Anda di halaman 1dari 61

REFERAT

KEGANASAN PADA KULIT

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Waled

Disusun oleh:

Ikhwan Hafizh Mauludi

120810003

Pembimbing:

dr. Frista Martha Rahayu., Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALED CIREBON FAKULTAS
KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI


CIREBON

2021
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan referat yang berjudul “
keganasan pada kulit ”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Cirebon. Kami menyadari
sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan sampai dengan
terselesaikannya referat ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih yang
sebesar- besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah
memberikan sarana dan prasarana kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
2. dr. Frista Martga Rahayu., Sp.DV selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing kami dalam
penyusunan laporan kasusini.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a,
dukungan moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas
bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga laporan
kasus ini dapat terselesaikan denganbaik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon, September 2021

Ikhwan Hafizh M

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHANKOORDINATORKEPANITERAAN...........................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1................................................................................................................. Definisi
.............................................................................................................................3
2.2........................................................................................................... Epidemilogi
.............................................................................................................................3
2.3..................................................................................................... Etiopatogenesis
.............................................................................................................................4
2.4.................................................................................................... Gambaran klinis
.............................................................................................................................5
2.5......................................................................................................... Histopatologi
.............................................................................................................................9
2.6............................................................................................... Pemeriksaan sitologi
.............................................................................................................................13
2.7................................................................................................................ Diagnosis
.............................................................................................................................16
2.8................................................................................................... Diagnosis banding
.............................................................................................................................16
2.9. Diagnosis............................................................................................................19
2.10.Pencegahan dan Edukasi....................................................................................21
2.11. Prognosis...........................................................................................................22
BAB III...........................................................................................................................24
KESIMPULAN.............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................26

iii
iv
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Karsinoma sel basal


A. Definisi

Karsinoma sel basal merupakan keganasan kulit yang berasal dari sel non
keratin lapisan basal epidermis. Nama lain Karsinoma Sel Basal (KSB) disebut juga
basalioma, epitelioma sel basal, ulkus rodent, ulkus Jacob, atau tumor Komprecher.2

B. Epidemiologi

Karsinoma sel basal umum dijumpai di masyarakat. Jumlah karsinoma sel


basal sekitar 75 % dari semua kanker kulit. Berdasarkan data epidemiologi
menunjukkan bahwa keseluruhan insiden meningkat secara signifikan di seluruh
dunia sebesar 3%-10% per tahun. Karsinoma sel basal biasa terjadi pada orang tua
namun semakin sering terjadi pada orang yang berusia di bawah 50 tahun. 2
Karsinoma sel basal terutama terdapat pada ras Kaukasoid, menyerang terutama pada
lanjut usia (lansia), dengan jumlah rasio laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
2:1, sedangkan di Malaysia dan Singapura, rasio laki-laki dibandingkan dengan
perempuan hampir sama. Penelitian retrospektif di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin (IKKK) – RSUP M. Hoesin Palembang, didapatkan adanya peningkatan
insiden karsinoma sel basal primer. Penelitian Toruan TL dkk. (2000), mendapatkan
20 kasus (0,042%) karsinoma sel basal primer, sedangkan Yahya YF dkk. pada tahun
(2008) mendapatkan 47 pasien (0,11%) karsinoma sel basal primer . 5 Faktor risiko
terjadinya karsinoma sel basal yaitu paparan sinar ultraviolet, rambut dan mata yang
berwarna terang, keturunan Eropa Utara dan ketidakmampuan untuk berjemur.2

C. Etiopatogenesis

1
Etiopatogenesis karsinoma sel basal adalah predisposisi genetik, lingkungan,
dan paparan sinar matahari, khususnya ultraviolet B (UVB) yang merangsang
terjadinya mutasi suppressor genes. Radiasi UVB merusak DNA dan memengaruhi
sistem imun sehingga menghasilkan perubahan progresif genetik dan keganasan.
Sinar ultraviolet menginduksi mutasi pada gen penghambat tumor p53 telah
ditemukan pada sekitar 50% kasus karsinoma sel basal.2,3,6

Faktor genetik yang berperan terdapat pada kromosom 1 dan satu varian dari
setiap kromosom 5, 7, 9, dan 12. Varian kromosom tersebut diketahui berhubungan
dengan ketidakmampuan dalam proteksi terhadap paparan sinar matahari, yang
mungkin berhubungan dengan faktor risiko tambahan terhadap paparan sinar
matahari yang bersifat heterozigot. Kelainan genetik yang bersifat homozigot
terutama berhubungan dengan pengaturan sonic hedgehog pathway signaling, paling
sering terjadi pada sindrom nevoid karsinoma sel basal atau sindrom Gorlin.
Hedgehog pathway (HP) aktif pada perkembangan fetus dan akan berhenti bila
jaringan sudah dewasa. Pada kasus-kasus karsinoma terjadi pengaktifan HP kembali
dan ditemukan di PTCH1 dan Smoothened (SMO). Mutasi yang paling sering
diidentifikasi pada PTCH1 dan SMO merupakan dari jenis yang konsisten dengan
kerusakan akibat sinar ultraviolet.2,3,6 Faktor lingkungan yang diketahui dapat memicu
terjadinya karsinoma sel basal adalah hidrokarbon, arsenik, batubara, aspal, obat
topikal methoxipsoralen, dan sinar UV. Rangsangan onkogen, kondisi imunosupresif,
luka kronis, dan trauma akut juga terbukti sebagai faktor pencetus timbulnya kanker
kulit, memicu pertumbuhan keratinosit menjadi lesi seperti karsinoma sel basal. 10
Efek radiasi sinar ultraviolet terhadap kulit dapat bersifat akut dan kronik. Secara
klinis, efek akut dari radiasi UV adalah sunburn inflammation, eritema, nyeri, panas,
tanning sintesis melanin, imunosupresif lokal dan efek sistemik. 3,6

Kerusakan DNA yang terjadi akibat pembentukan 6,4-photoproducts seperti


cyclobutane pyrimidine dimmers, diperbaiki dengan nucleotide excision repair
(NER). Jika perbaikan DNA gagal dan sel yang bersangkutan tetap hidup, akan

2
terjadi kerusakan DNA menetap, berarti telah terjadi mutasi gen yang bersangkutan.
Radiasi UV-B meningkatkan apoptosis keratinosit untuk membunuh sel yang
kerusakan DNA-nya gagal diperbaiki terutama pada daerah yang aktif mengalami
proliferasi pada lapisan basal epidermis, sehingga kejadian mutasi oleh radiasi UV-B
tidaklah mudah terjadi. Jika mutasi ini mengenai gen yang menyandi sintesis faktor
pertumbuhan (protoonkogen) atau yang menyandi sintesis faktor penghambat
pertumbuhan (tumor supressor gene), maka karsinogenesis sudah berlangsung.2

Sinar UV yang secara kronik mengenai sel induk kulit menyebabkan


photoaging, imunosupresi, dan fotokarsinogen. Fotokarsinogen melibatkan
pembentukan foto produk yang merusak DNA. Jika perbaikan DNA gagal, maka
akan terjadi mutasi protoonkogen menjadi onkogen atau inaktivasi gen penghambat
kanker. Akumulasi mutasi akibat fotokarsinogen termasuk penghapusan genetik
menyebabkan tidak aktifnya gen penghambat kanker yang menyandi pembentukan
protein penghambat proliferasi sel. Akumulasi mutasi gen inilah yang berperan dalam
memicu terjadinya karsinoma sel basal. 3,6

D. Gambaran Klinis

Berdasarkan patologi klinis, karsinoma sel basal memiliki sifat pertumbuhan


yang berbeda, yaitu sebagai berikut:7

1. Nodul: Kista, berpigmen, keratosis; jenis karsinoma sel basal yang paling
sering dijumpai; biasanya muncul sebagai papul, berbentuk seperti mutiara,
berwarna serupa kulit dengan telangiektasis.
2. Infiltratif: tumor yang menginfiltrasi dermis di untaian tipis antara serat
kolagen, membuat tepi kanker kurang terlihat.
3. Mikronodular: tidak mudah terjadi ulserasi; ketika diregangkan muncul warna
putih-kuning, memiliki tepi yang berbatas tegas.
4. Morpheaform: Terlihat seperti putih atau kuning, lunak, plak sklerotik yang
jarang terjadi ulserasi; datar atau sedikit menurun, fibrotik dan berbatas tegas

3
5. Superfisial: Dapat dijumpai pada tubuh bagian atas atau bahu; secara klinis
terlihat eritem, patch atau plak, sering dengan skala keputihan.
 Karsinoma sel basal nodular (solid)
Karsinoma sel basal nodular terdiri dari 50%-80% dari semua karsinoma sel
basal. Biasanya terjadi pada area yang terpapar sinar matahari seperti kepala dan
leher. Lesi biasanya ditemukan di hidung (25%-30%), dahi, telinga, area periocular,
dan pipi. Karsinoma sel basal nodular terdiri atas satu atau beberapa kecil, waxy,
nodul semi transparan, terbentuk di sekitar depresi sentral yang dapat atau tidak dapat
terjadi ulserasi, krusta, dan berdarah. Tepi dari lesi memiliki karakteristik rolled
border. Telangiektasis melewati lesi tersebut. Perdarahan pada luka ringan
merupakan tanda umum. 1,3,6
Sebagai kemajuan pertumbuhan, krusta muncul di atas erosi atau ulkus sentral, dan
ketika krusta lepas, perdarahan terjadi dan ulkus menjadi terlihat jelas. Ulkus ini
ditandai dengan pembesaran kronik dan bertahap dari waktu ke waktu. Lesi tersebut
asimptomatik dan perdarahan satu-satunya kesulitan yang dihadapi. Karsinoma sel
basal tipe nodular seperti terlihat pada gambar 1. 3,6

Gambar 1. Karsinoma sel basal, tipe nodular6

 Karsinoma sel basal infiltratif


Karsinoma sel basal infiltratif merupakan subtipe agresif yang ditandai oleh
infiltrasi dalam dari spiky islands epitel basaloid di stroma kaya fibroblas. Karsinoma

4
sel basal infiltratif terdiri atas untai kecil sel kanker basaloid, yang mungkin hanya
satu sampai dua lapisan sel tebal, seperti terlihat pada gambar 2. 3,6

Gambar 2. Lesi infiltrat dengan tepi dan ukuran ireguler di daerah dahi laki-laki usia
76 tahun8

 Karsinoma sel basal mikronodular


Karsinoma sel basal mikronodular menunjukkan nodul sel kanker yang lebih
kecil dibandingkan dengan karsinoma sel basal nodular. Karsinoma sel basal
mikronodular seperti terlihat pada gambar 3. Kanker ini tidak khas secara klinis,
namun pola pertumbuhan mikronodular membuat karsinoma sel basal mikronodular
tidak dapat dikuretase.3,6

5
Gambar 3. Karsinoma sel basal mikronodular8

 Karsinoma sel basal morpheaform


Karsinoma sel basal morpheaform adalah variasi pertumbuhan agresif
karsinoma sel basal dengan perbedaan klinis dan penampilan histologi. Lesi
karsinoma sel basal morpheaform berwarna putih gading dan menyerupai jaringan
parut atau lesi kecil morphea. Karsinoma sel basal morpheaform 95% terjadi di
kepala dan leher. Tidak terdapat ulserasi, pearly rolled border, krusta, namun
terdapat telangiektasi, seperti terlihat pada gambar 4.3,6

Gambar 4. Karsinoma sel basal morpheaform9

 Karsinoma sel basal superfisial


Karsinoma sel basal superfisial paling sering terjadi di badan (45%),
ekstremitas distal (14%), dan 40% terjadi di kepala dan leher. Karsinoma sel basal
superfisial paling sering terlihat kering, berbentuk seperti psoriasis, dan lesinya
bersisik. Biasanya pertumbuhan karsinoma sel basal superfisial datar dan dangkal,
pada beberapa kasus menunjukkan sedikit kecenderungan untuk menginvasi atau
menjadi ulkus. Lesinya membesar sangat perlahan dan dapat salah didiagnosis
sebagai patch eksim atau psoriasis. Karsinoma sel basal superfisial dapat membesar
dengan diameter hingga 10-15 cm. Pemeriksaan pada tepi lesi akan terlihat thread-
like raise border. Plak eritem dengan telangiektasis kadang dapat memperlihatkan

6
atrofi atau skar. Beberapa lesi dapat masuk ke dermis yang lebih dalam. Ketika hal ini
terjadi, hal tersebut akan menyebabkan fibrosis dermis dan ulserasi multi fokal,
membentuk “field of fire” tipe karsinoma sel basal yang besar. Adakalanya lesi
tersebut akan sembuh di satu tempat, dengan skar atrofi putih dan kemudian
menyebar secara aktif ke kulit lain. Hal tersebut jarang terjadi pada pasien yang
memiliki beberapa lesi secara bersamaan. Bentuk karsinoma sel basal tersebut paling
sering terjadi pada pasien HIV. 3

A B
Gambar 5. A. Titik- titik pada KSB superficial multisentris. B. Karsinoma sel
basal superfisial3,10

E. Histopatologi
Secara histopatologi karsinoma sel basal dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu: karsinoma sel basal yang tidak berdiferensiasi dan karsinoma sel basal yang
berdiferensiasi. Karsinoma sel basal yang tidak berdiferensiasi terdiri atas berbagai
variasi pertumbuhan, ada yang pertumbuhannya lambat seperti superficial BCC,
nodular BCC, dan micronodular BCC, ada pula yang tumbuh agresif seperti
infiltrative BCC, metatypical BCC (basosquamous carcinoma), morpheiform BCC
(sclerosing BCC). Karsinoma sel basal yang berdiferensiasi seperti keratotic BCC,
infundibulocystic BCC, follicular BCC, pleomorphic BCC, BCC with sweat duct
differentiation, BCC with sebaceous diff erentiation, fibroepithelioma of Pinkus, dan
recurrent BCC.4

7
 Karsinoma sel basal nodular
Secara klinis, karsinoma sel basal nodular paling sering ditandai dengan papul
berbentuk mutiara transparan atau nodul dengan rolled border dan telangiektasis.
Bentuk nodular karsinoma sel basal ditandai dengan discrete nests dari sel basaloid di
dermis papiler atau retikuler. 3,6

Gambar 6. Karsinoma sel basal nodular ditandai oleh nodul dari sel basofilik dan
penarikan stromal3

 Karsinoma sel basal berpigmen


Karsinoma sel basal berpigmen menunjukkan gambaran histologi yang mirip
dengan karsinoma sel basal nodular namun dengan penambahan melanin. Sekitar
75% karsinoma sel basal mengandung melanosit, tetapi hanya 25% yang
mengandung melanin. Melanosit berpotongan antara sel tumor dan mengandung
banyak sekali butiran melanin di sitoplasma dan dendrit. Walaupun sel tumor
mengandung sedikit melanin, banyak sekali populasi melanofag mengelilingi stroma
tumor.3,6

8
Gambar 7. Karsinoma sel basal berpigmen9

 Karsinoma sel basal superfisial

Karsinoma sel basal superfisial ditandai oleh tunas sel ganas membentang ke
dalam dermis dari lapisan dasar epidermis. Lapisan perifer menunjukkan sel palisade.

Gambar 8. Karsinoma sel basal superfisial. Beberapa sel basaloid terletak


subepidermal
dengan batas yang jelas dengan lapisan epidermis8
Mungkin ada atrofi epidermis, dan invasi kulit biasanya minimal. Terdapat infiltrat
inflamasi kronik pada dermis.3,6

 Karsinoma sel basal morpheaform


Karsinoma sel basal morpheaform, juga disebut infiltrative atau sclerosing
BCC, terdiri dari untaian sel tumor tertanam di dalam stroma berserat lebat. Sel tumor
berikatan dengan erat, pada beberapa kasus, hanya satu atau dua sel tebal terjerat

9
dalam stroma berserat padat kolagen. Untai tumor membentang ke dalam dermis.
Kankernya biasanya lebih besar daripada tampilan klinis.3,6

Gambar 9. Karsinoma sel basal morpheam terdiri atas untaian sel kanker tertanam
dalam stroma berserat padat3

 Fibroepithelioma of Pinkus
Untaian panjang sel basiloma terjalin pada stroma berserat dengan kolagen
yang melimpah. Secara histologi, fibroepithelioma of pinkus menunjukkan keratosis
seboroik retikulasi dan karsinoma sel basal superfisial. 3,6

Gambar 10. Fibroepithelioma of Pinkus. Trabekula memanjang dan bercabang dari


sel basaloid menyebar ke dermis8

 Karsinoma Basoskuamosa
Karsinoma Basoskuamosa menunjukkan infiltrasi jagged tongues sel tumor
bercampur dengan area lain menunjukkan formasi jembatan antar sel skuamosa dan
keratinisasi sitoplasma.6

10
Gambar 11. Karsinoma basoskuamosa9

F. Pemeriksaan sitologi karsinoma sel basal

Pemeriksaan sitologi bertujuan untuk mengevaluasi sel secara mikroskopis.


Pemeriksaan sitologi merupakan prosedur yang cepat dan mudah dilakukan. Pada
KSB, pemeriksaan sitologi dilakukan untuk membedakan dari keganasan kulit lain,
yaitu karsinoma sel skuamosa (KSS). Pada kasus keganasan kulit, beberapa studi
menyebutkan angka sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 91% dan spesifisitasnya
sebesar 87%. Cara pengambilan sediaan pada KSB bergantung pada jenis KSB, dapat
dengan aspirasi jarum halus, impression smears, atau gentle tissue scraping.13

Kriteria untuk mendiagnosis KSB secara sitologi yaitu kohesi interselular yang
tinggi pada fragmen jaringan, kelompok sel kecil yang seragam dan padat dengan
sitoplasma basofilik. Nukleus berbentuk oval atau fusiformis, terkadang bulat dengan
struktur kromatin yang samar, dan biasanya tidak terdapat nukleoli. Pada beberapa lesi
terdapat bahan amorfik berwarna merah muda.13

Gambar 12 Hapusan sitologi dari Karsinoma sel basal13

11
Gen p53 berfungsi penting dalam menekan perkembangan tumor, termasuk
KSB. Pada keadaan normal, p53 teraktivasi saat terjadi induksi kerusakan DNA untuk
membuat siklus sel dalam keadaan istirahat atau untuk menginduksi apoptosis. Saat
terjadi mutasi, p53 tidak lagi mampu menjalankan fungsi ini. Mutasi gen p53
menghasilkan protoonkogen dominan yang mampu menambah potensiasi keganasan
tumor. Hal ini disebut sebagai peningkatan fungsi mutasi gen p53, yang merupakan
mekanisme utama pada progresivitas KSB. Pada pemeriksaan imunohistokimia
terlihat inti sel yang terwarnai p53. Jika inti sel yang terwarnai melebihi 10%, maka
dinyatakan positif.

Gambar 13. Pengecatan imunohistokimia protein p53 pada KSB.

Beta-catenin merupakan kelompok yang berasal dari kompleks E-


cadherin/catenin, yang berperan penting dalam adesi antar sel melalui interaksi E-
cadherin dan sitoskeleton. β-catenin juga terlibat dalam jaras transduksi sinyal Wnt
(Wnt-signalling pathway), proses yang berperan dalam karsinogenesis, termasuk
KSB. Saat terdapat sinyal Wnt, kelompok sitoplasma β-catenin akan meningkat dan
melakukan translokasi ke inti yang akan melakukan aktivasi transkripsi dari faktor
sel-T (T-cell factor) atau lymphocyte enhancement factor family.13

Pada pemeriksaan imunohistokimia, antibodi yang digunakan adalah antibodi


primer poliklonal β- catenin. Kemudian dilakukan interpretasi ekspresi β- catenin
yang terlihat, berdasarkan pada intensitas dan lokasi. Intensitas dibagi menjadi dua,
yaitu sedang dan kuat, sedangkan lokasi juga dibagi menjadi dua, yaitu ekspresi di

12
inti atau nukleositoplasmik. Pewarnaan β- catenin dikatakan positif jika berwarna
coklat

Gambar 14. Ekspresi -catenin pada sel tumor KSB (imunoperoksidase x200)13

Pada kulit normal, ekspresi -catenin terutama terdapat pada sitoplasma,


sedangkan pada KSB dan KSS terutama pada inti dan nukleositoplasmik. Konsentrasi
β- catenin inti yang lebih tinggi pada tumor merupakan salah satu tanda bahwa β-
catenin berperan sebagai signal transducer dalam tumerogenesis. Beberapa peneliti
menemukan korelasi yang signifikan antara intensitas ekspresi β-catenin dengan
indeks mitosis, derajat, ukuran dan tingkatan tumor. Ditemukannya -catenin di inti
berhubungan dengan agresivitas tumor

G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan histopatologi dari salah satu lesi untuk menentukan subtipe KSB.
Biasanya penderita KSB datang dengan keluhan bercak hitam di wajah mudah
berdarah dan tidak sembuh-sembuh, atau berupa tahi lalat yang bertambah besar
dengan permukaan tidak rata, dan biasanya terdapat riwayat trauma, serta dapat
disertai dengan rasa gatal atau nyeri. Idealnya dilakukan pemeriksaan histopatologi

13
lesi. Pemeriksaan penunjang seperti CT scan atau MRI diperlukan jika ada
kecurigaan mengenai tulang atau jaringan lainnya.4
Diagnosis karsinoma sel basal dapat dicapai dengan interpretasi akurat dari
hasil biopsi kulit. Metode biopsy yang dianjurkan adalah shave biopsy, biasanya
sudah cukup, dan punch biopsy. Penggunaan silet yang disterilkan, yang dapat
dimanipulasi dengan baik oleh operator untuk mengatur kedalaman saat akan
mengambil spesimen, lebih sering dilakukan dibandingkan penggunaan skalpel no.15.
Punch biopsy dilakukan pada pemeriksaan lesi datar dari varian klinis KSB morfoik
atau KSB berulang yang terjadi di dalam jaringan parut.3

H. Diagnosis Banding
1. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah suatu proliferasi ganas dari keratinosit
epidermis yang merupakan tipe sel epidermis yang paling banyak dan merupakan
salah satu dari kanker kulit yang sering dijumpai setelah basalioma. Faktor
predisposisi karsinoma sel skuamosa antara lain radiasi sinar ultraviolet bahan
karsinogen, arsenic dan lain-lain. Umur yang paling sering ialah 40 – 50 tahun
(dekade V-VI) dengan lokalisasi yang tesering di tungkai bawah dan secraa umum
ditemukan lebih banyak pada laki – laki daripada wanita. Tumor ini tumbuh lambat,
merusak jaringan setempat dengan kecil kemungkinan bermetastasis. Sebaliknya
tumor ini dapat pula tumbuh cepat, merusak jaringan di sekitarnya dan bermetasis
jauh, umumnya melalui saluran getah bening.12

A B

Gambar 15. A. Predileksi Karsinoma Sel Skuamosa B. Karsinoma Sel Skuamosa In


Situ
(Bowen Disease)

14
2. Melanocytic naevi (Nevus Pigmentosus)
Nevus Pigmentosus merupakan tumor jinak pada kulit yang berasal dari
proliferasi dari sel krista neural. Tumor jinak ini memiliki predileksi pada kulit wajah
dan badann lainnya. Gambaran klinik Melanocytic naevi: papul berbatas tegas dan
berkilat, umumnya berambut. Atas dasar histopatologik ditemukan bentuk:
1. intradermal
2. nevus verukosus
3. blue nevus
4. compound nevus
5. junctional nevus12

Gambar 16. Junctional Melanocytic Naevi

3. Melanoma Maligna
Melanoma maligna adalah tumor kulit yang ganas yang paling berbahaya.
Melanoma, yang berbeda dengan melanoma maligna lentigo, terjadi pada usia muda
daripada kanker kulit yang lain. Insiden tumor meningkat dengan cepat, bahkan di
daerah yang beriklim sedang, mungkin akibat dari peningkatan paparan sinar matahai
secara intermitan, yang saat ini sedang menjadi mode. Etiologinya belum diketahui
pasti. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan , selain faktor keganasan ada
umumnya ialah iritasi yang berulang pada tahi lalat. Faktor herediter mungkin
memegang peranan dan perlu diperhatikan lebih teliti.

15
Bentuk dini sangat sulit dibedakan denngan tumor lainnya. Karena melanoma
malignan merupakan penyakit yang fatal bila telah metastasis jauh, maka kemampuan
untuk mengenali keganasan perlu diperdalam. Lokalisasi dilaporkan terbanyak di
ekstremitas bawah, kemudian di daerah badan, kepala/leher ekstremitas atas, kuku.
Berdasakan perjalanan penyakit, gambaran klinis dan histogenesis oleh Clark dan
Mihm melanoma maligna dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Bentuk superficial
2. Bentuk Nodular
3. Lentigo maligna melanoma12

Gambar 17. Melanoma Maligna bentuk nodular

4. Trichoepitelioma
Merupakan tumor jinak kulit yang berasal dari folikel rambut. Predileksinya
biasanya pada kulit wajah dan badan. Manifestasi klinisnya berupa papul – papul
cokelat dengan telangektasis, berukuran miliar higga lentikuler. Anjuran terapi
biasanya dengan bedah listrik.12

16
Gambar 18. Trichoepitelioma

I. Tatalaksana
Pemilihan tatalaksana KSB dipertimbangkan berdasarkan lokasi anatomis dan
gambaran histopatologi. Secara garis besar, terapi KSB dikelompokkan menjadi
teknik bedah dan non-bedah. Tujuan dari penatalaksanaan KSB adalah
menghilangkan total lesi KSB, menjaga jaringan normal, fungsi jaringan, serta
mendapatkan hasil optimal secara kosmetik.
Pendekatan meliputi eksisi bedah standar, bedah mikrografik Mohs (MMS),
dan kemoterapi topikal. Kesempatan terbaik untuk mencapai pengobatan adalah
melalui penatalaksanaan yang adekuat pada karsinoma sel basal primer, karena tumor
yang kembali lagi cenderung berulang dan menyebabkan kerusakan lokal lebih
lanjut.3
Pengobatan topikal muncul menjadi yang paling efektif pada pengobatan
karsinoma sel basal superfisial. Penggunaan 5-Fluorouracil (5-FU) untuk terapi
karsinoma sel basal seharusnya dipertimbangkan dengan seksama dan harus
disertakan evaluasi risiko rekurensi dan kegagalan terapi. Sedangkan pada
penggunaan imiquimod secara umum efek samping terhadap reaksi kulit lokal
terbatas. Keamanan dan efektivitas imiquimod untuk jenis karsinoma sel basal lain
belum ditetapkan. Imiquimod dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal hanya
untuk karsinoma sel basal superfisial terbatas untuk tumor kecil pada lokasi yang
memiliki resiko kecil pada pasien yang tidak mau atau tidak dapat menjalani terapi
dengan terapi yang lebih disarankan. Terapi fotodinamik juga muncul sebagai salah
satu pilihan terapi untuk karsinoma sel basal. Pada terapi fotodinamik pasien harus

17
dimonitor ketat selama 2-3 tahun pertama setelah terapi fotodinamik, yaitu saat
sebagian besar lesi kambuh terlihat. Hasil kosmetik pada terapi fotodinamik secara
signifikan lebih baik daripada pembedahan, namun pada terapi fotodinamik
memerlukan jumlah kunjungan di rumah sakit dan hal tersebut mungkin tidak sesuai
dengan semua orang dengan karsinoma sel basal.3,4,6

Tabel 2. Algoritma untuk tatalaksana karsinoma sel basal6

Primary Rekuren

Pertumbuhan Pertumbuhan Lokasi tumor di Ukuran


tumor tidak agresif tumor agresif pada canthus, lipatan berapapun
di badan atau badan atau nasolabial, atau dilokasi
ekstremitas ekstremitas periorbital atau area manapun
postauricular

Eksisi Eksisi atau Bedah Mohs


atau operasi operasi mikrografik
ED&C mohs
mikrografik

J. Pencegahan dan Edukasi

18
Edukasi pasien yang memadai penting untuk mencegah kekambuhan dan
penyebaran karsinoma sel basal. Pasien harus menghindari faktor risiko, contohnya
paparan sinar matahari, radiasi ion, konsumsi arsenik, dan berjemur. Penggunaan
pakaian yang melindungi dari sinar matahari seperti topi yang lebar, baju panjang,
kacamata dengan proteksi sinar ultraviolet sangat direkomendasikan ketika
beraktivitas di luar rumah. Pasien tidak boleh terpapar sinar matahari khususnya
selama tengah hari (pukul 11.00 sd 15.00). 4
Penggunaan tabir surya dan aplikasi ulang tabir surya direkomendasikan
sebelum terkena sinar matahari. Tabir surya harus diaplikasikan secara menyeluruh,
20-30 menit sebelum beraktivitas keluar rumah, dan diaplikasikan kembali setiap 2
jam, lebih sering ketika berenang atau berkeringat.2,4
American Cancer Society menganjurkan agar memeriksakan kulit ke dokter
setiap tiga tahun bagi usia 20-39 tahun dan setiap tahun bagi usia di atas 40 tahun.
Selain itu, dapat juga dilakukan Periksa Kulit Sendiri (SAKURI), yaitu metode
pemeriksaan kulit mandiri yang rutin dilakukan sebulan sekali dalam rangka
mendeteksi dini kanker kulit. Dengan pencahayaan yang cukup.2,4

Gambar 19 . Pemeriksaan Kulit Sendiri11

19
K. Prognosis
Prognosis penderita karsinoma sel basal umumnya baik. Angka kekambuhan
karsinoma sel basal hanya 1% jika diterapi dengan tepat. Pasien harus tetap di-follow
up untuk kekambuhan atau lesi karsinoma sel basal baru. Edukasi penderita penting
agar melakukan pemeriksaan kulit periodik dan menghindari segala faktor risiko.
Perlindungan terhadap paparan sinar matahari dianjurkan untuk setiap pasien dengan
riwayat karsinoma sel basal.4
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis pada karsinoma sel
basal. Pada karsinoma sel basal apabila ukuran tumor >20 mm, tumor berada di
wajah bagian tengah, periocular, nasal, telinga, dan bibir, tepi lesi tidak dapat
ditentukan secara klinis, penyakit berulang, gambaran histologi berupa
morpheic/infiltratif, mikronodular, basoskuamosa dan terjadi invasi ke pembuluh
darah atau perineural akan meningkatkan resiko pada karsinoma sel basal.1
2. Karsinoma sel skuama
A. Definisi

Karsinoma sel skuamosa suatu keganasan pada kulit disebabkan oleh mutasi
atau perubahan DNA pada sel skuamosa di kulit. Mutasi tersebut menyebabkan sel
skuamosa menjadi tumbuh tidak terkendali dan hidup lebih lama.

B. Faktor risiko

Risiko pengembangan SCC dikaitkan dengan faktor genotip, fenotipik, dan


lingkungan. UVR diklasifikasikan oleh IARC (International Agency for Research on
Cancer) sebagai karsinogen kelas I, faktor risiko lingkungan yang paling penting
dapat menyebabkan SCC. Faktor risiko utama lainnya yang menjadi predisposisi
SCC termasuk paparan karsinogen fisik dan kimia, predisposisi genetik dan
imunosupresi.

20
C. Patogenesis

Radiasi ultraviolet

Paparan UVR (baik UVB dan UVA) telah diakui sebagai risiko lingkungan
yang paling berpengaruh sebagai faktor pertumbuhan SCC, seperti yang disarankan
oleh preferensial lokal AK dan SCC pada paparan sinar matahari dan pencahayaan
sinar matahari secara kronis dan fenotipe sensitif matahari (yaitu, pasien dengan kulit
putih) dengan bertambahnya usia dan iradiasi UV kumulatif tinggi. Mutagenesis kulit
yang diinduksi UVB menimbulkan mutasi UV spesifik (yaitu, transisi dipirimidin C-
T dan CC-TT yang khas), yang merupakan mayoritas mutasi yang ditemukan pada
SCC. Genotoksisitas radiasi UVA tampaknya sebagian besar menambah risiko,
terutama oleh mekanisme yang dimediasi stres fotooksidatif seperti induksi spesies
oksigen reaktif di kulit. Selain efek mutagenik, UVR diperkirakan mendorong
perkembangan SCC dengan sifat imunosupresif dan imunomodulatornya, seperti
penipisan sel Langerhans dari epidermis, penyajian antigen yang tidak tepat pada
kelenjar getah bening yang mengeringkan kulit, dan menghambat pengawasan tumor
oleh sel T regulator spesifik antigen tumor dapat mengarahhkan respon T helper tipe
2 dalam iritasi kulit.

Genetik predisposisi

21
Predisposisi genetik untuk SCC dikenal dengan baik pada sindrom kanker keluarga
tertentu, dan cacat bawaan pada perbaikan DNA dan stabilitas genom, seperti
penyimpangan pada gen eksisi nukleotida XPA-G dan XP-V (xeroderma
pigmentosum), PTEN (Cowdensyndrome), FANCA-N (Anemia Fanconi), TP53
(sindrom Li-Fraumeni), RECQL4 (Rothmund-Thomson sindrom), WRN (sindrom
Werner), pemeliharaan telomer (diskeratosis congenita), dan perbaikan
ketidakcocokan mamalia (sindrom Muir-Torre). Sebuah tindak lanjut 40 tahun
menemukan bahwa pasien dengan xeroderma pigmentosum sebelum usia 20 tahun
mengalami peningkatan NMSC lebih dari 10.000 kali lipat, terutama pada paparan
UV.

Fisik dan kimia karsinogen

Secara historis, paparan agen karsinogenik pada saat kerja dan lingkungan telah
menjadi penyebab utama SCC. Arsenik, yang digunakan dalam berbagai obat, anggur
tercemar, dan air sumur yang tidak diproses dapat merangsang karsinogenesis kulit.
Minyak merupakan risiko pertumbuhan SCC di industri tertentu pekerjaan dan
tingginya insiden SCC pada skrotum pada penyapu cerobong asap dikaitkan dengan
paparan kronis terhadap abu dan hidrokarbon aromatik polisiklik yang berasal dari
senyawa karbon seperti tar batubara.

Imunosupresi

Pasien imunosupresi jangka panjang, seperti pada penerima transplantasi organ padat
(OTR), hematopoietik penerima transplantasi sel dan pasien dengan HIV atau riwayat
penyakit autoimun atau rheumatoid berada pada peningkatan risiko SCC kulit. Pada
OTR, keganasan yang paling sering adalah kanker kulit, 95% di antaranya adalah
NMSC, kebanyakan SCC. Rasio SCC terhadap karsinoma sel basal (BCC) terbalik
pada pasien dengan imunosupresi, dengan SCC menjadi NMSC yang paling sering;
pada populasi umum, BCC terjadi 6 kali lebih sering daripada SCC. SCC dalam OTR
terjadi terutama pada kulit yang terpapar sinar matahari di area kanker lapangan dan

22
muncul rata-rata 2 sampai 4 tahun setelah transplantasi OTRs telah dilaporkan
memiliki peningkatan hingga 65 kali lipat dalam kejadian SCC.

Obat- obatan

Penggunaan kronis obat fotosensitisasi (misalnya, antibiotik, fluoroquinolone,


triazole antijamur) dan terapi jangka panjang dengan psoralen ditambah radiasi UVA
untuk penyakit kulit inflamasi kronis meningkatkan risiko SCC, terutama pada pasien
dengan tipe kulit sensitif terhadap sinar matahari dan pasien imunosupresi seperti
OTR. Efek spesifik zat obat imunosupresif dilaporkan mempengaruhi risiko kanker
kulit secara independen dari kekebalan pejamu. Gangguan pada perbaikan DNA
seluler, induksi stres oksidatif, dan peningkatan regulasi dari onkogen p53 telah
dilaporkan. Imunosupresan yang umum digunakan dapat berkontribusivterhadap
peningkatan risiko SCC. Azathioprine khususnya, dapat mendorong
fotokarsinogenesis di kulit bersinergi dengan kerusakan DNA dan perbaikan DNA
yang diinduksi UV(A) mutagenik. Sebaliknya, uji coba multisenter, acak, terkontrol
menunjukkan bahwa target mamalia sirolimus inhibitor rapamycin (mTOR)
menurunkan risiko pengembangan SCC pascatransplantasi sekunder dan menunda
terjadinya lesi pada transplantasi ginjal. inhibitor mTOR dilaporkan mengganggu
jalur phosphatidylinositide 3-kinase (PI3K)- AKT, yang memainkan peran penting
dalam regulasi proliferasi sel, kelangsungan hidup, mobilitas, dan angiogenesis, dan
dapat melemahkan jalur hilir reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) serta
pensinyalan yang sering disregulasi di SCC.

Aspek molekul

Mutasi pada gen supresor tumor p53 (TP53) adalah penyimpangan yang paling
menonjol dan paling baik dipelajari pada kanker kulit dan kemungkinan besar
menjadi penyebab ketidakstabilan genomik yang diamati pada SCCs.TP53
memberikan fungsi supresor tumor sentral dalam menanggapi kerusakan UV melalui
mekanisme seperti induksi apoptosis dan penghentian siklus sel. Peran protektif p53

23
dan pentingnya apoptosis dependen p53 dalam respons terhadap kerusakan UV
ditekankan oleh kerentanan yang tinggi. Mendukung kontribusi paparan UV
kumulatif dalam patogenesis SCC, klon dari mutasi TP53 sangat lazim di bidang
kulit yang rusak akibat sinar matahari secara kronis, dan perluasannya tampaknya
didorong oleh paparan UVB yang berkelanjutan. Hilangnya p53 memberikan
keuntungan kelangsungan hidup untuk kerusakan akibat sinar UV, keratinosit sebagai
induksi apoptosis setelah kerusakan DNA yang dimediasi UV jadi terhambat. Di
dalam konsep, UVR bertindak sebagai inisiator utama dan promotor karsinogenesis
kulit dengan menginduksi akumulasi perubahan genetik, seperti mutasi p53 di kulit,
yang memungkinkan proliferasi keratinosit yang tidak terkendali dan menciptakan
keuntungan pertumbuhan selektif dibandingkan dengan sel normal. Hilangnya alel
p53 kedua biasanya ditemukan pada tahap akhir perkembangan SCC dan mungkin
merupakan peristiwa penting untuk transisi dari AK dan karsinoma in situ ke SCC
invasif.

24
D. Manifestasi klinis
Presentasi klinis SCC bervariasi dan tergantung pada subtipe histologis dan
lokasi tumor. Biasanya, SCC muncul di daerah yang terpapar sinar matahari,
terutama daerah wajah, kepala, dan leher, serta lengan bawah dan punggung
tangan. Pada kulit yang terpajan UV, SCC biasanya berkembang dengan latar
belakang penyakit AK atau Bowen sebagai lesi prekursor (lihat Bab 110). Kanker
dengan banyak lesi prekursor pada kulit yang rusak akibat sinar UV (Gbr. 112-2)
merupakan risiko tinggi untuk berkembang menjadi SCC; pembentukan de novo
pada kulit yang tidak rusak jarang terjadi. Temuan klinis khas SCC termasuk
pembesaran perlahan, kencang, kulit berwarna hingga plak eritematosa atau nodul
(Gbr. 112-2) dengan hiperkeratosis yang nyata. Terlihat ulserasi, eksofitik (Gbr.
112-3), atau pola pertumbuhan infiltratif.

Gambar 20. Presentasi klinis klasik kulit karsinoma sel skuamosa (SCC).

Dua SCC nodular dan beberapa keratosis aktinik sebagai lesi prekursor hadir
ditemukan didahi. Tampak kulit yang sangat rusak akibat paparan sinar matahari.

25
Gambar 21. Keratocarcinoma

Presentasi klinis khas keratoacanthoma di dahi sebagai simetris berbatas tegas nodul
dengan karakteristik kawah berisi tanduk di Tengah.

Gambar 22. Karsinoma sel skuamosa eksofitik yang besar dengan erosi di pipi kiri.

E. Diagnosis
Laporan histopatologi standar SCC harus mencakup hal-hal berikut: subtipe
histologis (tipe acantholytic, sel spindel, verrucous, atau desmoplastic); tingkat
diferensiasi (G1 sampai G4); diameter tumor vertikal maksimum dalam milimeter;
tingkat invasi kulit (Clark tingkat); dan ada atau tidak adanya invasi perineural,
vaskular, atau limfatik.
F. Histopatologi
Gambaran histopatologi khas SCC menunjukkan keratinosit atipikal yang berasal
dari epidermis dan menyusup ke dalam dermis (Gbr. 112-6). Tingkat diferensiasi
bervariasi di antara SCC. Ini berkisar dari SCC yang berdiferensiasi baik dengan
pleomorfisme minimal, keratinisasi yang menonjol seperti yang diwakili secara

26
morfologis oleh parakeratosis, diskeratosis sel individu, dan pembentukan horn
pearl (Gbr. 112-7A) hingga SCC yang berdiferensiasi buruk menunjukkan inti
pleomorfik dengan tingkat atypia yang tinggi, mitosis yang sering, dan area
keratinisasi yang sangat sedikit.

Gambar 22. Gambaran histopatologi khas dari karsinoma sel skuamosa


berdiferensiasi baik (derajat 1) dengan keratinosit atipikal yang berasal dari epidermis
dan menyusup ke dalam dermis dengan pleomorfisme minimal dan keratinisasi yang
menonjol (pewarnaan hematoxylin dan eosin, pembesaran ×50).

27
Gambar 23. Histopatologi varian dari karsinoma sel skuamosa

G. Tatalaksana
Operasi
Eksisi bedah, lebih disukai operasi yang dikendalikan secara mikroskopis (operasi
Mohs), dianggap sebagai mode terapi utama untuk SCC terlokalisasi dan memiliki
tingkat kesembuhan 95%. Karakterisasi histopatologis lengkap dari tumor dan
marginnya memungkinkan dapat dilakukan pada pasien dan sangat penting untuk
tumor yang berulang dan infiltrasi dalam, yaitu tumor dengan faktor risiko
histologis seperti invasi perineural, tumor pada pasien dengan imunosupresi, dan
di tempat di mana pelestarian jaringan sangat penting (yaitu, kelopak mata, ujung
hidung, telinga). Eksisi standar konvensional dengan margin 4 hingga 6 mm dapat
diterima sebagai pengobatan utama SCC lokal berisiko rendah. SCC dapat
menimbulkan metastasis in-transit lokal, yang dapat dihilangkan dengan eksisi
bedah yang luas atau diobati dengan iradiasi bidang yang luas di sekitar lesi
primer. Pengobatan metastasis nodal mungkin melibatkan diseksi kelenjar getah
bening, radiasi, atau kombinasi keduanya.
Terapi topikal

Perawatan terapeutik topikal seperti imiquimod topikal, 5-fluoruracil topikal


atau intralesi, cryotherapy, dan terapi fotodinamik untuk SCC telah dilaporkan.
Karena bukti kemanjuran pengobatan ini kurang dan terbatas pada laporan kasus,

28
terapi umumnya tidak dianggap sebagai modalitas pengobatan yang tepat untuk
SCC invasif.

Terapi radiasi

Sementara pembedahan dianggap sebagai mode utama terapi lokal untuk sebagian
besar SCC, preferensi pasien dan faktor lain, seperti lokasi yang bermasalah untuk
pembedahan, dapat menyebabkan pemilihan terapi radiasi sebagai modalitas
pengobatan. Bagaimanapun, konfirmasi diagnosis yang tepat dengan evaluasi
histologis adalah wajib sebelum radioterapi. Terapi radiasi dapat berfungsi sebagai
alternatif untuk pembedahan dalam pengobatan utama SCC kecil yang invasif
dangkal di risiko rendah. Area lokal yang tidak dapat dilakukan operasi,
metastasis, dan dalam pengaturan tambahan untuk pasien dengan tumor lokal yang
berpotensi agresif.

Target terapi

Menggunakan strategi terapeutik yang menargetkan EGFR baik oleh molekul kecil
(yaitu, erlotinib dan gefitinib) atau antibodi (yaitu, cetuximab dan panitumumab)
mungkin merupakan pilihan non-bedah, di luar label untuk SCC lanjutan di luar
radioterapi dan kemoterapi konvensional. Percobaan prospektif Fase II telah
menunjukkan kemanjuran monoterapi dengan cetuximab sebagai pengobatan lini
pertama SCC yang tidak dapat dioperasi (tingkat respons 29%). Meskipun
sebagian besar dalam laporan kasus, penggunaan cetuximab juga telah dilaporkan
di SCC dalam pengaturan terapi neoadjuvant dan adjuvant dan sebagai
radiosensitizer yang dikombinasikan dengan terapi radiasi. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa, jalur penghambatan kekebalan seperti protein kematian
terprogram.

Jalur ligan (PD-1)/PD-1 dapat mengontrol karsinogenesis kulit. Meskipun


belum cukup dieksplorasi baik dalam pengaturan terapi independen atau

29
gabungan, studi praklinis mengungkapkan bahwa ekspresi berlebih dari ligan PD-1
dalam keratinosit tikus transgenik menghasilkan percepatan pembentukan SCC,96
dan terapi blokade pos pemeriksaan dari penghambatan kekebalan PD-1 jalur telah
menghasilkan respons antitumor yang menonjol dalam kasus SCC yang tidak
dapat direseksi.

3. Melanoma Maligna
A. Definisi
Melanoma maligna atau biasa juga disebut sebagai melanoma adalah keganasan
yang terjadi pada melanosit, sel penghasil melanin, yang biasanya berlokasi di
kulit tetapi juga ditemukan di mata, telinga, traktus GI, leptomeninges, dan oral
dan membran mukus genitalia. Karena sebagian besar sel melanoma masih
menghasilakn melanin, maka melanoma seringkali berwarna coklat atau hitam.
B. Faktor Resiko

Faktor resiko adalah segala sesuatu yang meningkatkan kesempatan


seseorang mendapat suatu penyakit, termasuk didalamnya yaitu kanker,
dalam hal ini adalah melanoma. Namun, memilki sebuah faktor resiko atau
bahkan beberapa, bukan berarti bahwa orang tersebut akan terkena suatu
penyakit tersebut. Identifikasi faktor resiko terhadap melanoma maligna
adalah penting untuk usaha pencegahan dan deteksi dini yang dilakukan.
Faktor resiko melanoma maligna diantaranya yaitu:3,4

a) Tahi lalat (Nevus)


Tahi lalat atau dalam bahasa kedokterannya disebut juga sebagai
nevus merupakan salah satu tumor jinak pada melanosit. Nevus tersebut
dapat timbul sejak lahir atau saat masa kanak-kanak, bisa juga saat
remaja.

Salah satu tipe nevus yang dapat berubah menjadi melanoma


yaitu dysplastic nevus atau tahi lalat atipik. Nevus displastik sedikit

30
seperti nevus normal biasa, namun juga terlihat seperti melanoma.
Nevus displastik ini seringkali merupakan faktor keluarga. Jika
seseorang memiliki seorang anggota keluarga yang mempunyai
displastik nevus maka sekitar 50% kemungkinan nevus tersebut akan
berkembang. 4

Resiko melanoma sekitar 6% sampai dengan 10% pada mereka


yang memiliki nevus displastik, tergantung pada usia, faktor keluarga,
jumlah nevus displastik dan faktor-faktor lainnya. Sedangkan pada
mereka yang memiliki nevus melanotik sejak lahir, resiko
berkembangnya melanoma yaitu sekitar 6%.

Pada studi case-control , individu yang memiliki nevus yang


dianggap dysplasia nevi apabila memenuhi 2 kriteria yaitu :3,4

a. Diameter sekurang-kurangnya 5mm dengan tekstur yang datar


(baik seluruhnya maupun sebagian).
b. Dua dari kriteria berikut : warna yang bervariasi, asimetris atau
batas yang tidak jelas.
Adanya tahi lalat yang berubah, jumlahnya yang banyak (lebih
dari 100 buah) dan adanya tahi lalat yang sangat besar dengan diameter
>20 cm pada orang dewasa menambah faktor resiko. 3,4

b) Faktor Keluarga
Resiko akan menjadi lebih besar pada mereka yang memiliki
keluarga yang didiagnosa melanoma pada hubungan keluarga primer,
seperti ayah, ibu, kakak, adek atau anak. Sekitar 10% seseorang dengan
melanoma memiliki sejarah keluarga yang menderita penyakit yang
sama. 3

c) Fenotip

31
Fenotip yaitu ekspresi gen pada diri seseorang. Dan yang
dimaksud dalam hal ini yaitu ekspresi gen seseorang terhadap kulit yang
terang, berbintik- bintik, warna mata hijau atau biru, rambut merah atau
pirang, dan lain sebagainya.3

Resiko terhadap orang kulit putih 20 kali lebih tinggi bila


dibanding dengan seorang Afrika Amerika. Hal ini disebabkan karena
efek protektif oleh pigmen kulit. Namun bukan berarti orang kulit hitam
terbebas sama sekali dari resiko melanoma, hanya saja tempat predileksi
yang berbeda. Emedicine menyatakan bahwa seorang Hispanik dan
Afrika Amerika, melanoma lebih sering ditemukan di daerah akral. 3

d) Supresi Sistem Imun


Orang yang telah diterapi dengan obat-obatan imun supresor,
seperti pada pasien-pasien transplantasi, akan meningkatkan resiko
terkena melanoma.3

e) Pajanan Terhadap Radiasi Sinar UV yang Berlebihan


Sumber utama Radiasi Sinar UV adalah matahari. Sedangkan
sumber yang lain yaitu pada lampu-lampu yang biasanya dipakai di
salon-salon kecantikan untuk menggelapkan kulit. 3

Orang dengan pajanan sinar ultraviolet yang berlebihan memiliki


resiko yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini
dikaitkan juga dengan faktor lingkungan, yaitu tinggal dilokasi dekat
dengan garis ekuator, orang yang memiliki kebiasaan rekreasi outdoor
atau orang yang memiliki pekerjaan yang mengharuskannya terpajan
sinar matahari lebih banyak, seperti pelaut, petani, dll., Namun, pajanan
terhadap sinar ultraviolet yang intermitten namun sangat kuat lebih
sering memiliki korelasi yang kuat dengan terjadinya melanoma jika

32
dibandingkan dengan pajanan kronik namun dalam level rendah,
meskipun jumlah total dosis sinar ultraviolet sama.3,4

f) Usia
Sekitar setengah dari kejadian melanoma, terdapat pada orang-
orang pada usia lebih dari 50 tahun.

g) Xeroderma Pigmentosum
Xeroderma pigmentosum merupakan penyakit yang diturunkan
sebagai hasil dari defek pada enzim yang memperbaiki kerusakan pada
DNA dan jarang ditemukan. Seseorang dengan Xeroderma
Pigmentosum memiliki resiko tinggi terhadap kanker kulit, baik
melanoma maupun nonmelanoma. Hal ini dikarenakan adanya defek
tersebut menyebabkan kemampuan orang tersebut untuk memperbaiki
DNA yang rusak karena terpajan sinar Ultraviolet menurun atau tidak
ada sama sekali.4

h) Riwayat Terkena Melanoma


Orang yang pernah terkena melanoma akan memiliki resiko lebih
tinggi untuk terkena melanoma kembali atau residif.

33
C. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya melanoma maligna belum diketahui dengan jelas.


Diperkirakan terjadinya perubahan melanosit normal menjadi sel melanoma
(melanomagenesis) melibatkan proses rumit yang secara progresif mengakibatkan
mutasi genetik melalui percepatan terhadap proliferasi, diferensiasi dan kematian
serta pengaruh efek karsinogenik radiasi ultraviolet. 4

Primary cutaneous melanoma dapat timbul dalam bentuk prekursor, yakni


nevi mealnotik ( Tipe umum, kongeenital, atipikal/displastik), walaupun dipercaya
bahwa lebih dari 60% kasus adalah arise de novo ( tidak tumbuh dari lesi pigmen
yang telah ada.) Perkembangan dari melanoma adalah multifaktor, dimana banyak
hal yang berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhannya, dan
tampaknya berhubungan dengan faktor resiko yang multipel pula; termasuk
eksposur sinar matahari berlebih, moles yang tumbuh, riwayat keluarga akan
melanoma, mole yang berubah-ubah dan tidak sembuh, dan yang terpenting usia
yang lanjut.4,5

D. Manifestasi klinis
Secara Klinis, melanoma maligna ada 4 macam tipe, yaitu:

a) Superficial Spreading Melanoma


Merupakan tipe melanoma yang sering terjadi di Amerika Serikat,
yaitu sekitar 70% dari kasus yang didiagnosa sebagai melanoma. Dapat terjadi
pada semua umur namun lebih sering pada usia 30-50 tahun, sering pada
wanita dibanding pria dan merupakan penyebab kematian akibat kanker
tertinggi pada dewasa muda. 4

34
Pada stadium awal, tipe ini bisa berupa bintik yang datar yang
kemudian pigmentasi dari lesi mungkin menjadi lebih gelap atau mungkin
abu-abu, batasnya tidak tegas, dan terdapat area inflamasi pada lesi. Area di
sekitar lesi dapat menjadi gatal. Kadang-kadang pigmentasi lesi berkurang
sebagai reaksi imun seseorang untuk menghancurkannya. Tipe ini
berkembang sangat cepat. Diameter pada umumnya lebih dari 6mm. Lokasi
pada wanita di tungkai bawah, sedangkan laki-laki di badan dan leher. 3,4

Gambar 24. Superficial Spreading Melanoma


Gambaran histologis Superficial Spreading Melanoma, pada epidermis
didapatkan melanosit berbentuk epiteloid, dapat tersusun sendiri – sendiri atau
berkelompok, pada umumnya sel – sel tersebut tidak tampak pleomorfik. Pada
dermis terlihat sarang – sarang tumor yang padat dan dengan melanosit
berbentuk epiteloid yang besar serta berkromatin yang atipik, di dalam sel –
sel tersebut terdapat butir – butir kromatin, kadang – kadang dapat di temukan
melanosit berbentuk kumparan dan sel – sel radang.4

35
Gambar 25. Histologi Superficial Spreading Melanoma

b) Nodular Melanoma
Merupakan tipe melanoma yang paling agresif. Pertumbuhannya sangat
cepat dan berlangsung dalam waktu mingguan sampai bulanan. Sebanyak 15%-
30% kasus melanoma yang terdiagnosa sebagai melanoma merupakan nodular
melanoma. Dapat terjadi pada semua umur, namun lebih sering pada individu
berusia 60 tahun ke atas. Tempat predileksinya adalah tungkai dan tubuh.
Melanoma ini bermanifestasi sebagai papul coklat kemerahan atau biru hingga
kehitaman, atau nodul berbentuk kubah, atau setengah bola (dome shaped) atau
polopoid dan aksofitik yang dapat timbul dengan ulserasi dan berdarah dengan
trauma minor, timbul lesi satelit. Secara klinik bisa berbentuk amelanotik atau
tidak berpigmen. Fase perkembangannya tidak dapat dilihat dengan mudah, dan
sulit di identifikasi dengan deteksi ABCDE.4,5

Gambar 26. Nodular melanoma

Gambaran histologis Nodular melanoma pada epidermis didapatkan


melanosit berbentuk epiteloid, dan kumparan atau campuran, dapat ditemukan

36
pada daerah dermo – epidermal. Gambaran dermis terlihat sel – sel melanoma
menginvasi ke lapisan retikuler dermis, pembuluh darah dan subcutis.5

Gambar 27. Histologi Nodular Melanoma

c) Lentigo Maligna Melanoma


Sebanyak 4-10 % kasus melanoma merupakan tipe Lentigo
Maligna melanoma. Terjadi pada kulit yang rusak akibat terpapar sinar
matahari pada usia pertengahan dan lebih tua, khususnya pada wajah, leher
dan lengan. Melanoma tipe ini pada tahap dini terdiagnosa sebagai bercak
akibat umur atau terpapar matahari. Karena mudah sekali terjadi salah
diagnosa maka tipe ini dapat tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan
cukup berbahaya. Pertumbuhan tipe ini sangat lambat yaitu sekitar 5-20
tahun.4

Pada tahap in situ lesinya luas (>3cm) dan telah ada selama
bertahun- tahun. Karakteristik invasinya ke kulit berupa macula
hiperpigmentasi coklat tua sampai hitam atau timbul nodul yang biru
kehitaman. Pada permukaan dijumpai bercak-bercak warna gelap (warna
biru) tersebar tidak teratur, dapat menjadi nodul biru kehitaman invasive
agak hiperkeratonik.4

37
Gambar 28. Lentigo maligna

Pada epidermis di dapatkan Melanositik atipik sepanjang membrane


basalis, berbentuk pleomorfik dengan inti yang atipik. Sel – sel yang di
jumpai berbentuk kumparan. Sedangkan pada dermisnya terdapat Infiltrasi
limfosit dan makrofag yang mengandung melanin. 4

Gambar 29. Histologi Lentigo melanoma

d) Acral Lentigineous Melanoma

38
Tipe ini paling sering menyerang kulit hitam dan Asia yaitu sebanyak
29- 72% dari kasus melanoma dan karena sering terlambat terdiagnosis maka
prognosisnya buruk. Sering disebut sebagai ”hidden melanoma” karena lesi
ini terdapat pada daerah yang sukar untuk dilihat atau sering diabaikan, yaitu
terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, tumit, ibu jari tangan, atau
dibawah kuku.4

Melanoma subungual bisa terlihat sebagai diskolorasi difus dari kuku


atau pita longitudinal berpigmen di dasar kuku. Melanoma ini memiliki
bentukan yang sama dengan benign junctional melanotic nevus. Pigmen
akan berkembang dari arah proksimal menuju ke arah laterla kuku yang
disebut sebagai tanda Hutchinson, sebuah tanda yang khusus untuk
melanoma akral. Pada permukaan timbul papul, nodul, ulcerasi, kadang-
kadang lesi tidak mengandung pigmen.4,5

Gambar 30. Acral Lentigous Melanoma

Gambaran yang paling khas paling baik di lihat pada daerah macula
berpigmen. Tampak adanya gambaran proliferasi melanosit atipikal
sepanjang lapisan basal.

39
Gambar 31. Histologi Acral lentiginous melanoma

E. Diagnosis
penemuan dini, sehingga diagnosa melanoma harus
ditingkatkan bila penderita melaporkan adanya lesi berpigmen baru
atau adanya tahi lalat yang berubah.5

Kapan memikirkan suatu Nevus mungkin menjadi ganas:


1) Nevus yang berubah:
 Membesar
 Warna bertambah hitam
 Timbul satelitosis
 Terasa gatal
 Mudah berdarah
 Timbul ulkus
 Rambutnya rontok
2) Nevus yang berlokasi di:
 Telapak tangan/kaki
 Bawah kuku
 Belakang telinga

40
 Vulva

ABCDE sistem ( Asymmetry, Border, Colour, Diameter, Envolving)

Berguna dalam mendiagnosa melanoma maligna serta


untuk meningkatkan kewaspadaan individu terhadap penyakit
keganasan ini.5
Asymmetry
Jika kita melipat lesi menjadi dua, maka tiap-
tiap bagian tidak sesuai

Border
Batasnya tidak tegas atau kabur

Color
Ciri melanoma tidak memiliki satu warna yang
solid
melainkan campuran yang terdiri dari coklat
kekuningan, coklat dan hitam, juga bisa tampak
merah, biru atau putih.

Diameter
Meskipun melanoma biasanya lebih besar dari 6
mm, ketika dilakukan pemeriksaan mereka bisa
lebih kecil dari seharusnya . Sehingga harus
diperhatikan perubahan tahi lalat dibanding yang
lainnya atau berubah menjadi gatal atau
berdarah ketika diameternya lebih kecil dari 6 mm
Evolving
Setiap perubahan dalam ukuran, bentuk, warna,

41
tingginya atau cirri-ciri lain atau ada gejala baru
seperti mudah berdarah, gatal dan berkrusta harus
dicurigai keganasan

Gambar 32. The ABCDE’s of Melanoma

Gambar berikut menunjukkan tahi lalat atypical yang normal dan melanoma.
Benign Malignant

simetris asimetris

Borders are
Borders are uneven
even

One shade Two or more shades

Smaller than
Larger than 1/4
1/4 inch

Gambar 33. Perbedaan Atypical Nevus dan Melanoma

Diagnosis melanoma ditegakkan dengan identifikasi klinik dengan


konfirmasi histologi. Identifikasi klinik dimulai dengan riwayat penyakit

42
sekarang pasien, riwayat penyakit terdahulu, dan pemeriksaan fisik terhadap
lesi yang dicurigai.6

a) Anamnesa
Dari anamnesa yang dilakukan, diharapkan diketahui informasi
tentang keluhan umum pasien, dan riwayat perjalanan keluhan
umum tersebut. Perubahan sifat dari nevus merupakan keluhan
umum yang paling sering ditemukan pada pasien dengan melanoma,
dan hal ini merupakan peringatan awal melanoma. Perubahan
tersebut diantaranya peningkatan dalam hal diameter, tinggi atau
batas yang asimetris pada suatu lesi berpigmen memberikan data
80% pada pasien saat melanoma ditegakkan.Dari perjalanan
penyakit tersebut juga ditanyakan awal mulanya lesi pada kulit
tersebut muncul, dan kapan terjadi perubahan pada lesi tersebut.
Tentang tanda dan gejala melanoma, seperti adanya perdarahan,
gatal, ulserasi dan nyeri pada lesi. Pada anamnesa tersebut juga
ditanyakan tentang adanya faktor-faktor resiko pada pasien.3,4

b) Pemeriksaan fisik
Yang perlu dilakukan saat pemeriksaan fisik ini yaitu
memperhatikan lebih detail dengan inspeksi, palpasi dan bila perlu
inspeksi dengan bantuan kaca pembesar. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui ukuran, bentuk, warna dan tekstur dari nevus tersangka
dan mencari adanya perdarahan atau ulserasi. Pemeriksaan terhadap
kelenjar limfe yang berada dekat dengan lesi juga perlu dilakukan.
Adanya pembengkakan atau biasa disebut dengan limfadenopati
menunjukkan kemungkinan adanya penyebaran melanoma.4

Pemeriksaan ditempat tubuh yang lain dapat dilakukan jika


terdapat kecurigaan atau untuk evaluasi dari pemeriksaan yang lalu
pada individu dengan faktor resiko. Di luar negeri, evaluasi terhadap

43
seluruh tubuh sudah dilakukan, yaitu dengan cara
mendokumentasikan nevus-nevus yang ada di seluruh tubuh. Dengan
demikian, perubahan akan lebih cepat terdeteksi dengan
membandingkannya dengan dokumentasi terdahulu.

Pemeriksaan di tempat yang menjadi predileksi pada macam-


macam bentuk klinis melanoma juga perlu dilakukan. Misalnya pada
melanoma superfisial dan melanoma nodular yang biasanya berada
di trunkus tubuh dan tungkai, sedangkan melanoma maligna bentuk
lentigo lebih banyak muncul di telapak tangan, telapak kaki dan
dibawah kuku.4

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ini yaitu meliputi pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan radiologi. ,
khir- akhir ini di luar negeri juga dikembangkan pemeriksaan dengan
epiluminescence microscopy. Dengan tehnik ini, lesi yang
berpigmen tersebut diperiksa secara in situ dengan minyak emersi
dengan menggunakan dermatoskop. Pada beberapa penelitian lain
melibatkan analisis dengan bantuan komputer dan klinikal
digitalisasi yang kemudian dibandingkan dengan database.4

Namun data terakhir melaporkan bahwa pemeriksaan


laboratorium, radiografi thorak dan radiografi yang lain (MRI, CT
Scan, PET, Scanning Tulang) tidak terlalu bermanfaat untuk
melanoma stage I/II (melanoma kutaneus) tanpa tanda-tanda dan
gejala-gejala metastase.4

1. Pemeriksaan Laboratorium
Tak ada pemeriksaan tertentu yang khusus untuk melanoma, baik
yang belum bermetastase maupun yang telah bermetastase, tetapi

44
kadangkala tingginya angka LDH (Lactaet Dehydrogenase)
dianggap membantu. Kadar LDH yang tinggi dalam darah
merupakan suatu kemungkinan adanya metastase melanoma
pada hati. Adanya peningkatan LDH ini juga dihubungkan
dengan lebih buruknya kemungkinan untuk hidup pada
kelompok tersebut. Pemeriksaan LDH akan bermakna pada
melanoma stage IB/III atau dengan pemeriksaan berkala setiap 3-
12 bulan.5

Selain LDH, kadar serum S-100 mungkin juga berguna sebagai


penanda tumor pada pasien dengan melanoma yang telah
bermetastase.

2. Pemeriksaan Radiografi
Ultrasound Scan, pemeriksaan ini menggunakan frekuensi
gelombang suara untuk menghasilkan gambaran spesifik dari
bagian tubuh. Sebagian besar untuk memeriksa kelenjar limfe di
leher, axilla, dan pelipatan paha. Kadang digunakan pada biopsy
kelenjar limfe agar semakin akurat (Ultrasound guided fine
needle aspiration). Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa
sakit, tidak memakan waktu yang lama, tidak menimbulkan
bahaya radiasi dan aman digunakan pada kehamilan.5,6

45
Gambar 18. Ultrasound of lymph node

Pemeriksaan X-ray pada thorak dilakukan dengan


memperhatikan kemungkinan adanya metastase melanoma ke
paru-paru. Hasil metastase tersebut dapat berupa gambaran
tumor pada paru-paru, yang seringkali harus dibedakan dengan
tumor paru primer, tetapi dapat juga berupa gambaran efusi
pleura.5

CT-Scan mungkin dapat mendeteksi adanya metastase melanoma


pada paru-paru atau pada hati dengan adanya gambaran
pembesaran pada kelenjar limfe. Sedangkan radiografi dengan
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik untuk melihat
adanya metastase melanoma pada otak dan medula spinalis.5

PET (Positron Emission Tomography) dilakukan untuk


menambah informasi dari hasil CT Scan dan MRI yang
dilakukan. Pada pemeriksaan ini, digunakan semacam glukosa
yang mengandung atom radioaktif. Prinsip cara kerja PET yaitu
dengan adanya sifat sel kanker yang menyerap lebih banyak
glukosa karena metabolismenya yang tinggi.5

46
Gambar19. PET Scan Whole Body staging for Melanoma

Tetapi penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menyatakan


bahwa pemeriksaan radiologi seperti CT Scan, MRI, PET, USG
dan Scan tulang memiliki hasil yang rendah pada pasien
asmtomatik dengan melanoma kutaneus primer (Stage I dan II
menurut AJCC) dan umumnya tidak diindikasikan.5

3. Pemeriksaan Histopatologi
Kriteria standar untuk diagnosa melanoma maligna adalah
dengan pemeriksaan histopatologi dengan cara biopsi dari lesi
kulit tersangka. Macam-macam tehnik biopsi itu sendiri ada 3
macam, yaitu shave biopsy, punch biopsy dan incisional and
excisional biopsies. Biopsi secara eksisi merupakan pilihan cara
biopsi yang direkomendasikan untuk pemeriksaan melanoma
maligna. Pada tehnik ini, tumor diambil secara keseluruhan
untuk kemudian sebagian sampel digunakan untuk pemeriksaan
histologi.5

Biopsi secara eksisi dengan batas yang kecil dari batas tumor
dipilih untuk memastikan informasi tentang ketebalan tumor,
adanya ulserasi, tahap invasi tumor secara antomis, adanya
mitosis, adanya regresi, adanya invasi terhadap pembuluh limfe
dan pembuluh darah, dan untuk melihat respon host terhadap
tumor itu sendiri. Pada umumnya batas kulit yang diambil yaitu
sekitar 1-3 mm sekitar lesi untuk memperakurat diagnosis dan
histologic mikrostaging. Kecuali pada melanoma jenis lentigo,
biopsi lebih mendalam diperlukan untuk memperkecil terjadinya
misdiagnosa.5

47
Gambar20. Excision Biopsy
Hasil yang dapat ditemukan pada pemeriksaan histologi ini
bergantung pada jenis melanoma. Superficial Spreading
melanoma memiliki fase pertumbuhan secara radial atau fase in
situ yang digambarkan dengan peningkatan jumlah melanosit
intraepitel yang bersifat (1) atipik dan besar, (2) tersusun tidak
teratur di dermal-epidermal junction, (3) adanya migrasi ke atas
(pagetoid), (4) kurang memiliki potensi biologi sel untuk
bermetastasis. Lentigo melanoma dan acral lentiginous
melanoma memiliki gambaran yang mirip, dengan dominasi
pertumbuhan secara in situ pad dermal-epidermal juntion dan
dengan tendensi yang kecil untuk pertumbuhan sel secara
pagetoid.5,6

Ketebalan tumor, merupakan determinan prognosis terpenting


dan diukur secara vertikal dalam milimeter dari atas lapisan
granular hingga titik terdalam tumor. Semakin tebal tumor dapat

48
diasosiasikan dengan potensi metastase yang lebih tinggi dengan
prognosa yang lebih jelek.5

F. Penatalaksanaan

1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama dari melanoma maligna, yang hampir

Management of Melanoma Patients

100% efektif pada masa-masa awal tumor. Pembedahan ini, dilakukan


dengan cara eksisi luas dan dalam dengan pinggir sayatan yang
direkomendasikan sesuai tabel berikut:5

Tabel 2. Penatalaksanaan melanoma dengan eksisi berdasar


ketebalan tumor

Termasuk dalam penatalaksanaan pembedahan melanoma maligna ini


adalah Elective Lymphonode dissection (ELND), yaitu deseksi kelenjar
limfonodi tanpa dilakukan biopsi sebelumnya. Diseksi ini dilakukan untuk tumor
dengan kedalaman 1-4 mm dan tidak pada melanoma stage I. Hal ini disebabkan
karena sebanyak 40% kasus pada pasien melanoma dengan ketebalan 1-4 mm
memiliki kelainan limfe yang tidak tampak dan sebanyak 10% kasus dengan
metastase jauh. Sedangkan pasien dengan lesi lebih besar dari 4 mm, hampir

49
70% kasus dengan metastase jauh dan 60% memiliki kelainan limfe yang
tersembunyi.6

Namun pada kenyataannya tindakan tersebut tidak memperbaiki survival


rate dan hingga sekarang masih dalam perdebatan. Pada penelitian yang
dilakukan WHO, angka metastasis sekitar 48% pada penderita yang dilakukan
ELND. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh The International
Group Melanoma Surgical trial menunjukkan adanya perbaikan survival rate
pada pasien dengan usia kurang dari 60 tahun dengan ketebalan tumor antara 1-4
mm.6

Sentinel Lymph Node Dissection merupakan bentuk penatalaksanaan


pembedahan yang lain. Pada pembedahan ini, diseksi dilakukan pada kelenjar
limfe yang merupakan tempat utama melanoma untuk drainase. Adanya diseksi
ini dikatakan dapat mengidentifikasi mereka yang mempunyai resiko tinggi
metastase dan mereka yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan diseksi
lengkap kelenjar limfe atau dengan terapi adjuvan.6

Gambar 21. Sentinel node theory

Pemetaan lymfatik dan sentinel node biopsy merupakan solusi efektif


untuk dilakukannya lymphadenectomy pada pasien dengan melanoma yang tipis
dan secara klinis kelenjar tidak teraba. Teknik ini dikembangkan pada awal
tahun 1990an dengan pemberian zat warna patent blue V atau isosulfan blue

50
secara intradermal diats tumor saat dilakukan eksisi luas. Pada eksplorasi
kelenjar getah bening akan ditemukan saluran-saluran getah bening yang
berwarna biru, yang menuju kesuatu kelenjar yang berwarna biru pula, lebih dari
80% kelenjar ini dapat ditemukan. Kelenjar getah bening diangkat dan dilakukan
frozen section, jika positif mengandung metastasis sel tumor baru akan diseksi. 6
Pada penelitian Reintgen menemukan bahwa sel melanoma maligna menjalar
lebih teratur dan jelas dibandingkan dengan tumor padat lainnya. Jika pada
sentinel node ini tidak ditemukan metastasis maka kelenjar lain juga
diasumsikan tidak mengandung metastasis. Cara ini dipermudah dengan
menggunakan lymphoscintigraphy dengan penyuntikan Technitiun (TC99m) ke
dalam tumor 1 hari sebelum operasi. Dengan alat pelacak isotop akan dapat
ditentukan tempat insisi kulit di daerah kelenjar getah bening regional tumor
tersebut. Pada penelitian dari 612 pasien pada stage I/II tidak didapatkan angka
recurrent sebesar 60%.,6

2. Terapi Adjuvant
Karena pengobatan definitive dari melanoma kulit adalah dengan
pembedahan, maka terapi medikamentosa diberikan sebagai terapi tambahan
dan penatalaksanaan pada pasien melanoma stadium lanjut. Pasien yang
memiliki melanoma dengan tebal lebih dari 4 mm atau metastase ke
limfonodi dengan pemberian terapi adjuvant dapat meningkatkan angka
ketahanan hidup.6 Studi di berbagai center kesehatan menunjukkan
pemberian interferon alpha 2b (IFN) menambah lamanya ketahanan hidup
dan ketahanan terhadap terjadinya rekurensi Melanoma, sehingga oleh Food
and Drug Administration (FDA) mengajurkan IFN sebagai terapi tambahan
setelah eksisi pada pasien dengan resiko recurrent. IFN γ dilaporkan tidak
efektif pada fase I atau II dari melanoma yang bermetastase, namun potensi
IFN γ yang merupakan mediator pembunuh alami Limfosit T sitotoksik,

51
sebuah pengaktivasi makrofag, dn HLA klas II ekspresi antigen, merupakan
hal yang tak dapat diabaikan.5,6

Interleukin-2 (IL-2) pada penelitian terakhir, dalam dosis tinggi baik


diberikan sendiri maupun dengan kombinasi bersama sel lymphokine
activated killer menghasilkan respon pada pasien sebesar 15% sampai 20%,
dengan respon lengkap sebesar 4-6%.6

Terapi adjuvan lain selain IFN yaitu Kemoterapi dengan macamnya


yaitu:
 Dacarbazine (DTIC), baik diberikan sendiri maupun kombinasi
bersama Carmustine (BCNU) dan Cisplastin.
 Cisplastin, vinblastin, dan DTIC
 Temozolomide merupakan obat baru yang mekanisme kerjanya mirip
DTIC, tetapi bisa diberikan per oral.
 Melphalan juga dapat diberikan pada melanoma dengan prosedur
tertentu.
Terapi-terapi adjuvan yang lainnya diantaranya yaitu dengan
biokemoterapi, yaitu merupakan kombinasi terapi antara kemoterapi dan
imunoterapi, imunoterapi sendiri dan gen terapi.6

Dalam kepustakaan lain disebutkan juga adanya terapi radiasi pada


melanoma yang merupakan terapi paliatif. Radioterapi sering digunakan
setelah pembedahan pada pasien dengan lokal atau regional melanoma atau
untuk pasien dengan unresectable dengan metastasis jauh. Terapi ini dapat
mengurangi recurence lokal tetapi tidak memperbaiki prolong survival.6

Radioimunoterapi pada metastase melanoma masih dalam penelitian,


pada penelitian yang dilakukan National Cancer Institute (NCI) terapi ini
menunjukkan kesuksesan. Terapi ini dengan memberikan auotologous
lymphocytes yang kemudian mengkode T cell receptors (TCRs) pada
lymphosit pasien, kemudian telah terbentuk manipulasi lymphosit yang

52
melekat pada molekul di permukaan sel melanoma yangf kemudian
membunuh sel melanoma tersebut.6

G. Pencegahan

Pada prinsipnya, pencegahan dilakukan dengan cara menghindari


pajanan sinar matahari secara intens. Sehingga pencegahan dapat dilakukan
dengan jalan:

1. Membatasi pajanan sinar Ultraviolet terhadap kulit. Hal ini bisa


dilakukan dengan jalan mencari tempat yang teduh jika berada di luar
gedung, memakai baju panjang untuk mengurangi banyaknya kulit yang
terpajan matahari, dan menggunakan lotion sunscreen dengan SPF 15
atau lebih pada kulit yang terpajan sinar matahari, serta menggunakan
kacamata hitam untuk perlindungan mata.7
2. Menghindari sumber-sumber sinar UV lainnya, seperti tempat tidur yang
digunakan untuk mencoklatkan kulit di salon-salon kecantikan.

H. Prognosis

Prognosis melanoma tidak ditentukan oleh satu macam faktor saja,


namun multifaktor dan utamanya bergantung pada: (1) ketebalan tumor, (2)
ada tidaknya ulserasi secara histologi, dan (3) adanya metastase pada
kelenjar limfe.8,9

Pada Cutaneus Melanoma stage I dan II:

 Bila ketebalan tumor ≤ 1mm diasosiasikan dengan angka


ketahanan hidup antara 91-95% tergantung ada tidaknya ulserasi
secara histologi dan klasifikasi Clark lebih besar dari tingkat III.
 Ketebalan tumor 1-4 mm, diasosiasikan dengan angka ketahan
hidup antara 63-89% bergantung pada ulserasi dan ketebalan dari
tumor primer.

53
 Tebal tumor >4 mm memiliki angka ketahanan hidup 67% tanpa
ulserasi, dan 45% dengan adanya ulserasi primer.
 Adanya ulserasi akan menurunkan angka ketahanan
hidup pada setiap tingkat tumor.8,9
Stage III
 Metastase pada kelenjar limfe regional diasosiasikan dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 13-69%, tergantung pada jumlah
kelenjar limfe yang telah terkena, secara mikroskopik maupun
makroskopik, dan adanya ulserasi pada tumor primer.9
Stage IV
Prognosis untuk melanoma yang telah bermetastase jauh sangatlah
buruk, dengan angka ketahanan hidup median hanya 6-9 bulan dan 5
tahun sebesar 7-19%, tergantung pada tempat yang terkena
metastase. Umumnya, metastase pada jaringan lunak, kelnjar, dan
paru-paru memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan
adanya metastase ke organ-organ dalam, seperti hati.8,9

BAB III
KESIMPULAN

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Kinghorn GR, Brings , Gupta NK. Bacal cell carcinoma. In: Griffiths C, Barker
J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, eds. Rook’s Textbook of Dermatology.
Vol. 4. 8th ed. Oxford:Wiley Blackwell 2016. p.52.18-52.23
2. Pramuningtyas R, Muwardi P. Gejala Klinis sebagai Prediktor pada Karsinoma
Sel Basal. Vol. 4 No. 1 2012;p.33-36
3. Duncan KO, Geisse JK, Leffell DJ. Basal Cell Carcinoma. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatrick's
Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill
2012;.1295-1303

55
4. Sukmawati TT, Reginata G. Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Sel Basal.
2015. 42 (12): hal. 897-900
5. Yahya YF, Toruan. Profil Karsinoma Sel Basal Primer Palembang. Jakarta:
Media Sermato-Venerologica Indonesiana. 2011. 38 (2): hal. 61-111
6. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology, 12th ed. Chicago:Saunder-Elseviers 2015;p.633-637
7. Alter M, Hillen U, Leiter U, et.al. Current Diagnosis and Treatment Basal Cell
Carcinoma. Journal of German Sociaty of Dermatology. 2015;p.863-875
8. Dormishev AL, Rusinova D, Botev I. Clinical variants, stages, and
Management Basal Cell Carcinoma. Indian Dermatology Online Journal. Vol. 4
2013;p 12-18
9. Wysocka MM, Dmochowska MB, Weklar DS. Basal Cell Carcinoma-
Diagnosis. Contemp Oncol 17 (4):337-342
10. Wolff K, Johnson AR, Saavedra A. Fitzpatrick’s Color atlas dan sypnosis of
clinical dermatology. 7th Ed McGraw Hill;2013
11. Sukmawati TT, Ghaznawie M, Reginata G. Deteksi Dini Karsinoma Sel Basal.
Indonesia Journal of Cancer. 2015. 10 (2): hal.61-66
12. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed ke-6. Jakarta: Fakultas
kedokteran universitas Indonesia: 2011.p.229-41.
13. Windy, M., Novianti, R., Imam S. Gambaran histopatologis karsinoma sel
basal. Departeme/ SMF ilmu kesehatan kulit dan kelamin universitas airlangga.
2013 vol 40 no 3 hal 138 -144.

56

Anda mungkin juga menyukai