Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi

di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau

parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum

suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah

penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan

subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah.

Abses adalah suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri / parasit atau

karena adanya benda asing (misalnya luka peluru maupun jarum suntik) dan

mengandung nanah yang merupakan campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel

darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik.

Terdapat berbagai macam abses sesuai letaknya, seperti abses ginjal, abses

perimandibular, abses submandibular, abses hepar, abses serebri, abses gluteus dan

abses femur. Hal tersebut biasanya terjadi karena kuman masuk ke dalam jaringan yang

sehat melalui benda asing yang masuk ke dalamnya.

Proses penyembuhan abses sangat bergantung pada sterilitas dalam proses

perawatan luka abses tersebut. Oleh karena itu dalam penulisan laporan kasus ini akan

dibahas mengenai definisi, etiologi, gejala, perjalanan penyakit, diagnosis, komplikasi,

penatalaksanaan dan prognosis abses.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS

Nama : Ny. S

Umur : 48 Tahun

Jenis kelamin : Wanita

Alamat : Gumining RT 04 RW 01 Tambakrejo Duduk Sampeyan Gresik

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Tanggal masuk : 14 November 2017, 22.24 WIB

No. RM : 32.03.42

2.2 ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Benjolan di paha

B. RPS : Pasien mengeluh timbul benjolan di paha sejak 1

minggu sebelum masuk rumah sakit. Benjolan

awalnya kecil, lama-kelamaan membesar seperti bola

pingpong dan sejak 2 hari ini semakin besar seperti

sekarang. Benjolan juga terasa sakit dan semakin sakit

bila benjolan disentuh. Tidak ada keluhan penyerta

seperti demam, mual, muntah.

C. RPD : Riwayat luka di jempol kaki kiri + dan sekrang sudah

mongering, DM + sejak 3 tahun ( rutin konsumsi

2
glibenklamid dan metformin) , HT + sejak 3 tahun (

rutin konsumsi amplodipin )

D. RPK : Riwayat keluhan serupa -, DM -, HT –

E. RSos : Pasien seorang ibu rumah tangga. Tidak ada riwayat

pekerjaan yang berhubungan dengan sakit pasien.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Komposmentis

GCS : 456

Vital Sign TD : 181/129 mmHg

N : 116 x/menit

RR : 22 x/menit

Suhu : 36.2 ◦C

Status Generalis 

 Kepala/Leher : a-/i-/d-/c-

 Thorax : Semetris

Pulmo

Inspeksi : Simetris, Retraction (-)

Palpasi : thrill -, fremishment -, ekspansi dinding dada simetris

Percussion : sonor/sonor

Auscultation :, ves/ves , Rhonki-/-, Wheezing -/-

3
Cor

Inspeksi : Ictus cordis (-)

Palpasi : dbn

Percussion : dbn

Auskultasi : S1S2 tunggal, murmur (-) , gallop (-)

 Abdomen

Inspeksi : dbn

Palpation : Soepel, nyeri tekan -, H/L ttb

Perkusi : timpani,

Auskultasi : BU (+) N

 Extremity : Akral hangat, kering, merah,

edema (-),

cyanosis (-)

Status Lokalis Regio Femur Dextra :

Terdapat edema berwarna kemerahan dengan bitnik supuratif + berukuran 10 x 10

cm , nyeri tekan +

4
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium:

Hematologi:

- Hb : 9.1 mg/dl (P:13 – 18 mg/dl, L14 – 18 mg/dl)

- Leukosit : 30.300 µl (5000 – 10000 µl)

- Neutropil : 85.1 % (49-67%)

- Limposit : 6.6 % (25-33%)

- Monosit : 6.5 % (3-7%)

- Eosinopil : 1.3 % (1-2%)

- Basofil : 0.5 % (0-1%)

- Eritrosit : 3.43 µl (3,80-5,30 µl)

- Hct : 28.5 % (L40 – 54 %)

5
- RDW : 11 % (10-16,5%)

- Trombosit : 749.000/µl (150.000 – 400.000/µl)

- MPV :4

-MCH : 26.5 pg (28-36 pg)

-MCHC : 31.9 g/dL (31-37 g/dL)

-MCV : 83.1 fl (87-100 pg)

-HbsAg : Negatif

-Metode 1 HIV : Non reaktif

Gula Darah:

-GDA : 732

Hemoestasis:

-PT : 10.60

-APTT : 36.20

2.5 CLUE AND CUE

 Wanita, 48 tahun

 Benjolan di paha kanan

 Kemerahan

 Nyeri

 Riwayat DM

2.6 ASSESMENT

Abses femoralis dextra

6
2.7 PLANNING TERAPI

 MRS

 Infus RL Loading 500 cc  lanjut maintenance RL 1500 cc/24 jam

 Inj. Na. Metamizole 3 x 1 gr

 Inj. Ranitidin 2 x 50 mg

 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

 Inj. Metronidazole 3 x 500 mg

 Bolus Insulin 4 iu  lanjut Pump 2 iu/jam

2.8 PLANNING MONITORING

 Keluhan pasien

 Vital sign

 Kadar GDA

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di

sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau

parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum

suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah

penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit

dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah.

Abses adalah terjadinya pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam

rongga di bawah kulit. Kejadian abses bermula dari trauma yang diikuti masuknya

bakteri. Ketika bakteri/benda asing berada dalam jaringan, terbentuklah eksudat

kemudian terakumulasi, jika tidak segera diekskresikan atau di absorbsi tubuh,

maka akan memicu terbentuknya kapsul fibrous yang juga sering diikuti rupturnya

jaringan. Penanganan yang tertunda akan memicu terbentuknya jaringan ikat pada

dinding abses, jika hal ini terjadi maka ruang abses harus diisi dengan jaringan

pengganti.

B. Etiologi

Abses kulit juga bisa terjadi setelah suatu luka ringan, cedera atau sebagai

komplikasi dari folikulitis atau bisul. Abses kulit bisa timbul di setiap bagian tubuh

dan menyerang berbagai usia.

Penyebab utama terjadinya abses yaitu adanya benda asing yang diikuti bakteri

pyogenic. (Stapilokokkus Spp, Escerika Coli, β Hemolytik Streptokokkus Spp,

8
Pseudomonas, Mycobakteria, Pasteurella multocida, Corinobacteria,

Achinomicetes) dan juga bakteri yang bersifat obligat anaerob (Bakteriodes spp,

Clostridium, Peptostreptokokkus, Fasobakterium).

Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroflora normal yang umumnya

berada pada hidung dan kulit dengan rentangan insidens 20-85%, sementara pada

kulit 5-25%, pada rongga mulut 10-35%.19 Bakteri ini bersifat patogen yang

memiliki kemampuan untuk menimbulkan penyakit pada manusia apabila

dipengaruhi faktor predisposisi seperti perubahan kuantitas bakteri dan penurunan

daya tahan tubuh host.

C. Gejala Klinis

Manifestasi klinis pada abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh.

Leukositosis juga terjadi pada abses. Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan,

bengkak, terlihat jelas, nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah

jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk,menggigil atau demam (lebih dari

37,7 oC

D. Patifisiologi

Anatomi Kulit

1. Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,

stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar

dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya

telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum lusidum terdapat langsung di bawah

9
lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang

berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak

tangan dan kaki

Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir

kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum

spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-

beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung

glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin

gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel

yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar jembatan-jembatan

ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel

spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak

glikogen.

Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertical pada

perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan

epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mrngalami mitosis dan berfungsi reproduktif.

Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan

protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang

antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda,

dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes) .

2. Dermis

Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-

10
elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars

papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh

darah, dan pars retikulare yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini

terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar

lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat

pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidrksiprolin dan hidroksisilin.

Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin

stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk

amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.

3. Subkutis

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel

lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir

sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu

dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus

adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi,

pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung

pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan

penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan (Djuanda, 2003).

Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian atas dermis

(pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang di dermis

bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars

retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar.

Bergandengan dengan pembuluh darah teedapat saluran getah bening.

11
Gambar 3.1

Skema kulit

Patofisiologi

Kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara

mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis,

kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin

yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan

kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi

imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan

12
korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus

yang kuat untuk terjadi infeksi.

Infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan

merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi

arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi

lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat

lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang

dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga

produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi.

Pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke

seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai

mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini

memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya migrasi

leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase

hyperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya

plasma untuk masuk ke dalam jaringan,sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah

akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi

akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan

eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam

rongga abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut

termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung

saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan

13
termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya

gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya

mobilitas.

Inflamasi terus terjadi selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan

jaringan bias diberantas maka debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi

resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan

sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau

bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan,

dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris

yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan

yang rusak.Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti

akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila

pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh

bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus

kekuningan sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang diinsisi dapat

meningkatkan risiko penyebaran infeksi.

14
Infeksi kuman  eksotoksin / endotoksin

Merusak dinding pembuluh darah Mengaktifkan mekanisme


pertahanan tubuh dari infeksi

Mediator
Neutrofil memfagosit kuman Inflamasi release

Timbul pus dari campuran Reaksi inflamasi


Kuman yang mati dan neutrofil

Terbentuk jaringan granulasi Lokal Sistemik


di sekitar pus

E. Diagnosis

Diagnosi abses dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada

anamnesis biasanya kita mendapatkan dari keluhan pasien berupa benjolan

kemerahan yang terasa nyeri. Untuk keluhan demam biasanya terjadi, namun juga

15
bisa saja tidak terjadi tergantung mekanisme pertahanan tubuh individu. Sedangkan

dari pemeriksaan fisik kita dapatkan peningkatan suhu tubuh, pada status lokalis

kita dapatkan edema kemerahan disertai adanya bintik supuratif. Pada lokasi edema

terdapat nyeri tekan dan pada perabaan terasa panas.

Untuk pemeriksaan penunjang, bisa kita lihat dari pemeriksaan darah lengkap

didapatkan adanya leukositosis. Sedangkan untuk usg bisa dilakukan agar

mengetahui sedalam apa dasar absesnya dan dapat menentukan penanganan

selanjutnya. Dari hasil insisi abses, pus dapat diperiksa dan dilakukan kultur.

F. Diagnosis Banding

Selulitis

Osteomielitis

Hideranitis supurativa

Kista epidermal

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan abses itu sendiri prinsip yang digunakan yaitu insisi dan drainase.

Karena insisi dan drainase merupakan perawatan terbaik pada abses tersebut. Insisi

dilakukan jika tidak terjadi drainase spontan dari abses.

Teknik Operasi

Menjelang operasi

 Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang

akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan

dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi. (Informed consent).

16
 Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.

 Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.

 Antibiotika terapi, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan Garamycin,

dosis menyesuaikan untuk profilaksis.

Tahapan operasi

 Desinfeksi menggunakan betadine 10% atau hibitane alkohol 70% 1:1000 atau

alkohol 70%, pada lapangan operasi sesuai dengan lokasi dari abses.

 Lapangan operasi dipersempit dengan menggunakan linen steril (penderita

diberi oksigenasi dengan masker atau nasal pronge), dan lakukan komunikasi

yang baik supaya penderita tidak gelisah dan lebih kooperatif.

 Insisi dekompresi dengan anestesi lokal atau kalau terpaksa (penderita tidak

kooperatif) dengan narkose.

 Irisan disesuaikan dengan garis Langer pada tempat yang fluktuasi maksimal

sepanjang 2 cm, hingga menembus kapsul abses. Dengan klem bengkok

kantung abses dibuka secara tumpul sehingga nanah yang terkumpul disitu

dapat mengalir keluar melalui luka insisi.

 Lakukan kultur dan sensitifitas untuk kuman penyebabnya.

 Dipasang drain hanschoen yang difiksasi pada kulit.

Perawatan Pascabedah

 Infus RL/D5 sesuai kebutuhan cairan.


 Injeksi antibiotika dilanjutkan sampai 5 hari.

17
 Rawat luka dengan kompres larutan garam faali (bukan betadine), sehingga
luka terjaga kebersihannya.
 Evaluasi sumber infeksi dan apakah ada diabetes mellitus.
 Jangan lupa dianjurkan untuk berobat lanjutan sumber infeksinya.

H. Prognosis

Dengan penanganan yang tepat dan cepat, akan mengurangi resiko komplikasi.

Untuk kasus ini angka mortalitas sangat rendah.

18
BAB IV

PEMBAHASAN

Dilaporkan pada kasus Ny S, 48 tahun dating ke IGD RS Muhammadiyah Lamongan

dengan keluhan timbul benjolan di paha sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Benjolan awalnya kecil, lama-kelamaan membesar seperti bola pingpong dan sejak 2

hari ini semakin besar seperti sekarang. Benjolan juga terasa sakit dan semakin sakit

bila benjolan disentuh. Tidak ada keluhan penyerta seperti demam, mual, muntah.

Berdasarkan teori, keluhan yang ditimbulkan oleh abses adalah timbulnya benjolan

yang terasa nyeri akibat dari infeksi bakteri yang menyebabkan penumpukan pus serta

pengaktifan mediator inflamasi yang dapat menyebabkan keluhan nyeri.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema berwarna kemerahan dengan bintik supuratif

+ berukuran 10 x 10 cm , nyeri tekan +. Hal ini berhubungan dengan adanya infeksi

menyebabkan penumpukkan sel-sel mati dan neutropil yang disekitarnya diselubungi

oleh lapisan granuloma sehingga timbul edema. Akibat adanya infeksi dapat

menyebabkan inflamasi.

Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan dlengkap didapatkan tanda infeksi

berupa peningkatan leukosit. Untuk terapi pada pasien dilakukan insisi dan drainase

abses sesuai dengan teori. Serta pasien diberikan terapi antibiotik. Untuk pusnya

dilakukan kultur.

19
20
BAB V

KESIMPULAN

Abses adalah suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri / parasit atau karena

adanya benda asing dan mengandung nanah yang merupakan campuran dari jaringan

nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim

autolitik.

Pada pasien Ny. S mengeluh timbul benjolan kemerahan dan terasa nyeri pada paha

kanannya. Dari hasi anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis abses

femoralis dextra dan dilakukan tindakan insisi dan drainase abses. Tindakan tersebut

untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk lagi. Untuk selanjutnya pasien

harus merawat luka insisi tersebut agar hasilnya baik dan mencegah infeksi pada luka

tersebut. Pasien juga diharapkan mengontrol kadar glukosa darah, karena dengan tidak

terkontrolnya kadar glukosa darah akan memperparah kondisi luka.

21
DAFTAR PUSTAKA

Keast, D., & Orsted, H. (2007). The basic principles of wound healing. Diakses 26

November 2017 dari http:// www.cawc.net.

Morison, Moya J. 2003. Manajemen Luka. Jakarta : EGC

Price, S. A., & Wilson, L. M.(2006). Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease

Processes. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Editor bahasa indonesia : Huriawati

Hartanto. Edisi 6. Jakarta : EGC.

S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC,

Jakarta

Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8,

Volume 2, EGC, Jakarta.

Sudiarto, Ta’adi, & Sudirman. (2005). Efek penggunaan NaCl 0,9% dan bethadin

dalam manajemen luka paska operasi mayor di BP RSUD Kraton Pekalongan

tahun 2005. Media penelitian dan pengembangan kesehatan. Jakarta.

Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai