irregular dan dilatasi pre-stenotik).

c. Tipe Polipoid/Papilare (diagnosa dapat ditegakkan bila terdapat massa

intraluminar yang umumnya menyebabkan pelebaran saluran empedu/

filling defect intraluminal dengan batas irregular).

2.6 Klasifikasi

Tumor Klatskin diklasifikasikan menurut Klasifikasi Bismuth-Corlette.

Adapun pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :

a. Bismuth-Corlette type I

Tumor terbatas pada duktus hepatica komunis, dibawah percabangan. Pasien

dapat diterapi dengan reseksi beserta rekonstruski duktus bilaris karena

percabangannya masih normal

10
b. Bismuth-Corlette type II

Lesi tumor meluas ke percabangan di muara awal duktus hepatica kanan dan

kiri. Tumor ini masih memiliki potensial untuk direseksi.

c. Bismuth-Corlette type III-a dan III-b

Lesi tipe tumor III-a meluas ke duktus hepatica kanan dan tipe III-b meluas ke

duktus hepatica kiri. Pasien dapat diterapi dengan reseksi lobus kanan liver.

d. Bismuth-Corlette type IV

Lesi tumor meluas ke duktus hepatica kanan dan kiri. Tumor ini tidak dapat

direseksi.

11
2.7. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis

Pada gambaran makroskopis, dapat terlihat adanya massa keras berwarna

putih yang sulit dikenali dengan jelas, adanya atrofi lobus, dilatasi duktus dan invasi

vascular.

Pada gambaran mikroskopis, terjadi perubahan dari epitel columnar menjadi

adenocarcinoma, yang memiliki karakteristik berupa kelenjar maligna dengan stroma

desmoplastik. Tumor ini memiliki pola pertumbuhan infiltratif dan tidak memiliki

kapsul.

2.8 Patofisiologi

Penyebab dari cholangiocarcinoma masih tidak diketahui namun sering

berkembang dalam konteks cedera kronis duktus biliaris. Cholangiocarcinoma yang

12
tersembunyi telah diidentifikasi pada hampir 40% saat otopsi pada pasien dengan

PSC (Primary Sceloring Cholangitis) dan pada 9%-36% dari eksplan hepar setelah

transplantasi hepar karena PSC. Penyakit duktus biliaris kongenital seperti Carolis

disease dan atresia biliar beresiko meningkatkan transformasi ke keganasan. Kista

choledochal, cholelithiasis, hepatolithiasis dan cholesystectomy juga telah dilaporkan

meningkatkan resiko. Infestasi parasit bilier kronis (yaitu Clonorchis sinesis dan

Opisrhorcis viverrini) pada daerah endemic di Asia Tenggara juga berhubungan

secara kausal. Faktor resiko yang lebih sedikit dilaporkan adalah paparan bahan kimia

seperti nitrosamin dan thorium dioksida.

Cholangiocarcinoma telah dibagi menjadi papilary, nodular sclerosing atau tipe

difus berdasarkan makroskopis. Tetapi pertumbuhan lokal dan karakteristik

metastasis cenderung menentukan kemampuan untuk operasi reseksi dibandingkan

histologinya. 70% dari tumor hillar merupakan variasi dari tipe sclerosing yang

tampak sebagai penebalan annular dari dinding duktus dengan longitudinal dan radial

infiltrasi. Pertumbuhan subepitelial sepanjang traktus biliaris ini adalah bentuk

tersering dari cholangiocarcinoma. Sel-sel tumor sering mendorong reaksi

desmoplastik yang akan berdampak pada massa tumor yang sebagian besar terdiri

dari struma terkolagenisasi. Jarak yg dekat dengan vena portal, arteri hepatikus dan

hepar yang mengelilingi (lobus kaudatus) membuat invasi langsung ke dalam struktur

tersebut biasanya sering menyebabkan perbedaan antara ukuran tumor dan kesulitan

dari operasi reseksi. Sebagaimana pertumbuhan tumor yang biasanya pelan, dengan

metastase yg lambat, hillar cholangiocarcinoma cenderung terlihat secara klinis hanya

13
setelah pertumbuhan tumor yang luas. Saat ditemukan, metastasis ke dalam hepar

sering ditemukan dan ketelibatan kelenjar regional mungkin muncul hingga lebih dari

50% tumor.

Penyebaran secara hematogen jarang terjadi. Obstruksi komplit dari duktus

biliaris awalnya akan menyebabkan dilatasi dari proksimal duktus namun akhirnya,

pada kasus yang berkepanjangan, sirosis biliaris atau gagal hepar akan terjadi.

Dimana invasi vaskuler telah muncul, atrofi dari lobus yang terkena dapat terjadi

yang menyebabkan hilangnya fungsi hepar. Pada keadaan ini memulihkan drainase

dari lobus masih dapat gagal meringankan jaundice

2.9 Gejala Klinis

1. Jaundice

Jaundice adalah manifestasi klinik yang paling sering ditemukan dan

umumnya paling baik dideteksi langsung dibawah sinar matahari. Obstruksi dan

kolestasis cenderung terjadi pada tahap awal jika tumor berlokasi di duktus hepatikus

komunis dan duktus koledokus. Jaundice yang terjadi pada tahap akhir bila tumor

14
berlokasi di perihilar atau intrahepatik ini merupakan tanda bahwa penyakit sudah

berada dalam tahap yang parah. Hal ini terjadi oleh karena peningkatan kadar

bilirubin oleh karena obstruksi.

2. Faeces berwarna kuning dempul

3. Urin berwarna gelap

4. Pruritus

5. Rasa sakit pada perut kuadran kanan atas (abdomen) dengan rasa sakit yang

menjalar ke punggung.

6. Penurunan berat badan.

2.9 Pemeriksaan dan Diagnosa

Selain berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik, maka untuk

menegakkan diagnosis tumor Klatskin diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut

yaitu pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.

Pada pemeriksaaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar

bilirubin, alkaline fosfatase, glutamiltransferase (GGT) dan SGOT-SGPT.

15
Pada pemeriksaan radiologi, beberapa teknik yang memberikan gambaran

yang potensial telah dikembangkan. Umumnya USG ataupun CT-scan dilakukan

lebih dahulu diikuti dengan salah satu tipe pemeriksaan cholangiografi.

a. USG

Tumor tampak sebagai suatu struktur yang kompleks, regular, akan lebih

mudah dipelajari bila masih agak kecil, karena batas saluran empedu masih terlihat

sebagian atau seluruhnya. Bila sudah besar dan tumbuh merusak dinding saluran

empedu akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis, karena sulit dibedakan dengan

tumor di luar saluran empedu.

Penyebaran dari tumor di dalam duktus biliaris ditentukan oleh pola obstruksi

dari duktus biliaris dan lokasi dimana terdapat massa di duktus. Yang dievaluasi

adalah duktus hepatikus komunis, sinistra, dekstra, dan duktus cabang

dekstra/sinistra.

Berdasarkan penelitian massa tumor memberikan gambaran 65 % isoechoik,

21 % hipoechoik dan 15 % hiperechoik dibandingkan dengan parenkim hepar.

Pada pemeriksaan USG, tumor Klatskin yang klasik bermanifestasi dalam

bentuk dilatasi segmental dan tidak menyatunya duktus hepatikus kanan dan kiri pada

porta hepatica. Untuk tipe Papilare, menyerupai massa Polipoid intraluminal;

16
sedangkan tipe Noduler memberikan gambaran massa halus berbatas tegas yang

dihubungkan dengan penebalan mural.

There is evidence of intrahepatic biliary dilatation. The visualized liver parenchyma appears normal.

The biliary dilatation is seen again in this image. A small hyperechoic focus is seen within the biliary tree most likely
within the common hepatic duct.

17
terminate abruptly at the liver hilus (arrowhead). There is no detectable mass. Right image (B), taken at the same location, 4 min
after intravenous injection of Levovist (Schering, Berlin, Germany), shows a tumor mass (arrows) with periductal extension and
liver invasion. The liver parenchyma is brighter than on the baseline scan and the tumor shows increased conspicuity

Gambar 2.1 USG Hilar Cholangocarcinoma

b. CT-Scan

Gambaran yang dihasilkan pada pemeriksaan CT-Scan tergantung pada lokasi

dan morfologi dari tumor. Kunci untuk menegakkan diagnosis dari lesi ekstrahepatik

atau lesi konfluens adalah dengan melihat adanya dilatasi duktus biliaris pada lokasi

tumor. Massa tumor pada tingkat obstruksi bilier dapat terlihat dengan pemeriksaan

CT-Scan, tapi kemungkinan ukurannya kecil dan tidak diidentifikasi. Untuk kasus-

kasus seperti ini, penilaian secara kasar dari dilatasi duktus tanpa terlihatnya massa,

dapat mengarah ke diagnosis yang benar untuk tumor Klatskin walaupun benign

stricture atau batu empedu kolesterol dapat memberikan gambaran yang sejenis.

Tapi karena batu umumnya menyebabkan obstruksi distal, maka saat tingkat obstruksi

terjadi di bagian bifurkasio duktus hepatikus dan bagian pancreas, maka tumor

Klatskin patut dicurigai.

Bila massa tumor kecil atau terletak di sebelah distal pada sistem

ekstrahepatik, biasanya akan memberikan gambaran pendesakan jaringan lunak.

Massa tumor yang besar dapat memiliki daerah-daerah nekrosis dan densitas yang

rendah. Seringkali bagian leher dari tempat obstruksi duktus akan memberikan

gambaran pendesakan dari dinding duktus koledokus yang eksentrik sehingga

mengarahkan diagnosa ke tumor Klatskin.

18
Gambaran yang dihasilkan oleh CT-Scan mirip dengan USG :

Dilatasi duktus intrahepatik tanpa dilatasi dari duktus ekstrahepatik.

Terdapat massa di dalam / mengelilngi duktus pada lokasi obstruksi.

Dapat mendeteksi adanya tumor yang infiltratif.

Dapat melihat adanya tumor eksofitik

Tumor polipoid intraluminal terlihat sebagai massa isoechoik di dalam cairan

empedu.

Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition

High-resolution, helical CT scan in a patient presenting with several months of increasing pruritus followed by the
development of clinically evident jaundice. The relatively hypodense hilar cholangiocarcinoma (large arrow) is evident.
Marked atrophy of the left hepatic lobe is noted with dilated intrahepatic bile ducts (small arrow), but little remaining
hepatic parenchyma is eviden
Gambar 2.2 CT-Scan Hilar Cholangiocarcinoma

19
CT scan 24 mm below A shows narrowing and enhanced, focal, thickened wall of right main bile duct (arrows) with dilation of
intrahepatic duct.
Gambar 2.3 Dilatasi saluran intrahepatica

Infiltrating hilar cholangiocarcinoma with tumoral involvement of the right secondary confluence and common hepatic duct. CT
scan reveals a high-attenuation tumor on the anterior aspect of the right portal vein (arrowheads)
Gambar 2.4 Tumor pada vena porta dextra

20
A case with type IIIb Klatskin tumor. Plain CT scan reveals that the tumor is in the main trunk of left hepatic duct with dilatation
of branches.
Gambar 2.5 Cholangiocarcinoma tipe IIIb

c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)

ERCP adalah suatu cara pemeriksaan invasif, yang hanya dilakukan apabila

ada indikasi positif yang kuat. Biasanya merupakan langkah terakhir dari suatu seri

pemeriksaan dan dipakai untuk deteksi atau diferensiasi suatu penyakit saluran

empedu atau pankreas.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk visualisasi dengan bahan kontras secara

retrograde dan mengetahui langsung saluran empedu eferen dan duktus pankreatikus

dengan memakai suatu duodenoskop yang mempunyai pandangan samping.

Duodenoskop dimasukan peroral, oleh karena itu kemungkinan adanya

divertikel dan stenosis harus dipertimbangkan kembali berdasarkan tanda-tanda

klinis. Duodenoskop ini dimasukkan sampai ke duktus biliaris lalu disemprotkan

21
kontras (Conray-60 atau Urografin 60%) dengan pengawasan fluoroskopi lalu

dilakukan pengambilan foto X-ray.

Adapun gambaran radiologisnya :

Massa tumor intraduktal yang eksofitik (46 % ) dengan diameter 2-5mm

Sering didapatkan striktur fokal konsentrik yang panjang atau terkadang

pendek pada tipe kolangitis sklerotik infiltratif dengan yang irreguler.

Dilatasi prestenotik difus/fokal dari sistem bilier.

Striktur pada duktus yang progresif

Gambaran di atas menunjukkan dilatasi ringan dari duktus biliaris intrahepatik dan

striktur irregular pada bifurcation duktus biliaris intrahepatik

Selain itu, ERCP dapat juga digunakan untuk mendapatkan bahan kepentingan

pemeriksaan histologi antara lain sitologi hapusan, biopsi, dan aspirasi dengan jarum.

22
Percutaneous transhepatic cholangiography. Hilar cholangiocarcinoma

Gambar 2.6 Percutaneous transhepatic cholangiography

Cholangiogram shows complete obstruction of the hepatic hilum, proximal portion of the common bile duct, and segmental bile
ducts of the right hepatic lobe. Irregular and severe strictures (arrows) exist at both the proximal portion of the common bile duct
and the intrahepatic bile duct of the anterior segment of the right hepatic lobe (arrowheads). The left hepatic duct is not opacified
Gambar 2.7 Obstruksi hilus hepatic

23
Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) showing a focal stricture of the proper hepatic bile duct (arrow) with
marked dilatation of the intrahepatic bile ducts. This hilar cholangiocarcinoma was completely resected with Roux-Y
hepaticojejunostomy reconstruction of biliary-enteric continuity

Gambar 2.8 focal stricture of the proper hepatic bile duct

a. Magneting Resonance imaging dan Magneting Resonance


Cholangiopancreatography

Serupa dengan jenis intrahepatik, hillar cholangiocarcinoma biasanya


memperlihatkan hipointensitas pada T1-dan hiperintensitas perifer pada T2-weighted
MRI, hipointensitas sentral sesuai sentral fibrosis. T1 C+ lebih unggul dari CT dalam
mendeteksi tumor hillar yang kecil, infiltrasi tumor intrahepatik dan periductal.
T1W1 (fat suppressed image), tumor pada bagian intra pankreatikus CBD tampak
sebagai sinyal intensitas rendah berlawanan dengan sinyal intensitas tinggi dari caput
pankreas. Dilatasi IHBD jelas pada pasien dengan tumor yang mengobstruksi, dan
atrofi lobus terlihat pada kasus-kasus oklusi vena portal. Fast low-angle shot
(FLASH) MR dengan kontras pada pencitraan coronal yang disempurnakan telah
digunakan untuk menunjukkan perluasan intraluminal tumor dan untuk membedakan
pembuluh darah dari duktus biliaris. Dengan dynamic contrast-enhanced MRI,
cholangiocarcinoma biasanya dikenali lewat enhancement perifer moderate yang

24
tertunda. Keterlibatan duktus biliaris diidentifikasi daripenyempitan ireguler duktus
dengan dilatasi proksimal.
MRCP dan MR virtual endoscopy dapat menunjukkan hillar obstruksi duktus
biliaris oleh tumor lewat dilatasi duktus intrahepatikus. Keuntungan dari MRCP dari
cholangiography langsung termasuk noninvasifnya dan visualisasi yang mungkin
timbul dari duktus biliaris yang terisolasi. Namun, MRCP mungkin memiliki
keterbatasan relatif terhadap cholangiography langsung karena evaluasi dari
perluasan tumor terbatas oleh resolusi spasial.
Saat ini, MRI dengan MRCP adalah modality imaging terbaik yang tersedia
untuk cholangiocarcinoma. Mengungkapkan lokasi dan perluasan dari pertumbuhan
tumor, memperlihatkan lokasi obstruksi dan dilatasi IHBD. Menyediakan informasi
berhubungan dengan luas tumor, anatomi biliaris dan parenkim hepar, dan metastase
intrahepatik.

Correlation between magnetic resonance cholangiopancreaticography (MRCP) and endoscopic retrograde


cholangiopancreaticography (ERCP) in hilar cholangiocarcinoma. (a) MRCP with gadolinium enhancement shows generalized
dilatation of the intrahepatic bile ducts to the level of the hilum. (b) Cholangiogram at the time of ERCP of the same patient
demonstrates the appearance as in MRCP
Gambar 2.9 Korelasi antara MRCP dan ERCP

25
MRI study of hilar cholangiocarcinoma. Gadolinium-enhanced MRI analysis of the liver with ferumoxide in a patient with hilar
cholangiocarcinoma Bismuth type III-IV. (A)T2-weighted MRI images. There is a hyperattenuating mass at the confluence of
the rightand left biliary ducts and dilatation of the right and left intrahepatic bile duct system (white arrow). (B) MRCP of the
same patient demonstrating a dominant stricture in the area of the biliary confluence and dilatation of the intrahepatic left and
right biliary system (white arrow)
Gambar 2.10 Gambaran MRI Hilar Cholangiocarcinoma

Type IIIA hilar cholangiocarcinoma (Klatskin tumor). (A) Coronal Half Fourier RARE T2-weighted image shows a hypointense
infiltrating tissue at the primary biliary confluence. (B) Coronal Half Fourier RARE MRCP shows a separation of the primary
biliary confluence and also a separation of the right secondary confluence, also because of low insertion of the posterolateral
intrahepatic bile duct. Primary confluence separation can be better appreciated on the coronal thin slice (2 mm) Half Fourier
RARE MRCP
Gambar 2.11 Type IIIA hilar cholangiocarcinoma

26
Hilar cholangiocarcinoma (Klatskin tumor). (A) Axial Spoiled Gradient Echo T1-weighted image shows a hypointense lesion in
the left lobe, with infiltrating grow pattern. (B) On Half Fourier RARE T2-weighted image, the lesion appears hypointense to
adjacent liver parenchyma. The lesion infiltrates the intrahepatic bile duct of the left lobe with upstreamdilation. On dynamic T1-
weighted Spoiled Gradient Echo, the lesion appears hypovascular compared with adjacent liver parenchyma (C), with
progressive enhancement during the portal venous phase (D), reaching a peak during the delayed phase (E). (F) Delayed contrast
enhancement can be better appreciated on coronal fat-suppressed, Spoiled Gradient Echo T1-weighted images; coronal imaging
is also well-suited to assess portal vein encasement. (G) Coronal thick-slab Half Fourier RARE MRCP shows a type IIIB
infiltration of the bile duct, according to Bismuth.
Gambar 2.12 Hilar cholangiocarcinoma (Klatskin tumor)

27
e. Endosonography with fine-needle aspiration

Evaluasi lebih lanjut terhadap kelenjar limfe regional dan percabangan biliaris

untuk informasi staging dan aspirasi jaringan untuk analisa patologik. Penggunaan

teknik ini untuk mendapatkan jaringan dari lesi hillar yang mencurigakan tidak

disarankan karena dapat menyebabkan penyebaran tumor dengan peritoneal tumor

seeding.

f. Positron Emission Tomography

Akulmulais F-2-deoxy-glucose (FDG) yang tinggi pada epitel duktus biliaris.

g. Other imaging modalities

Ultrasound intraduktus, endoscopic/percutaneous flexible cholangioscopy, dan

radiolabeled imaging tidak termasuk work-up diagnostik yang rutin dijalankan

2.10 Terapi dan Prognosis

Tujuannya untuk mengobati kanker dan obstruksi yang diakibatkan oleh

tumor ini. Bila mungkin tindakan bedah/operasi adalah pilihan dan kemungkinan

akan didapatkan hasil yang memuaskan. Kemoterapi atau radiasi dapat dilakukan

setelah operasi untuk resiko kekambuhan tetapi keuntungan yang didapat dari

tindakan ini belum jelas benar.

28
Terapi dengan menggunakan endoskopi atau operasi dapat membebaskan

obstruksi pada duktus biliaris dan menghilangkan jaundice pada pasien bila memang

tumornya tidak dapat direseksi

Pasien-pasien dengan tumor yang tidak dapat direseksi, radioterapi mungkin

bermanfaat. Kemoterapi juga dapat melengkapi radioterapi bila tumor telah menyebar

keluar saluran empedu, tapi bagaimanapun juga hal ini kurang efektif.

Gambaran proses reseksi tumor Klatskin

Terapi pilihan dan prognosis sangat dipengaruhi oleh lokasi tumor. Prognosis lebih

baik pada kasus tumor distal saluran empedu, histologi yang berbeda, dan tumor tipe

polipoid. Faktor menyebabkan prognosis yang kurang baik adalah menyangkut

pembengkakan KGB, invasi vaskularisasi, garis tepi tumor positif pada bagian yang

pernah direseksi, dan adanya mutasi gen P53 .

Tumor yang dapat direseksi sempurna akan meningkatkan survival rate

selama 5 tahun pada sekitar 30 %-40% pasien dengan kemungkinan sembuh

sempurna. Bila tumor tidak dapat direseksi sempurna, maka kesembuhan tidak dapat

diharapkan. Dalam situasi seperti ini , dengan pengobatan, sekitar separuh dari

penderita dapat mencapai 1 tahun kehidupan dan sisanya dapat mencapai waktu lebih

lama lagi.

29
Peran radioterapi dan kemoterapi masih kontroversial. Penggunaan hormon

dalam perawatan, mencakup somatostatin analog, cholecystokinin, dan

cholecystokinin antagonis, yang sekarang ini sedang diteliti.

Preoperative ERCP dengan pengeringan biliaris pada pasien dengan tumor

Klatskin telah diusulkan untuk meningkatkan resiko implantasi metastases setelah

reseksi tumor. Oleh karena itu, preoperative radioterapi didukung dalam pasien

tersebut , tetapi manfaat belum terbukti dengan pasti.

Transarterial chemoembolisasi (TACE), infusion 5-fluorouracil dan

gemcitabine ke dalam artery hepatic atau duktus biliaris, dan suntikan percutaneous

ethanol (PEI) ke dalam lesi adalah cara lain yang masih dalam tahap percobaan.

Terapi Photodynamic mungkin bermanfaat dalam membebaskan obstruksi,

terutama ketika obstruksi terjadi sebagai hasil perkembangan tumor ke dalam suatu

endoprosthesis.

30
BAB III

KESIMPULAN

Kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien dengan cholangiocarcinoma

sangat tergantung pada stadium penyakit pada presentasi dan apakah pasien perlu

diperlakukan dengan prosedur paliatif atau reseksi tumor lengkap. Tingkat margin-

negatif reseksi secara konsisten telah dilaporkan di atas 75% ketika hepatectomy

parsial termasuk reseksi lobus kaudatus ditambahkan ke reseksi empedu. Pendekatan

agresif telah meningkatkan Angka harapan hidup 5 tahun di atas 50% dalam beberapa

seri. Namun, tingkat kematian perioperatif menyertai reseksi ini lebih luas, sedikit

lebih tinggi daripada eksisi lokal yang menyertainya (8-10% dibandingkan 2-4%).

Pasien dengan kanker saluran empedu yang dioperasi distal memiliki tingkat tertinggi

reseksi. Mereka dengan kanker saluran empedu yang dioperasi distal memiliki hidup

rata-rata 32 hingga 38 bulan dan angka harapan hidup 5 tahun meningkat 28% sampai

45%. Bahkan dengan terapi ajuvan multimodality, survival untuk tumor intrahepatik

yang telah dioperasi hanya 6 sampai 7 bulan. Demikian pula, ketahanan hidup rata-

rata untuk pasien dengan tumor perihilar yang dioperasi bervariasi antara 5 dan 8

bulan.

Penggunaan transplantasi hati untuk pengobatan cholangiocarcinoma adalah

kontroversial dan harus dicadangkan untuk pasien pilih sebagai bagian dari protokol

penelitian. Sebagai ajuvan yang efektif dan protokol neoadjuvant yang masih

dikembangkan, transplantasi mungkin merupakan pengobatan yang lebih berguna

31
untuk penyakit ini. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, hal ini disarankan oleh

laporan awal dari Mayo Clinic di mana kelangsungan hidup setelah kemoradiasi

neoadjuvant dan transplantasi hati secara signifikan meningkat selama reseksi saja

untuk tahap I dan II cholangiocarcinoma hilus.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mert A, Ozaras R, Tabak F, Ozturk R, Bilir M. Tumor Klatskin. Eur J Intern


Med 2003;14:511.
2. Purl AS, Nayyar AK, Vij JC. Cholangiocarcinoma. Indian J Tub 1994;41:131
3. Bikhchandani J, Malik VK, Kumar V, Sharma S. Carcinoma gall bladder.
Indian J Gastroenterol 2005;24:25.
4. Hersch C. Tuberculosis of the liver. A study of 200 cases. S Afr Med J
1964;38:906.
5. Brookes MJ, Field M, Dawkins DM, Gearty J, Wilson P. Massive primary
hepatic tuberculoma mimicking hepatocellular carcinoma in an
immunocompetent host. Medscape Gen Med 2006;8:11.
6. Xing X, Li Hong, Liu WG. Hepatic segmentectomy for treatment of hepatic
tuberculous pseudotumor. Hepatobiliary Pancreat Dis Int 2005;4:565-8.
7. Buxi TB, Vohra RB, Sujatha Y, Chawla D, Byotra SP, Gupta PS, et al. CT
appearances in macronodular hepatosplenic tuberculosis: A review with five
additional new cases. Comput Med Imaging Graph 1992;16:381-7.
8. Shizaki Y, Wakayama T, Okada Y, Kobayashi T. Magnetic resonance
cholangiography for evaluation of obstructive jaundice. Am J Gastroenterol
1993;88:2072-7.
9. Venkatesh SK, Tan LK, Siew EP, Putti TC. Macronodular: Hepatic
tuberculosis associated with portal vein thrombosis and portal hypertension.
Australas Radiol 2005;49:322-4.

33

Anda mungkin juga menyukai