Anda di halaman 1dari 30

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2023

UNIVERSITAS PATTIMURA

DAPSONE HYPERSENSITIVITY SYNDROME

Disusun Oleh:

Christian Jordy Laisatamu

2022-84-175

Pembimbing:

Dr. Rita Sugiono Tanamal, Sp. KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul

“Dapsone Hypersensitivity Syndrome”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik oada bagian Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. M. Haulussy.

Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya

bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Rita S.

Tanamal, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu,

pikiran dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikam laporan kasus

ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak

sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan laporan kasus ini kedepannya.

Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Ambon, Maret 2023

Penulis
Laporan Kasus

DAPSONE HYPERSENSITIVITY SYNDROME

Christian Jordy Laisatamu (2022-84-175)

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

FK UNPATTI/RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

Pendahuluan

Dapsone hypersensitivity syndrome sendiri juga dikenal sebagai “five

weeks dermatitis” merupakaan keadaan yang terjadi selama terapi penggunaan

dapson dan muncul secara tiba-tiba dalam 2-8 minggu penggunaan dengan

terjadinya setidaknya dua dari beberapa gejala berikut yaitu: demam, erupsi kulit,

kemerahan pada kulit, limfadenopati generalisata, hepatitis, dan

hepatosplenomegali. dapsone hypersensitivity syndrome adalah kasus yang cukup

jarang terjadi, akan tetapi dapat terjadi dengan variasi waktu antara 48 jam-6

bulan setelah penggunaan terapi dapson. 1,2

Dapsone hypersensitivity syndrome pertama kali ditemukan oleh Lowe

pada awal tahun 1950 di Nigeria dan diberi nama oleh Allday dan Barnes pada

tahun 1951.1,3 Prevalensi angka kejadian dari dapsone hypersensitivity syndrome

sekitar 1,4% dengan angka mortalitas mencapai 9,9% dengan rentan usia 5-84

tahun, dan kegagalan fungsi hati sebagai penyebab utama kematian yang paling

sering. Menurut penelitian yang dilakukan di Cina oleh Tian WW, dkk (2012)

tingkat kejadian dapson sekitar 1% dengan angka mortalitas mencapai 11,1% dan
di Indonesia sendiri telah dilaporkan satu kasus dapsone hypersensitivity

syndrome yang terjadi pada tahun 2014 di RS Sitanala, Tangerang. 1,4

Dapson adalah sulfonamide kimiawi dengan mekanisme leprostatiknya

yang digunakan dalam pengobatan “Hansen’s Desease”. Obat ini adalah salah

satu obat yang paling aman pada pasien kusta. Terlepas dari tingkat keamanan,

dapson dikaitkan dengan efek samping seperti anemia hemolitik, dermatitis alergi,

agranulositosis, methaemoglobinemia, dan dapsone hypersensitivity syndrome

(DHS).2,3

Dapsone hypersensitivity syndrome adalah suatu reaksi hipersensitivitas

tipe lambat dan jarang ditemukan. Patogenesis pada sindrom ini masih belum

begitu jelas akan tetapi sindrom ini diperkirakan disebabkan oleh metabolit

dapson yang adalah hasil dari dua jalur metabolisme yaitu: 1. Jalur N-asetilasi dan

2. Jalur N-hidroksilasi. Pada jalur N-asetilasi tidak berhubungan dengan kejadian

dari efek samping yang ditimbulkan oleh dapson akan tetapi pada jalur N-

hidroksilasi akan menghasilkan hidroksilamin yang merupakan senyawa toksik

dan berperan dalam kejadian anemia hemolitik serta sindrom dapson. Penyebab

dari produksi metabolit toksik akibat dari adanya ketidakseimbangan proses

metabolisme pada hati akibat penurunan proses asetilasi dan peningkatan proses

hidroksilasi yang cepat.1 Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan pada

populasi di Papua dan Papua Barat menunjukkan adanya hubungan antara

dapsone hypersensitivity syndrome dengan keberadaan dari HLAB*13;01 serta

keberadaan satu lokus pada MHC (Major Histocompatibility Complex) yang

menjadi faktor risiko dan prediktor sindrom dapson. Hal tersebut juga ditemukan
pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh populasi di Cina, akan

tetapi masih diperlukan untuk penelitian lebih lanjut terkait hal ini. 1,14

Reaksi dapsone hypersensitivity syndrome termasuk kedalam sindrom

hipersensitivitas apabila gejala muncul antara minggu 2-8 pengobatan dengan

menunjukkan setidaknya dua dari tanda atau gejala berikut: 1. Demam, 2. Erupsi

kulit, 3. Limfadenopati, 4. Anemia hemolitik, dan 5. Keterlibatan organ lain

(hepatomegali, ikterus, dan/atau satu tes fungsi hati yang abnormal).2-4

Prinsip penatalaksanaan utama pada dapson hypersensitivity syndrom

adalah dengan menghentikan penggunaan dapson secepatnya yang disertai dengan

penggunaan glukokortikoid baik secara oral atau parenteral seperti prednisone,

prednisolone ataupun metilprednisolon. Regimen dosis yang direkomendasikan

dalam penanganan adalah metilprednisolon 1-2 mg/kgBB/hari selama 3 hari.

Penurunan dosis secara bertahap dapat dilakukan setelah penggunaan

glukokortikoid yang lebih dari satu bulan. Apabila pasien tidak dapat diberikan

glukokortikoid akibat adanya kontraindikasi seperti glaucoma, osteoporosis berat,

hiperglikemia, dan psikosis berat maka dapat diberikan imunosupresan lain seperti

metotreksat, azatioprin, sikosporin, atau hidroksiklorokuin. Walaupun belum ada

penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan imunosupresan tersebut akan tetapi

masih dapat menguntungkan terhadap kondisi pasien.1

Diagnosis dapsone hypersensitivity syndrome ditegakkan berdasarkan

anamnesis, gambaran klinis, serta pemeriksaan penunjang. 1

Tujuan dalam penulisan laporan ini untuk membahas mengenai dapsone

syndrome dan penatalaksanannya.


Kasus

Seorang wanita usia 34 tahun, suku Maluku, bangsa Indonesia, alamat

Wanat, datang ke RSUD Dr. M. Haulussy Ambon pada tanggal 13 Februari 2023

(No.RM: 17 07 18) dan konsul dari dokter penyakit dalam dengan keluhan kulit

mengelupas hampir di seluruh tubuh sejak 2 minggu SMRS, serta keluhan

kemerahan pada kulit, terasa panas, dan mual.

Autonamnesis

Pasien datang dengan rujukan dari spesialis penyakit dalam dengan

keluhan kulit wajah terkelupas dan kemerahan pada seluruh tubuh serta lemas

yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Riwayat higienitas dirumah baik, mandi

serta mengganti pakaian secara rutin. Di rumah, keluraga tidak ada yang

merasakan keluhan yang sama. Riwayat penyakit, pasien menderita Morbus

Hansen (MH) dengan pengobatan MDT MB. Riwayat pengobatan, pasien

mengkonsumsi MDT MB sejak satu bulan yang lalu pada tanggal 01 Januari

2023, dan telah putus obat sejak 02 Februari 2023 (keluhan muncul di minggu ke-

5 pada bulan ke-2 penggunaan terapi), kemudian muncul keluhan kulit terkelupas

pada wajah pasien. Serta keluhan kemerahan pada kulit pasien, terasa panas, dan

mual. Pasien juga mengeluhkan mati rasa pada 4 anggota geraknya sejak satu

tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis

(E4V5M6)
TTV : TD: 100/60 mmHg, Nadi: 102×/menit, RR: 22×/menit,

Suhu: 39,7°C, SpO2: 96%

Kepala : Normochepal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)

Mulut : Sianosis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks : BJ I/II regular, BJ tambahan (-)

Aksila : Tidak ada pembesaran KGB

Abdomen : Distensi abdomen (-), bising (+) normal

Inguinal : TDP

Genitalia : TDP

Ekstremitas atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-)

Status dermatologis

1. Lokasi : Regio facialis, Regio ekstremitas superior et inferior

Efloresensi : Makula hiperpigmentasi, skuama, dan eritema


Gambar 1. Gambaran efloresensi hari pertama pada facial

Gambar 2. Gambaran efloresensi hari pertama pada ekstremitas atas


Gambar 3. Gambaran efloresensi hari pertama pada ekstremitas bawah

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah rutin (13/Feb/2023)

Hasil Satuan Nilai Normal

DARAH LENGKAP

Hemoglobin (HGB) 6.6 g/dL 10.85-14.90

Eritrosit (RBC) 2.06 Juta/uL 4.1-5.5

Hematokrit (hct) 20.6 % 34-45.1

MCV 100.0 fL 71.8.4-92

MCH 32.0 pg 22.6-31.0

MCHC 32.0 g/dl 32-36

Trombosit (PLT) 303 ribu/uL 150-400

Leukosit (WBC) 11.23 ribu/uL 4.79-11.34


HITUNG JENIS LEUKOSIT

Basofil 0.4 % 0-1

Eosinofil 12.2 % 1-3

Neutrophil 45.1 % 50-70

Limfosit 30.6 % 20-40

Monosit 11.7 % 2-8

Golongan Darah A

Rhesus +/positif - -

2. Pemeriksaan kimia darah (13/Feb/2023)

a. Fungsi ginjal

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Ureum 19 mg/dL 10-50

Kreatinin 0.6 mg/dl 0.7-1.2

b. Fungsi hati

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

SGOT 674 U/L ≤31

SGPT 934 U/L ≤34

Bilirubin Total 14.6 mg/dl 0.3-1.1

Bilirubin Direct 11.0 mg/dl 0.1-0.4

Bilirubin Indirect 3.6 mg/dl 0.3-0.9


c. Glukosa darah

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Glukosa Sewaktu 100 mg/dL 70-139

3. Pemeriksaan elektrolit (13/Feb/2023)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Na 135 mmol/l 135-147

K 4.3 mmol/l 3.5-5

Cl 96 mmol/l 94-111

4. Pemeriksaan serologi (13/Feb/2023)

a. Hepatitis

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan

HBsAg Non
- 135-147
Kualitatif reaktif

b. Anti HIV

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Keterangan

Normal

Anti HIV Reagen:


Non reaktif - Non reaktif
metode 1 VIROSCHECK

Anti HIV Reagen: DAS


Non reaktif - Non reaktif
metode 2
Anti HIV Reagen:
Non reaktif - Non reaktif
metode 3 RAPIDAN

Kesimpulan
Incloclusive -
HIV

Resume

Seorang wanita usia 34 tahun dengan keluhan kulit mengelupas hampir

diseluruh tubuh sejak 2 minggu yang lalu, disertai dengan kemerahan pada

seluruh kulit, terasa panas, dan mual. Pasien memiliki riwayat penyakit yaitu

morbus hansen (MH) dan menggunakan terapi MDT MB. Pasien menggunakan

terapi MDT MB sejak satu bulan yang lalu pada tanggal 01 Janurai 2023, dan

telah putus obat sejak 02 Februari 2023 (keluhan muncul di minggu ke-5 pada

bulan ke-2 penggunaan terapi). Kemudian muncul keluhan kulit terkelupas pada

wajah pasien yang disertai kemerahan pada kulit, terasa panas, dan mual.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan tekanan darah 100/60

mmHg, peningkatan suhu 39,7°C. Pada status dermatologis didapatkan makula

hiperpigmentasi (+), skuama (+), eritema (+) pada regio facialis, regio ekstremitas

superior dan inferior. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan eosinofilia,

neutrofilia, monositosis, dan peningkatan enzim hati.

Diagnosis Banding:

1. Erupsi obat alergik

2. Eritroderma
Diagnosis Sementara: Dapsone Hypersensitivity Syndrome

Penatalaksanaan

1. Terapi : - IVFD RL 120 tpm

- Injeksi Ceftriaxone 2×1 gr/iv

- Injeksi metilprednisolon 62,5 mg/iv

- Kanalog 2× di oles dalam mulut dan bibir

- Curcuma 3×1 tab

- Hepa Q 3×1

2. Anjuran : - Jika di ruangan sudah bisa mandi, dapat mandi menggunakan

sabun bayi

- MDT MB dihentikan

- Penggunaan obat yang teratur

Prognosis

- Ad vitam : dubia bonam ad malam

- Ad functiona : dubia bonam ad malam

- Ad sanationam : dubia bonam ad malam


Follow Up

Visite pasien A:
14/Feb/2022 - MH tipe MB on terapi
S: - Erupsi obat alergi ec.
Kulit wajah mengelupas Dapson
O: P:
Squama tersebar - Transfusi PRC
general, macula - Injeks Ceftriaksone 2×1
hiperpigmentasi, eritem gr/iv
pada lesi - Injeksi
TTV: Methilprednisolone 62,5
- TD : 100/60 mmHg mg/iv
- Nadi : 102x/menit Catatan:
- RR : 22x/menit - Pemeriksaan darah rutin,
- Suhu : 39,°C fungsi hati, albumin,
- SpO2 : 96% free ureum, kreatinin telah
room air dilakukan pengambilan
darah sejak tanggal 13
Februari 2023
- Obat Topikal sudah
diberikan sejak tanggal
13 Februari 2023
Visite patients A:
18/Feb/2023 - MH tipe MB on terapi
S: - Erupsi obat alergi ec.
Mati rasa pada area lesi, Dapson
seperti tertusuk P:
O: - Transfusi PRC
Squama tersebar - Injeksi
general, macula Methilprednisolone 31,25
hiperpigmentasi, eritem mg (0,5cc)/iv
pada lesi, - Bibir kering: Kenalog in
TTV: orabase 2×1
- TD : 100/60 mmHg - Injeksi Ceftriaxone 1 gr
- Nadi : 80x/menit Catatan:
- RR : 22x/menit - Obat Topikal sudah
- Suhu : 38,5°C diberikan sejak tanggal
- SpO2 : 90% free 13 Februari 2023
room air
Visite patients A:
24/Feb/2023 - MH tipe MB on terapi
S: - Erupsi obat alergi ec.
Mati rasa pada area lesi, Dapson
gatal berkurang, bercak P :
kemerahan (-), dan sisik - Injeksi methilprednisolon
berkurang, sklera ikterik 31,25 mg (0,5 cc)/iv
(+) - Bibir kering: Kenalog in
O: orabase (2×1)
Squama tersebar - Desoksimetason:
general, macula Mikonazole 1:1 2×app
hiperpigmentasi pada - Stop MDT sampai
bekas lesi keluhan utama membaik
TTV:
- TD : 100/60 mmHg
- Nadi : 89x/menit
- RR : 22x/menit
- Suhu : 36.4°C
- SpO2 : 99% Free
Room Air

Visite patients A:

25/Feb/2023 - MH tipe MB on terapi


- Erupsi obat alergi ec.
S:
Dapson
Mati rasa pada area lesi,
P:
gatal berkurang, bercak
- Injeksi
kemerahan (-), dan sisik
methilprednisolon 8
berkurang, sklera ikterik
mg
(berkurang)
- Bibir kering: Kanalog
O:
in orabase 2×1
Squama tersebar
- Desoksimetasone:
general, macula
Mikonazole 1:1
hiperpigmentasi pada
2×app
bekas lesi
- Stop MDT sampai
TTV:
keluhan utama
- TD : 110/80 mmHg
membaik
- Nadi : 88x/menit
- Jika dirumah terapi
- RR : 20x/menit
MHMD tanpa dapson
- Suhu : 36,1°C

- SpO2 : 98% Free

Room Air

Pembahasan

Diagnosis DHS dalam kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien wanita berusia 34 tahun

dirujuk ke RSUD Dr. M. Haulussy Ambon pada tanggal 13 Februari 2023 dengan

keluhan kulit mengelupas dan kemerahan pada seluruh kulit yang disertai dengan

mati rasa pada 4 anggota geraknya sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan

telah putus obat sejak 1 bulan yang pada tanggal 01 Januari 2023. Berdasarkan

kepustakaan DHS paling banyak terjadi pada negara-negara di Asia.1,4,10 Studi

literatur yang dilakukan oleh Lorenz (2012) rentan usia kejadian DHS adalah 5-83

tahun, tingkat insidensi didapatkan bahwa kasus DHS paling sering terjadi pada

laki-laki dengan jumlah kasus sebanyak 171 (59,2%) kasus dibandingkan pada

perempuan dengan jumlah kasus sebanyak 118 (40,8%) kasus.10

Etiologi dari DHS pada pasien merupakan penggunaan MDT MB yang

salah satu kandungannya adalah dapson. Menurut kepustakaan etiologi pada DHS

belum dapat dipahami dengan baik, akan tetapi beberapa pendapat

mengemukakan bahwa DHS merupakan reaksi hipersensitifitas dari bahan

diamino diphenyl sulfone dengan beberapa temuan karakteristik berupa 1.

Demam, 2. Erupsi kulit, 3. Limfadenopati, 4. Anemia hemolitik, dan 5.


Keterlibatan organ lain (hepatomegali, ikterus, dan/atau fungsi hati yang

abnormal).2-4,12 Mekanisme pasti yang dapat mendasari kejadian DHS masih

belum diketahui dengan jelas. Terdapat tiga hipotesis yang diajukan yaitu: respon

imun humoral, delayed reaction dari mekanisme hipersensitivitas, dan

metabolisme hati yang berubah dalam memproduksi metabolit toksik sekunder.

Pembentukan metabolit intermediet toksik melalui jalur N-hidroksilasi inilah yang

dianggap sebagai penyebab dari anemia hemolitik, methemoglobinemia, serta

DHS ini. Beberapa penelitian lain juga mengatakan terdapat perbedaan produksi

dan detoksifikasi metabolit reaktif juga ikut berperan penting pada reaksi

hipersensitivitas sulfonamide. Produksi metabolit toksis (hydroxylamine) akibat

ketidakseimbangan dari metabolisme dapson dapat menjadi faktor risiko anemia

hemolitik12-14 DHS diduga terkait dengan adanya produksi serta gangguan

metabolit reaktif dapson, sehingga membentuk hapten dengan antibody terhadapt

dapson berupa anti-dapson. Selain itu juga, terdapat Human Leukocyte Antigen

(HLA)-B*13:01 yang dikatakan manjadi faktor risiko untuk dapat terjadinya

DHS.12,15

Pada pemeriksaan fisik didapatkan makula hiperpigmentasi yang hampir

pada seluruh permukaan kulit, eritema pada regio ekstremitas atas dan facial, serta

skuama pada regio facialis. Berdasarkan kepustakaan adanya temuan dua dari

gejala klinis berupa demam, erupsi kulit, limfadenopati, anemia hemolitik, dan

keterlibatan organ seperti hepatomegali, adanya ikterus, dan/atau fungsi hati yang

abnormal dapat mengindikasikan terjadinya DHS. 1,5-8 DHS memiliki trias klasik

yang dapat dikenali yaitu: demam, keterlibatan beberapa organ dalam berupa hati,
ginjal, hematologi, dan lainnya, serta timbulnya erupsi kulit. Pada pasien terdapat

keterlibatan organ hati yang ditandai dengan adanya mual, peningkatan

SGOT/SGPT, terdapat juga keterlibatan organ ginjal yang ditandai dengan kadar

penurunan kadar kreatinin, dan pada sistem hematologi ditandai dengan lemas dan

anemia.12,16

Pemeriksaan laboratorium pada pasien didapatkan hemoglobin 6,6 g/dl,

eritrosit 2,06 juta/uL, hematokrit 20,6%, MCV 100,0 fL, MCH 32,0 pg, leukosit

11,23 ribu/uL, eosinifil 12,2%, neutrofil 45,2%, monosit 11,7%, kreatinin 0,6

mg/dL, SGOT 674 U/L, SGPT 934 U/L, bilirubin total 14,6 mg/dl, bilirubin direct

11,0 mg/dl, bilirubin indirect 3,6 mg/dl sedangkan yang lainnya masih dalam

batas normal. Berdasarkan kepustakaan pasien DHS sering ditemui dengan

anemia, limfositosis, eosinophilia, dan adanya peningkatan enzim hati yang hal ini

menunjukan adanya penyesuaian dari hasil laboratorium pasien yang ditandai

dengan adanya anemia, eosinophilia serta dengan peningkatan SGOT, SGPT,

bilirubin.2,9 Kriteri berikut dikemukakan oleh Richardius dan Smith dalam

mendiagnosa DHS:7

1. Terdapat setidaknya dua dari tanda berikut: demam, erupsi kulit,

limfadenopati, serta kalianan hati (hepatomegali, hepatitis, ikterus,

dan/atau pemeriksaan fugsi hati yang tidak normal.

2. Muncul efek samping antara minggu kedua hingga kedelapan setelah

pemeberian terapi dapson yang menghilang dengan penghentian obat.

3. Gejala tidak dikaitkan dengan obat lain yang digunakan secara

bersamaan atau reaksi morbus hansen.


4. Gejala tidak terkait dengan penyakit lain.

Diagnosis banding dengan erupsi obat alergi dapat disingkirkan. Menurut

kepustakaan erupsi obat alergik merupakan reaksi hipersensitivitas dari obat

dengan manifestasi klinis pada kulit dengan atau tanpa keterlibatan pada mukosa.

Pada penyakit ini, reaksi klinis yang ditimbulkan dalam waktu singkat serta

membangkitkan reaksi respon imun spesifik. Erupsi obat alergik merupakan

manifestasi paling sering dari reaksi obat alergik.22 Manifestasi paling sering dari

erupsi obat alergik adalah erupsi morbiliformis, urtikaria/angioedema, dan fixed

drug eruption. Yang paling berat adalah Sindrom Steven-Jhonson, dan nekrosis

epidennal toksik, serta beberapa manifestasi lainnya seperti: dermatitis kontak

alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik, dan eritema

nodusum.17 Pada reaksi erupsi obat alergik, dari gambaran klinis dapat ditemui

juga eritema general-universal. Apabila didapatkan urtikaria dan angioedema, lesi

hanya akan bertahan selama 24 jam kemudian hilang secara perlahan dengan

predileksi dapat terjadi pada seluruh tubuh untuk urtikaria dan daerah bibir,

kelopak mata, genitalia ekseterna, dan tangan-kaki untuk angioedema.16-18

Diagnosis banding dengan eritroderma dapat disingkirkan. Menurut

kepustakaan eritroderma merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan adanya

eritema universal dan biasanya disertai dengan skuama. Berdasarkan definisi yang

diberikan maka mutlak harus ada eritema, sedangkan skuama tidak selamanya

akan ditemukan.22 Eritema yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah, pasien

akan merasakan dingin serta menggigil. Pada reaksi eritema di eritroderma ini

memiliki onset yang cepat yang mana terjadi segera hingga dua minggu sejak
pemberian obat sistemik, dan apabila dihubungkan pada skenario. 18 Pada pasien

bila dibandingkan dengan eritroderma menunjukan begitu jelas berupa onset dari

perjalanan penyakit pasien ini. Pada eritroderma terjadi dengan segera hingga dua

minggu setelah paparan sedangkan pada pasien ini telah diberikan dan menjalani

pengobatan selama 5 minggu lalu diikuti dengan keluhan dan gejala.

Patalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian injeksi

metiprednisolon 62,5 mg/iv dan injeksi Ceftriaxone 2×1 gr/iv. Berdasarkan

kepustakaan langkah awal dalam penetalaksanaan DHS adalah menghentikan

terapi dapson dengan segera.1 Pemberian steroid sistemik berupa prednisone oral

1 mg/kgBB/hari atau methilprednisolon dosis ekuivalen.6,19 Setelah

pemberhentian dapson dan pemberian steroid, gejala klinis yang tampak pada

pasien secara cepat akan mengalami perbaikan dapat menurunkan derajat

kesakitan serta keparahan terhadap DHS.19 Perwatan suportif juga diperlukan

untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, suhu, nutrisi,

perawatan lesi kulit, dan manajemen sepsis perlu untuk dilakukan. Pemberian

antihistamin oral juga bisa diberikan untuk mengurangi rasa gatal, dan pemberian

emolien untuk perawatan kulit.20,21 Pemberian injeksi ceftriaxone 2×1 gr

berdasarkan temuan hasil laboratorium yang ditandai dengan eosinofilia maka

dapat diberikan antibiotic walaupun tidak sesuai dengan regimen penanganan

DHS.19-20

Ringkasan

Telah dilaporkan suatu kasus Dapson Hypersensitivity Syndrome pada

seorang wanita berusia 34 tahun dengan keluhan utama kulit mengelupas hamper
di seluruh tubuh, disertai kemerahan pada seluruh kulit, terasa pamas dan disertai

dengan mual. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan tekanan darah 100/60

mmHg, peningkatan suhu 39,7°C. Pada status dermatologis didapatkan makula

hiperpigmentasi (+), skuama (+), eritema (+) pada regio facialis, regio ekstremitas

superior dan inferior. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan eosinofilia,

neutrofilia, monositosis, dan peningkatan enzim hati.

Terapi yang digunakan adalah terapi sistemik berupa injeksi

metiprednisolon 62,5 mg/iv dan injeksi Ceftriaxone 2×1 gr/iv.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam, ad functionam, ad sanationam :

dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. WILLIAM. Pathophysiology , Signs And Symptoms Of Dapson Syndrome

And Its Management. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida

Wacana. 2019; Hal 1–6.

2. Palimbong F, Mellynawati, Kandou RT. Dapsone Hypersensitivity Syndrome

In Morbus Hansen Multi Basiler Patients: A Case Report. Jurnal Biomedik.

2019;11(3): Hal 150–5. 4

3. Gunturu LN, V S, SANTHOSH C R, KIRAN VN H. Dapsone

Hypersensitivity Syndrome: A Complication Of Dapsone Therapy. Innovare

Journal Of Medical Sciences. 2021;9(2): Hal 7–8.

4. Vinod KV, Arun K, Dutta TK. Dapsone Hypersensitivity Syndrome: A Rare

Life Threatening Complication Of Dapsone Therapy. Journal Of

Pharmacology And Pharmacotherapeutics. 2013;4(2): Hal 158–60.

5. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmers R,

editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. UK: Wiley Blackwell;

2016. hal 1913–5.

6. Goh CL, Pan JY. Dapsone. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. United

States: Mc Graw Hill Education; 2019. hal 3423–9.

7. Wang N, Parimi L, Liu H, Zhang F. A review on dapsone hypersensitivity

syndrome among chinese patients with an emphasis on preventing adverse

drug reactions with genetic testing. American Journal of Tropical Medicine

and Hygiene. 2017;96(5): hal 1014–8.

8. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw-

Hill; 2012.

9. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM. Contact

dermatitis and drug eruptions. In: Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical

Dermatology. 13th ed. China: Elsevier; 2020. hal 115–7.

10. Lorenz M, Wozel G, Schmit J. Hypersensitivity reactions to dapsone: a

systematic review. Acta Dermato-Venereologica. 2012;92(2): hal 194–9.

11. Khare AK, Bansal NK, Meena HS. Dapsone syndrome--a case report. Indian
Journal of Leprosy [Internet]. 1995;59(1): hal 106–9. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/S0377-1237(17)30972-3

12. Craig J, MacRae C, Melvin RG, Boggild AK. Case report: a case of type 1

leprosy reaction and dapsone hypersensitivity syndrome complicating the

clinical course of multibacillary leprosy. American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene. 2019;100(5): hal 1145–8.

13. Kesari HV, Gawali UP, Agharia MAM. Dapsone hypersensitivity syndrome:

a potentially fatal condition-case report. Journal of Clinical and Diagnostic

Research. 2017;11(12): hal FD01–3.

14. Anggraini DI. Erupsi obat alergi : tinjauan kasus sindrom hipersensitivitas

obat pada pasien dalam pengobatan morbus hansen allergic drugs eruption :

case report of drug hypersensitivity syndrome of patient during morbus

hansen therapy. JK Unila. 2017;1(3): hal 573–7.

15. Krismawati H, Irwanto A, Pongtiku A, Irwan ID, Maladan Y, Sitanggang

YA, et al. Validation study of hla-b* 13:01 as a biomarker of dapsone


hypersensitivity syndrome in leprosy patients in indonesia. PLoS Neglected

Tropical Diseases. 2020;14(10): hal 1–11.

16. Simrun D, K Koteshwar K, Rajavardhan T, Bhavani M, Reddannal L,

Sreedhar V S. A case report on dapsone syndrome. Indian Journal of

Pharmacy Practice. 2019;12(4): hal 277–9.

17. Putra IB. Drug Allergic Eruption. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Erupsi Obat Alergikpsi Obat Alergik. 2008; hal 1–26.

18. Djuanda A. Eritroderma. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.

Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2019. p.

228–31.

19. Bolognia JL, Schaffer J V, Cerroni L. Medical therapy: other systemic drugs.

In: Callen JP, Cowen EW, Hruza G, Jorizzo JL, Lui H, Requena L, et al.,

editors. Dermatology. 4th ed. China: Elsevier; 2018. p. 2288–9.

20. Palimbong F, Kandou RT. Sindrom hipersensitivitas dapson pada pasien

morbus hansen multi- basiler: laporan kasus. Jurnal Biomedik. 2019;11(3):

hal 150–5.

21. Bharat Sharma. Medically significant hypersensitivity reaction to dapsone: a

case report. International Healthcare Research Journal. 2018;2(1): hal 10–1.

22. Budianti WK. Erupsi obat alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th

ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2019.

hal 190–5.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai