Oleh:
Wiladatika Ananda I4061172066
Pembimbing
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
BAB II
PENYAJIAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 22 th
Agama : Budha
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Swasta
Status Pernikahan : Belum Menikah
2. ANAMNESA
1. Keluhan utama :
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di tubuh sejak 1 bulan
yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan yang tiba-tiba muncul
sejak 2 minggu SMRS. Benjolan muncul pertama kali di lengan dan terasa
nyeri. Pasien mengatakan awalnya benjolan hanya muncul satu dan
semakin lama semakin bertambah. Tidak ada gatal. Keluhan disertai
demam dan badan lemah sejak 3 hari SMRS, keluhan mual dan muntah
disangkal. Pasien mengaku sudah mengkonsumsi obat MDT-MB dari
dokter selama 1 tahun.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita Morbus Hansen dan telah menjalani pengobatan bulan
terakhir
4. Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak ada mengalami keluhan yang sama
4
5. Riwayat Sosioekonomi
Pasien merupakan seorang pegawai swasta sejak ± 1 tahun. Pasien
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pasien tinggal bersama
kedua orangtua, dan dua saudaranya
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 10 November 2018
a. Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi pernafasan : 20x/menit
Frekuensi nadi : 80x/menit
Gizi : Baik
TB : 175 Cm
BB : 68 Kg
b. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemia (-/-). Sklera ikterik (-/-) mata
cekung (-/-)
Wajah : Terdapat makula hiperpigmentasi berukuran
numular sampai plakat, terdapat nodul
hiperpigmentasi berukuran numular
THT : Telinga = aurikula tidak terdapat kelainan, liang
telinga lapang, serumen (-/-)membran timpani intak,
Hidung = deviasi septum (-), mukosa normal, konka
normal
Tenggorokan = faring hiperemis (-/-), tonsil T0-T0
Thoraks : Pergerakan dada simetris, suara paru vesikular,
ronkhi(-/-), wheezing (-/-), suara jantung S1-S2,
murmur (-)
5
Abdomen : Bentuk flat, dinding perut supel, bising usus (+),
nyeri tekan (-)
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
Ekstremitas Atas : Terdapat Makula Hiperpigmentasi berukuran
numular sampai plakat, terdapat nodul
hiperpigmentasi berukuran numular
EkstremitasBawah:Terdapat Makula Hiperpigmentasi berukuran
numular sampai plakat
c. Status Dermatovenerologis
Ditemukan 3 makula hiperpigmentasi berbatas tegas dengan ukuran
numuler sampai plakat dan nodul pada regio facialis dan regio
antebrachii
5. DIAGNOSIS
Eritema Nodosum Leprosum
6
6. DIAGNOSIS BANDING
Eritema nodosum
Sarkoidosis
7. PENATALAKSANAAN
Glisodin 1x1
Mersibion 1x1
Paracetamol 3x500 mg
Vitaquin cream -> malam
Parasol sunblock lotion -> pagi
8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Qua ad fungsionam : ad bonam
Qua ad sanationam : dubia
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Eritema nodusum leprosum (ENL) merupakan reaksi kusta tipe 2 yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Comb dan Gell. Antigen
dalam reaksi berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan
antibodi membentuk kompleks Ag-Ab yang akan mengaktivasi komplemen
sehingga terjadi ENL.1
B. EPIDEMOLOGI
ENL terjadi pada kusta tipe multibasiler (MB). Reaksi ENL
ditemukan terjadi antara 19-26 % dari kasus kusta tipe MB di Nepal, India
dan Thailand. Di Indonesia di RSUD Dr. Sutomo Surabaya ditemukan 24%
penderita kusta MB mengalami reaksi ENL.2
Indonesia merupakan negara dengan insiden terbanyak ketiga di dunia
penderita kusta setelah India dan Brazil. Pada tahun 2012 jumlah kasus baru
tercatat 18.994 orang dan jumlah kasus terdaftar 22.390 orang dengan angka
prevalensi 0,86 per 10.000 penduduk, dan 80,96 % diantaranya merupakan
kusta tipe multibasiler (MB).4
C. ETIOLOGI
Selama perjalanan penyakit kusta mungkin dapat terjadi suatu reaksi kusta
sebagai respon imun terhadap Mycobacterium Leprae. Penyakit kusta atau
Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae. Penyakit ini adalah tipe granulomatosa pada saraf
tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda
yang bisa diamati dari luar.5
8
D. GEJALA KLINIS
Karakteristik reaksi kusta tipe 2 adalah hanya terjadi pada kusta tipe MB
yang biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umunya lebih
dari 6 bulan. Manifestasi Eritema Nodosum Leprosum (ENL) berupa nodul
kemerahan, nyeri, dan dapat berkembang dalam beberapa jam atau beberapa
hari. Lokalisasi lesi seringkali pada sepanjang permukaan ekstensor lengan
dan tungkai, punggung, wajah, tetapi dapat dimana saja. Reaksi kusta tipe 2
biasanya disertai dengan demam, malaise, uveitis, serta dapat terjadi anemia,
leukositosis dan fungsi hati yang normal.6
E. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya ENL sampai saat ini belum diketahui pasti
penyebabnya baik penderita yang telah berobat maupun yang belum berobat.
Namun diduga faktor pencetus terjadinya ENL adalah infeksi bakteri, stress,
infeksi tuberkulosis, vaksinasi dan kehamilan. Akan tetapi beberapa
menyimpulkan dapat disebabkan oleh infeksi stress dan respon imunologi.
Teori lain mengatakan bahwa Eritema nodusum leprosum (ENL)
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Comb dan Gell. ENL
diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi yang
ada pada pembuluh darah. Karena suatu rangsangan, baik yang non spesifik
seperti infeksi bakteri, stress, kehamilan atau rangsangan yang lebih spesifik
seperti superinfeksi dengan penyakit tuberkulosis, sehingga terjadi infiltrasi
sel T helper (Th2). Sel Th2 ini menghasilkan berbagai sitokin, antara lain
interleukin 4 (IL 4) yang menginduksi sel B menjadi sel plasma untuk
kemudian memproduksi antibodi. Terbentuklah ikatan antigen M. Leprae
dengan antibodi tersebut di jaringan, disusul dengan aktivasi komplemen. Hal
ini terlihat dengan penurunan C3 darah. Imunopatologi ENL juga dipelajari
dengan menganalisa pola mRNA sitokin menggunakan PCR. Pola mRNA
sitokin pada ENL menunjukkan peningkatan jumlah mRNA untuk IL-4, IL5
dan IL10. Artinya reaksi ini menunjukkan respon Th2 yang dominan. Dengan
9
demikian, reaksi ENL bisa dibayangkan sebagai respon Th2 yang diikuti
pembentukan antibody dan kompleks imun. Itulah sebabnya penimbunan
kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi
ENL.7
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada kasus ini adalah eritema nodosum dan
sarkoidosis. Eritema nodosum adalah salah satu tuberculosis kutis berupa
eritema dan nodus yang nyeri berupa demam dan malaise. Tempat
predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Sedangkan sarkoidosis
merupakan penyakit yang berhubungan dengan proses peradangan yang dapat
menyerang apa saja pada tubuh. Penyakit ini ditandai dengan adanya
granuloma dan daerah kecil yang berisi sel-sel radang. Sarkoidosis juga dapat
diartikan sebagai retikulosis granulomatosa sistemik yang kronik progresif
tanpa sebab yang jelas, di tandai dengan tuberkel keras pada hamper semua
organ dan jaringan, termasuk kulit, paru, kelenjar getah bening, hati, limpa.
Berdasarkan gambaran klinis dan tempat predileksinya maka kedua
diagnosis banding dari kasus ini dapat disingkirkan.8
G. DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
histopatologik, bakterioskopik, hematologi dan pemeriksaan serologik.
Temuan histologis pada ENL tipe 2 bila terdapat infiltrasi neutrofil pada
granuloma makrofag. 9,10
10
Gambar 3.1. ENL tipe 26
Pada pemeriksaan hematologi didapatkan leukositosis PMN, peningkatan
enzim hati. Pada kondisi hematokrit yang berat dapat mengalami penurunan
secara tiba-tiba sampai 5gr/dl yang biasanya dikelirukan dengan kondisi
dapson-indiced hemolysis.6
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Pemeriksaan bakteriologik yang
dilakukan berupa slit skin smear atau kerokan jaringan kulit yang kemudian
diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium leprae.. sediaan
dibuat dari apusan kulit atau kerokan cuping telinga yang di warnai dengan
pewarnaan dengan metode ziehl-neelsen, pewarnaan dengan carbol fuchsin
0,3%. Basil lepra akan terlihat seperti batang-batang merah dengan latar
belakang biru.11
Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. adapun macam-macam
pemeriksaan serologic kusta ialah:
1. Uji Elisa (Enzyme Linked Immuno-Shorbent Assay)
Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus
serta keterampilan tinngi, sehingga dalam penyakit kusta hanya
dilakukan untuk keperluan khusus, misalnya untuk penelitian atau kasus
tertentu. Keuntungan uji Elisa ini adalah sangat sensitive, sehingga dapat
11
mendeteksi antibody dalam jumlah yang sangat sedikit. Prinsip uji Elisa
adalah mengukur benyaknya ikatan antigen-antibodi yang terbentuk
dengan member label pada ikatan tersebut. Bila uji ini digunakan
memantau hasil pengobatan kusta, penurunan antibody spesifik bias
terlihat jelas dengan memeriksa serum penderita secara berkala setiap 3
bulan sekali.
2. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Teknik ini dikembangkan oleh izumi dkk. Dengan dasar reaksi
antigen-antibodi yang akan menyebabkan pengendepan (aglutinasi)
partikel yang terikat akibat reaksi tersebut. Karena mudah dilaksanakan
dan cepat diketahui hasilnya (hanya diperlukan waktu sekitar 2 jam).
3. ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstik)
Pemeriksaan serologik dengan menggunakan Mycobacterium Leprae
dipstick (ML Dipstick) ditujukan untuk mendeteksi antibody IgM yang
spesifik terhadap M.leprae. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
menegakkan terutama untuk kusta stadium awal, pemantauan hasil
pengobatan dan deteksi adanya relaps serta membedakannya dengan
reaksi reversal.
Kortikosteroid sistemik yang juga efekktif digunakan pada reaksi tipe
2, tetapi penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan komplikasi dan
ketergantungan sehingga thalidomide lebih sering digunakan untuk terapi
ENL. Reaksi lepra membutuhkan penanganan secepatnya karena dapat
menyebabkan deformitas yang irreversible. Pada kasus ini diberikan
prednisone dosis 40mg/hari dengan aturan minum 3 tablet prednisone 5 mg
pada pagi hari, 3 tablet prednisone 5 mg pada pagi dan siang hari. MDT harus
di lanjutkan dengan dosis penuh tanpa pengurangan. Pasien juga diberikan
paracetamol sebagai antipiretik untuk meredakan demam, istirahat yang
cukup juga diperlukan. Pasien juga di berikan neurodex dengan dosis 3x1.
Neurodex dapat memperbaiki kerusakan jaringan saraf.6
12
H. TATA LAKSANA
Pengobatan utama reaksi ENL adalah kortikosteroid, dimana sebagian
besar pemberian dalam jangka waktu lama dapat mencapai 2 – 3 bulan.
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proses inflamasi fase awal dan
fase lambat serta menurunkan kemotaksis neutrofil dan menghambat sintesis
prostaglandin. Obat ini juga menekan imunitas seluler melalui deplesi sel T,
khususnya sel T-helper sehingga terjadi perubahan rasio sel T helper dan
supressor, dan menyebabkan kekurangan limfokin pro-inflamasi. Pada saat
reaksi ENL membaik dan sembuh dosis kortikosteroid diturunkan atau
pemberian kortikosteroid dihentikan. Pada saat penurunan penurunan dosis
seringkali terjadi reaksi ENL berulang sehingga kortikosteroid harus
diberikan lagi seperti dosis semula dan diturunkan perlahan-lahan. Hal ini
dapat berlanjut sampai beberapa episode. Padahal pemberian kortikosteroid
dosis tinggi dalam waktu lama akan menimbulkan banyak efek samping dan
komplikasi, hal ini karena kortikosteroid menekan sintesa protein.12
Dengan melihat fenomena diatas, sampai saat ini peran kortikosteroid pada
kejadian ENL berulang belum dapat dijelaskan . Pemberian kortikosteroid
dengan dosis besar dan jangka waktu lama dapat mencetuskan insufisiensi
kortikosteroid jaringan. Kortisol adalah kortikosteroid utama yang disekresi
oleh korteks adrenal. Pada orang sehat, bebas dari stress, kortisol disekresi
menurut variasi diurnal dibawah pengaruh kostikotropin yang dikeluarkan
oleh kelenjar pituitari. Dalam sirkulasi kortisol berikatan dengan globulin.
Adanya penyakit infeksi berat, trauma, atau operasi terjadi peningkatan
produksi kortisol yang banyaknya sesuai dengan beratnya penyakit. Efek
tersebut akan menyebabkan peningkatan produksi corticotropin relasing
hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus dan corticotropin oleh
hipopituitari dan penurunan dalam feedback negative dari kortisol. Stimulasi
dari aksis hypothalamic-pituitary - adrenal dalam kasus ini disebabkan oleh
peningkatan kadar sitokin dan faktor lainnya selama peristiwa diatas. Selama
keadaan penyakit akut kadar corticosteroid binding globulin (CBG) menurun
secara cepat, menyebabkan peningkatan kadar kortisol bebas dalam sirkulasi.
13
Pada keadaan inflamasi kadar kortikosteroid bebas meningkat hal ini
disebabkan oleh lepasnya CBG oleh netrofil sehingga kadar kortisol plasma
turun. Kortikosteroid eksogen dapat juga menekan produksi corticotropin
relasing hormon dan corticotropin dan dapat mencetuskan atropi adrenal
yang dapat menetap selama berbulan-bulan setelah penghentian terapi
kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan lebih dari 2 – 3 minggu sudah dapat
terjadi penekanan korteks adrenal. Apabila dosis kortikosteroid hendak
diturunkan, maka sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Saat reaksi ENL menghasilkan sitokin utama dari respon Th-2, dengan
memproduksi IL-6, IL-8, IL-10 dan TNF-α. Juga ditemukan dalam jumlah
signifikan TGF-β didalam serum penderita ENL. Peningkatan kadar TGF-β
pada reaksi ENL juga berkaitan dengan gambaran klinis dan imunologi,
tingginya kadar TGF-β ini dapat berpartisipasi untuk menekan imunitas
selular.
Pada penderita kusta yang mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT) akan menyebabkan M.leprae mengalami fragmented, salah satu
bagian dari bakteri yang bersifat antigen yaitu Phenolic-glycolipid-1 (PGL-1).
Dengan adanya antigen PGL-1 akan merangsang pembentukan antibodi IgM
anti PGL-1, antibodi inilah akan bereaksi dengan antigen PGL-1 yang baru
terbentuk dan ini akan menyebabkan terjadi reaksi ENL. Keberadaan antibodi
terhadap PGL-1 berhubungan dengan banyaknya bakteri (BI) M.leprae pada
penderita, dimana saat timbul reaksi ENL kadar antibodi IgM anti PGL-1
meningkat.
Pemeriksaan antibodi IgM PGL-1 juga dapat berguna sebagai penentu
diagnosa dini dan prognosa penyakit kusta. Pada penelitian tahun 2007
mendapatkan antibodi PGL-1 dan C reactive protein (CRP) meningkat pada
kusta tipe MB yang mengalami reaksi ENL. Juga pada tahun 2009 didapatkan
bahwa ada hubungan antara kadar antibodi PGL-1 dengan jumlah bakteri (BI)
pada kusta tipe MB, yang cenderung mengalami reaksi ENL.
14
I. PROGNOSIS
Prognosis ENL akan baik jika didiagnosis dengan cepat dan dengan
pengobatan yang tepat. Eritema Nodosum Leprosum ringan dapat
menghilangkan segera tetapi ENL yang berat dapat menetap selama bertahun-
tahun, lesi pada wajah juga dapat berakibat pada mata dengan komplikasi
kebutaan.6
15
BAB III
PEMBAHASAN
16
punggung, wajah, tetapi dapat dimana saja. Reaksi kusta tipe 2 biasanya disertai
dengan demam, malaise, uveitis, serta dapat terjadi anemia, leukositosis dan
fungsi hati yang normal.6
Tatalaksana yang diberikan pemberian Glisodin 1x1, Mersibion 1x1,
Paracetamol 3x500 mg, Vitaquin cream untuk penggunaan malam, dan Parasol
sunblock lotion untuk penggunaan pagi. Prognosis ENL akan baik jika
didiagnosis dengan cepat dan dengan pengobatan yang tepat. Eritema Nodosum
Leprosum ringan dapat menghilang segera tetapi ENL yang berat dapat menetap
selama bertahun-tahun, lesi pada wajah juga dapat berakibat pada mata dengan
komplikasi kebutaan.
17
BAB IV
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
10. Sarita Shasidaranpillai, et all. A study on histological of leprae reaction
in patients attending the dermatology department of the government
medical collage. Accepted for publication 24january 2013.
11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan penyehatan
Lingkungan:2012
12. Leal AM, Magalhaes PK, Souza CS, Foss NT. Adrenocortical hormones
and interleukin patterns in leprosy, Eur J Clin Mikcrobiol. Parasite
Immunology 2003 ; 25 : 457- 61.
20