Anda di halaman 1dari 13

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSHS BANDUNG

EVIDENCE BASED CASE REPORT (EBCR)


Divisi : Alergi Imunologi
Oleh : Tammy Utami Dewi
Pembimbing : Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., SpA(K), MKes
dr. Reni Ghrahani, SpA(K), MKes
dr. Gartika Sapartini, SpA, MKes
Waktu : 23 Mei 2016

PEMBERIAN IMUNOSUPRESAN PADA ANAK DENGAN


SKLEROSIS SISTEMIK

PENDAHULUAN
Skleroderma merupakan penyakit jaringan ikat yang jarang terjadi dengan etiologi yang
belum diketahui, ditandai dengan aktivasi sistem imun, vaskulopati, stimulasi fibroblas dan
fibrosis jaringan ikat.1 Terdapat berbagai manifestasi klinis skleroderma yang disebabkan
oleh deposisi kolagen berlebih pada jaringan yang mengarah ke fibrosis.2 Skleroderma
berasal dari kata ‘skleros’ yang berarti penebalan dan ‘derma’ yaitu kulit. Terdapat dua
bentuk penyakit dari skleroderma, yaitu systemic sclerosis (SSc) dengan berbagai keterlibatan
organ yang ditandai dengan fibrosis pada kulit, pembuluh darah dan organ viseral. Penyakit
ini umumnya banyak terjadi pada dewasa, serta juvenile localized scleroderma (JLS) dikenal
juga sebagai morphea yang ditandai dengan fibrosis pada kulit dan jaringan di bawahnya
tanpa keterlibatan pembuluh darah atau organ dalam, umumnya terjadi pada anak-anak.3-5
Walaupun jarang terjadi pada anak-anak, SSc dapat terjadi pada 1/1.000.000 anak. Usia rata-
rata terjadinya onset pada kedua bentuk skleroderma ini antara usia 7 hingga 9 tahun, dengan
rasio anak perempuan dibandingkan anak laki-laki sebesar 4:1.3 Sklerosis sistemik
merupakan penyakit yang jarang ditemukan namun potensial mengancam kehidupan.
Sklerosis sistemik ini berhubungan dengan kematian dan kesakitan yang berat.5 Sampai
dengan saat ini di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai kejadian sklerosis sistemik.
Terdapat 3 kelainan klinis utama pada SSc, yaitu diffuse cutaneous (dc) SSc, ditandai
dengan penebalan kulit yang cepat dan luas menyebar ke proksimal sikut dan lutut disertai
dengan keterlibatan organ viseral diantaranya adalah paru-paru, jantung dan ginjal. Bentuk
kedua adalah limited cutaneous SSc (lcSSc) ditandai dengan penebalan kulit yang terbatas
dan tidak progresif, terbatas pada bagian distal ekstremitas berhubungan dengan keterlibatan
organ viseral seperti hipertensi arteri pulmonal, dan malabsorpsi. Limited cutaneous SSc
sebelumnya dikenal dengan sindroma CREST (calcinosis kulit, Raynaud’s phenomenon

1
(RP), disfungsi esofagus, sklerodaktil, teleangiektasis). Bentuk terakhir adalah overlap SSc,
dapat berupa dcSSc atau lcSSc dengan penyakit jaringan ikat lain seperti dermatomyositis
atau lupus eritematosus sistemik.2-4,6 Bentuk tersering dari SSc anak sebanyak 70% adalah
Raynaud’s phenomenon (RP) dan perubahan pada kulit tangan (60%) termasuk edema,
sklerodaktili, dan indurasi bagian proksimal dari metakarpal.3
Raynaud’s phenomenon merupakan respon vasospastik yang menyebabkan perubahan
warna tiga fase pada tangan, yaitu (1) pucat karena vasokontriksi, (2) kebiruan yang
disebabkan sianosis, dan (3) memerah yang disebabkan reperfusi disertai pembengkakan dan
nyeri, hal ini ditandai oleh sensasi mati rasa dan kesemutan pada ibu jari, dan area-area tubuh
bagian ujung termasuk telinga, ujung hidung, atau lidah.3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari pedoman
konsensus internasional mengenai kriteria sklerosis sistemik pada anak dan melalui biopsi
kulit.3 Tatalaksana sklerosis sistemik yang rasional diberikan berdasarkan patogenesisnya,
pengobatan diberikan untuk mencegah kerusakan pembuluh darah, mencegah fibrosis atau
untuk menekan respon imun.7 Saat ini terapi yang digunakan untuk SSc dengan fenomena
Raynaud’s adalah pemberian kortikosteroid, imunosupresan dan vasodilator.

ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan usia 13 tahun 10 bulan datang dengan keluhan utama nyeri pada
ujung-ujung jari tangan. Keluhan disertai dengan kehitaman pada ujung jari telunjuk tangan
kanan yang sudah berlangsung selama 1 tahun. Sejak usia 12 tahun, penderita mengeluh
sendi-sendi jari tangan tampak menghitam, serta kaku. Keluhan tidak disertai bengkak pada
sendi-sendi jari tangan. Pada satu tahun yang lalu terdapat riwayat bengkak kemerahan dan
nyeri pada kedua sendi siku dan mata kaki, yang didahului benturan. Keluhan dirasakan
hilang timbul. Dalam 1 tahun penderita dapat mengalami keluhan serupa sebanyak 3–4 kali.
Penderita mulai berobat di poli alergi imunologi Rumah Sakit Haasan Sadikin (RSHS) sejak
Agustus 2015. Sejak saat itu penderita rutin kontrol dan meminum obat siklosporin 1x100 mg
peroral, prednison 5 mg ~ 4–4–4 tab peroral, cilostazol 2x25 mg peroral dan kalsium
karbonas 2x500 mg peroral. Selama kontrol penderita merasakan adanya perbaikan pada
ujung jari tangan, berupa kebiruan dan nyeri yang menghilang, nyeri sendi tidak ada.
Sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit didapatkan kadar trombosit terus menurun
hingga <100.000/mm3 dengan kadar terendah 83.000/mm3, sehingga pemberian siklosporin
dihentikan sejak bulan Maret 2016. Sejak pemberian siklosporin dihentikan keluhan
kehitaman pada ujung jari telunjuk kanan mulai muncul kembali.

2
Karena keluhannya, penderita dibawa ke poli alergi imunologi RSHS. Penderita rutin
fisioterapi dan kontrol ke poli bedah vaskuler. Penderita merupakan anak kedua dari 2
bersaudara. Riwayat keluhan serupa di keluarga tidak ada.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal.
Status nutrisi dalam batas normal. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan adanya
kontraktur, hiperpigmentasi serta lesi sklerotik pada kedua tangan dan kaki. Ditemukan juga
ujung jari telunjuk sebelah kanan yang tampak menghitam, teraba dingin, namun sensorik
baik. Status dermatologikus didapatkan adanya lesi multipel tidak menimbul berupa makula
hipopigmentasi, sebagian diskret dengan bentuk tidak teratur, batas tegas pada perut, kedua
siku, tangan dan kaki.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium hematologi didapatkan hasil hemoglobin: 14,9
g/dL, hematokrit: 44%, lekosit: 9800/mm3, trombosit: 99.000/mm3. Pada pemeriksaan biopsi
kulit bulan November 2015, didapatkan hasil sesuai scleroderma ad regio elbow dextra et
interphalanx digiti manus dextra et sinistra.
Penderita saat ini mendapatkan terapi metotreksat 10 mg/m2 subkutan, cilostazol 2x25 mg
peroral, prednison (2 mg/kgBB/hari ~ Prednison tab 5 mg, 4–4–4 tablet, calsium carbonas
2x500 mg tablet peroral, dan vitamin D 1x0,25 microgram peroral.

FORMULASI PERTANYAAN KLINIS


Permasalahan pada penderita ini adalah pilihan terapi imunosupresan sehingga penelusuran
jurnal ini ingin mencari bagaimana efikasi pemberian terapi imunosupresan pada anak
dengan sklerosis sistemik.

Formulasi pertanyaan klinis: Bagaimana efikasi pemberian metotreksat dibandingkan


dengan mikofenolat mofetil (MMF) sebagai terapi imunosupresan pada anak dengan
sistemik sklerosis

Masalah tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk PICO sebagai berikut


P Patient/population Anak dengan sklerosis sistemik
I Intervention/Indicator Metotreksat
C Comparison/Control Mikofenolat mofetil
O Outcome Perbaikan gejala klinis (Luaran klinis)

3
JURNAL
Metode Penelusuran Jurnal
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah di atas yaitu dengan menelusuri
pustaka secara online menggunakan instrumen pencari Pubmed Clinical Queries, Cochrane
Library, dan Research Gate. Dalam metode pencarian juga mempertimbangkan alternatif
terminologi, sinonim, atau ejaan. Pencarian menggunakan “AND” untuk membatasi
pencarian, dan “OR” untuk memperluas pencarian.

KEYWORDS:
Pediatric OR children AND systemic sclerosis OR scleroderma AND methotrexate AND
mycophenolate mofetil

Systematic review Metaanalysis RCT Cross sectional Review

Hasil penelusuran jurnal


Tipe Pubmed Clinical Queries, Cochrane, Artikel
Research Gate
Seluruh artikel No filter -
Systematic review Systematic review (publication type) -
RCT Randomized controlled trial (publication -
type)
Cross sectional Cross sectional -
Case Report Case report (publication type) -
Review Review -
Cohort Cohort -

Pada penelusuran jurnal tidak didapatkan jurnal yang membandingkan antara terapi
metotreksat (MTX) dengan terapi dengan mikofenolat mofetil (MMF) pada anak dengan
sklerosis sistemik. Dari keseluruhan artikel yang didapatkan, hanya terdapat tiga penelitian
yang dilakukan pada anak, yaitu sebuah artikel pada pasien dengan skleroderma lokal, dan
sebuah review artikel mengenai bentuk skleroderma pada anak dan sebuah artikel penelitian

4
mengenai penyakit reumatik. Enam artikel lain memaparkan mengenai penggunaan MMF
pada skleroderma lokal, lupus eritematosus sistemik pada populasi dewasa.

Karena itu untuk mendapatkan data tentang luaran klinis anak dengan sklerosis sistemik
dilakukan penggantian kata kunci yaitu :

KEYWORDS:
Pediatric OR children AND methotrexate AND systemic sclerosis OR scleroderma

KEYWORDS:
Pediatric OR children AND mycophenolate mofetil AND systemic sclerosis OR
scleroderma

Hasil penelusuran jurnal


Tipe Pubmed Clinical Queries, Cochrane, Artikel
Research Gate
Seluruh artikel No filter 9
Systematic review Systematic review (publication type) -
RCT Randomized controlled trial (publication 1
type)
Cross sectional Cross sectional -
Case Report Case report (publication type) -
Review Review 4
Cohort Cohort 4

Dari keseluruhan artikel didapatkan 2 buah penelitian yang cukup relevan, namun penelitian
ini dilakukan pada dewasa. Kemudian dilakukan tinjauan kritis (critical appraisal).

5
KAJIAN KRITIS KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI ASPEK TERAPI
Hasil penelusuran jurnal (1) (level of evidence: 1b)
Comparison of methotrexate with placebo in the treatment of systemic sclerosis: a 24 week
randomized double-blind trial, followed by a 24 week observational trial

F. H. J. Van Den Hoogen, A. M. T. Boerbooms, A. J. G. Swaak,* J. J. Rasker,T H. J. J. Van


Uerj And L. B. A. Van De Putte

Brit J Rheumatol 1996;35:364-72

Dalam penelitian ini, metotreksat (MTX) dibandingkan dengan plasebo dalam pengobatan
sistemik sklerosis (skleroderma, SSc) dalam 24 minggu penelitian acak, double-blind, diikuti
oleh penelitian observasional selama 24 minggu. Sebanyak dua puluh sembilan pasien
skleroderma mendapat suntikan mingguan baik 15 mg MTX atau plasebo. Pasien yang
memiliki respons baik selama 24 minggu dilanjutkan dengan rejimen yang sama untuk 24
minggu kemudian. Pasien yang menunjukkan respons buruk pada pemberian plasebo
mendapatkan perawatan lebih lanjut dengan mendapat 15 mg MTX per minggu dan pasien
yang memiliki respons buruk terhadap pengobatan dengan 15 mg MTX mingguan diberikan
dosis yang lebih tinggi, yaitu 25 mg MTX per minggu. Respons yang baik didefinisikan
sebagai peningkatan skor total kulit (STK) sebanyak ≥ 30%, peningkatan kapasitas diffusion
capacity carbon monoxide (DLCO) ≥ 15%, atau dari skor visual analogue scale (VAS) ≥ 30%,
asalkan perbaikan tersebut tidak disertai dengan adanya ulserasi persisten pada jari atau
memburuknya DLCO ≥ 15%.
Sebanyak tujuh belas pasien mendapat terapi MTX dan 12 pasien diobati dengan plasebo.
Setelah 24 minggu, terdapat jumlah besar yang signifikan pada pasien yang mendapatkan
MTX (n = 8,53%) dan menyelesaikan 24 minggu pertama berespons baik dibandingkan
dengan pasien yang mendapat plasebo. (n = 1, 10% P = 0.03). Perbandingan variabel terpisah
antara kedua kelompok perlakuan dengan analisis intention-to-treat pada minggu
menunjukkan perbaikan STK (P = 0,06) dan kadar kreatinin (P = 0,07) pada kelompok MTX.
Pada minggu ke-48, sebanyak 13 pasien menerima MTX mulai dari awal penelitian dimulai
dan 9 pasien selama 24 minggu. Dari 22 pasien tersebut, 15 pasien (68%) memiliki respons
baik dan bila dibandingkan dengan awal penelitian menunjukkan perbaikan signifikan dari
STK (P = 0,04), VAS (P = 0,02), kekuatan genggaman tangan kanan (P = 0,02) dan
erythrocyte sedimentation rate (ESR) (P = 0,01). Meskipun jumlah pasien yang terdaftar
dalam penelitian ini adalah kecil, hasil ini menunjukkan bahwa pemberian dosis rendah MTX
dalam kelompok pasien dengan sklerosis sistemik aktif tampak lebih efektif dibandingkan
plasebo menurut kriteria respons yang telah ditentukan.

Apakah hasil dari studi tentang aspek terapi ini valid ?


1. Apakah alokasi pasien terhadap terapi pada penelitian ini dilakukan secara
acak? Apakah daftar randomisasi ini disembunyikan (terhadap dokter yang
terlibat dalam penelitian, penentuan pasien secara random)? Apakah pada Ya
makalah tersebut penjelasan pengambilan sampel secara acak dijelaskan
secara rinci dan lengkap?
2. Apakah pengamatan pasien dilakukan cukup panjang dan lengkap? Ya
3. Apakah semua pasien dalam kelompok yang diacak, dianalisis (bila drop Ya
out terlalu besar, ≥20%, dilakukan intention to treat analysis dengan

6
mengambil skenario terburuk) ?
4. Apakah pasien dan dokter tetap blind dalam melakukan terapi yang Ya
diberikan?
5. Apakah semua kelompok diperlakukan sama, selain dari terapi yang diuji? Ya
6. Apakah kelompok terapi dan kontrol sama/mirip pada awal studi (biasanya Ya
ditunjukkan dalam tampilan data dasar)?

Apakah bukti tentang aspek terapi yang valid ini penting?


1. Seberapa tepat estimasi dari pengaruh terapi ? p<0,05
Rentang Kepercayaan (CI)%? Nilai P?

Apakah kita dapat menerapkan bukti tentang terapi yang valid dan penting ini
kepada pasien kita?
1. Apakah pada pasien kita terdapat perbedaan bila dibanding dengan yang
Ya
terdapat pada penelitian sehingga hasil penelitian tersebut tidak dapat
diterapkan pada pasien kita ?
2. Apakah terapi tersebut mungkin dapat diterapkan pada pasien kita ? Ya
3. Apakah pasien kita mempunyai potensi yang menguntungkan atau Menguntungkan
merugikan bila terapi tersebut diterapkan?
Simpulan :
Valid, penting, dapat diterapkan pada pasien kita

Hasil penelusuran jurnal (2) (level of evidence: 2b)

Mycophenolate mofetil in diffuse cutaneous systemic sclerosis—a retrospective analysis


S. I. Nihtyanova, G. M. Brough, C. M. Black and C. P. Denton
Rheumatology 2007;46:442–445
Tujuan
Peneliti menilai mengenai indikasi, durasi dan toleransi terapi dengan mikofenolat mofetil
(MMF) pada pasien dengan sklerosis sistemik difus (dsSSc), dan membandingkan hasil
klinisnya dengan kontrol kohort diobati dengan obat imunosupresif lainnya.
Metode
Catatan klinis dari 109 pasien yang diobati dengan MMF dan 63 kontrol yang menerima obat
imunosupresif lainnya ditinjau. Data mencakup periode 5 tahun dari dimulainya pengobatan
atau sampai tanggal penilaian terakhir dikumpulkan.
Hasil
MMF dan kelompok kontrol yang cocok dalam hal dasar parameter demografi dan klinis.
Pengobatan dengan MMF sangat baik ditoleransi. Dari semua pasien, 12% mengalami efek
samping gangguan saluran gastrointestinal dan infeksi yang paling sering. Mikrofenolat
mofetil dihentikan karena penyakit menetap sebanyak 9%, terjadi efek samping sebanyak 8%
dan tidak berpengaruh pada aktivitas penyakit sebanyak 14%. Terdapat frekuensi yang secara
signifikan lebih rendah dari fibrosis paru klinis pada kelompok yang mendapatkan MMF
(P1/40.037) dan secara signifikan memiliki 5-years survival rate yang lebih baik dari onset
penyakit dan dari pelaksanaan pengobatan (masing-masing P1/40.027 dan P1/40.012). Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam hal modifikasi skor kulit
Rodnan dan perubahan forced vital capacity (FVC).

7
Kesimpulan
MMF sangat baik ditoleransi dan tampaknya sama efektifnya dengan terapi saat lain untuk
dcSSc. Hasil kami memberikan dukungan untuk evaluasi lebih lanjut dari MMF dalam
penelitian prospektif.

Apakah hasil dari studi tentang aspek terapi ini valid ?


1. Apakah alokasi pasien terhadap terapi pada penelitian ini dilakukan secara
acak? Apakah daftar randomisasi ini disembunyikan (terhadap dokter yang
terlibat dalam penelitian, penentuan pasien secara random)? Apakah pada Tidak
makalah tersebut penjelasan pengambilan sampel secara acak dijelaskan
secara rinci dan lengkap?
2. Apakah pengamatan pasien dilakukan cukup panjang dan lengkap? Tidak
3. Apakah semua pasien dalam kelompok yang diacak, dianalisis (bila drop out
terlalu besar, ≥20%, dilakukan intention to treat analysis dengan mengambil Tidak
skenario terburuk) ?
4. Apakah pasien dan dokter tetap blind dalam melakukan terapi yang Tidak
diberikan?
5. Apakah semua kelompok diperlakukan sama, selain dari terapi yang diuji? Ya
6. Apakah kelompok terapi dan kontrol sama/mirip pada awal studi (biasanya Ya
ditunjukkan dalam tampilan data dasar)?

Apakah bukti tentang aspek terapi yang valid ini penting?


1. Seberapa tepat estimasi dari pengaruh terapi ? p<0,05
Rentang Kepercayaan (CI)%? Nilai P?

Apakah kita dapat menerapkan bukti tentang terapi yang valid dan penting ini
kepada pasien kita?
1. Apakah pada pasien kita terdapat perbedaan bila dibanding dengan yang
Ya
terdapat pada penelitian sehingga hasil penelitian tersebut tidak dapat
diterapkan pada pasien kita ?
2. Apakah terapi tersebut mungkin dapat diterapkan pada pasien kita ? Ya
3. Apakah pasien kita mempunyai potensi yang menguntungkan atau Menguntungkan
merugikan bila terapi tersebut diterapkan?
Simpulan :
Tidak valid, penting, dapat diterapkan pada pasien kita

8
Aplikasi pada Masalah Klinis
Permasalahan yang diangkat pada pasien ini adalah pilihan terapi imunosupresan yang efektif
sebagai terapi pada anak dengan sklerosis sistemik?
Sampai saat ini terapi efektif untuk sklerosis sistemik masih belum seragam dan menjadi
tantangan tersendiri bagi para ahli rheumatologi. Tatalaksana ditujukan untuk suportif umum
dan untuk mengontrol proses penyakit yang mendasari dan mencegah komplikasi seperti
fibrosis, kelainan imunologi dan vaskulopati.6 Terapi suportif berupa edukasi pasien dan
keluarga untuk menghindari trauma fisik, suhu dingin maupun paparan sinar matahari yang
berlebihan.6 Terapi pada sklerosis sistemik diberikan berdasarkan gejala dan berfokus pada
manifestasi klinis dan sesuai dengan organ yang terkena (Tabel 1).6 EULAR Scleroderma
Trials and Research (EUSTAR) membuat suatu rekomendasi berbasis bukti yang dapat
digunakan dalam praktek klinis.6,8 (level of evidence 2c)

Tabel 1 Pendekatan Terapi Sklerosis Sistemik pada Anak


Terapi suportif Menghindari dingin dan
trauma fisik dengan berpakaian
yang sesuai, mencegah paparan
matahari dan panas berlebihan.
Emolien, program rehabilitasi
untuk mencegah kontraktur.
dukungan kelompok
Terapi berdasarkan Fenomena Raynaud Penghambat kanal kalsium, Ilolprost, sildenafil
keterlibatan organ Luka di ujung jari Penghambat kanal kalsium, Ilolprost, bosenian
Fibrosing alveolitis Siklofosfamid, kortikosteroid
Hipertensi arteri pulmonal Bosentan, sitaxsentan, sildenafil, prostanoids
Refluks gastroesofageal Proton pump inhibitor, prokinetik
Penyakit Midgut Antibiotik
Keterlibatan musculoskeletal Kortikosteroid dosis rendah, Metotreksat
Penyakit ginjal ACE inhibitor
Keterlibatan kulit Metotreksat, Mikofenolat mofetil
Sumber: Cassidy6

Pilihan terapi imunosupresan untuk sklerosis sistemik dengan keterlibatan kulit dan
muskuloskeletal adalah metotreksat (MTX) atau mikofenolat mofetil (MMF).6 Metotreksat
merupakan antimetabolit yang secara struktural terkait dengan senyawa sel yang berada di
dalam sel. Metotreksat berhubungan secara struktural dengan asam folat dan bekerja sebagai
antagonis vitamin tersebut dengan menghambat dihidrofolat reduktase (DHFR). Metotreksat
memasuki sel melalui transport aktif, dan memiliki afinitas yang sangat kuat untuk DHFR
dan menghambat enzim tersebut secara efektif. Metotreksat menjadi bentuk di-poliglutamat

9
dalam sel dan menghambat sel koenzim folat, menyebabkan penurunan produksi senyawa
yang bergantung pada koenzim ini untuk biosintesisnya. Hal ini menyebabkan penurunan
sintesis DNA, RNA, protein dan pada akhirnya terjadi kematian sel.9 Efek samping yang
ditimbulkan adalah berupa mual, muntah, dan diare. Selain itu juga MTX dapat menyebabkan
stomatitis, mielosupresi, eritema, ruam, urtikaria dan alopesia. Pemberian dosis tinggi dapat
menyebabkan kerusakan ginjal.9
Metotreksat mungkin bermanfaat dalam mengobati dcSSc. Namun efek MTX ini tidak
muncul pada fibroblas, sehingga mekanisme kerjanya pada dcSSc tidak diketahui. Penelitian
pengobatan sklerosis sistemik belum ditemukan pada anak, hingga saat ini penelitian yang
ada adalah pada dewasa, terdapat 2 kasus yang berhasil diterapi dengan MTX pada populasi
dewasa.2
Van den Hoogen dkk melakukan penelitian randomized double-blind selama 24 minggu,
terhadap 29 pasien menemukan bahwa dosis rendah MTX 15 mg/minggu lebih efektif
dibanding plasebo, dapat mengurangi penebalan kulit dan meningkatkan keadaan umum,
pada penelitian ini tidak ditemukan kerusakan organ dalam setelah 48 minggu penggunaan.10
(level of evidence: level 1b)
Penelitian multisenter yang lain adalah double-blind, plasebo terkontrol pada kelompok
usia dewasa yang menyimpulkan bahwa pemberian MTX 10 mg/minggu pada 25 pasien dan
17,5 mg/minggu pada 11 pasien tidak efektif untuk terapi pada dcSSc awal. 11 (level of
evidence: level 2c)
Beberapa obat tidak memiliki lisensi untuk digunakan pada anak atau digunakan pada
anak di luar indikasi berlisensi, dan MMF adalah salah satu obat yang masuk kategori ini.12
Mikofenolat mofetil merupakan antimetabolit imunosupresif, obat ini dihidrolisis secara
cepat dalam saluran cerna menjadi suatu asam mikofenolat (MPA) yang merupakan
penghambat nonkompetitif inosin monofosfat dehidrogenase yang reversibel dan kuat. Oleh
sebab itu, MMF dapat menghambat proliferasi sel T dan B dengan cepat dari suatu komponen
kunci asam nukleat, juga menghambat proliferasi sel otot polos dan fibroblas.9,13 Asam
mikofenolat diabsorbsi secara cepat dan hampir sepenuhnya pada pemberian peroral. Efek
samping yang paling sering adalah diare, mual, muntah, nyeri perut, leukopenia dan anemia.9
Saat ini MMF secara luas digunakan pada pasien sklerosis sistemik dengan keterlibatan
kulit atau paru-paru pada dewasa. Omair dkk melakukan suatu systematic review terhadap
keamanan dan efektivitas penggunaan MMF pada sklerosis sistemik dewasa, data
observasional menyebutkan bahwa MMF aman digunakan dan mungkin memiliki modalitas

10
terapi yang efektif untuk mengatasi penebalan kulit atau keterlibatan paru-paru yang
progresif.14 (level of evidence 2c)
Penggunaan MMF berlisensi untuk anak di Inggris diindikasikan hanya untuk pasien
transplantasi ginjal, dengan usia di atas 2 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, MMF dapat
diberikan 3 bulan lebih muda dari usia yang terdapat pada label. Penelitian awal yang
dilakukan Antoniadis dkk pada tahun 1998, menunjukkan bahwa MMF baik ditoleransi anak
usia 4–12 tahun untuk terapi rejeksi akut transplantasi dalam penggunaannya bersama
siklosporin dan steroid.12 (Kelas IIa, level of evidence B)
Penelitian penggunaan MMF pada anak dilakukan oleh Martini dkk yang mengevaluasi
efikasi penggunaan MMF pada terapi skleroderma lokal, penelitian ini merupakan penelitian
multisenter, retrospektif, pada 10 anak berusia 2–16 tahun yang mengalami resistensi
terhadap MTX, dari penelitian ini didapatkan MMF dapat digunakan sebagai alternatif terapi
pada kasus scleroderma lokal yang berat atau yang mengalami resistensi MTX, belum
terdapat penelitian pada anak yang meneliti mengenai efek MMF terhadap sklerosis
sistemik.13 (level of evidence 2b)

SIMPULAN
Pada EBCR ini dilaporkan kasus sklerosis sistemik dengan Raynaud’s Phenomenon yang
disertai trombositopenia pada seorang anak perempuan, 13 tahun 10 bulan. Telah dilakukan
pemberian imunosupresan metotreksat disamping pemberian steroid dan vasodilator, hingga
saat ini masih dilakukan pemantauan efek terapi dan efek samping terapi. Penderita dilakukan
pemantauan laboratorium untuk menilai efek samping terapi terhadap supresi sumsum tulang
di kemudian hari.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi imunosupresi penggunaan metotreksat
atau mikofenolat mofetil sebagai salah satu pilihan tatalaksana sklerosis sistemik pada anak.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Shanmugam VK, Steen VD. Renal manifestations in scleroderma: evidence for


subclinical renal disease as a marker of vasculopathy. International Journal of
Rheumatology. 2010:1–8.
2. Rosenkranz ME, Agle LMA, Efthimiou P, Lehman TJA. Systemic and localized
scleroderma in children current and future treatment options. Pediatr Drugs.
2006;8(2):85–97.
3. Torok KS. Pediatric scleroderma - systemic and localized forms. Pediatr Clin North
Am. 2012;59(2):381–405
4. Zulian F, Cuffaro G, Sperotto F. Scleroderma in children: an update. Curr Opin
Rheumatol. 2013;25:643–50.
5. Mater HAV, Rabinovich CE. Scleroderma and Raynaud Phenomenon. In: Kliegman
RM, Stanton BF, III JWSG, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 1189–90.
6. Zulian F, Cassidy JT. The systemic sclerodermas and related disorder. In: Cassidy JT,
Petty RE, Laxer RM, Lindsley CB, editors. Textbook of pediatric rheumatology. 6th ed.
Philadelphia: Saunders; 2011. p. 414–37.
7. Furst DE. Rational therapy in the treatment of systemic sclerosis. Curr Opin
Rheumatol. 2000;12:540–44.
8. Kowal-Bielecka O, Landewe R, Avouac J, Chwiesko S, Miniati I, Czirjak L. EULAR
recommendations for the treatment of systemic sclerosis: a report from the EULAR
scleroderma trials and research group (EUSTAR). Ann Rheum Dis. 2009;68:620–8.
9. Harvey RA, Champe PC. Imunosupresan. In: Harvey RA, Champe PC, editors.
Farmakologi ulasan bergambar. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010. p. 550–3.
10. Hoogen FHJVD, Boerbooms AMT, Swaak AJG, Rasker JJ, Lier HJJV, Putte LBAVd.
Comparison of methotrexate with placebo in the treatment of systemic sclerosis: a 24
week randomized double-blind trial, followed by a 24 week observational trial. British
Journal of Rheumatology. 1996;35:364–72.
11. Pope JE, Bellamy N, Seibold JR, Baron M, Ellman M, Carette S. A randomized,
controlled trial of methotrexate versus placebo in early diffuse scleroderma. American
college of rheumatology. 2001;44(6):1351–8.

12
12. Downing HJ, Pirmohamed M, Beresford MW, Smyth RL. Paediatric use of
mycophenolat mofetil. Br J Clin Pharmacol. 2012;75(1):45–59.
13. Martini G, Ramanan AV, Falcini F, Girschick H, Goldsmith DP, Zulian F. Successful
treatment of severe or methotrexate-resistant juvenile localized scleroderma with
mycophenolate mofetil. Rheumatol. 2009:1–4.
14. Omair MA, Alahmadi A, Johnson SR. Safety and effectiveness of mycophenolate in
systemic sclerosis. A Systematic Review. Plos One 2015;10(5):1–13.

13

Anda mungkin juga menyukai