Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Diperkirakan lebih
dari 50% anemia defisiensi besi mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil, dan
menyusui. Anemia defisiensi besi mempunyai dampak yang merugikan bagi
kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh,
dan daya konsetrasi, serta penurunan kemampuan belajar, sehingga menurunkan
prestasi belajar di sekolah.1,2
Penyebab dari anemia defisiensi besi pada anak sangat bervariasi
penyebabnya, diantaranyanya sebagai berikut, terlalu cepatnyanya tali pusat di
potong pada masa neonatal, tidak adekuatnya kandungan besi dalam makanan,
kehilangan darah yang kronik pada traktus gastrointestinal, seperti ulkus
peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma atau inflammatory bowel
disease, infeksi parasit, pertumbuhan di masa remaja yang sangat cepat,
kehilangan darah dari menstruasi, kehamilan, donor darah, latihan yang
berlebihan3,4,5

3.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40 –
45 %. Pada usia balita, prevalensi tertinggi defisiensi besi umumnya terjadi pada
tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan
pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian defisiensi besi lebih
tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi premature (sekitar 25 – 85 %) dan bayi
yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi.6
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-
8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil
26%. 4
Sesuai dengan pasien ini yang berusia 3 tahun masuk dalam salah satu
prevalensi kejadian ADB.

3.3 ETIOLOGI
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh:7
1. Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis.
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden
anemia defisiensi besi meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya
meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat
disbanding saat lahir. Bayi premature dengan pertumbuhan sangat cepat pada
umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
c. Kehamilan
d. Kurangnya besi yang diserap
e. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat/ Faktor nutrisi
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang
200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI Eksklusif jarang menderita
kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung
di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu
formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorbsi bayi, sedangkan
dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorbsi.
2. Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histology dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai anemia defisiensi besi
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas
usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab pentingnya
anemia defisiensi besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan
status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg,
sehingga kehilangan darah 3 – 4 ml/hari (1,5 – 2 mg besi) dapat mengakibatkan
keseimbangan negative besi. Seperti : tukak peptic, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, infeksi cacing
tambang, menorhagia, metrorhagia, dan hematuri.
4. Infeksi Parasit
Pada pasien ini didapatkan salah satu factor yang mempengaruhi
terjadinya ADB adalah status gizi yang kurang, dan ada kemungkinan akibat dari
infeksi parasite yang didapatkan dari kebiasaan pasien yang bermain ditanah dan
tidak menjaga hygienitas.

3.4 PATOGENESIS
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negative besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negative ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Ada 3 tahap
defisiensi besi:1,7
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini
terjadi, peningkatan absorbs besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoiesis
atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi
serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding
capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar hb. Dari gambaran apusan darah tepi didapatkan
hipokromik mikrositer. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan
faring, serta berbagai gejala lainnya.
Seseorang yang terinfeksi penyakit askariasis bisa secara tidak sengaja
atau tidak disadari menelan telur cacing. Telur menetas menjadi larva di dalam
usus seseorang. Larva menembus dinding usus dan mencapai paru-paru melalui
aliran darah. Larva tersebut akhirnya kembali ke tenggorokan dan tertelan. Dalam
usus, larva berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina dewasa yang dapat
tumbuh lebih panjang mencapai 30 cm, dapat bertelur yang kemudian masuk ke
dalam tinja. Jika tanah tercemar kotoran manusia atau hewan yang mengandung
telur, maka siklus tersebut dimulai lagi. Telur berkembang di tanah dan menjadi
infektif setelah masa 2-3 minggu, tetapi dapat tetap infektif selama beberapa bulan
atau tahun.8
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,
jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam
vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus
dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke
faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui
epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus
halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing
dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.9
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut
penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar
bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I
sampai stadium III yang bersifat infektif.9
Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak
terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang
lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar
dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-
mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan
atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka
siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi
larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak
dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.9

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi
perlahan-lahan dengan demikian memungkinkan terjadinya proses kompensasi
dari tubuh, sehingga gejala aneminya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh
penderita.
Manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu:10
1. Gejala umum dari anemia itu sendiri
Sindroma anemia yaitu merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana
hal ini akan tampak jelas jika hemoglobin dibawah 7 – 8 g/dl dengan tanda-tanda
adanya kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, pucat, pusing, palpitasi, penurunan
daya konsentrasi, sulit nafas (khususnya saat latihan fisik), mata berkunang-
kunang, telinga mendenging, letargi, menurunnya daya tahan tubuh, dan keringat
dingin.
2. Gejala dari anemia defisiensi besi
Gejala ini merupakan khas pada anemia defisiensi besi dan tidak dijumpai
pada anemia jenis lainnya, yaitu :
a. Koilonychia/ spoon nail/ kuku sendok dimana kuku berubah jadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan jadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atropi papil lidah. Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
disebabkan karena hilangnya papil lidah.
c. Stomatitis angularis/ inflamasi sekitar sudut mulut.
d. Glositis.
e. Pica/ keinginan makan yang tidak biasa.
f. Disfagia merupakan nyeri menelan.
g. Atrofi mukosa gaster.
h. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala
dari anemia hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia.
Anemia defisiensi besi yang terjadi pada anak sangat bermakna, karena
dapat menimbulkan irritabilitas, fungsi cognitif yang buruk dan perkembangan
psikomotornya akan menurun. Prestasi belajar menurun pada anak usia sekolah
yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah lelah, rasa mengantuk. Selain itu
pada pria atau wanita dewasa menyebabkan penurunan produktivitas kerja yang
disebabkan oleh kelemahan tubuh, mudah lelah dalam melakukan pekerjaan fisik/
bekerja.
3. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi tersebut
Gejala awal ascariasis, selama migrasi paru awal, termasuk batuk,
dyspnea, mengi, dan nyeri dada. Nyeri perut, distensi, kolik, mual, anoreksia, dan
diare intermiten mungkin manifestasi dari obstruksi usus parsial atau lengkap oleh
11
cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukkan
gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) terutama
pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain itu cacing itu sendiri
dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga
terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti
urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.12,13
Sesuai dengan teori di atas pada pasien ini ditemukan manifestasi klinis
seperti lemas, pucat, dan nyeri perut.

3.6 PENEGAKKAN DIAGNOSTIK


1. Anamnesis
Riwayat factor predisposisi dan etiologi
a. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
b. Masa pertumbuhan cepat
c. Menstruasi
d. Infeksi kronis
e. Kurangnya besi yang diserap
f. Asupan besi dari makanan yang tidak adekuat
g. Malabsorbsi besi
h. Perdarahan
i. Infeksi parasit
j. Pucat, lemas, lesu

2. Pemeriksaan fisis
a. Tampak pucat, konjungtiva anemis
b. Tidak disertai ikterus, organomegali, atau limfadenopati
c. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah
d. Ditemukan bising jantung sistolik

3. Pemeriksaan penunjang
Parameter awal dari hitung darah lengkap biasanya menunjukkan klinisi
arah dari anemia defisiensi besi. MCV, MCH dan MCHC yang rendah dan film
darah hipokromik sangat mengarahkan terutama jika pasien diketahui mempunyai
hitung darah yang normal dimasa lalu.
Saturasi transferin biasanya dibawah 16%, serum ferritin kadarnya kurang
dari 12 µg/liter, protoporfirin eritrosit bebas sangat meningkat, terjadi peningkatan
TIBC, kadar besi serum menurun. Hapusan darah menunjukkan anemia
hipokromik mikrositik, anisositosis (banyak variasi ukuran eritrosit),
poikilositosis (banyak kelainan bentuk eritrosit), sel pensil, kadang- kadang
adanya sel target.1
Pada pemeriksaan hapusan darah, sel darah merah mikrositik hipokromik
apabila Hb < 13 g/dl (laki-laki), Hb < 12 g/dl (perempuan), mungkin leukopeni,
trombosit tinggi pada perdarahan aktif, retikulosit rendah.
Pada pemeriksaan sumsum tulang : hiperplasi eritroid, besi yang terwarnai sangat
rendah atau tidak ada.1
Cara menengakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja
secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis.
Selain itu diagnosis dapat dibuat apabila cacing dewasa keluar sendiri baik
melalui hidung maupun mulut karena muntah atau lewat tinja.
Pada kasus ini dalam anamnesa didapatkan adanya penurunan nafsu
makan sehingga asupan besi tidak adekuat, lemas, dan terdapat riwayat bermain di
tanah Bersama teman-temannya yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi
parasite. Pada pemeriksaan fisik dalam kasus ini di dapatkan Konjungtiva yang
anemis, tampak pucat, nyeri perut, Pada pemeriksaan penunjang dalam kasus ini
didapatkan penurunan Hb (), MCV, MCH, MCHC yang mengarah ke anemia
mikrositik normokrom, dan pada pemeriksaan tin ja didapatkan adanya telur
askariasis.

3.7 DIAGNOSIS BANDING


Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya seperti : anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia
sideroblastik.1
Tabel1. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi

3.8 TATALAKSANA
Pemberian terapi haruslah tepat setelah diagnosis ditegakkan supaya terapi
pada anemia ini berhasil. Dalam hal ini kausa yang mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi ini harus juga diterapi.
Pemberian terapi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:1
1. Terapi kausal
Terapi ini diberikan berdasarkan penyebab yang mendasari terjadinya
anemia defisiensi besi. Terapi kausal ini harus dilakukan segera kalau tidak,
anemia ini dengan mudah akan kambuh lagi atau bahkan pemberian preparat besi
tidak akan memberikan hasil yang diinginkan.
2. Terapi dengan preparat besi, pemberiannya dapat secara :
a. Oral
Preparat besi yang diberikan peroral merupakan terapi yang banyak
disukai oleh kebanyakan pasien, hal ini karena lebih efektif, lebih aman, dan dari
segi ekonomi preparat ini lebih murah. Preparat yang tersedia berupa :
a) Ferosulfat dosis 3 mg besi elemental/kgBB/hari oral diberikan
selama/sesudah makan.
b) Feroglukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih
rendah daripada ferosulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya
hampir sama.
c) Ferofumarat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk
memulihkan cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi.
Berhasilnya terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam
waktu kira-kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam
waktu 2-4 minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam
waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus
dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Jika pemberian
terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan –
kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral.
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian
preparat besi peroral antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya
belum teratasi), ketidakpatuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis
yang kurang, malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial.14
b. Parenteral
Pemberian preparat besi secara parenteral yaitu pada pasien dengan
malabsorbsi berat, penderita Crohn aktif, penderita yang tidak memberi respon
yang baik dengan terapi besi peroral, penderita yang tidak patuh dalam minum
preparat besi atau memang dianggap untuk memulihkan besi tubuh secara cepat
yaitu pada kehamilan tua, pasien hemodialisis. Ada beberapa contoh preparat besi
parenteral :
a) Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer). Pemberian dilakukan secara
intramuscular dalam dan dilakukan berulang.
b) Ferri hidroksida-sucrosa (Venofer). Pemberian secara intravena lambat
atau infus.
Harga preparat besi parenteral ini jelas lebih mahal dibandingkan dengan
preparat besi yang peroral. Selain itu efek samping preparat besi parental lebih
berbahaya. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi
parenteral meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis,
sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing,
urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian. Mengingat
banyaknya efek samping maka pemberian parenteral perlu dipertimbangkan benar
benar. Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati. Terlebih dulu
dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi selama
pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih
diantisipasi. Dosis besi parenteral harus diperhitungkan dengan tepat supaya tidak
kurang atau berlebihan, karena jika kelebihan dosis akan membahayakan si
pasien.1,14
3. Terapi lainnya berupa :
a. Diet
Perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan
tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.
b. Vitamin C
Pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini akan
membantu penyerapan besi. Diberikan 100 mg/15mg besi elemental.
c. Transfusi darah
Pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi kecuali dengan
indikasi tertentu.1,14
Untuk tatalaksana dalam pasien dengan infeksi parasite ascariasis
1. Edukasi kesehatan 8
a. Menghindari kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi
kotoran manusia
b. Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum mengambil makanan
c. Mencuci, mengupas atau memasak semua sayuran mentah dan buah-
buahan
d. Melindungi makanan dari tanah dan mencuci atau memanaskan
makanan apapun yang jatuh di lantai.
e. Ketersediaan air yang digunakan untuk personal hygiene serta tempat
pembuangan kotoran yang sehat. Dimana limbah digunakan untuk
irigasi kolam stabilisasi sampah dan beberapa teknologi lainnya yang
efektif dalam penurunan transmisi akibat makanan tumbuh di tanah
yang terkontaminasi.8
2. Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah:8,9,12,15
a. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang
baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat
umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi
migrasi ektopik.
b. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan
dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini mempunyai
keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat
berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai
cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
c. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis
tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat
badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan
mebendazol.
d. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750
mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan
tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
e. Albendazole
Albendazole mempunyai aktivitas anthelmintik yang besar. Selain bekerja
terhadap cacing dewasa, Albendazole telah terbukti mempunya aktivitas larvisidal
dan ovisidal obat ini secara selektip bekerja menghambat pengambilan glukosa
oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal. Akibatnya terjadi
pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit yang mana menyebabkan
berkurangnya pembentukan adenosine triphosphate (ATP). ATP ini penting untuk
reproduksi dan mempertahankan hidupnya, dan kemudian parasit akan mati.7
Spektrum aktivitasnya sangat luas yaitu meliputi Nematoda, Cestoda dan
infeksi Echinococcus pada manusia.Jadi, albendaroze aktif terhadap Ascaris
lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, Taenia saginata dan solium
strongloides stercoralis, Hymenolepis nana dan diminuta serta Echinococcus
granulosus .12
Albendazole merupakan obat yang aman, hanya sedikit jarang, ditemukan
efek samping berupa mulut kering, perasaan tak enak di epigastrium, mual, lemah
dan diare. S.C.Jagota (1986) meneliti efikasi Albendazole terhadap soil
transmitted helminthiasis dengan dosis 400 mg dosis tunggal dan tinja diperiksa
ulang pada minggu ketiga setelah pemberian obat pada penelitian ini diperoleh
angka kesembuhan 92.2% untuk Ancylostoma duodenale; 90 5% untuk Trichuris
trichiura dan 95.3% untuk Ascaris lumbricoides.12

3.9 PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang terpadu sangat diperlukan mengingat tingginya
prevalensi defisiensi besi di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang kebersihan lingkungan
tempat tinggal dan higiene sanitasi masyarakat dengan memberikan penyuluhan
tentang pemakaian jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah yang
terpencil.1
Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah,
membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan. Juga dilakukan
penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat pedesaan
mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein hewani, yaitu daging dan
penjelasan tentang bahan –bahan makanan apa saja yang dapat membantu
penyerapan zat besi dan yang dapat menghambat penyerapan besi.1

3.10 PROGNOSIS
Prognosis umumnya tidak sampai mengancam jiwa, namun dubia ad
bonam karena sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Bila penyakit
yang mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik, anemia dapat teratasi.14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:


InternaPublishing.
2. Permono,B. Ugrasena, IDG.2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya:
FK Unair.
3. Johnson TD, Graham DY. Diagnosis and management of iron deficiency

anemia in the 21st century. Ther Adv Gastroenterol, 2011. 4(3): 177-184

4. Permono HB et al. BUKU AJAR HEMATOLOGI-ONKOLOGI ANAK.

Badan penerbit IDAI; 2012.

5. Kliegman RM, et al. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition. Philadelphia:

Elseiver Saunders, 2011

6. IDAI. 2013. Anemia Defisiensi Besi pada Bayi dan Anak (Online).
(http://www.idai.or.id. Diakses 2 Mei 2016)
7. Cornady, Fadly. Anemia Defisiensi Besi (Online). (http://www.scribd.com,
diakses 4 Mei 2016).
8. World Health Organization (WHO). Water related diseases: Ascariasis.
Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH)
Available at URL: http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases/
ascariasis/en/. Accessed on May 2012.
9. Shoff, William H. Pediatric Ascariasis. Department of Emergency Medicine,
Hospital of the University of Pennsylvania. Available at URL:
http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview Accessed on May
2012.
10. Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice. Philadelphia: FA Davis Company.
11. Haburchak, David R. Ascariasis. Division of Infectious Disease, Medical
College of Georgia. Available at URL: http://emedicine.medscape.com/
article/212510-overview. Accessed on May 2012.
12. Syamsu, Yohandromeda. Ascariasis, Respons IgE dan Upaya
Penanggulangannya. Program Studi Imunologi Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga.
13. Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.
14. Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
15. Mardiana and Djarismawati. Helminthiosis Prevalence Among Compulsory
Learning of Public School Children In The Slum Areas Of Poverty
Elimination Integrated Program in Jakarta Province. Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008 : 769 – 774.

Anda mungkin juga menyukai