BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
Nomor CM : 1-28-88-42
2.2 Anamnesis Keluhan Utama
Lecet dikulit pada bagian tangan, badan, kaki, & genetalia.
Keluhan Tambahan
Perih & keropeng pada bibir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan ruam sejak 1 bulan yang lalu, awalnya ruam
dirasakan pasien hanya sedikit namun lama kelamaan semakin membesar dan
semakin memburuk. Pasien mengatakan awal muncul ruam sejak pasien meminum
obat kejang, pasien sudah meminum obat kejang selama 5 bulan. Pasien juga
mengeluhkan pada bagian bibir adanya rasa seperti melepuh dan sariawan. Pasien
juga mengeluhkan demam sejak 1 bulan yang lalu, demam di rasakan oleh pasien
hilang timbul. Pasien sebelumnya pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu
dikarenakan stroke dan kejang yang dialami pasien. Pasien memiliki penyakit
Hipertensi sejak 8 bulan yang lalu namun terkontrol.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat stroke & kejang sejak 7 bulan yang lalu.
Riwayat Pemakaian Obat :
Pasien mengkonsumsi obat Fenitoin selama 5 bulan 3 kali sehari.
4
Regio : Facialis
Deskripsi lesi : Tampak krusta kecoklatan berbatas tidak tegas ukuran millier –
gutata, dengan distribusi regional
5
Regio : Trunk
Deskripsi lesi : Tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan skuama halus,
distribusi universal. Tampak juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan jumlah
multipel, ukuran numular, distribusi regional.
6
TANGGAL
PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
1/07/2022
HEMATOLOGI
Hb 14,0-17,0gr/dl 9,0 gr/dL
Ht 45-55% 28%
8
2.6 Resume
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien Tn. MA berusia 49 tahun di RSUDZA
dengan keluhan ruam sejak 1 bulan yang lalu, awalnya ruam hanya sedikit namun
lama kelamaan semakin membesar dan memburuk. ruam awal mucul sejak pasien
meminum obat kejang, pasien sudah meminum obat kejang selama 5 bulan. Pasien
juga mengeluhkan pada bagian bibir seperti melepuh dan sariawan. Status
dermatologis pada regio facialis tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan
skuama halus, distribusi universal. Pada regio trunk & brachii tampak lesi primer
berupa patch hiperpigmentasi dengan skuama halus, distribusi universal. Tampak
juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan jumlah multipel, ukuran numular,
distribusi regional. Pada regio dorso pedis tampak plak eritematosa dengan
9
2.10 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
10
soliter, ukuran
numular,
distribusi
regional.
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pemeriksaan fisik kulit didapatkan lesi pada regio fasialis tampak
krusta kecoklatan berbatas tidak tegas ukuran millier – gutata, dengan distribusi
regional. Pada regio trunk tampak lesi primer patch hiperpigmentasi dengan skuama
halus, distribusi universal. Tampak juga lesi sekunder yaitu berupa erosi dengan
jumlah multipel, ukuran numular, distribusi regional. Pada regio brachii tampak lesi
primer patch hiperpigmentasi dengan skuama halus, distribusi universal. Pada regio
dorso pedis tampak plak eritematosa dengan skuama halus ukuran millier-plakat,
distribusi regional.
kemudian menjadi
hemoragik bahkan
seropurulent.
3 Regio: fasialis, trunk, brachii, Staphylococcal Infeksi kulit yang Lesi kulit yang khas
kruris Scalded Skin disebabkan berupa adanya eritema,
Lesi: patch eritema, krusta, Syndrome eksotoksin yang bula, erosi yang
erosi, jumlah multiple, dihasilkan oleh disertai nikolsky sign
distribusi universal bakteri positif.
staphylococcus
aureus
18
4 Regio: fasialis, trunk, brachii, Generalised Varian dari FDE Secara khas lesi
kruris bullous fixed drug yang langka dengan berulang di tempat
Lesi: patch eritema, krusta, eruption melibatkan yang sama setelah
erosi, jumlah multiple, (GBFDE) permukaan tubuh pemberian obat
distribusi generalisata yang signifikan dan penyebab yang sama,
mengancam jiwa dan dicirikan dengan
macula dan bula
multipel berbatas
tegas, bula dalam
berbagai ukuran,
distribusi dapat secara
bilateral dan simetris.
19
11. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition Vol. I. United States: McGraw-
Hill Education; 2019. 1330 p.
Pendahuluan
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
adalah kasus yang jarang terjadi dan berpotensi mengancam nyawa. Reaksi
mukokutaneus berat berupa pelepasan epidermis masif, erosi mukosa dan gejala-
gejala konstitusional berat. Tingkat insidensi mencapai 0,5-1,4 juta per tahun,
dengan rata-rata mortalitas diestimasikan mencapai 25-35%. SJS dan TEN
menyebabkan pengelupasan kulit sebesar <10%, dan >30% dari body surface area
(BSA). Sedangkan SJS/TEN overlap adalah pasien dengan pengelupasan kulit
sebesar 10%-30% dari BSA.
Sebagian besar SJS dan TEN dipicu oleh obat-obatan. Obat apapun dapat
menyebabkan SJS/TEN, dan mayoritas reaksi disebabkan oleh kelompok obat
risiko tinggi seperti karbamazepin, fenitoin, allopurinol, lamotrigin, oxicam, dan
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid lainnya, serta antibiotik sulfonamid, dan
nevirapine. SJS dan TEN merupakan kondisi yang fatal. Menghentikan penggunaan
obat yang memicu reaksi, perawatan suportif, dan pemberian obat
immunomodulator sedini mungkin merupakan tatalaksana utama. Walaupun
terdapat beragam tatalaksana protokol perawatan, namun tidak ada yang secara
universal diterima. Beragam penelitian sudah mendemonstrasikan kesuksesan
penggunaan kortikosteroid, immunoglobulin intravena, plasmapharesis,
cyclophosshamide, dan inhibitor faktor-α tumor nekrosis. Baru-baru ini ditemukan
bahwa siklosporin memiliki peran yang menjanjikan dalam aktivitas anti-apoptosis
poten. Hanya terdapat beberapa penelitian di India mengenai penggunaan
siklosporin pada SJS/TEN. Kami melaporkan kesuksesan perawatan 16 kasus
SJS/TEN dengan menggunakan siklosporin.
Metode
Penelitian prospektif ini dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan Tersier
Rajasthan Selatan selama 4 tahun (Agustus 2015-Juli 2019). Semua konsekutif
pasien dengan diagnosis klinis SJS, SS-TEN overlap, dan TEN dilibatkan dalam
penelitian. Semua pasien dirawat di ruang isolasi departemen dermatologi. Semua
obat-obatan yang dicurigai sebagai pemicu dihentikan penggunaannya. Data berupa
profil klinis, obat-obatan penyebab, keparahan penyakit, komorbid terkait,
tatalaksana yang diterima, dan hasil perawatan dicatat dalam rekam medis.
Informed consent telah dilakukan pada pasien. Skor prognosis SCORTEN dihitung
pada setiap pasien yang masuk. Siklosporin diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB dan
dibagi dalam 2 dosis, dimulai dari hari pertama masuk hingga re-epitelisasi komplit.
Perawatan penunjang diberikan seperti menjaga suhu pasien pada 30°C,
pemberian cairan dan menjaga keseimbangan elektrolit, serta diet tinggi kalori.
Pada pasien yang disertai dengan sepsis maka disertai pemberian antibiotik.
Perujukan ke spesialis lain dilakukan kapan pun dibutuhkan. Efikasi dari
siklosporin dinilai berdasarkan rata-rata lamanya stabilisasi dari progresi penyakit,
tingkat re-epitelisasi kulit, lama rawat di rumah sakit, toleransi terhadap perawatan,
dan tingkat mortalitas saat pasien pulih total, serta berdasarkan perbandingan
25
Baik SJS maupun TEN merupakan kondisi yang dimediasi oleh sistem
imun, dan kortikosteroid menekan intensitas dari reaksi, mencegah/menurunkan
nekrolisis pada kulit, mengurangi demam, dan mencegah kerusakan organ internal
ketika diberikan pada tahap awal dan dosis tinggi. Walaupun kortikosteroid berhasil
mengontrol aktivitas penyakit pada SJS/TEN, kortikosteroid dapat meningkatkan
tingkat komplikasi infeksi, menunda penyembuhan, dan memperpanjang masa
perawatan di rumah sakit.
Mekanisme SJS/TEN berkaitan dengan aktivasi T-cells sitotoksik oleh obat
yang memicu reaksi sehingga menyebabkan perilisan granulisin dan aktivasi
kaskade caspase yang menyebabkan apoptosis keratinosit. Siklosporin meng-
inhibisi aktivasi CD4+ dan CD8+ (sitotoksik) T- cells pada epidermis dengan cara
menekan produksi interleukin-2 dari T-helper cells teraktivasi. Siklosporin juga
menunjukkan dapat menginhibisi produksi TNF-α. TNF-α juga merupakan salah
satu penyebab keterkaitan sitokin dalam mengamplifikasi jalur apoptosis pada
SJS/TEN. Banyak case reports, case series, open trials, dan retrospective study
yang mendokumentasikan efikasi dari siklosporin pada SJS/TEN. Beberapa dari
laporan dan meta-analisis tersebut menyebutkan superioritas dari siklosporin
dibandingkan terapi lainnya, termasuk immunoglobulin intravena, kortikosteroid,
cyclophosphamide, dan tata laksana suportif.
Dosis optimal dari siklosporin untuk SJS/TEN masih belum jelas. Beragam
pemelitian sudah menggunakan beragam pendekatan dosis. Umumnya, dosis untuk
oral kapsul atau solution yaitu 3-5 mg/kg BB yang dibagi dalam dua dosis, dengan
rata-rata durasi perawatan yitu 10-14 hari. Kami memberikan pasien kami 5
mg/kgBB/hari siklosporin yang dibagi menjadi dua dosis per hari dengan rata-rata
durasi pemberian 7-15 hari.
Efek samping yang paling sering ditemukan dari pemberian siklosporin
adalah hipertensi dan toksisitas renal, namun efek samping tersebut tidak
ditemukam pada perawatan jangka pendek pada SJS/TEN. Tidak ada pasien kami
yang merasakan efek samping tersebut, dan perawatan yang diberikan dapat
ditolerir dengan baik walaupun diberikan pada pasien dengan penyakit akut.
Siklosporin merupakan immunosuppressant yang mungkin dapat menigkatkan
risiko perkembangan lymphoma dan malignansi lainnya, terutama berkaitan dengan
kulit. Namun dikarenakan perawatan yang diberikan dalam jangka pendek, risiko
malignansi atau infeksi dapat diabaikan. Pada salah satu case report dilaporkan
bahwa pemberian siklosporin bukan merupakan kontraindikasi pada pasien
SJS/TEN dengan infeksi HIV. Dua pasien HIV kami sukses dirawat dengan
pemberian siklosporin tanpa adanya komplikasi.
27
Tabel 3. Data mortalitas pasien SJS/TEN yang diberikan perawatan dengan siklosporin
SCORTEN Prediksi mortalitas (%) Jumlah pasien Jumlah kematian
Prediksi Sebenarnya
0-1 3.2 6 0,19 0
2 12.1 7 0,85 0
3 35.3 1 0,35 0
4 58.3 2 1,16 0
5-7 90 0 0 0
Total 16 2,55 0
Tabel 4. Penelitian mengenai siklosporin sebagai medikasi untuk SJS dan TEN
Penelitian Design Treatment regimen Jumlah Lama rawat SCORTEN Observasi Kesimpulan
penelitian pasien yang inap (hari) prediksi mortalitas
diberikan mortalitas
siklosporin
Valeyrie- Prospective 3 mg/kg/hari x 10 hari 29 16,2±9 2,75 0 Tingkat kematian
Allanore open trial 2 mg/kg/hari x 10 hari dan progres
et al., 2010 (2005-2010) 1 mg/kg/hari x 10 hari pelepasan kulit
tampak lebih rendah
dari yang
diperkirakan,
menunjukkan
mafaatasiklosporin
pada SJS dan TEN
Case series 4 - - 0
29
berdasarkan efikasi,
keamanan , re-
epitelisasi,
mengurangi lama
rawat inap, dan
mengurangi
morbiditas dan
mortalitas.
33
Gambar 1. a Lepuh yang luas dan pelepasan kulit pada area punggung seorang
perempuan dengan TEN akibat carbamazepine. b Re-epitalisasi kulit pada hari ke
10 pemakaian siklosporin
Gambar 3. Makula dusky eritematus dan target lesi atipikal pada seluruh badan
anak penderita SJS akibat parasetamol. b Penyembuhan komplit lesi pada hari ke 7
penggunaan siklosporin.
34
Keterbatasan
1. Ukuran sampel terlalu sedikit.
2. Uji coba control placebo tidak dapat dilakukan karena keparahan penyakit.
Kesimpulan
Kami merekomendasikan pemberian siklosporin (5 mg/kgBB/hari) sebagai lini
pertama spesifik agen immunomodulator pada SJS/TEN dikarenakan efikasi,
keamanan, kemampuan re-epitalisasi yang cepat, penurunan lama rawat inap, dan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Persetujuan Pasien
Penulis sudah mendapatkan persetujuan dari seluruh pasien. Seluruh pasien sudah
memberikan izin atas gambar dan informasi klinis yang dimiliki untuk disertakan
dalam jurnal. Seluruh pasien memahami bahwa nama mereka dan inisial tidak akan
dipublis.
35
Manisa Balai, Manju Meena, Asit Mittal, Lalit Kumar Gupta, Ashok Kumar
Khare, Sharad Mehta
-Ya
6 Apakah semua subek penelitian Subek penelitian seluruhnya
diperhitungkan dalam kesimpulan? diperhitungkan dalam kesimpulan.
-Ya Seluruh subjek menjalani terapi
pemberian siklosporin dengan dosis
yang sama, menjalani rangkaian
penelitian dengan lengkap, dan tidak
ada laporan drop out seubjek
penelitian.
Kesimpulan