Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)


adalah penyakit reaksi mukokutaneus akut yang mengancam nyawa berupa
nekrosis masif disertai pengelupasan epidermis dan mukosa epitelium. 1 SJS adalah
penyakit yang jarang ditemui dan termasuk ke dalam kasus emergensi dermatologi
dengan karakteristik berupa nekrosis epidermal dan pengelupasan kulit yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang mengenai kulit dan membran mukosa.
SJS umumnya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan dan pada kasus tertentu
dapat pula disebabkan oleh infeksi2,3 Reaksi hipersensitivitas yang terjadi
merupakan reaksi hipersensitivitas IV yang dimediasi oleh efek imunologi.
Stevens-Johnson syndrome memiliki patologi yang sama dengan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN) dan dibedakan berdasarkan luas area permukaan tubuh yang
mengalami perlukaan. Luas area permukaan tubuh untuk SJS yaitu <10%, SJS/TEN
overlap 10%-30%, dan TEN >30%.4

Diestimasikan bahwa tingkat insidensi SJS secara global mencapai 0,5-1,4


per 1 juta penduduk.5 Temuan lainnya didapatkan bahwa terdapat 9,2 kasus SJS
sejak 2009-2013 per 1 juta orang dewasa di Amerika Serikat. Laporan lainnya yaitu
sejak 1995-2013 terdapat 5,76 kasus SJS ataupun TEN per 1 juta penduduk di UK
per tahun. Rasio penderita SJS antara pria dan wanita yaitu 1:1,5 dengan tingkat
mortalitas SJS yaitu 4,8%-9%.2 Pada laporan lainnya didapatkan bahwa tingkat
mortalitas SJS mencapai 5%-10%. Orang asia 2 kali lebih beresiko mengalami SJS
dibandingkan ras kaukasia.4

Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus SJS diakibatkan oleh


disregulasi imunitas seluler, yang disebabkan oleh pelepasan beragam sinyal
sitotoksik termasuk granulisin, perforin/granzyme B, dan Fas/Fas ligand yang
diaktivasi oleh lomfosit T dan natural killer cells. Reaksi hipersensitivitas ini
berdampak pada kulit dan membran mukosa yang mengakibatkan kematian sel atau
apoptosis sel.4,6 Jenis obat manapun dapat memicu reaksi obat dan berakhir menjadi
SJS, dan umumnya obat-obatan tersebut berasal dari golongan penisilin,
2

sulfonamide, antikonvulsan, NSAID, fluoroquinolon, dan angiotensin converting


enzyme inhibitor.7 Gejala klinis SJS pada tahap prodromal berupa demam, malaise,
nyeri tenggorokan, dan batuk, diikuti dengan timbulnya makula eritematus atau lesi
target atipikal pada regio trunk yang berprogres menjadi lesi eritem konfluens
disertai vesikel dengan Nikolsky sign positif. Timbulnya mukositis dan ulserasi
pada oral ditemui pada 100% kasus SJS. 2

Penghentian penggunaan obat pemicu reaksi merupakan kunci utama


tatalaksana SJS. Menjaga suhu tubuh pada temperatur 31°C -32°C, keseimbangan
cairan elektrolit, dan menjaga lingkungan aseptik merupakan tatalaksana yang tidak
kalah penting. Oral steroid diberikan pada 24-48 jam pertama sejak onset penyakit
dan di tapering off setelah 7-10 hari. Dexamethasone 8-16 mg/hari
direkomendasikan dan dosisnya dapat dinaikkan bila diperlukan. Penggunaan
cyclosporine direkomendasikan pada pasien SJS sebagai immunomodulator. Secara
spesifik cyclosporine menargetkan granulysin, yaitu mediator apoptosis keratinosit
sehingga dapat menghentikkan progresi penyakit. 8
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. MA
Usia : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negri Sipil

Status Pernikahan : Sudah menikah


Alamat : Merduati
Tanggal Pemeriksaan : 01 Juli 2022

Nomor CM : 1-28-88-42
2.2 Anamnesis Keluhan Utama
Lecet dikulit pada bagian tangan, badan, kaki, & genetalia.
Keluhan Tambahan
Perih & keropeng pada bibir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan ruam sejak 1 bulan yang lalu, awalnya ruam
dirasakan pasien hanya sedikit namun lama kelamaan semakin membesar dan
semakin memburuk. Pasien mengatakan awal muncul ruam sejak pasien meminum
obat kejang, pasien sudah meminum obat kejang selama 5 bulan. Pasien juga
mengeluhkan pada bagian bibir adanya rasa seperti melepuh dan sariawan. Pasien
juga mengeluhkan demam sejak 1 bulan yang lalu, demam di rasakan oleh pasien
hilang timbul. Pasien sebelumnya pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu
dikarenakan stroke dan kejang yang dialami pasien. Pasien memiliki penyakit
Hipertensi sejak 8 bulan yang lalu namun terkontrol.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat stroke & kejang sejak 7 bulan yang lalu.
Riwayat Pemakaian Obat :
Pasien mengkonsumsi obat Fenitoin selama 5 bulan 3 kali sehari.
4

Riwayat Kebiasaan Sosial yang Terkait :


Pasien mengkonsumsi jamu namun tidak rutin.
2.3 Pemeriksaan Fisik Kulit Status Dermatologis

Gambar 2.1 Steven Johnson Syndrome

Regio : Facialis
Deskripsi lesi : Tampak krusta kecoklatan berbatas tidak tegas ukuran millier –
gutata, dengan distribusi regional
5

Gambar 2.2 Steven Johnson Syndrome

Regio : Trunk
Deskripsi lesi : Tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan skuama halus,
distribusi universal. Tampak juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan jumlah
multipel, ukuran numular, distribusi regional.
6

Gambar 2.3 Steven Johnson Syndrome

Regio : Brachii dex et sin


Deskripsi lesi : Tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan skuama halus,
distribusi universal.
7

Gambar 2.4 Steven Johnson Syndrome

Regio : Dorso pedis


Deskripsi lesi : Tampak plak eritematosa dengan skuama halus ukuran millier-
plakat, distribusi regional.
2.4 Diagnosis Banding
1. Steven Johnson Syndrome
2. Eritema Multiformis
3. Generalised bullous fixed drug eruption (GBFDE)
4. Pemfigus Vulgaris
5. Eritoderma
2.5 Pemeriksaan Penunjang

TANGGAL
PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
1/07/2022
HEMATOLOGI
Hb 14,0-17,0gr/dl 9,0 gr/dL
Ht 45-55% 28%
8

Leukosit 4,5-10.5 103/mm3 21,03 sel /mm3


Trombosit 150-450 103/mm3 488.000 sel /mm3
KIMIA KLINIK

Natrium (Na) 132-146 mmol/L 132mmol/L


Kalium (K) 3,7-5,4 mmol/L 4,70mmol/L
Clorida (Cl) 98-106 mmol/L 105 mmol/L
Kalsium (Ca) 8,6-10,3 mg/dL 7,9 mg/dL
Ureum 13-43 mg/dL 88 mg/dL
Kreatinin 0,51-0,95 2,01 mg/dL
Hb-A1c <6,5% 5,60%
GDS <200 mg/dL 36 mg/dL
Eosinofil 0-6% 10 %
Basofil 0-2% 1%
Netrofil Batang 2-6% 0
Netrofil Segmen 50-70% 69%
Limfosit 20-40% 10%
Monosit 2-8% 10%

SGOT < 35 U/L 46 U/L

SGPT <45 U/L 66 U/L

2.6 Resume
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien Tn. MA berusia 49 tahun di RSUDZA
dengan keluhan ruam sejak 1 bulan yang lalu, awalnya ruam hanya sedikit namun
lama kelamaan semakin membesar dan memburuk. ruam awal mucul sejak pasien
meminum obat kejang, pasien sudah meminum obat kejang selama 5 bulan. Pasien
juga mengeluhkan pada bagian bibir seperti melepuh dan sariawan. Status
dermatologis pada regio facialis tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan
skuama halus, distribusi universal. Pada regio trunk & brachii tampak lesi primer
berupa patch hiperpigmentasi dengan skuama halus, distribusi universal. Tampak
juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan jumlah multipel, ukuran numular,
distribusi regional. Pada regio dorso pedis tampak plak eritematosa dengan
9

skuama halus ukuran millier-plakat, distribusi regional.


2.7 Diagnosis Klinis
Steven Johnson Syndrome
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana Awal
1. Sistemik
IV Metilprednisolon 62,5 mg/24 J
2. Topikal
- Tyamisin 2 % + Desoksimetasone Ointment + Vaselin album 60 g/12 j
- Mupirocin 10 g Cream/12 j
Tatalaksana Lanjutan
1. Sistemik
IV Metilprednisolon 32 mg/24 j
2. Topikal
- Nystatin Drops 12 ml 1cc/8 j (oral tetes)
- Asam salisilat 3% + Desonide oint + Vaselin album 60 g/ 24 j (pagi)
2.9 Edukasi
- Jelaskan mengenai penyakit dan tatalaksana yang akan diberikan pada
pasien.
- Gunakan obat-obatan sesuai dengan aturan pakai.
- Hindari obat pencetus alergi.

2.10 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
10

2.11 Follow Up Pasien


Tabel 2.1 Follow Up Pasien

No Regio Efluresensi Foto


1 04 Juli 2022 Pukul 16.00 WIB
Facialis Tampak krusta
kecoklatan berbatas
tidak tegas ukuran
millier – gutata,
dengan distribusi
regional

Trunk & Brachii Tampak lesi primer


patch
dex et sin
hiperpigmentasi
ukuran millier-
plakat, distribusi
universal.

Cruris dex et sin Tampak lesi primer


patch
hiperpigmentasi
ukuran millier-
plakat, distribusi
universal. Tampak
juga lesi sekunder
yaitu berupa erosi
dengan jumlah
soliter, ukuran
numular, distribusi
regional.
11

2 05 Juli 2022 Pukul 16.00 WIB


Trunk & Brachii Tampak lesi primer
patch
hiperpigmentasi
ukuran millier-
plakat, distribusi
universal.
Cruris dex et sin Tampak lesi
primer patch
hiperpigmentasi
ukuran millier-
plakat, distribusi
universal. Tampak
juga lesi sekunder
yaitu berupa erosi
dengan jumlah
soliter, ukuran
numular,
distribusi
regional.
3 06 Juli 2022 Tampak lesi
Cruris dex et sin
primer patch
hiperpigmentasi
dengan skuama
halus ukuran
millier-plakat,
distribusi
generalisata.
Tampak juga lesi
sekunder yaitu
berupa erosi
dengan jumlah
12

soliter, ukuran
numular,
distribusi
regional.

Trunk Tampak lesi


primer patch
hiperpigmentasi
dengan skuama
halus ukuran
millier-gutata,
distribusi
generalisata.
Tampak juga lesi
sekunder yaitu
berupa erosi
dengan jumlah
soliter, ukuran
numular,
distribusi
regional.
4. 07 Juli 2022 Tampak lesi
Brachii dex et sin
primer patch
hiperpigmentasi
ukuran millier-
plakat, distribusi
generalisata.
13

Cruris dex et sin Tampak lesi


primer patch
hiperpigmentasi
dengan skuama
halus ukuran
millier-plakat,
distribusi
generalisata.
Tampak juga lesi
sekunder yaitu
berupa erosi
dengan jumlah
multipel, ukuran
numular,
distribusi
regional.
14

BAB III
ANALISIS KASUS

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang telah dilakukan


terhadap pasien laki-laki berusia 49 tahun di ruang rawat inap Nabawi pada 1 Juli
2022 dan follow up kondisi pasien sampai tanggal 5 Juli 2022.

Berdasarkan anamnesis, pasien dengan keluhan utama ruam merah sejak 1


bulan yang lalu, awalnya ruam merah dirasakan pasien hanya sedikit namun lama
kelamaan semakin membesar dan memburuk sejak 1 hari yang lalu, ruam merah
dirasakan seperti melepuh. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah demam,
malaise dan bengkak pada mata. Pasien juga mengeluhkan pada bagian bibir seperti
melepuh dan sariawan Pasien memiliki riwayat stroke & kejang sejak 7 bulan yang
lalu, pasien mengatakan awal mucul ruam merah sejak pasien meminum obat
kejang, pasien sudah meminum obat kejang selama 5 bulan.. Pasien sebelumnya
pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu dikarenakan stroke dan kejang
yang dialami pasien

Keluhan yang dirasakan pasien menunjukkan gejala yang timbul pada


pasien dengan kelainan Sindrom Steven Johnson (SSJ). Stevens-Johnson syndrome
(SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah penyakit reaksi mukokutaneus
akut yang mengancam nyawa berupa nekrosis masif disertai pengelupasan
epidermis dan mukosa epitelium.1 SSJ adalah kumpulan gejala yang mengenai
kulit, selaput lender orifisium , dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan hingga berat; kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura.9’10 Umumnya SSJ disertai gejala sistemik antara lain gejala prodromal
berupa demam, nyeri tenggorokan dan lemas, kemudian timbul makula eritematosa
yang akan menjadi lesi lepuh berdinding kendur dan akhirnya terjadi pengelupasan
epidermis.11 Jika mengenai mukosa akan terjadi kerusakan mukosa permanen
seperti sinekia, ulkus kornea, symblepharon dan xeropthalmia. 10 Dapat terjadi
komplikasi pada organ paru, intestinal, hati, atau ginjal. SSJ ditandai dengan
lepuhan eksantema makula menyerupai purpura dan menyebar cepat serta
melibatkan mukosa dan kulit. 10
15

Pada pemeriksaan fisik kulit didapatkan lesi pada regio fasialis tampak
krusta kecoklatan berbatas tidak tegas ukuran millier – gutata, dengan distribusi
regional. Pada regio trunk tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan skuama
halus, distribusi universal. Tampak juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan
jumlah multipel, ukuran numular, distribusi regional. Pada regio brachii tampak lesi
primer patch hiperpigmentasi dengan skuama halus, distribusi universal. Pada regio
dorso pedis tampak plak eritematosa dengan skuama halus ukuran millier-plakat,
distribusi regional.

Pada pemeriksaan fisik kulit tidak dapat dilakukan pemeriksaan Nikolsky’s


sign dikarenakan bula di seluruh tubuh sudah pecah. Nikolsky sign dan Asboe
Hansen sign postif menunjukkan adanya nekrosis pada sel keratinosit sehingga
terjadi pelepasan lapisan dermis dan epidermis. 12 Pada SJS tanda Nikolsky positif
ditandai sebesar kurang dari 10% dari total permukaan tubuh. Apabila luas
permukaan tubuh yang terkena lebih dari 30% disebut sebagai Toksik Epidermal
Nekrolisis dan bila luas permukaan tubuh yang terkena 10-30% disebut sebagai SSJ
overlapping TEN.13

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini yaitu berupa


pemeriksaan darah rutin lengkap, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar gula
darah sewaktu. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb-A1c 5,6%,
ureum 88 mg/dL, kreatinin 2,01 mg/dL, SGOT 46 U/L, SGPT 66 U/L, Hb 9,0 gr/dL,
Ht 28%, Leukosit 21,03 sel/ mm3, trombosit 488.000 sel/mm3, eosinophil 10%,
basophil 1%, limfosit 10%, monosit 10%, GDS 36 mg/dL. Pemeriksaan
laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta
untuk penatalaksanaan umum.

Penegakan diagnosis didasarkan pada hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Diagnosa banding pada pasien ini adalah erythema
multiforme, pemphigus vulgaris, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, Generalised
bullous fixed drug eruption, dan eritoderma.
16

Tabel 1. Diagnosa Banding

No Gambar Deskripsi Lesi Diagnosis Definisi Alasan Diagnosis


1 Regio: facialis, trunk, brachii Erythema Erupsi kutan atau Lesi yang muncul di
Lesi: multiforme mukokutan yang bagian mukosa dan
plak eritematosa, papul, krusta, ditandai oleh lesi kulit. Gejala khas ialah
erosi, jumlah multiple, tersebar target, terutama berbentuk iris (target
diskret, konfigurasi konfluens, pada wajah dan lesi).
distribusi generalisata ekstremitas.

2 Regio: trunk Pemphigus Gangguan kronis Ditandai oleh adanya


Lesi: skuama, erosi, jumlah vulgaris pada kulit dan bula berdinding tipis
multiple, lesi konfluens, membrane mukosa dan mudah pecahnyang
distribusi generalisata yang ditandai timbul pada kulit atau
dengan pembetukan membrane mukosa
lepuh maupun di atas dasar
eritematosa. Bula
awalnya jernih namun
17

kemudian menjadi
hemoragik bahkan
seropurulent.
3 Regio: fasialis, trunk, brachii, Staphylococcal Infeksi kulit yang Lesi kulit yang khas
kruris Scalded Skin disebabkan berupa adanya eritema,
Lesi: patch eritema, krusta, Syndrome eksotoksin yang bula, erosi yang
erosi, jumlah multiple, dihasilkan oleh disertai nikolsky sign
distribusi universal bakteri positif.
staphylococcus
aureus
18

4 Regio: fasialis, trunk, brachii, Generalised Varian dari FDE Secara khas lesi
kruris bullous fixed drug yang langka dengan berulang di tempat
Lesi: patch eritema, krusta, eruption melibatkan yang sama setelah
erosi, jumlah multiple, (GBFDE) permukaan tubuh pemberian obat
distribusi generalisata yang signifikan dan penyebab yang sama,
mengancam jiwa dan dicirikan dengan
macula dan bula
multipel berbatas
tegas, bula dalam
berbagai ukuran,
distribusi dapat secara
bilateral dan simetris.
19

5 Regio: fasialis, Eritoderma Kelainan kulit yang ditandai adanya


extremitas, unguium, ditandai adanya eritam yang bersifat
trunk, pedis eritema universalis yang
Lesi: plak eritematosa mencakup 90-100%
scaling, permukaan tubuh
yang berlangsung
dalam beberapa hari
sampai beberapa
minggu.
20

Pasien telah mendapatkan terapi sistemik yaitu injeksi IV Metilprednisolon


62,5 mg/24 jam. Terapi topical yang diberikan yaitu tyamisin 2 % +
desoksimetasone Ointment + vaselin album 60 g/12 jam dan pirotrop 10 g Cr/12
jam.

Pada pasien ini diberikan terapi injeksi IV Metilprednisolon 62,5 mg/24


jam. Pemberian kortikosteroid sistemik ini bertujuan untuk menurukan beratnya
penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan
progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. 14 Pemberian kortikosteroid juga
dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu
sintesa lipocortin, menekan ekspresi molekul adhesi, meregulasi respon imun
melalui down regulation ekpresi gen sitokin.14 Perbaikan klinis ditunjukkan pada
pasien SSJ yang diberikan kortikosteroid sistemik yang sesuai panduan terapi.10
Namun terdapat efek samping penggunaan terapi kortikosteroid dosis tinggi jangka
panjang antara lain diabetes, hipertensi, gangguan gastrointestinal dan
osteoporosis.13 Sehingga setelah masa kritis teratasi, tidak timbul lesi baru dan lesi
lama mengalami involusi, dosisnya dikurangi pada terapi lanjutan yaitu IV
metilprednisolon 32 mg/24 jam.

Terapi lainnya adalah pemberian terapi topikal yaitu yaitu tyamisin 2 % +


desoksimetasone Ointment + vaselin album 60 g/12 jam dan pirotrop 10 g Cr/12
jam. Salep antibiotik (seperti mupirocin) harus diolesikan pada daerah sekitar
lubang telinga, hidung, dan mulut. Antibiotik diberikan sebagai profilaksis pada
penderita SSJ.15 Antibiotik dipilih yang spectrum luas, bakterisidal, nefrotoksik
minimal, jarang menyebabkan alergi, dan tidak segolongan dengan antibiotic yang
diduga menyebabkan alergi.15 Terapi lain yang dilakukan adalah perawatan lesi.
Perawatan kulit difokuskan pada wajah, mulut, area anogenital, lipatan ketiak dan
ruas interdigital.15 Area lesi terutama pada daerah punggung dan yang sering
mendapat tekanan harus dilapisi kasa vaselin album hingga re-epitelisasi terjadi.
Dikarenakan gerakan dapat memicu pelepasan epidermal, mobilitas pasien harus
dikurangi.15
21

1. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Margolis DJ. Fitzpatrick’s Dermatology


9th Edition Vol. I. 9th ed. USA: McGraw-Hill; 2019. 1330 p.

2. Frantz R, Huang S, Are A, Motaparthi K. Stevens–Johnson Syndrome and


Toxic Epidermal Necrolysis: a Review of Diagnosis and Management.
Med. 2021;57(9):1–15.

3. Arora R, Pande RK, Panwar S, Gupta V. Drug-Related Stevens-Johnson


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: a Review. Indian J Crit Care
Med. 2021;25(5):575–9.

4. Yang SC, Hu S, Zhang SZ, Huang JW, Zhang J, Ji C, et al. The


Epidemiology of Stevens-Johnson syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis in China. J Immunol Res. 2018;2018.

5. An I, Harman M, Ibiloglu I. Cyclosporine in Stevens‑Johnson Syndrome


and Toxic Epidermal Necrolysis: Experience from a Tertiary Care Centre
of South Rajasthan. Indian Dermatol Online J. 2020;10(4):481–5.

6. Priyanka G, Goud JA, Susmitha V, Kumar KR. A Review on Steven


Johnsons Syndrome : Hypersensitivity Reaction. IOSR J Pharm.
2019;9(9):18–38.

7. An I, Harman M, Ibiloglu I. a Study of Cutaneous Adverse Drug Reactions


in Tertiary Care Center in Punjab. Indian Dermatol Online J.
2017;10(4):481–5.

8. A K, A D, S D. Management of Stevens-Johnson Syndrome-Toxic


Epidermal Necrolysis: Looking Beyond Guidelines! Indian J Dermatol.
2018;2(63):117–24.

9. Stephanie A, Susilowati E. Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat


Fenitoin. Cdk. 2018;45(4):272–5.

10. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson


syndrome. Orphanet J Rare Dis [Internet]. 2010;5(1):39. Available from:
http://www.ojrd.com/content/5/1/39
22

11. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition Vol. I. United States: McGraw-
Hill Education; 2019. 1330 p.

12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reaction. Tetb od dermatology. 2018;

13. Chantaphakul H, Sanon T, Klaewsongkram J. Clinical characteristics and


treatment outcome of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Exp Ther Med. 2015;10(2):519–24.

14. Witarini KA. Diagnosis dan tatalaksana Sindroma Stevens-Johnson (SJS)


pada anak: tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis. 2019;10(3):592–6.

15. Diana R, Irawanto ME. Patofisiologi dan Managemen Terapi Sindrom


Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis Epidermal Toksik (NET). Med Rev.
2020;33(2):50–62.
23

Siklosporin pada Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal


Necrolysis: Pengalaman di Pusat Perawatan Tersier di Rajasthan Selatan
Manisa Balai, Manju Meena, Asit Mittal, Lalit Kumar Gupta, Ashok Kumar
Khare, Sharad Mehta

Departement Dermatologi, Venereologi and Leprosi, R.N.T. Perguruan Tinggi


Kedokteran, Udaipur, Rajasthan. Departemen Dermatologi, Perguruan Tinggi
Negri Dehradun, Uttarakhand, India
Abstrak
Pendahuluan: Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN) adalah reaksi obat yang berat, mengancam nyawa, memiliki morbiditas dan
mortalitas tinggi sehingga membutuhkan perawatan medis sesegara mungkin.
Beragam obat-obatan immunomodulator digunakan untuk penatalaksaan, namun
bukti efikasi masih terbatas. Penemuan terbaru didapatkan bahwa siklosporin
memiliki peran menjanjikan dalam penanganan SJS/TEN karena aktivitas
antiapoptosisnya yang poten. Tujuan: Penelitian prospektif ini dilakukan untuk
menentukan efikasi, keamanan, dan kemampuan toleransi siklosporin pada pasien
SJS/TEN. Metode: Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan Tersier
Rajasthan Selatan selama 4 tahun (Agustus 2015-Juli 2019). Data berupa profil
klinis, obat-obatan kausatif, tingkat keparahan penyakit, komorbid terkait,
pemberian pengobatan, dan hasil telah dicatat dalam rekam medis. Skor prognosis
SCORTEN dilakukan pada setiap pasien. Siklosporin diberikan dalam dosis 5
mg/kgBB dan dibagi menjadi dua dosis hingga re-epitelisasi. Hasil: Dari 16 pasien
terdapat 10 pasien laki-laki dan 6 pasien perempuan. Rata-rata usia pasien yaitu
30,62 ± 16.98 tahun (antara usia 7-63 tahun). Dari 16 pasien tersebut terdapat 8
pasien TEN, 5 pasien SJS, dan 3 pasien SJS/TEN overlap. Diantara obat-obatan
yang dicurigai, didominasi oleh antiepilepsi (43,7%). Rata-rata durasi pembentukan
epitel kembali 10,5 ± 3,46 hari (antara 7-15 hari). Berdasarkan SCORTEN,
perkiraan mortalitas yaitu 2,55 dengan rata-rata prediksi tingkat mortalitas yaitu
16,43% dengan SD 19,3. Keterbatasan: 1) Ukuran sampel sedikit. 2) Percobaan
penggunaan placebo control tidak dapat dilakukan karena keparahan penyakit.
Kesimpulan: Kami merekomendasikan siklosporin (5 mg/kgBB/hari) sebagai lini
pertama spesifik agen immunomodulator pada SJS/TEN dikarenakan efikasinya,
keamanan, re-epitelisasi secara cepat, mengurangi lama rawat inap, dan
mengurangi morbiditas serta mortalitas.
Kata kunci: Siklosporin, granulisin, Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal
necrolysis
24

Pendahuluan
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
adalah kasus yang jarang terjadi dan berpotensi mengancam nyawa. Reaksi
mukokutaneus berat berupa pelepasan epidermis masif, erosi mukosa dan gejala-
gejala konstitusional berat. Tingkat insidensi mencapai 0,5-1,4 juta per tahun,
dengan rata-rata mortalitas diestimasikan mencapai 25-35%. SJS dan TEN
menyebabkan pengelupasan kulit sebesar <10%, dan >30% dari body surface area
(BSA). Sedangkan SJS/TEN overlap adalah pasien dengan pengelupasan kulit
sebesar 10%-30% dari BSA.
Sebagian besar SJS dan TEN dipicu oleh obat-obatan. Obat apapun dapat
menyebabkan SJS/TEN, dan mayoritas reaksi disebabkan oleh kelompok obat
risiko tinggi seperti karbamazepin, fenitoin, allopurinol, lamotrigin, oxicam, dan
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid lainnya, serta antibiotik sulfonamid, dan
nevirapine. SJS dan TEN merupakan kondisi yang fatal. Menghentikan penggunaan
obat yang memicu reaksi, perawatan suportif, dan pemberian obat
immunomodulator sedini mungkin merupakan tatalaksana utama. Walaupun
terdapat beragam tatalaksana protokol perawatan, namun tidak ada yang secara
universal diterima. Beragam penelitian sudah mendemonstrasikan kesuksesan
penggunaan kortikosteroid, immunoglobulin intravena, plasmapharesis,
cyclophosshamide, dan inhibitor faktor-α tumor nekrosis. Baru-baru ini ditemukan
bahwa siklosporin memiliki peran yang menjanjikan dalam aktivitas anti-apoptosis
poten. Hanya terdapat beberapa penelitian di India mengenai penggunaan
siklosporin pada SJS/TEN. Kami melaporkan kesuksesan perawatan 16 kasus
SJS/TEN dengan menggunakan siklosporin.
Metode
Penelitian prospektif ini dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan Tersier
Rajasthan Selatan selama 4 tahun (Agustus 2015-Juli 2019). Semua konsekutif
pasien dengan diagnosis klinis SJS, SS-TEN overlap, dan TEN dilibatkan dalam
penelitian. Semua pasien dirawat di ruang isolasi departemen dermatologi. Semua
obat-obatan yang dicurigai sebagai pemicu dihentikan penggunaannya. Data berupa
profil klinis, obat-obatan penyebab, keparahan penyakit, komorbid terkait,
tatalaksana yang diterima, dan hasil perawatan dicatat dalam rekam medis.
Informed consent telah dilakukan pada pasien. Skor prognosis SCORTEN dihitung
pada setiap pasien yang masuk. Siklosporin diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB dan
dibagi dalam 2 dosis, dimulai dari hari pertama masuk hingga re-epitelisasi komplit.
Perawatan penunjang diberikan seperti menjaga suhu pasien pada 30°C,
pemberian cairan dan menjaga keseimbangan elektrolit, serta diet tinggi kalori.
Pada pasien yang disertai dengan sepsis maka disertai pemberian antibiotik.
Perujukan ke spesialis lain dilakukan kapan pun dibutuhkan. Efikasi dari
siklosporin dinilai berdasarkan rata-rata lamanya stabilisasi dari progresi penyakit,
tingkat re-epitelisasi kulit, lama rawat di rumah sakit, toleransi terhadap perawatan,
dan tingkat mortalitas saat pasien pulih total, serta berdasarkan perbandingan
25

dengan prediksi kematian berdasarkan SCORTEN saat pasien masuk. Tingkat


kematian yang sebenarnya dibandingkan dengan prediksi tingkat kematian dengan
menggunakan analisis standarisasi tingkat kematian {(jumlah kematian
sebenarnya/jumlah prediksi kematian) x 100}. Stabilisasi penyakit ditentukan
ketika lesi baru berhenti muncul. Progresi penyakit dievaluasi berdasarkan adanya
peningkatan erosi, munculnya vesikel, dan Nikolsky sign positif. Terjadinya re-
epitalisasi ditentukan ketika terjadi penyembuhan dari kulit tanpa adanya erosi.
Parameter keamanan dan kemampuan mentolerir dinilai berdasarkan adanya
adverse events dan investigasi rutin dilakukan setiap minggunya (pemeriksaan
darah komplit, gula darah puasa, tes fungsi liver, serum urea, kreatinin, dan serum
elektrolit). Pemantauan tekanan darah dilakukan setiap harinya.
Hasil
Terdapat 16 pasien yang dilibatkan dalam penelitian. Dari 16 pasien
tersebut, 10 pasien merupakan laki-laki dan 6 pasien adalah perempuan. Rata-rata
usia pasien adalah 30,62 ± 16,98 tahun (antara:7-63). Dari pasien-pasien tersebut
terdapat 8 pasien dengan TEN, 5 pasien dengan SJS, dan 3 pasien dengan SJS/TEN
overlap. Rata-rata ± SD antara onset dan waktu masuk rumah sakit adalah 3,812 ±
1,377 hari (antara:2-7 hari). Diantara obat-obatan yang dicurigai menjadi pemicu
reaksi, anti-epilepsi (43%) adalah mayoritas kelompok obat yang memicu
SJS/TEN. Obat lainnya yaitu anti-retroviral (12,5%), parasetamol (6,3%),
itrakonazol (6,3%), dan tidak teridentifikasi (31,2%). Pada setiap pasien terdapat
dua atau lebih mukosa yang terdampak, seperti oral dan konjungtiva merupakan
mukosa yang paling sering terdampak oleh penyakit SJS/TEN. Demam merupakan
gejala konstitusional tersering yang ditemui pada pasien. Pemberian siklosporin
ditolerir dengan baik pada setiap pasien.
Rata-rata durasi dari pemberian siklosporin dan stabilisasi penyakit yaitu
3,94 ± 1,12 hari. Rata-rata durasi re-epitalisasi yaitu 10,5 ± 3,46 hari (antara: 7-15).
Rata-rata durasi lama rawat yaitu 13,75 ± 3,67 hari (antara: 9-19 hari). Berdasarkan
SCORTEN, perkiraan mortalitas adalah 2,55 dengan rata-rata tingkat mortalitas
mencapai 16,43% dan standar deviasi yaitu 19,3, pada pasien yang diberikan
siklosporin.Standar tingkat mortalitas tidak dapat dihitung dikarenakan tidak ada
kematian yang berhubungan dengan pemberian siklosporin.
Diskusi
SJS/TEN merupakan reaksi adverse obat pada mukokutaneus yang
mengancam nyawa dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Manajemen yang esensial untuk menangani SJS/TEN diantaranya memahami
sedini mungkin kondisi pasien, menghentikan penggunaan obat yang diduga
pemicu reaksi, perawatan suportif, inisiasi terapi spesifik, manajemen komplikasi,
dan tindakan pencegahan episode di masa mendatang. Kostikosteroid tetap menjadi
terapi utama dari SJS dan TEN.
26

Baik SJS maupun TEN merupakan kondisi yang dimediasi oleh sistem
imun, dan kortikosteroid menekan intensitas dari reaksi, mencegah/menurunkan
nekrolisis pada kulit, mengurangi demam, dan mencegah kerusakan organ internal
ketika diberikan pada tahap awal dan dosis tinggi. Walaupun kortikosteroid berhasil
mengontrol aktivitas penyakit pada SJS/TEN, kortikosteroid dapat meningkatkan
tingkat komplikasi infeksi, menunda penyembuhan, dan memperpanjang masa
perawatan di rumah sakit.
Mekanisme SJS/TEN berkaitan dengan aktivasi T-cells sitotoksik oleh obat
yang memicu reaksi sehingga menyebabkan perilisan granulisin dan aktivasi
kaskade caspase yang menyebabkan apoptosis keratinosit. Siklosporin meng-
inhibisi aktivasi CD4+ dan CD8+ (sitotoksik) T- cells pada epidermis dengan cara
menekan produksi interleukin-2 dari T-helper cells teraktivasi. Siklosporin juga
menunjukkan dapat menginhibisi produksi TNF-α. TNF-α juga merupakan salah
satu penyebab keterkaitan sitokin dalam mengamplifikasi jalur apoptosis pada
SJS/TEN. Banyak case reports, case series, open trials, dan retrospective study
yang mendokumentasikan efikasi dari siklosporin pada SJS/TEN. Beberapa dari
laporan dan meta-analisis tersebut menyebutkan superioritas dari siklosporin
dibandingkan terapi lainnya, termasuk immunoglobulin intravena, kortikosteroid,
cyclophosphamide, dan tata laksana suportif.
Dosis optimal dari siklosporin untuk SJS/TEN masih belum jelas. Beragam
pemelitian sudah menggunakan beragam pendekatan dosis. Umumnya, dosis untuk
oral kapsul atau solution yaitu 3-5 mg/kg BB yang dibagi dalam dua dosis, dengan
rata-rata durasi perawatan yitu 10-14 hari. Kami memberikan pasien kami 5
mg/kgBB/hari siklosporin yang dibagi menjadi dua dosis per hari dengan rata-rata
durasi pemberian 7-15 hari.
Efek samping yang paling sering ditemukan dari pemberian siklosporin
adalah hipertensi dan toksisitas renal, namun efek samping tersebut tidak
ditemukam pada perawatan jangka pendek pada SJS/TEN. Tidak ada pasien kami
yang merasakan efek samping tersebut, dan perawatan yang diberikan dapat
ditolerir dengan baik walaupun diberikan pada pasien dengan penyakit akut.
Siklosporin merupakan immunosuppressant yang mungkin dapat menigkatkan
risiko perkembangan lymphoma dan malignansi lainnya, terutama berkaitan dengan
kulit. Namun dikarenakan perawatan yang diberikan dalam jangka pendek, risiko
malignansi atau infeksi dapat diabaikan. Pada salah satu case report dilaporkan
bahwa pemberian siklosporin bukan merupakan kontraindikasi pada pasien
SJS/TEN dengan infeksi HIV. Dua pasien HIV kami sukses dirawat dengan
pemberian siklosporin tanpa adanya komplikasi.
27

Tabel 2. Profil klinis, SCORTEN, dan parameter hasil klinis


Usia Jenis Diagnosis Obat pemicu Komorbid SCORTEN Penundaan Durasi Durasi Lama
kelamin klinis pada hari 0 admisi stabilisasi re-epitelisasi rawat
(hari) (hari) (hari) inap
(hari)
35 Perempuan TEN Phenytoin MS 2 3 5 14 17
30 Perempuan SJS/TEN Nevirapine HIV 2 3 6 15 17
55 Laki-laki TEN Carbamazepine HTN 4 2 3 7 9
25 Perempuan SJS/TEN Unknown - 2 5 5 9 15
40 Laki-laki SJS Carbamazepine - 1 4 3 7 9
35 Laki-laki TEN Unknown - 2 4 3 15 19
9 Laki-laki SJS/TEN Unknown - 1 3 4 9 13
46 Perempuan SJS Efavirenz HIV 1 5 2 6 9
28 Laki-laki TEN Phenytoin - 2 4 5 15 18
22 Laki-laki SJS Unknown - 2 3 4 13 17
5 Laki-laki SJS Phenytoin - 1 3 3 7 9
44 Perempuan TEN Carbamazepine Diabetes 3 3 5 11 13
11 Laki-laki SJS Paracetamol - 0 2 3 7 10
7 Laki-laki TEN Unknown - 1 4 3 8 10
63 Laki-laki TEN Carbamazepine HTN 4 7 5 15 18
25 Perempuan TEN Itraconazole - 2 6 4 10 15
28

Tabel 3. Data mortalitas pasien SJS/TEN yang diberikan perawatan dengan siklosporin
SCORTEN Prediksi mortalitas (%) Jumlah pasien Jumlah kematian
Prediksi Sebenarnya
0-1 3.2 6 0,19 0
2 12.1 7 0,85 0
3 35.3 1 0,35 0
4 58.3 2 1,16 0
5-7 90 0 0 0
Total 16 2,55 0

Tabel 4. Penelitian mengenai siklosporin sebagai medikasi untuk SJS dan TEN
Penelitian Design Treatment regimen Jumlah Lama rawat SCORTEN Observasi Kesimpulan
penelitian pasien yang inap (hari) prediksi mortalitas
diberikan mortalitas
siklosporin
Valeyrie- Prospective 3 mg/kg/hari x 10 hari 29 16,2±9 2,75 0 Tingkat kematian
Allanore open trial 2 mg/kg/hari x 10 hari dan progres
et al., 2010 (2005-2010) 1 mg/kg/hari x 10 hari pelepasan kulit
tampak lebih rendah
dari yang
diperkirakan,
menunjukkan
mafaatasiklosporin
pada SJS dan TEN

Case series 4 - - 0
29

Reese et 5 mg/kg/hari untuk 5 Siklosporin


al., 2011 hari-1 bulan memiliki efikasi
dengan respon cepat
dan re-eptalisasi.
Penggunaan jangka
pendek tidak
menimbulkan reaksi
adverse atau
meningkatkan
risiko infeksi.
Prospective 11 18±5 1,1 0
Singh et open trial 3 mg/kg/hari x 7 hari Siklosporin
al., 2013 (2011-2012) 2 mg/kg/hari x 7 hari memiliki peran
penting dalam
manajemen kasus
tanpa komplikasi
dari SJS, SJS-TEN
Retrospect- 15 16±8 2,4 1 overlap, atau TEN.
Kirchhof ive study 3-5 mg/kg/hari selama Berdasarkan
et al., 2014 (2001-2011) 7 hari mortalitas relatif
penggunaan
siklosporin lebih
bermanfaat
dibandingkan IVIg
pada pasien
Retrospecti- 24 20±15 7,2 3 SJS/TEN.
Lee et al, ve study 3 mg/kg/hari x 10 hari Berdasarkan
2016 (2011-2014) 2 mg/kg/hari x 10 hari mortalitas relatif,
30

1 mg/kg/hari x 10 hari siklosporin lebih


bermanfaat
dibandingkan
perawatan suportif
pada pasien dengan
Case series 5 12,4 - 0 SJS/TEN.
Saoji et al., 3-5 mg/kg/hari selama Penggunaan
2016 10 hari siklosporin tanpa
kortikosteroid
sistemik bersifat
aman dan efektif
untuk tatalaksana
Retrospecti- 49 - 11,8 5 TEN.
Gonzalez- ve 3 mg/kg/hari hingga Siklosporin
Herrada et (2001-2010) re-epitelisasi mengurangi
al, 2017 and kemudian berkurang mortalitas pada
prospective 10 mg/hari setiap 48 pasien nekrolisis
study jam epidermal.
(2011-2015)

Retrospecti- 19 20,39±5,4 3,11 1


Mohanty ve study 5 mg/kg/hari selama Siklosporin (5
et al., 2017 (2014-2015) 10 hari mg/kg/hari) selama
10 hari sejak onset
SJS/TEN dapat
mengurangi risiko
kematian,
menyembuhkan lesi
31

dengan cepat, dan


dapat mengurangi
Case series 4 - - 1 lama rawat inap.
Conner et 3 mg/kg/hari hingga Terapi siklosporin
al., 2018 re-epitelisasi memberikan
stabililasi dan re-
epitelisasi cepat,
menurunkan tingkat
mortalitas, dan lama
Case series 5 - - 0 rawat inap.
Vinay et 3 mg/kg/ dalam dosis Bio-availabilitas
al., terbagi dan re-epitalisasi
cepat dengan
siklosporin
intravena berpotensi
mengurangi lama
rawat inap dan
insidensi innfeksi
sekunder
nosocomial pada
Prospective 16 13,75±3,67 2,55 0 SJS/TEN.
Present open trial 5 mg/kg/hari hingga Siklosporin (5
study (2015-2019) re-epitelisasi mg/kg/hari) dapat
digunakan sebagai
lini pertama spesifik
agen
immunomodulator
pada SJS/TEN
32

berdasarkan efikasi,
keamanan , re-
epitelisasi,
mengurangi lama
rawat inap, dan
mengurangi
morbiditas dan
mortalitas.
33

Gambar 1. a Lepuh yang luas dan pelepasan kulit pada area punggung seorang
perempuan dengan TEN akibat carbamazepine. b Re-epitalisasi kulit pada hari ke
10 pemakaian siklosporin

Gambar 2. a nekrosis epidermal pada pasien laki-laki dengan TEN akibat


phenytoin. b re-epitelisasi kulit dan perbaikan kondisi lesi mukosa pada hari ke 15
penggunaan siklosporin.

Gambar 3. Makula dusky eritematus dan target lesi atipikal pada seluruh badan
anak penderita SJS akibat parasetamol. b Penyembuhan komplit lesi pada hari ke 7
penggunaan siklosporin.
34

Keterbatasan
1. Ukuran sampel terlalu sedikit.
2. Uji coba control placebo tidak dapat dilakukan karena keparahan penyakit.

Kesimpulan
Kami merekomendasikan pemberian siklosporin (5 mg/kgBB/hari) sebagai lini
pertama spesifik agen immunomodulator pada SJS/TEN dikarenakan efikasi,
keamanan, kemampuan re-epitalisasi yang cepat, penurunan lama rawat inap, dan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Persetujuan Pasien
Penulis sudah mendapatkan persetujuan dari seluruh pasien. Seluruh pasien sudah
memberikan izin atas gambar dan informasi klinis yang dimiliki untuk disertakan
dalam jurnal. Seluruh pasien memahami bahwa nama mereka dan inisial tidak akan
dipublis.
35

Telaah Kritisi Jurnal Terapi

Siklosporin pada Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal


Necrolysis: Pengalaman di Pusat Perawatan Tersier di Rajasthan Selatan

Manisa Balai, Manju Meena, Asit Mittal, Lalit Kumar Gupta, Ashok Kumar
Khare, Sharad Mehta

1 Apakah alokasi subjek penelitian ke Pada penelitian ini menggunakan


kelompok terapi atau kelompok metode retrospektif dengan teknik
kontrol betul-betul secara acak pengambilan sampel menggunakan
(random) atau tidak? metode total sampling. Sampel
-Tidak merupakan pasien SJS, SJS/TEN
overlap, dan TEN selama 4 tahun ke
belakang (Agustus 2015-Juli 2019).

2 Apakah semua luaran (outcome) Laporan disampaikan dengan


dilaporkan? lengkap. Jumlah pasien yang
-Ya menderita SJS, SJS/TEN overlap,
jenis kelamin dan usia pasien, obat
pemicu, komorbid yang pasien
miliki, SCORTEN pasien pada awal
admisi, lama keterlambatan pasien
mendapatkan perawatan dari rumah
sakit, durasi stabilisasi, durasi re-
epitelisasi, dan lama rawat inap.
.
36

3 Apakah lokasi studi menyerupai Penelitian ini merupakan penelitian


lokasi anda bekerja atau tidak? internasional. Penelitian ini
-Ya dilakukan di Rumah Sakit
Pendidikan Tersier Rajasthan India,
sehingga diketahui lokasi studi
sama dengan tempat bekerja.
4 Apakah kemaknaan statistik Kemaknaan statistik dilaporkan
maupun klinis dipertimbangkan dengan baik. Kemaknaan klinis dan
atau dilaporkan? kemaknaan statistik juga
-Ya disebutkan dalam pembahasan
penelitian ini.
5 Siklosporin tersedia di tempat
Apakah tindakan terapi yang
bekerja, sehingga dapat
dilakukan dapat dilakukan di tempat
diaplikasikan di tempat bekerja.
anda bekerja atau tidak?

-Ya
6 Apakah semua subek penelitian Subek penelitian seluruhnya
diperhitungkan dalam kesimpulan? diperhitungkan dalam kesimpulan.
-Ya Seluruh subjek menjalani terapi
pemberian siklosporin dengan dosis
yang sama, menjalani rangkaian
penelitian dengan lengkap, dan tidak
ada laporan drop out seubjek
penelitian.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kritisi jurnal, didapatkan 5 jawaban “Ya” dan 1 jawaban


“Tidak”, sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnal dengan judul “Siklosporin pada
Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis: Pengalaman di
Pusat Perawatan Tersier di Rajasthan Selatan” layak dibaca.

Anda mungkin juga menyukai