Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

Phlebitis

Disusun oleh :
Octavina Nurul Fadila
1102015174

Pembimbing :
Dr. Evy Aryanti., Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 20 JANUARI – 22 FEBRUARI 2020


Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi & Venerologi

Nama/NPM : Octavina Nurul F/ 1102015174

Judul : Phlebitis

Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi

Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 5 tahun
Alamat : Kp. Elo, sukamanah, sukatani, bekasi
Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal Datang ke RSUD Kabupaten Bekasi : 26 Februari 2020

II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik alloanamnesis yang dilakukan kepada
orang tua di RSUD Kabupaten Bekasi

A. Keluhan Utama
Pasien dibawa oleh oranguanya penurunan kesadaran
B. Keluhan Tambahan

2
Kejang sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) , demam sejak 3
hari dan BAB cair 3x sejak 18 jam SMRS.
C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa oleh orang tuanya dengan penurunan kesadaran.


Penurunan kesadaran disertai dengan kejang sejak 7 jam sebelum
masuk rumah sakit (SMRS). Kejang terjadi di seluruh tubuh dan sudah
terjadi selama 6-7x dengan durasi 5-7 menit, kejang disertai dengan
mata mendelik ke atas. Keluhan disertai dengan adanya demam sejak 3
hari SMRS dan BAB cair sejak 18 jam SMRS. Lalu pasien didiagnosis susp.
Ensefalitis dan dirawat di bangsal sakura RSUD Kabupaten Bekasi.

Pada tanggal 1 Maret 2020 pasien dipindahkan ke ruang PICU RSUD


Kabupaten Bekasi, dan pada hari yang sama pasien dikonsulkan ke
bagian kulit dengan keluhan tampak pembengkakan berisi cairan di kaki
kiri bagian punggung kaki setelah pemasangn infus.

Pada tanggal 2 Maret pembengkakan meluas dan sudah ada yang


pecah sehingga pasien diberikan obat salep dan Kompress.

Pada tanggal 5 Maret kondisi kaki pasien sudah membaik dan


mulai ada mengempis.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal

3
F. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Pasien belum pernah berobat untuk mengatasi keluhan tersebut.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1) Pemeriksaan Umum :
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Apatis GCS 10 (E4M3V3)
3. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/56 mmHg
Heart Rate : 139 x/menit
Respiration Rate : On NC 2 lpm
Suhu : 38.20C
SpO2 : 98%
Status Gizi
- BB : 16,8 Kg
- TB : 115 cm
- BB/TB : -2 s/d +2
- Status gizi : Baik

Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), pupil
bulat isokhor, reflek cahaya langsung (+/+).
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea ditengah tidak
deviasi, kelenjar tiroid tidak membesar.
Thorax & Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, CRT <2 detik.

4
2) Pemeriksaan Dermatologis

Gambar 2. 1. Foto lesi pada regio pedis sinistra

Pada status dermatologis ditemukan kelainan kulit pada regio pedis


sinistra tampak bula dengan tepi irregular, ukuran nummular, sebagian erosi,
tampak ulkus, krusta, plakat dengan tepi hiperpigmentasi, berbatas tegas,
irregular.

3) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

5
Hematologi

Darah rutin

Hemoglobin 9.0 g/dL 10.8-15.6

Hematokrit 28 % 33.0-45.0

Eritrosit 3.78 10^6/uL 3.80-5.80

Trombosit 301 10^3/uL 150-450

Leukosit 11.8 10^3/uL 4.0-12.0

Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 118 Mg/dL 80-170


Stik

Paket Elektrolit

Natrium 132 nmol/L 136-145

Kalium 3.9 nmol/L 3.5-5.0

Klorida (Cl) 103 nmol/L 98-106

IV. Resume

Seorang anak berusia 5 tahun dating ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi


dengan penurunan kesadaran disertai dengan kejang sejak 7 jam sebelum masuk
rumah sakit, demam sejak 3 hari SMRS, dan diare sejak 18 jam SMRS. Lalu pasien
didiagnosis dengan susp. Ensefalitis dan di rawat di bangsal sakura, 4 hari
kemudian pasien dipindahkan ke ruang PICU, dan mulai timbul bulla pada pedis
bagian sinistra, yang diketahui memiliki riwayat pemasangan infus pada pedis
sinistra. Pada status dermatologis ditemukan kelainan kulit pada regio pedis
sinistra tampak bula dengan tepi irregular, ukuran nummular, sebagian erosi,
tampak ulkus, krusta, plakat dengan tepi hiperpigmentasi, berbatas tegas,

6
irregular. Pada Pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin tidak didapatkan
adnya tanda-tanda infeksi.

V. Diagnosis Banding
1. Phlebitis + susp. Ensefalitis
2. Vesicobullous chronic in childhood + susp. Ensefalitis

VI. Diagnosis Klinis

Phlebitis + susp. Ensefalitis

VII. Perencanaan tatalaksana


a. Non-farmakologi :

Kompress NaCL 0,9% 3x 15 menit

b. Farmakologi :

Krim mupirocin 2% 2x1 dioleskan ke lesi yang sudah pecah

VIII. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanactionam : dubia ad bonam


IX. Edukasi
- Memberikan pengetahuan mengenai pada kebersihan tangan, tehnik
aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit
- Memberikan pengetahuan untuk mengganti kassa steril tiap 24 jam

7
BAB II

PEMBAHASAN

Phlebitis disebabkan karena inflamasi pada dinding vena dan bisa


menyebabkan gejala seperti edema, nyeri, dan eritema disekitar daerah cateter
yang dipasang atau sepanjang vena yang terkena.1 Phlebitis merupakan
peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan
sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari
mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan
perlekatan tombosit pada area tersebut.2 Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi Phlebitis, antara lain teknik yang tidak memadai ketika
memasukkan kateter, situasi klinis pasien, karakteristik vena, ketidakcocokan
obat, tonus dan pH obat atau larutan, filtrasi yang tidak efektif, diameter kateter,
ukuran, panjang dan bahan pembuatan; penggunaan jangka Panjang.3 Penyebab
yang sering terjadi pada pasien sering dipengaruhi diantaranya adalah faktor usia,
penyakit kronis, jenis cairan yang diberikan (osmolaritas cairan). Tidak hanya
fungsi imunitas tubuh yang menurun perubahan vena juga terjadi seiring dengan
peningkatan usia dimana pasien yang usianya >60 tahun, memiliki vena yang
bersifat rapuh, tidak elastis dan mudah hilang (kolap), sedangkan pada pasien
anak vena lebih bersifat kecil, elastis dan mudah hilang (kolap) hal inilah yang
nantinya akan mempengaruhi kejadian phlebitis pada seseorang. Pada pasien
anak dengan vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat
mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan phlebitis.4

Sesuai dengan pasien pada kasus ini anak dengan berusia 5 tahun, dengan
riwayat pemasangan infus terjadi phlebitis pada regio pedis sinistra nya.

Phlebitis dapat dibagi menjadi tiga jenis: mekanis, ketika gerakan kanula di
dalam vena menyebabkan gesekan dan peradangan, atau ketika kanula terlalu
lebar untuk vena; flebitis kimia, yang disebabkan oleh obat atau cairan yang

8
diinfuskan melalui kateter, di mana faktor-faktor seperti pH dan osmolalitas dapat
secara signifikan berdampak pada timbulnya flebitis; bakteri, ketika bakteri
menembus vena, dimulai sebagai respons inflamasi terhadap pemasangan kateter
dan kolonisasi selanjutnya oleh bakteri. Phlebitis bakteri dapat menciptakan
komplikasi serius karena potensi perkembangan sepsis sistemik.3

Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada


empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi,
2
dan post infus.
a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)

Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi


pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi
peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang
diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.2

Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau


hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan
osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas
total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu
disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas
suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik pasien akan tetapi
juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima
akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai
osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan
tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi
lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi.2

b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)

Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau


penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih

9
sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas
digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada
dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga
dapat mengiritasi dinding vena.6

c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)

Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan


adanya kolonisasi bakteri. Kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter
infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV
/ AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat.6

Sesuai dengan pasien pada kasus ini kemungkinan terjadinya ohlebitis akibat
phlebitis mekanik, karena pemasangan atau penempatan kateter intravena
diletakkan di kaki pada anak yang kejang yaitu sering terjadi fleksi, sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya phlebitis.

Skema 3.1. Skor visual flebitis VIP Score (Visual Infusion Phlebitis score)

10
Pada pasien ini skor visual phlebitisnya adalah 3, terdapat erita dan indurasi pada
bagian yang terdapat lesi/ post-pemakaian infus.

Nyeri phlebitis dapat ditangani dengan cara farmakologi dan non


farmakologi. Ketepatan menentukan intervensi dalam menangani phlebitis dapat
membantu meminimalkan nyeri. Salah satu cara non farmakologi adalah dengan
pemberian kompres. NaCl 0,9% merupakan cairan isotonis yang bersifat fisiologis,
non toksik dan tidak menimbulkan hipersensitivitas sehingga aman digunakan
untuk tubuh dalam kondisi apapun. NaCl 0,9% merupakan larutan isotonis aman
untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,
menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses
penyembuhan. Selain itu NaCl 0,9% memiliki respon anti inflamasi sehingga dapat
menurunkan gejala nyeri dan eritema yang timbul pada luka, serta meningkatkan
aliran darah menuju area luka, sehingga mempercepat proses penyembuhan
luka.6

Antibiotik topikal umumnya diresepkan oleh dermatologis dalam praktek


klinis untuk berbagai manfaat potensial dari antibiotik tersebut, di antaranya
adalah: (i) infeksi, termasuk infeksi bakteri kulit lokal, (ii) eczematous dermatosis
krusta (sekunder impetiginosa), (iii) stafilokokus , dan (iv) untuk non-infeksius
dermatosis, seperti acne vulgaris. Penggunaan dermatologi klinis lain termasuk:
(v) aplikasi pasca operasi ke situs luka bedah untuk profilaksis terhadap infeksi,
dan (vi) untuk luka kronis seperti ulkus pedis, kadang-kadang berdasarkan kultur
dan hasil sensitivitas. Mupirosin, yang dahulu dikenal sebagai asam pseudomonik
A adalah antibiotika yang diturunkan dari Pseudomonas fluorescens. Obat ini
secara reversibel mengikat sintetase isoleusil-tRNA dan menghambat sintesis
protein bakteri. Aktifitas mupirosin terbatas terhadap bakteri gram positif,
khususnya staphylococcus dan streptococcus. Aktifitas obat ini meningkatkan
suasana asam. Mupirosin sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga tidak boleh
terpapar dengan suhu tinggi. Salep mupirosin 2% dioleskan 3 kali sehari.7

11
Sesuai dengan pasien ini dapat diberikan terapi non farmakologi dengan
menggunakan kompres Nacl 0,9% untuk membantu luka menjalani proses
penyembuhan, menurunkan gejala nyeri dan eritema yang timbul pada luka dan
juga dapat diberikan terapi farmakologi seperti antibiotic topical seperti mupirosin
karena dapat menghambat proses sintesis protein sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri pada lesi yang sudah pecah.

Tindakan Pencegahan Phlebitis

Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi
cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun
pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan
tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan
yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh
para ahli, antara lain ;

1. Mencegah phlebitis bakterial

Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan


tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit.
Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan
chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau
alcohol 70 % bisa digunakan.6

2. Aseptic dressing

Penggunaan balutan yang transparan sehingga mudah untuk melakukan


pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan
konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24
jam.2

12
BAB III

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus pasien anak berusia 5 tahun dating ke IGD RSUD
Kabupaten Bekasi dengan penurunan kesadaran disertai dengan kejang sejak 7
jam sebelum masuk rumah sakit, demam sejak 3 hari SMRS, dan diare sejak 18 jam
SMRS. Lalu pasien didiagnosis dengan susp. Ensefalitis dan di rawat di bangsal
sakura, 4 hari kemudian pasien dipindahkan ke ruang PICU, dan mulai timbul bulla
pada pedis bagian sinistra, yang diketahui memiliki riwayat pemasangan infus
pada pedis sinistra. Pada status dermatologis ditemukan kelainan kulit pada regio
pedis sinistra tampak bula dengan tepi irregular, ukuran nummular, sebagian
erosi, tampak ulkus, krusta, plakat dengan tepi hiperpigmentasi, berbatas tegas,
irregular. Pada Pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin tidak didapatkan
adnya tanda-tanda infeksi. yang lebih mengarah dengan diagnosis Phlebitis dan
susp. Ensefalitis.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee S., et al. 2019. A Model of Phlebitis Associated with Peripheral Intravenous
Catheters in Orthopedic Inpatients. International Journal of Environment
research and Public Health
2. Journal of Infusion nursing. 2006. Infusion nursing standard for theraphy. :
Phlebilitis. Norwood.
3. Urbaneto S., et al. 2016. Incidence of phlebitis associated with the use of
peripheral IV catheter and following catheter removal. Revista Latino-Americana
de Enfermagem
4. Agustini C., dkk. 2013. Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian
phlebitis pada pasien yang terpasang infus di ruang medikal chrysant rumah
sakit awal bros pekanbaru. Program studi ilmu keperawatan, UNRI.
5. The Centers for Disease Control and Prevention. 2002. Guidelines for the
Prevention of Intravascular Catheter-Related Infections. CDC
6. Evangeline H., dkk. 2015. Perbedaan Kompres Nacl 0,9% dengan Kompres
Alkohol 70%Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Flebitis. Jurnal
kedokteran dan kesehatan, volume 2, no. 3
7. Suhariyanto. 2011. Antibiotik Topikal Untuk Penyakit Kulit Pada Wisatawan.
FKUJ/ RSD. Dr.Soebandi Jember

14

Anda mungkin juga menyukai