Disusun Oleh:
dr. Zayyan Misykati Razdiq
Pendamping:
dr. Richard Sabar Nelson Siahaan, M. Si., MARS
Identitas Pasien
Nama : Tn. LS
Tanggal lahir : 29 Mei 1960
Usia : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk RS : 21 Oktober 2022
Anamnesis (Alloanamnesis)
Pasien datang dengan muncul kemerahan di seluruh tubuh dan disertai bengkak sejak
3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat berobat ke dokter urologi dengan
keluhan pembesaran skrotum dan diberikan pengobatan berupa Cefixime dan Sodium
Diclofenac, namun muncul keluhan gatal-gatal sehingga diganti menjadi Levofloxacin dan
ternyata masih muncul gatal pada seluruh tubuh.
Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus yang terkontrol dengan obat
Glimepiride dan riwayat Hipertensi yang terkontrol menggunakan obat Amlodipin dan
Captopril. Riwayat Penyakit Jantung , dan penyakit lainnya disangkal oleh keluarga pasien.
Pemeriksaan Fisik
Abdomen:
Datar, supel
Defans muscular (-)
Bising usus dalam batas normal
Nyeri tekan (-)
Edema pitting (-)
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas:
Akral hangat
Akrasianosis (-)
Edema pitting (-)
Clubbing finger (-)
Drug Eruption dd/ Epidermolisis Generalisata dd/ Susp. Steven Johnson Syndrome
Rencana Terapi
Laboratorium
Kimia Klinik
Ureum 31 mg/dl 20-40
Kreatinin 0,73 mg/dl 0,5-1,5
eGFR 88 mL/mnt/1,73 90-120
Elektrolit
Natrium (Na) 141 mmol/L 135-145
Kalium (K) 3,7 mmol/L 3,5-5.0
Clorida (Cl) 104 mmol/L 94-111
PCR COVID-19 Negatif Negatif
TINJAUAN PUSTAKA
NEKROLISIS EPIDERMAL
Definisi
Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis
Epidermal Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai
dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif.Kedua kondisi ini digolongkan
sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan
histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area
permukaan kulit yang terkena.1,2
Kriteria Diagnostik
Klinis
Anamnesis
Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.1,3
Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka
(erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.1,3
Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera, beberapa saat
atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).1
Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus) 1,3,
imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.1,2
Pemeriksaan fisik
SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.3
Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta kehitaman,
kadang purpura, dan epidermolisis.1-3 Tanda Nikolsky positif.3
Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema,
erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa
konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi
hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan
genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).1-3
Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam
seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan
batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau
perforasi kolon.1,3
Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas
(epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-30%), dan
NET (>30%).1-5 (B,2)
Diagnosis Banding:1,3
1. Eritema multiforme major (EEM)
2. Pemfigus vulgaris
3. Mucous membrane pemphigoid
4. Pemfigoid bulosa
5. Pemfigus paraneoplastik
6. Bullous lupus erythematosus
7. Linear IgA dermatosis
8. Generalized bullous fixed drug eruption
9. Bullous acute graft-versus-host disease
10. Staphylococcal scalded skin syndrome
11. Acute generalized exanthematous pustulosis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis, tetapi untuk
evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang mengancam jiwa.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi hematologi rutin, urea serum, analisis gas
darah, dan gula darah sewaktu.1-3,6
2. Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut.3
3. Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis meragukan.1,3
4. Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang
dengan:
Uji tempel tertutup7,8
Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA) dapat
digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi
pencetus.6Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan.3
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.2-4,9
. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah
infeksi sekunder.3,9
. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun nasogastrik.3,9
Medikamentosa
1. Prinsip
Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.1,3
Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk
mencegah hospital associated infections (HAIs).3,9
Atasi keadaan yang mengancam jiwa.2-4
2. TopikalTerapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak, infeksi
mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.3 Penanganan lesi kulit dapat
secara konservatif maupun pembedahan (debrideman).3,9
Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan 50% cairan
parafin. 3,9
Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata.3,9,10
3. Sistemik
Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan dosis setara prednison 1-4
mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari
11
untuk NET.
Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, dan jika
nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol.3
Pilihan lain:
Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan segera setelah pasien
didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari.12,13
Siklosporin dapat diberikan14
Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu
Nilai SCORTEN akan menentukan persentase angka mortalitas pada pasien SSJ atau NET,
yaitu sebagai berikut:
0-1: 3,2%
2 : 12,1%
3 : 35,8%
4 : 58,3%
5 :90%
Penilaian SCORTEN, paling baik dilakukan pada 24 jam pertama dan hari ke- 5.3,13,16
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam: ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Bagan Alur
DAFTAR PUSTAKA
1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A,
Leffel D, editors. Fitzpatrick‟s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New
York: McGraw-Hill 2012.h.439- 448.
2. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Steven-Johnson syndrome.
Orphanet J Rare Dis. 2010;5:39.
3. Creamer D, Walsh SA, Dziewulski P, et al. UK guidelines for the management of
Stevens- Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. Br J Dermatol.
2016;174:pp1194- 1227.
4. Magana BRD, Langner AL, et al. A systematic review of treatment of drug-induced
Steven- Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in children. J Popul Ther
Clin Pharmacol. 2011;18(1):e121-e133.
5. Kannenberg SMH, Jordaan H, Koegelenberg C, Groote-Bidlingmaier V, Visser W.
Toxic epidermal necrolysis and Stevens–Johnson syndrome in South Africa: a 3-year
prospective study. QJM: An International Journal of Medicine. 2012;105(9):839-46.
6. Polak ME, Belgi G, McGuire C et al. In vitro diagnostic assays are effective during
the acute phase of delayedtype drug hypersensitivity reactions. Br J Dermatol 2013;
168:539–49.
7. Barbaud A, Collet E, Milpied B et al. A multicentre study to determine the value and
safety of drug patch tests for the three main classes of severe cutaneous adverse drug
reactions. Br J Dermatol 2013; 168:555–62.
8. Wolkenstein P, Chosidow O, Fl echet ML et al. Patch testing in severe cutaneous
adverse drug reactions, including Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Contact Dermatitis 1996; 35:234–6.
9. Rajaratnam R, Mann C, Balasubramaniam P, Marsden J, Taibjee S, Shah F, et al.
Toxic epidermal necrolysis: retrospective analysis of 21 consecutive cases managed at
a tertiary centre. Clin Exp Dermatol. 2010;35(8):853-62.
10. Sotozono C, Ueta M, Koizumi N, Inatomi T, Shirakata Y, Ikezawa Z, et al. Diagnosis
and treatment of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis with
ocular complications. Ophthalmology. 2009;116(4):685-90.
11. Suwarsa O, Yuwita W, Dharmadji HP, Sutedja E. Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia
from 2009- 2013. Asian. Pac. J. Allergy Immunol. 2016.
12. Prins C, Kerdel FA, Padilla S, et al. Treatment of toxic epidermal necrolysis with
high-dose intravenous immunoglobulins: multicenter retrospective analysis of 48
consecutive cases. Arch Dermatol. 2003;139:26-32.
13. Lee HY, Lim YL, Thirumoorthy T et al. The role of intravenous immunoglobulin in
toxic epidermal necrolysis: a retrospective analysis of 64 patients managed in a
specialized centre. Br J Dermatol. 2013; 169:1304–9.
14. Valeyrie-Allanore L, Wolkenstein P, Brochard L et al. Open trial of ciclosporin
treatment for Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Br J
Dermatol 2010; 163:847–53.
15. Ye L, Zhang C, Zhu Q. The effect of intravenous immunoglobulin combined with
corticosteroid on the progression of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis: a meta- analysis. PLos One. 2016;1-17.
16. Guegan S, Bastuji-Garin S, Poszepczynska-Guigne et al. Performance of the
SCORTEN during the first five days of hospitalization to predict the prognosis of
epidermal necrolysis. J. Invest. Dermatol. 2006;126:272-276.