Anda di halaman 1dari 9

Definisi

Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1
menurut klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ
atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,
sistem gastrointestinal). Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang paling parah.
Definisi akhir menurut WAO, Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas sistemik serius
yang biasanya cepat dan dapat menyebabkan kematian. Anafilaksis berat ditandai dengan
gangguan yang berpotensi mengancam jiwa pada jalan napas, pernapasan, dan/atau sirkulasi, dan
dapat terjadi tanpa adanya ciri khas kulit atau syok sirkulasi. Sejumlah definisi yang berbeda-
beda untuk anafilaksis yang saat ini digunakan dalam literatur sebagai berikut.

Gambar 1. Definisi Syok Anafilaktik

Epidemiologi (59,60,5-6,61)
Prevalensi anafilaksis sangat bervariasi, banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi meningkat
terutama di negara maju dari data di amerika serikat antara 112/ 100.000 orang per tahun
mengalami reaksi anafilaksis. Dari data lain menyebutkan prevalensi adalah 0,3-5,1% kasus.
Pada anak-anak, kejadian reaksi anafilaksis berkisar 761 / 100.000 orang per tahun. Dengan
angka kekambuhan reaksi anafilaksis terjadi pada 26,5–54,0% kasus. Dan tiga penyebab utama
anafilaksis adalah obat-obatan sebanyak 29%-58,5% kasus. 8,28,89,90 sengatan serangga 3,3%
-54% kasus. 8,28,89,90 dan makanan sebanyak 2%-6,7% kasus.8,28,90 Dari data yang
dilaporkan menunjukkan bahwa kekambuhan reaksi terjadi pada 26,5–54,0% pasien anafilaksis
selama masa follow – up 1,5 tahun–25 tahun.

Patofisiologi
Anafilaksis dikelompkkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type reaction) dimana
timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi
antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator
inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:
Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas
atau saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada receptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.4,5
Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan
basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan
diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif
antara lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang
disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama
syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamine pada reseptor
tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme.
Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan
hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane sel
yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan
bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah.
Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada organ-organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi, mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF)
berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.
Gambar 2. Reaksi Anafilaksis
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keadaan syok yang membahayakan penderita.

KRITERIA

Komite Anafilaksis WAO baru-baru ini mempertimbangkan sejumlah masalah mengenai kriteria ini:
- Beberapa reaksi awalnya muncul dengan gejala pernapasan atau kardiovaskular yang terisolasi;
17 presentasi seperti itu tidak jarang terjadi pada anafilaksis fatal yang dipicu oleh paparan
makanan dan alergen lain,18,19 dan semakin terlihat dengan imunoterapi/desensitisasi oral
protokol. Namun, sementara presentasi tersebut bukan merupakan anafilaksis di bawah kriteria
NIAID/FAAN saat ini, reaksi tersebut harus dianggap sebagai anafilaksis dan dikelola sesuai
dengan itu.
- Beberapa definisi menyamakan anafilaksis sebagai reaksi sistemik - namun tidak jarang reaksi
alergi hanya melibatkan kulit, jauh dari tempat paparan alergen: ini jelas merupakan manifestasi
sistemik, tetapi tidak boleh diklasifikasikan sebagai anafilaksis jika tidak ada gangguan yang
berpotensi mengancam jiwa yang mempengaruhi sistem pernapasan dan/atau kardiovaskular.
- Beberapa pemicu anafilaksis menyebabkan gejala yang berkembang dengan cepat, tetapi
onsetnya tertunda setelah paparan alergen, misalnya galaktosa-alfa-1,3 galaktosa (alergi alfa-
gal).
- Kurangnya definisi "persisten" ketika diterapkan pada gejala gastrointestinal dalam kerangka
NIAID/FAAN saat ini masih ambigu. Sudah lama ada perbedaan pendapat regional sehubungan
dengan dimasukkannya gejala gastrointestinal sebagai ciri yang menentukan anafilaksis yang
diinduksi makanan.
- Anafilaksis dapat terjadi tanpa adanya keterlibatan kulit atau syok kardiovaskular; presentasi
seperti itu biasa terjadi pada anafilaksis yang fatal.18 Tanda-tanda kulit tidak ada pada 10-20%
reaksi anafilaksis, dan ini dapat mengakibatkan keterlambatan dalam mengenali anafilaksis.1
Oleh karena itu, Komite Anafilaksis WAO telah mengusulkan definisi berikut untuk anafilaksis.
- Definisi akhir menurut WAO “Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas sistemik serius yang
biasanya cepat dan dapat menyebabkan kematian. Anafilaksis berat ditandai dengan gangguan
yang berpotensi mengancam jiwa pada jalan napas, pernapasan, dan/atau sirkulasi, dan dapat
terjadi tanpa adanya ciri khas kulit atau syok sirkulasi.”

Tujuannya adalah untuk menyederhanakan kriteria yang ada, dengan menggabungkan 2 kriteria
NIAID/FAAN pertama dan memodifikasi yang ketiga:
Mengingat ketidakpastian atas definisi gejala gastrointestinal "persisten" yang dibahas di atas, kata-kata
ini telah dimodifikasi menjadi "gejala gastrointestinal yang parah (nyeri perut kram parah, muntah
berulang), terutama setelah terpapar alergen non-makanan". Ini mengakui bahwa gejala
gastrointestinal, terutama setelah terpapar alergen non-makanan, merupakan indikasi anafilaksis, tanpa
memerlukan gejala tersebut menjadi persisten agar dapat diobati dengan tepat. Pilihan "parah"
daripada "terus-menerus" juga konsisten dengan sistem penilaian untuk reaksi alergi yang digunakan
dalam Consortium of Food Allergy Research (CoFAR) yang berbasis di AS.31 Gejala-gejala ini akan
muncul kurang lebih secara bersamaan.

Kriteria kedua mencerminkan kenyataan bahwa terjadinya tanda-tanda pernapasan objektif dalam
isolasi setelah terpapar alergen yang diketahui merupakan indikasi anafilaksis. Yang penting, kriteria ini
tidak menghalangi pengobatan dini, tetapi berpotensi mengembangkan reaksi sistemik dalam konteks
imunoterapi alergen. (terutama melalui sub-kutan rute) sebagai anafilaksis.

Diagnosis banding anafilaksis termasuk asma akut, angioedema lokal, sinkop, dan serangan kecemasan /
panik, antara lain (lihat Tabel 3)
PATOGENESIS

Meskipun mengekspresikan gambaran klinis umum, mekanisme yang mendasari anafilaksis dapat
bervariasi.32 Namun demikian, beberapa dari yang teraktivasi jalur mungkin umum untuk berbagai jenis
reaksi anafilaksis atau hadir secara bersamaan.
Anafilaksis yang dimediasi IgE dianggap sebagai mekanisme klasik dan paling sering. Dalam tipe ini,
anafilaksis dipicu oleh interaksi alergen (biasanya protein) yang berinteraksi dengan kompleks
IgE/reseptor afinitas tinggi (FcεRI) spesifik alergen yang diekspresikan pada sel efektor, terutama sel
mast dan basofil.33 Ini memulai pensinyalan intraseluler yang menghasilkan pelepasan dari sintesis
mediator yang dibentuk sebelumnya dan de novo.

Anafilaksis yang tidak diperantarai IgE dapat bersifat imunologis atau non-imunologis. Mekanisme
imunologi yang dimediasi non-IgE yang paling relevan mungkin melibatkan aktivasi jalur seperti sistem
komplemen (anafilatoksin, C3a, dan C5a),35 aktivasi sistem kontak dan koagulasi,36-38 atau anafilaksis
yang dimediasi imunoglobulin G (IgG).39-41 Mekanisme non-imunologi telah dijelaskan untuk beberapa
obat (opioid).42 Etanol dan faktor fisik, seperti olahraga, mungkin terlibat dalam memicu anafilaksis
melalui mekanisme yang tidak sepenuhnya dijelaskan. Sel mast dapat diaktifkan melalui reseptor seperti
anggota reseptor berpasangan G-protein terkait Mas X2 (MRGPRX2) oleh obat-obatan tertentu seperti
agen penghambat neuromuskular dan fluoroquinolones.

Anafilaksis diklasifikasikan sebagai idiopatik ketika tidak ada pemicu yang dapat diidentifikasi dan saat ini
mewakili antara 6,5 dan 35,0% kasus, tergantung pada penelitian.45 Dalam kasus tersebut, gangguan sel
mast harus disingkirkan. Mengecualikan urtikaria pigmentosa tidak mengecualikan mastositosis, begitu
pula triptase awal yang normal. Mendeteksi mutasi KIT dalam darah tepi atau sumsum tulang mungkin
diperlukan. 46,47 Juga, peran alergen yang sebelumnya tidak dikenali (seperti alpha-Gal) 48 atau kurang
mudah untuk diidentifikasi (omega-5-gliadin, oleosin) 49 harus dipertimbangkan.

Tejedor Alonso MA, Moro Moro M, Múgica García MV. Epidemiology of anaphylaxis. Clin Exp Allergy.
2015;45:1027– 1039.

Calderon MA, Tanno LK, Smith HE, Sanchez-borges M, Sheikh A. Dissemination of definitions and
concepts of allergic and hypersensitivity conditions. World Allergy Organ J. 2016;9:1–9.

ASCIA Anaphylaxis Clinical Update. https://www.allergy.org.


au/images/stories/hp/info/ASCIA_HP_Clinical_Update_Anaphylaxis_Dec2016.pdf (accessed 21 Sept
2021).

Ansotegui IJ, Sánchez-Borges M, Cardona V. Current trends in prevalence and mortality of anaphylaxis.
Curr Treat Options Allergy. 2016;3:205–211

Wilson JM, Schuyler AJ, Workman L, et al. Investigation into the a-gal syndrome: characteristics of 261
children and adults reporting red meat allergy. J Allergy Clin Immunol Pract Published Online First:. 30
March 2019 https://doi.org/10. 1016/j.jaip.2019.03.031

Carrard A, Rizzuti D, Sokollik C. Update on food allergy. Allergy 2015;70: 1511-20.

Gupta RS, Warren CM, Smith BM, Jiang J, Blumenstock JA, Davis MM, et al. Prevalence and severity of
food allergies among US adults. JAMA Netw Open 2019

McNeil BD, Pundir P, Meeker S, et al. Identification of a mastcell- specific receptor crucial for pseudo-
allergic drug reactions. Nature. 2015;519:237–241.
Muñoz-Cano RM, Bartra J, Picado C, Valero A. Mechanisms of anaphylaxis beyond IgE. J Investig Allergol
Clin Immunol. 2016;26:73–82.

Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and Treatment,
Medscape.

Anda mungkin juga menyukai