Anda di halaman 1dari 13

Kepada Yth. dr.

Hari/ Tanggal :
Pukul :
Tempat : R. Ilmiah Gd. Radiopoetro Lt.3
Moderator : dr. K. Etnawati, MPH, Sp.KK(K)

Tinjauan Pustaka Stase Kosmetik Medik

STRIAE DISTENSAE: PATOGENESIS DAN TERAPI

Oleh:
Vika Fintaru
17/420596/PKU/16994

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
YOGYAKARTA
2020

1
STRIAE DISTENSAE: PATOGENESIS DAN TERAPI

Vika Fintaru
Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran, Keperawatan, dan Kesehatan Masyarakat
Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito

ABSTRAK
Striae distensae (SD), atau dikenal sebagai stretch mark, adalah kondisi kulit yang
umum dijumpai. Striae distensae ditandai penipisan jaringan ikat dengan tampilan klinis
berupa atrofi kulit yang linear. Meski banyak penelitian dilakukan, patogenesis SD
masih belum jelas. Patogenesis SD dianggap multifaktorial dengan kontribusi dari
keterlibatan genetik, hormon, dan stres mekanik. Interpretasi dari sampel histologis
menunjukkan hubungan antara peradangan limfositik dermal, elastolisis, dan respons
jaringan parut. Striae distensae menyebabkan gangguan tampilan fisik dan tekanan
psikologis. Terapi SD sangat menantang dengan tujuan untuk meningkatkan sintesis
kolagen. Pengetahuan klinisi sangat penting dalam memahami striae dan memberikan
alternatif terapi baik terapi topikal maupun terapi fisik bagi pasien.

Kata kunci: striae distensae, stretch mark, patogenesis, terapi

ABSTRACT
Striae distensae (SD), also known as stretch marks, is a common skin condition. Striae
distensae is characterized by thinning of the connective tissue with a clinical appearance
of linear skin atrophy. Although much research has been done, the pathogenesis of SD
is still unclear. Pathogenesis of SD is considered multifactorial with contributions from
genetic involvement, hormones, and mechanical stress. Interpretation of the histological
sample shows the relationship between dermal lymphocytic inflammation, elastolysis,
and scar tissue response. Striae distensae causes physical appearance disturbance and
psychological distress. Therapy of SD is very challenging with the aim of increasing
collagen synthesis. Clinician's knowledge is very important in understanding striae and
providing alternative therapies to both topical and physical therapy for patients.

Keywords: striae distensae, stretch marks, pathogenesis, therapy

2
PENDAHULUAN

Striae distensae (SD) sering disebut sebagai striae atrophicans, striae rubra,

striae alba, striae gravidarum, atau stretch mark. Striae distensae adalah kondisi kulit

yang sering dikeluhkan pasien.1 Striae sangat umum terjadi dan dapat menyebabkan

tekanan psikologis terkait gangguan tampilan fisik, terutama pada wanita dan profesi

tertentu. Akhir-akhir ini, karena kondisi tersebut, pasien sering mendatangi dokter kulit

untuk mengobati striae walaupun hingga saat ini belum ada pengobatan yang

sepenuhnya efektif untuk striae. Data epidemiologis menunjukkan prevalensi SD

berkisar antara 11% hingga 88%. Studi lain menyebutkan prevalensi SD berkisar dari

50 hingga 80%.2

Striae distensae biasanya berkembang dalam 5 hingga 30 tahun dan terjadi dua

kali lebih sering pada wanita daripada pria. Striae tampak lebih menonjol pada individu

berkulit gelap. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa menjadi faktor risiko SD.

Sebagian besar striae muncul selama kehamilan, terutama pada trimester ketiga, dan

pubertas. Selama kehamilan, striae lebih sering terjadi pada wanita hamil dengan usia

individu yang lebih muda. Beberapa penelitian mencatat SD lebih sering terjadi pada

individu dengan lingkar perut yang besar dan pertambahan berat badan yang terjadi

secara mendadak (karena ukuran janin atau polihidramnion). Keadaan lain seperti

obesitas, sindrom Cushing, sindrom Marfan, genodermatosis, dan penggunaan

kortikosteroid sistemik dan topikal juga dapat menyebabkan SD. Patogenesis SD

dianggap multifaktorial terkait keterlibatan genetik, hormonal, dan stres mekanik. 1,2

PATOGENESIS STRIAE DISTENSAE

Patogenesis yang mendasari SD tidak sepenuhnya dipahami, namun hingga saat

ini ada 3 teori penyebab SD yaitu genetik,3 gangguan hormonal,4 dan gangguan

3
mekanik.5 Penelitian untuk menentukan patogenesis yang terlibat dalam perkembangan

dan maturasi striae memiliki keterbatasan pada hewan coba. 5,6 Beberapa penulis

menyatakan SD berawal dari reaksi inflamasi yang menghancurkan kolagen dan serat

elastis, diikuti oleh regenerasi kolagen dan serat elastis. Lesi muncul sebagai hasil dari

peregangan dan rupturnya kolagen serta kolagen yang tidak terhubung dengan elastin,

sehingga memungkinkan peregangan dan ruptur intradermal. Perubahan fibrilin, elastin,

dan kolagen dapat ditemukan pada SD.1

PREDISPOSISI GENETIK

Keterlibatan genetik dalam pembentukan SD dibuktikan pada kembar

monozigot. Beberapa penyakit jaringan ikat monogenik, termasuk sindrom Marfan dan

arachnodactyly kontraktual bawaan, juga diketahui terkait SD. Sindrom ini disebabkan

oleh mutasi pada gen penyandi protein matriks ekstraseluler (fibrilin-1 dan fibrilin-2)

yang merupakan bagian dari mikrofibril elastis di kulit dan jaringan lainnya. 3 Tung et al.

melakukan analisis gen dalam studi kohort untuk mengidentifikasi varian terkait

perkembangan SD. Hasil penelitian menunjukkan pria lebih sedikit mengalami SD,

yang serupa dengan hasil penelitian Elsaie et al., dan tidak ada pembeda single-

nucleotide polimorfisme (SNP) pada pria dan wanita.

Studi database genomik terbesar sampai saat ini difokuskan pada 4 region terkait

SD. Region pertama adalah rs7787362, terletak 40 kb upstream gen ELN (elastin), yang

juga terkait striae gravidarum. Elastin adalah komponen utama serat elastis yang

memanjang hingga jaringan ikat. Mutasi pada elastin, yang berakibat hilangnya elastin

matur, dapat menyebabkan autosomal dominant cutis laxa yaitu suatu kondisi yang

ditandai oleh kulit kendur dan berisiko tinggi terhadap aneurisma aorta atau stenosis

4
aorta supravalvular. Elastin juga salah satu gen yang hilang pada sindrom Williams –

Beuren, dengan manifestasi klinis berupa kulit kendur dan stenosis aorta supravalvular. 8

Merla et al. menyatakan bahwa rs7787362 mungkin terkait dengan penurunan ekspresi

elastin fungsional.

Region kedua adalah rs35318931, yaitu suatu missense variant (serin hingga

fenilalanin) di gen SRPX (sushi-repeat containing protein, terkait-X). Gen ini terkait

striae gravidarum, namun sangat sedikit yang diketahui mengenai fungsi dari gen ini.

Region ketiga adalah rs10798036, yang tidak signifikan dalam kehamilan dan terletak di

gen HMCN1 (hemicentin-1). Mutasi HMCN1 telah dikaitkan dengan degenerasi

makular terkait usia. Hubungan region tersebut dengan SD masih belum dapat

dijelaskan.10

Hubungan terkait genom terakhir adalah rs7594220, di 3 kb downstream

TMEM18 (protein transmembran 18), yang terlibat dalam migrasi stem sel saraf,

kanker, dan obesitas. Satu region tambahan yang menunjukkan hubungan dengan SD

yaitu rs3910516. Region tersebut terletak 2.2 kb upstream FN1 dan mengkode

fibronektin, protein matriks ekstraseluler yang berikatan dengan kolagen dan integrin.3

GANGGUAN HORMON

Ketidakseimbangan hormon terkait dengan pembentukan SD. Perubahan

konsentrasi hormon estrogen, androgen, dan glukokortikoid beserta reseptornya

memodulasi produksi komponen matriks ekstraseluler (ECM) melalui perubahan

lingkungan seluler.4,5,11 Cordiero et al. menjelaskan peningkatan reseptor estrogen dan

androgen pada kulit dengan SD dibandingkan dengan kulit normal. Punnonen et al.

mempelajari pengaruh estradiol topikal 10% pada kulit wanita menopause. Setelah 3

5
minggu perawatan, didapatkan penebalan dan peningkatan serat elastis pada papila

dermis. Sauerbronn et al. mempelajari efek terapi penggantian hormon dan didapatkan

peningkatan kolagen setelah 6 minggu terapi. Studi lain juga menunjukkan pengaruh

estrogen dalam mekanisme perbaikan luka, reorganisasi matriks ekstraseluler, dan

keterlibatan estrogen dan androgen pada homeostasis kulit.4

Dalam kondisi fisiologis, glukokortikoid mengatur sintesis glikosaminoglikan

dalam kultur fibroblas. Ketidakseimbangan glukokortikoid relevan dalam pembentukan

SD karena menghasilkan respon katabolisme protein, mengurangi elastin dan kolagen.

Efek ini serupa dengan kondisi yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid

topikal.4

Lee et al. melakukan pemeriksaan kolagen, elastin dan fibronektin dalam

jaringan SD dari empat individu yang mengkonsumsi steroid dan satu individu dengan

berat badan berlebih. Penghambatan ekspresi kolagen pada tingkat transkripsi, translasi,

dan post-translasi ditemukan pada jaringan SD. Hasil penelitian juga menunjukkan

fibronektin, prokolagen, dan elastin menurun pada jaringan SD yang menyebabkan

hilangnya matriks ekstraseluler. Satu kemungkinan penjelasannya adalah bahwa pada

SD terjadi deplesi fibroblas yang menyebabkan rendahnya RNA matriks ekstraseluler.14

Hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan kortisol meningkatkan aktivitas

fibroblas dan katabolisme protein sehingga terjadi perubahan serat kolagen dan elastin. 2

Hormon yang berhubungan dengan kehamilan juga diyakini mempengaruhi

pembentukan SD. Tingkat relaksin serum yang lebih rendah didapatkan pada wanita

hamil dengan SD dibandingkan dengan wanita tanpa SD pada usia kehamilan 36

minggu.15 Lurie et al. menyatakan kulit dengan lebih sedikit relaksin menjadi lebih

6
longgar dan memiliki resiko gangguan struktural jaringan serat elastis selama

peregangan yang lebih besar.

GANGGUAN MEKANIK

Striae yang dibentuk oleh peregangan mekanik akan memberikan tampilan akhir

berupa skar dermal atrofi.16 Temuan mikroskopis mengungkapkan perubahan serat

jaringan ikat sejajar dengan skin tension lines, menunjukkan hubungan peregangan

mekanik dengan patogenesis SD. Teori ini didukung oleh kondisi kehamilan, indeks

massa tubuh (IMT) tinggi, dan berat lahir neonatal yang tinggi, yang meningkatkan

risiko pembentukan SD.16-18

Striae diketahui terkait dengan kehamilan dan terjadi pada 70% wanita hamil,

yang disebut striae gravidarum (SG). Striae gravidarum cenderung berkembang di

trimester tiga dan meninggalkan skar permanen berwarna keperakan. Etiologi SG

merupakan efek gabungan dari faktor endokrin dan peregangan kulit. Hubungan paling

signifikan ditemukan pada ibu dengan usia dibawah 20 tahun, IMT tinggi, pertambahan

berat badan berlebih selama kehamilan dan berat lahir neonatal tinggi. Patogenesis SG

terkait peregangan kulit menyebabkan kerusakan pada mikrofibril fibrilin, yang lebih

rapuh pada wanita muda, sehingga lebih mudah ruptur. Penjelasan serupa diterapkan

pada individu dengan obesitas.17,18

Tsuji et al. mempelajari SD tahap awal dan tahap lanjut. Light microscopy (LM)

dan scanning electron microscopy (SEM) mengungkapkan berbagai tampilan pola dan

ketebalan serat elastis. Lesi awal menunjukkan serat elastis halus mendominasi sebagian

atau seluruh dermis, namun lesi yang lebih lanjut menunjukkan lebih banyak serat

elastis tebal. Tepi lesi memiliki serat elastis tebal pada lesi awal, namun tampak normal

7
pada lesi lanjut. Temuan ini menunjukkan serat elastis menebal pada inti striae ketika

striae menjadi lebih tua dan serat elastis tampak normal di perifer.16

MANIFESTASI KLINIS

Kehamilan, lonjakan pertumbuhan saat pubertas, muscular exercise, atau

penambahan berat badan memiliki keterkaitan dengan SD. Penggunaan kortikosteroid

topikal atau sistemik berkepanjangan juga dapat mempengaruhi perkembangan SD. Lesi

awal striae berupa garis linear merah muda atau violaceous, meninggi, dan kadang

dirasa gatal, yang disebut sebagai striae rubra (SR). Striae rubra memudar dalam waktu

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun menjadi jaringan parut hipopigmentasi, atrofi,

berkerut, umumnya permanen, dan disebut dengan striae alba (SA).19

Striae distensae diawali dengan plak atrofik linier berwarna seperti kulit (flesh-

toned) dan eritema terkait ruptur kapiler, lalu berkembang menjadi plak atrofi berwarna

hipopigmentasi keabuan. Pada kehamilan, striae akan muncul pada perut, payudara, dan

paha. Sedangkan pada remaja, umumnya muncul pada paha, bokong, payudara (wanita)

dan punggung (pria).1

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Secara dermoskopi, jaringan striae memiliki perubahan jaringan melanosit,

mungkin karena pergeseran atau peregangan secara paksa yang menyebabkan ruptur

dan apoptosis melanosit. Striae rubra sering menunjukkan pola dilatasi pembuluh darah

tegak lurus ke arah lesi. Sedangkan striae alba berwarna putih dengan jumlah pembuluh

darah dermal yang sedikit.20

8
Secara histologis, temuan striae menyerupai skar. Striae distensae ditandai

dengan atrofi epidermis, rete ridge atrofi dan menipis, bundel kolagen dermal lurus

paralel dengan dermal-epidermal junction (DEJ), dilatasi pembuluh darah, pemisahan

atau tidak adanya serat elastis, atau elastin yang tidak teratur. 20 Adanya celah di papila

dermis dan DEJ menunjukkan ketidakterlibatan laminin, kolagen IV, dan kolagen VII.

Fibrilin yang mengandung mikrofibril oksitalan yang berdekatan dengan DEJ juga

berkurang. Serat elastis dapat tampak sebagai jaringan terfragmentasi dengan filamen

halus, bergelombang, dan berkelompok, yang secara patologis paralel dengan DEJ, dan

pemindaian mikroskop elektron mengkonfirmasi perubahan ini.1,16,20 Studi lain

menunjukkan bundel kolagen yang rusak, pengurangan ekspresi kolagen, elastin, dan

fibronektin berkontribusi pada tampilan klinis SD.3,6

TERAPI

Hipotesis terjadinya SD adalah peregangan ikatan silang kolagen yang berlebih

dan pecahnya matriks kolagen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan serat

kolagen atau peningkatan produksi kolagen. Tujuan terapi SD adalah mengurangi

kemerahan pada striae rubra. Tujuan lainnya untuk meningkatkan produksi kolagen dan

serat elastis serta meningkatkan hidrasi pada striae alba. 6 Hingga saat ini, belum ada

terapi yang efektif menghilangkan SD, namun yang paling banyak dilakukan adalah

terapi topikal dan terapi fisik meliputi terapi sinar dan laser yang berfokus merangsang

produksi kolagen.7

Metode yang paling umum untuk mengobati SD adalah pemberian terapi

topikal. Terapi topikal diharapkan dapat memberi perubahan warna dan tekstur pada

9
striae rubra dan striae alba. Hanya sejumlah agen topikal yang telah dievaluasi untuk

pengobatan SD seperti tretinoin21, trofolastin22 dan gel silikon.23

Tretinoin dapat menginduksi sintesis kolagen dan memiliki efikasi yang baik

untuk striae rubra, namun berespon kurang baik pada striae alba. Kang et al., meneliti

subjek yang mendapat tretinoin 0,1% selama 24 minggu. Setelah 6 bulan, ukuran striae

pasien yang diberi tretinoin mengecil namun perbaikan kolagen dermal dan serat elastis

tidak signifikan. Selain itu, tretinoin dapat menyebabkan iritasi, kemerahan, dan

pengelupasan kulit, serta penggunaannya dihindari selama kehamilan.24

Trofolastin mengandung pegagan yang diduga merangsang fibroblas. Mallol et

al., melakukan penelitian dengan aplikasi trofolastin selama kehamilan dan didapatkan

22% wanita yang menggunakan krim trofolastin lebih sedikit memiliki striae dibanding

plasebo. Ud-Din et al., melakukan uji coba gel silikon selama periode 6 minggu dan

didapatkan hasil peningkatan melanin dan kolagen serta penurunan hemoglobin.

Peeling kimia seperti asam glikolat 70% juga dapat meningkatkan sintesis

kolagen. Mazzarello et al., melakukan uji coba terkontrol pada wanita dengan striae

rubra dan striae alba menggunakan asam glikolat 70% selama 6 bulan. Setelah

pengobatan, kelompok striae rubra menunjukkan penurunan ukuran striae dan

penurunan hemoglobin sedangkan pada kelompok striae alba menunjukkan penurunan

ukuran striae dan peningkatan melanin.25

Terapi fisik yang meliputi terapi sinar dan laser dapat digunakan untuk

memperbaiki tampilan SD. Walaupun dapat memperbaiki tampilan klinis, namun terapi

ini juga menyebabkan eritema dan edema jangka pendek. 26 Intense pulsed light

memancarkan cahaya tampak dengan spektrum 515-1.200-nm, yang membantu

mengatur serat kolagen. Sesi yang berulang mungkin diperlukan untuk mempertahankan

10
efek positif.27 Radiofrequency meningkatkan produksi kolagen dengan menginduksi

ekspresi mRNA kolagen tipe I. Perangkat ini menghasilkan panas yang mengubah arus

listrik menjadi energi termal yang terdispersi secara merata pada berbagai kedalaman

jaringan. Radiofrequency digunakan untuk mengencangkan dermis, mengurangi keriput,

dan memperbaiki SD.28 Fototermolisis fraksional adalah teknik laser yang bekerja

dengan menciptakan zona kecil karena kerusakan termal yang mengakibatkan nekrosis

epidermal diikuti oleh sintesis kolagen.29

Beberapa jenis laser menargetkan kromofor vaskular di striae rubra dan

dilaporkan mengurangi kemerahan dan pembengkakan. 2,7 Pulsed dye laser (PDL) 585-

nm memiliki target hemoglobin pada striae rubra dan dilaporkan meningkatkan

produksi kolagen.30 Laser fraksional (misal Erbium-YAG) merangsang fibroblas untuk

menghasilkan kolagen dan elastin serta dapat menyebabkan repigmentasi pada striae

alba.26 Teknik lain yang dilaporkan dalam literatur adalah terapi induksi kolagen

perkutan. Aust et al. melakukan uji coba terapi induksi kolagen perkutan tunggal pada

wanita dengan SD. Prosedur ini memakan waktu rata-rata 30 menit dan penilaian tindak

lanjut dilakukan 6 bulan setelah intervensi. Penilaian hasil menunjukkan perbaikan

tekstur kulit, pengencangan kulit, neovaskularisasi dermal, dan tidak ada perubahan

pigmentasi. Dari spesimen biopsi yang diperoleh 6 bulan setelah intervensi

menunjukkan peningkatan kolagen I dan elastin namun kolagen III tidak terpengaruh.31

KESIMPULAN

Striae distensae dapat menimbulkan beban psikologis dan umum terjadi pada

individu dengan prevalensi lebih dari 50%. Hipotesis terbentuknya striae distensae

adalah peregangan ikatan silang kolagen yang berlebih dan pecahnya matriks kolagen.

11
Tujuan terapi striae distensae adalah mengurangi kemerahan dan meningkatkan

produksi kolagen serta serat elastis. Hingga saat ini, belum ada terapi yang efektif

menghilangkan striae distensae, namun kombinasi terapi topikal dan terapi fisik

meliputi terapi sinar dan terapi laser diharapkan dapat memberikan manajemen striae

distensae yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ross, N., Ho, D., Fisher, J. Striae Distensae: Preventative and Therapeutic
Modalities to Improve Aesthetic Appearance. Dermatol Surg. 2017;43:635-48.
2. Al-Himdani, S., Ud-Din, S., Gilmore, A. Striae Distensae: A Comprehensive
Review and Evidence-Based Evaluation of Prophylaxis and Treatment. Br J
Dermatol. 2014;170:527-47.
3. Tung, J., Kiefer, A., Mullins, M. Genome-wide Association Analysis Implicates
Elastic Microfibrils in the Development of Nonsyndromic Striae Distensae. J
Invest Dermatol. 2013;133:2628-31.
4. Cordeiro, R., Zecchin, K., de Moraes, A. Expression of estrogen, androgen, and
glucocorticoid receptors in recent striae distensae. Int J Dermatol. 2010;49:30–
2.
5. Gilmore, S., Vaughan, B., Madzvamuse, A. A mechanochemical model of striae
distensae. Math Biosci. 2012;240:141–7.
6. Forbat, E., Al-Niaimi, F. Treatment of Striae Distensae: An Evidence-Based
Approach. J Cosmet Laser Ther. 2019;21:49-57.
7. Elsaie, M., Baumann, L., Elsaaiee, L. Striae distensae (stretch marks) and
different modalities of therapy: an update. Dermatol Surg. 2009;35:563–73.
8. Milewicz, D., Urba´n, Z., Boyd, C. Genetic disorders of the elastic fiber system.
Matrix Biol. 2000;19:471–80.
9. Merla, G., Brunetti-Pierri, N., Micale, L. Copy number variants at Williams-
Beuren syndrome 7q11.23 region. Hum Genet. 2010;128:3–26.
10. Schultz, D., Klein, M., Humpert, A. Analysis of the ARMD1 locus: evidence
that a mutation in HEMICENTIN-1 is associated with age-related macular
degeneration in a large family. Hum Mol Genet. 2003;12:3315–23.
11. Thornton, M. Estrogens and aging skin. Dermatoendocrinol. 2013;5:264–70.
12. Punnonen, R., Vaajalahti, P., Teisal, K. Local oestradiol treatment improves the
structure of elastic fibers in the skin of postmenopausal women. An Chir
Gynaecol Suppl. 1987;202:39–41.
13. Sauerbronn, A., Fonseca, A., Bagnoli, V. The effects of hormonal replacement
therapy on skin of postmenopausal women. Int J Gynaecol Obstet. 2000;68:35–
41.
14. Lee, K., Rho, Y., Jang, S. Decreased expression of collagen and fibronectin
genes in striae distensae tissue. Clin Exp Dermatol. 1994;19:285-8.

12
15. Lurie, S., Matas, Z., Fux, A. Association of serum relaxin with striae gravidarum
in pregnant women. Archives of Gynecology & Obstetrics. 2011;283:219-22.
16. Tsuji, T., Sawabe, M. Elastic fibers in striae distensae. J Cutan Pathol.
1988;15:215–22.
17. Atwal, G., Manku, L., Griffiths, C. Striae gravidarum in primiparae. Br J
Dermatol. 2006;155:965–9.
18. Yosipovitch, G., DeVore, A., Dawn, A. Obesity and the skin: skin physiology
and skin manifestations of obesity. J Am Acad Dermatol. 2007;56:901-16.
19. Kasielska-Trojan, A., Sobczak, M., Antoszewski, B. Risk factors of striae
gravidarum. Int J Cosmet Sci. 2015;37:236-40.
20. Hermanns, J., Pierard, G. High-resolution epiluminescence colorimetry of striae
distensae. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2006;20:282–7.
21. Rangel, O., Arias, I., Garcia, E. Topical tretinoin 0.1% for pregnancy-related
abdominal striae: an open-label, multicenter, prospective study. Adv Ther.
2001;18:181–6.
22. Mallol, J., Belda, M.A., Costa, D. Prophylaxis of Striae gravidarum with a
topical formulation. A double blind trial. Int J Cosmet Sci. 1991;13:51–7.
23. Ud-Din, S., McAnelly, S., Bowring, A. A double-blind controlled clinical trial
assessing the effect of topical gels on striae distensae (stretch marks): a non-
invasive imaging, morphological and immunohistochemical study. Arch
Dermatol Res. 2013;305:603-17.
24. Kang, S., Kim, K.J., Griffiths, C. Topical Tretinoin (Retinoic Acid) Improves
Early Stretch Marks. Arch Dermatol. 1996;132:519-26.
25. Mazzarello, V., Farace, F., Ena, P. A superficial texture analysis of 70% glycolic
acid topical therapy and striae distensae. Plast Reconstr Surg. 2012;129:589-90.
26. Zaleski-Larsen, L., Jones, I., Guiha, I. A Comparison Study of the Nonablative
Fractional 1565-nm Er: glass and the Picosecond Fractional 1064/532-nm Nd:
YAG Lasers in the Treatment of Striae Alba: A Split Body Double-Blinded
Trial. Dermatol Surg. 2018;44:1311-6.
27. Hernández-Pérez, E., Colombo-Charrier, E., Valencia-Ibiett, E. Intense Pulsed
Light in the Treatment of Striae Distensae. Dermatol Surg. 2002;28:1124-30.
28. Manuskiatti, W., Boonthaweeyuwat, E., Varothai, S. Treatment of striae
distensae with a TriPollar radiofrequency device: A pilot study. Journal of
Dermatological Treatment. 2009;20:359-64.
29. Bak, H., Kim, B., Lee, W. Treatment of Striae Distensae with Fractional
Photothermolysis. Dermatol Surg. 2009;35:1215-20.
30. McDaniel, D.H., Ash, K., Zukowski, M. Treatment of stretch marks with the
585-nm flashlamp-pumped pulsed dye laser. Dermatol Surg. 1996;22:332-7.
31. Aust, M.C., Knobloch, K., Vogt, P.M. Percutaneous Collagen Induction Therapy
as a Novel Therapeutic Option for Striae Distensae. Plast Reconstr Surg.
2010;126:219-20.

13

Anda mungkin juga menyukai