Hari/ Tanggal :
Pukul :
Tempat : R. Ilmiah Gd. Radiopoetro Lt.3
Moderator : dr. K. Etnawati, MPH, Sp.KK(K)
Oleh:
Vika Fintaru
17/420596/PKU/16994
1
STRIAE DISTENSAE: PATOGENESIS DAN TERAPI
Vika Fintaru
Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran, Keperawatan, dan Kesehatan Masyarakat
Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
ABSTRAK
Striae distensae (SD), atau dikenal sebagai stretch mark, adalah kondisi kulit yang
umum dijumpai. Striae distensae ditandai penipisan jaringan ikat dengan tampilan klinis
berupa atrofi kulit yang linear. Meski banyak penelitian dilakukan, patogenesis SD
masih belum jelas. Patogenesis SD dianggap multifaktorial dengan kontribusi dari
keterlibatan genetik, hormon, dan stres mekanik. Interpretasi dari sampel histologis
menunjukkan hubungan antara peradangan limfositik dermal, elastolisis, dan respons
jaringan parut. Striae distensae menyebabkan gangguan tampilan fisik dan tekanan
psikologis. Terapi SD sangat menantang dengan tujuan untuk meningkatkan sintesis
kolagen. Pengetahuan klinisi sangat penting dalam memahami striae dan memberikan
alternatif terapi baik terapi topikal maupun terapi fisik bagi pasien.
ABSTRACT
Striae distensae (SD), also known as stretch marks, is a common skin condition. Striae
distensae is characterized by thinning of the connective tissue with a clinical appearance
of linear skin atrophy. Although much research has been done, the pathogenesis of SD
is still unclear. Pathogenesis of SD is considered multifactorial with contributions from
genetic involvement, hormones, and mechanical stress. Interpretation of the histological
sample shows the relationship between dermal lymphocytic inflammation, elastolysis,
and scar tissue response. Striae distensae causes physical appearance disturbance and
psychological distress. Therapy of SD is very challenging with the aim of increasing
collagen synthesis. Clinician's knowledge is very important in understanding striae and
providing alternative therapies to both topical and physical therapy for patients.
2
PENDAHULUAN
Striae distensae (SD) sering disebut sebagai striae atrophicans, striae rubra,
striae alba, striae gravidarum, atau stretch mark. Striae distensae adalah kondisi kulit
yang sering dikeluhkan pasien.1 Striae sangat umum terjadi dan dapat menyebabkan
tekanan psikologis terkait gangguan tampilan fisik, terutama pada wanita dan profesi
tertentu. Akhir-akhir ini, karena kondisi tersebut, pasien sering mendatangi dokter kulit
untuk mengobati striae walaupun hingga saat ini belum ada pengobatan yang
berkisar antara 11% hingga 88%. Studi lain menyebutkan prevalensi SD berkisar dari
50 hingga 80%.2
Striae distensae biasanya berkembang dalam 5 hingga 30 tahun dan terjadi dua
kali lebih sering pada wanita daripada pria. Striae tampak lebih menonjol pada individu
berkulit gelap. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa menjadi faktor risiko SD.
Sebagian besar striae muncul selama kehamilan, terutama pada trimester ketiga, dan
pubertas. Selama kehamilan, striae lebih sering terjadi pada wanita hamil dengan usia
individu yang lebih muda. Beberapa penelitian mencatat SD lebih sering terjadi pada
individu dengan lingkar perut yang besar dan pertambahan berat badan yang terjadi
secara mendadak (karena ukuran janin atau polihidramnion). Keadaan lain seperti
dianggap multifaktorial terkait keterlibatan genetik, hormonal, dan stres mekanik. 1,2
ini ada 3 teori penyebab SD yaitu genetik,3 gangguan hormonal,4 dan gangguan
3
mekanik.5 Penelitian untuk menentukan patogenesis yang terlibat dalam perkembangan
dan maturasi striae memiliki keterbatasan pada hewan coba. 5,6 Beberapa penulis
menyatakan SD berawal dari reaksi inflamasi yang menghancurkan kolagen dan serat
elastis, diikuti oleh regenerasi kolagen dan serat elastis. Lesi muncul sebagai hasil dari
peregangan dan rupturnya kolagen serta kolagen yang tidak terhubung dengan elastin,
PREDISPOSISI GENETIK
monozigot. Beberapa penyakit jaringan ikat monogenik, termasuk sindrom Marfan dan
arachnodactyly kontraktual bawaan, juga diketahui terkait SD. Sindrom ini disebabkan
oleh mutasi pada gen penyandi protein matriks ekstraseluler (fibrilin-1 dan fibrilin-2)
yang merupakan bagian dari mikrofibril elastis di kulit dan jaringan lainnya. 3 Tung et al.
melakukan analisis gen dalam studi kohort untuk mengidentifikasi varian terkait
perkembangan SD. Hasil penelitian menunjukkan pria lebih sedikit mengalami SD,
yang serupa dengan hasil penelitian Elsaie et al., dan tidak ada pembeda single-
Studi database genomik terbesar sampai saat ini difokuskan pada 4 region terkait
SD. Region pertama adalah rs7787362, terletak 40 kb upstream gen ELN (elastin), yang
juga terkait striae gravidarum. Elastin adalah komponen utama serat elastis yang
memanjang hingga jaringan ikat. Mutasi pada elastin, yang berakibat hilangnya elastin
matur, dapat menyebabkan autosomal dominant cutis laxa yaitu suatu kondisi yang
ditandai oleh kulit kendur dan berisiko tinggi terhadap aneurisma aorta atau stenosis
4
aorta supravalvular. Elastin juga salah satu gen yang hilang pada sindrom Williams –
Beuren, dengan manifestasi klinis berupa kulit kendur dan stenosis aorta supravalvular. 8
Merla et al. menyatakan bahwa rs7787362 mungkin terkait dengan penurunan ekspresi
elastin fungsional.
Region kedua adalah rs35318931, yaitu suatu missense variant (serin hingga
fenilalanin) di gen SRPX (sushi-repeat containing protein, terkait-X). Gen ini terkait
striae gravidarum, namun sangat sedikit yang diketahui mengenai fungsi dari gen ini.
Region ketiga adalah rs10798036, yang tidak signifikan dalam kehamilan dan terletak di
makular terkait usia. Hubungan region tersebut dengan SD masih belum dapat
dijelaskan.10
TMEM18 (protein transmembran 18), yang terlibat dalam migrasi stem sel saraf,
kanker, dan obesitas. Satu region tambahan yang menunjukkan hubungan dengan SD
yaitu rs3910516. Region tersebut terletak 2.2 kb upstream FN1 dan mengkode
fibronektin, protein matriks ekstraseluler yang berikatan dengan kolagen dan integrin.3
GANGGUAN HORMON
androgen pada kulit dengan SD dibandingkan dengan kulit normal. Punnonen et al.
mempelajari pengaruh estradiol topikal 10% pada kulit wanita menopause. Setelah 3
5
minggu perawatan, didapatkan penebalan dan peningkatan serat elastis pada papila
dermis. Sauerbronn et al. mempelajari efek terapi penggantian hormon dan didapatkan
peningkatan kolagen setelah 6 minggu terapi. Studi lain juga menunjukkan pengaruh
Efek ini serupa dengan kondisi yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid
topikal.4
jaringan SD dari empat individu yang mengkonsumsi steroid dan satu individu dengan
berat badan berlebih. Penghambatan ekspresi kolagen pada tingkat transkripsi, translasi,
dan post-translasi ditemukan pada jaringan SD. Hasil penelitian juga menunjukkan
fibroblas dan katabolisme protein sehingga terjadi perubahan serat kolagen dan elastin. 2
pembentukan SD. Tingkat relaksin serum yang lebih rendah didapatkan pada wanita
minggu.15 Lurie et al. menyatakan kulit dengan lebih sedikit relaksin menjadi lebih
6
longgar dan memiliki resiko gangguan struktural jaringan serat elastis selama
GANGGUAN MEKANIK
Striae yang dibentuk oleh peregangan mekanik akan memberikan tampilan akhir
jaringan ikat sejajar dengan skin tension lines, menunjukkan hubungan peregangan
mekanik dengan patogenesis SD. Teori ini didukung oleh kondisi kehamilan, indeks
massa tubuh (IMT) tinggi, dan berat lahir neonatal yang tinggi, yang meningkatkan
Striae diketahui terkait dengan kehamilan dan terjadi pada 70% wanita hamil,
merupakan efek gabungan dari faktor endokrin dan peregangan kulit. Hubungan paling
signifikan ditemukan pada ibu dengan usia dibawah 20 tahun, IMT tinggi, pertambahan
berat badan berlebih selama kehamilan dan berat lahir neonatal tinggi. Patogenesis SG
terkait peregangan kulit menyebabkan kerusakan pada mikrofibril fibrilin, yang lebih
rapuh pada wanita muda, sehingga lebih mudah ruptur. Penjelasan serupa diterapkan
Tsuji et al. mempelajari SD tahap awal dan tahap lanjut. Light microscopy (LM)
dan scanning electron microscopy (SEM) mengungkapkan berbagai tampilan pola dan
ketebalan serat elastis. Lesi awal menunjukkan serat elastis halus mendominasi sebagian
atau seluruh dermis, namun lesi yang lebih lanjut menunjukkan lebih banyak serat
elastis tebal. Tepi lesi memiliki serat elastis tebal pada lesi awal, namun tampak normal
7
pada lesi lanjut. Temuan ini menunjukkan serat elastis menebal pada inti striae ketika
striae menjadi lebih tua dan serat elastis tampak normal di perifer.16
MANIFESTASI KLINIS
topikal atau sistemik berkepanjangan juga dapat mempengaruhi perkembangan SD. Lesi
awal striae berupa garis linear merah muda atau violaceous, meninggi, dan kadang
dirasa gatal, yang disebut sebagai striae rubra (SR). Striae rubra memudar dalam waktu
Striae distensae diawali dengan plak atrofik linier berwarna seperti kulit (flesh-
toned) dan eritema terkait ruptur kapiler, lalu berkembang menjadi plak atrofi berwarna
hipopigmentasi keabuan. Pada kehamilan, striae akan muncul pada perut, payudara, dan
paha. Sedangkan pada remaja, umumnya muncul pada paha, bokong, payudara (wanita)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
mungkin karena pergeseran atau peregangan secara paksa yang menyebabkan ruptur
dan apoptosis melanosit. Striae rubra sering menunjukkan pola dilatasi pembuluh darah
tegak lurus ke arah lesi. Sedangkan striae alba berwarna putih dengan jumlah pembuluh
8
Secara histologis, temuan striae menyerupai skar. Striae distensae ditandai
dengan atrofi epidermis, rete ridge atrofi dan menipis, bundel kolagen dermal lurus
atau tidak adanya serat elastis, atau elastin yang tidak teratur. 20 Adanya celah di papila
dermis dan DEJ menunjukkan ketidakterlibatan laminin, kolagen IV, dan kolagen VII.
Fibrilin yang mengandung mikrofibril oksitalan yang berdekatan dengan DEJ juga
berkurang. Serat elastis dapat tampak sebagai jaringan terfragmentasi dengan filamen
halus, bergelombang, dan berkelompok, yang secara patologis paralel dengan DEJ, dan
menunjukkan bundel kolagen yang rusak, pengurangan ekspresi kolagen, elastin, dan
TERAPI
dan pecahnya matriks kolagen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan serat
kemerahan pada striae rubra. Tujuan lainnya untuk meningkatkan produksi kolagen dan
serat elastis serta meningkatkan hidrasi pada striae alba. 6 Hingga saat ini, belum ada
terapi yang efektif menghilangkan SD, namun yang paling banyak dilakukan adalah
terapi topikal dan terapi fisik meliputi terapi sinar dan laser yang berfokus merangsang
produksi kolagen.7
topikal. Terapi topikal diharapkan dapat memberi perubahan warna dan tekstur pada
9
striae rubra dan striae alba. Hanya sejumlah agen topikal yang telah dievaluasi untuk
Tretinoin dapat menginduksi sintesis kolagen dan memiliki efikasi yang baik
untuk striae rubra, namun berespon kurang baik pada striae alba. Kang et al., meneliti
subjek yang mendapat tretinoin 0,1% selama 24 minggu. Setelah 6 bulan, ukuran striae
pasien yang diberi tretinoin mengecil namun perbaikan kolagen dermal dan serat elastis
tidak signifikan. Selain itu, tretinoin dapat menyebabkan iritasi, kemerahan, dan
al., melakukan penelitian dengan aplikasi trofolastin selama kehamilan dan didapatkan
22% wanita yang menggunakan krim trofolastin lebih sedikit memiliki striae dibanding
plasebo. Ud-Din et al., melakukan uji coba gel silikon selama periode 6 minggu dan
Peeling kimia seperti asam glikolat 70% juga dapat meningkatkan sintesis
kolagen. Mazzarello et al., melakukan uji coba terkontrol pada wanita dengan striae
rubra dan striae alba menggunakan asam glikolat 70% selama 6 bulan. Setelah
Terapi fisik yang meliputi terapi sinar dan laser dapat digunakan untuk
memperbaiki tampilan SD. Walaupun dapat memperbaiki tampilan klinis, namun terapi
ini juga menyebabkan eritema dan edema jangka pendek. 26 Intense pulsed light
mengatur serat kolagen. Sesi yang berulang mungkin diperlukan untuk mempertahankan
10
efek positif.27 Radiofrequency meningkatkan produksi kolagen dengan menginduksi
ekspresi mRNA kolagen tipe I. Perangkat ini menghasilkan panas yang mengubah arus
listrik menjadi energi termal yang terdispersi secara merata pada berbagai kedalaman
dan memperbaiki SD.28 Fototermolisis fraksional adalah teknik laser yang bekerja
dengan menciptakan zona kecil karena kerusakan termal yang mengakibatkan nekrosis
dilaporkan mengurangi kemerahan dan pembengkakan. 2,7 Pulsed dye laser (PDL) 585-
menghasilkan kolagen dan elastin serta dapat menyebabkan repigmentasi pada striae
alba.26 Teknik lain yang dilaporkan dalam literatur adalah terapi induksi kolagen
perkutan. Aust et al. melakukan uji coba terapi induksi kolagen perkutan tunggal pada
wanita dengan SD. Prosedur ini memakan waktu rata-rata 30 menit dan penilaian tindak
tekstur kulit, pengencangan kulit, neovaskularisasi dermal, dan tidak ada perubahan
menunjukkan peningkatan kolagen I dan elastin namun kolagen III tidak terpengaruh.31
KESIMPULAN
Striae distensae dapat menimbulkan beban psikologis dan umum terjadi pada
individu dengan prevalensi lebih dari 50%. Hipotesis terbentuknya striae distensae
adalah peregangan ikatan silang kolagen yang berlebih dan pecahnya matriks kolagen.
11
Tujuan terapi striae distensae adalah mengurangi kemerahan dan meningkatkan
produksi kolagen serta serat elastis. Hingga saat ini, belum ada terapi yang efektif
menghilangkan striae distensae, namun kombinasi terapi topikal dan terapi fisik
meliputi terapi sinar dan terapi laser diharapkan dapat memberikan manajemen striae
DAFTAR PUSTAKA
1. Ross, N., Ho, D., Fisher, J. Striae Distensae: Preventative and Therapeutic
Modalities to Improve Aesthetic Appearance. Dermatol Surg. 2017;43:635-48.
2. Al-Himdani, S., Ud-Din, S., Gilmore, A. Striae Distensae: A Comprehensive
Review and Evidence-Based Evaluation of Prophylaxis and Treatment. Br J
Dermatol. 2014;170:527-47.
3. Tung, J., Kiefer, A., Mullins, M. Genome-wide Association Analysis Implicates
Elastic Microfibrils in the Development of Nonsyndromic Striae Distensae. J
Invest Dermatol. 2013;133:2628-31.
4. Cordeiro, R., Zecchin, K., de Moraes, A. Expression of estrogen, androgen, and
glucocorticoid receptors in recent striae distensae. Int J Dermatol. 2010;49:30–
2.
5. Gilmore, S., Vaughan, B., Madzvamuse, A. A mechanochemical model of striae
distensae. Math Biosci. 2012;240:141–7.
6. Forbat, E., Al-Niaimi, F. Treatment of Striae Distensae: An Evidence-Based
Approach. J Cosmet Laser Ther. 2019;21:49-57.
7. Elsaie, M., Baumann, L., Elsaaiee, L. Striae distensae (stretch marks) and
different modalities of therapy: an update. Dermatol Surg. 2009;35:563–73.
8. Milewicz, D., Urba´n, Z., Boyd, C. Genetic disorders of the elastic fiber system.
Matrix Biol. 2000;19:471–80.
9. Merla, G., Brunetti-Pierri, N., Micale, L. Copy number variants at Williams-
Beuren syndrome 7q11.23 region. Hum Genet. 2010;128:3–26.
10. Schultz, D., Klein, M., Humpert, A. Analysis of the ARMD1 locus: evidence
that a mutation in HEMICENTIN-1 is associated with age-related macular
degeneration in a large family. Hum Mol Genet. 2003;12:3315–23.
11. Thornton, M. Estrogens and aging skin. Dermatoendocrinol. 2013;5:264–70.
12. Punnonen, R., Vaajalahti, P., Teisal, K. Local oestradiol treatment improves the
structure of elastic fibers in the skin of postmenopausal women. An Chir
Gynaecol Suppl. 1987;202:39–41.
13. Sauerbronn, A., Fonseca, A., Bagnoli, V. The effects of hormonal replacement
therapy on skin of postmenopausal women. Int J Gynaecol Obstet. 2000;68:35–
41.
14. Lee, K., Rho, Y., Jang, S. Decreased expression of collagen and fibronectin
genes in striae distensae tissue. Clin Exp Dermatol. 1994;19:285-8.
12
15. Lurie, S., Matas, Z., Fux, A. Association of serum relaxin with striae gravidarum
in pregnant women. Archives of Gynecology & Obstetrics. 2011;283:219-22.
16. Tsuji, T., Sawabe, M. Elastic fibers in striae distensae. J Cutan Pathol.
1988;15:215–22.
17. Atwal, G., Manku, L., Griffiths, C. Striae gravidarum in primiparae. Br J
Dermatol. 2006;155:965–9.
18. Yosipovitch, G., DeVore, A., Dawn, A. Obesity and the skin: skin physiology
and skin manifestations of obesity. J Am Acad Dermatol. 2007;56:901-16.
19. Kasielska-Trojan, A., Sobczak, M., Antoszewski, B. Risk factors of striae
gravidarum. Int J Cosmet Sci. 2015;37:236-40.
20. Hermanns, J., Pierard, G. High-resolution epiluminescence colorimetry of striae
distensae. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2006;20:282–7.
21. Rangel, O., Arias, I., Garcia, E. Topical tretinoin 0.1% for pregnancy-related
abdominal striae: an open-label, multicenter, prospective study. Adv Ther.
2001;18:181–6.
22. Mallol, J., Belda, M.A., Costa, D. Prophylaxis of Striae gravidarum with a
topical formulation. A double blind trial. Int J Cosmet Sci. 1991;13:51–7.
23. Ud-Din, S., McAnelly, S., Bowring, A. A double-blind controlled clinical trial
assessing the effect of topical gels on striae distensae (stretch marks): a non-
invasive imaging, morphological and immunohistochemical study. Arch
Dermatol Res. 2013;305:603-17.
24. Kang, S., Kim, K.J., Griffiths, C. Topical Tretinoin (Retinoic Acid) Improves
Early Stretch Marks. Arch Dermatol. 1996;132:519-26.
25. Mazzarello, V., Farace, F., Ena, P. A superficial texture analysis of 70% glycolic
acid topical therapy and striae distensae. Plast Reconstr Surg. 2012;129:589-90.
26. Zaleski-Larsen, L., Jones, I., Guiha, I. A Comparison Study of the Nonablative
Fractional 1565-nm Er: glass and the Picosecond Fractional 1064/532-nm Nd:
YAG Lasers in the Treatment of Striae Alba: A Split Body Double-Blinded
Trial. Dermatol Surg. 2018;44:1311-6.
27. Hernández-Pérez, E., Colombo-Charrier, E., Valencia-Ibiett, E. Intense Pulsed
Light in the Treatment of Striae Distensae. Dermatol Surg. 2002;28:1124-30.
28. Manuskiatti, W., Boonthaweeyuwat, E., Varothai, S. Treatment of striae
distensae with a TriPollar radiofrequency device: A pilot study. Journal of
Dermatological Treatment. 2009;20:359-64.
29. Bak, H., Kim, B., Lee, W. Treatment of Striae Distensae with Fractional
Photothermolysis. Dermatol Surg. 2009;35:1215-20.
30. McDaniel, D.H., Ash, K., Zukowski, M. Treatment of stretch marks with the
585-nm flashlamp-pumped pulsed dye laser. Dermatol Surg. 1996;22:332-7.
31. Aust, M.C., Knobloch, K., Vogt, P.M. Percutaneous Collagen Induction Therapy
as a Novel Therapeutic Option for Striae Distensae. Plast Reconstr Surg.
2010;126:219-20.
13