Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis kutis adalah salah satu penyakit kulit yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang.
Hal ini tidak hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus
dipikirkan namun juga diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi
mikrobiologi untuk kasus ini.1 Secara garis besar terdapat empat kategori dari
tuberkulosis kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi tuberkulosis
primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen
(skrofuloderma), atau yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis
orifisialis), penyebaran secara hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliaris
akut dan tuberkulosis ulkus, guma, atau abses) dan tuberkulid (eritema induratum
[Bazins disease], tuberkulid papulonekrotik, dan liken skrofulosorum).2
Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tuberkulosis kutis yang disebutkan
dalam literatur kedokteran. Skrofuloderma adalah tuberkulosis kutis tersering di
negara berkembang dan sebagian Eropa. Penyakit ini menyerang semua usia
mulai dari anak-anak, dewasa muda, hingga orang tua.1 Skrofuloderma
merupakan hasil penjalaran secara perkontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya berupa kelenjar limfe, tulang atau
sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tuberkulosis sebelumnya.
Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan
skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus
limfe servikal, lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikuler, tibia,
dan fibula. Wajah, leher, dan dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi
dari skrofuloderma.1,3

1
Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma
awalnya ditandai dengan limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan,
likuifaksi hingga terbentuknya jaringan parut.4 Pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi skrofuloderma di samping
terapi pembedahan.1

2
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. SR
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Purwonegoro Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah
Tanggal Periksa : 19 Oktober 2017
B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Bercak kuning basah mengelupas dan kemerahan.
Keluhan Tambahan:
Kelainan bertambah luas, demam, batuk, sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan bercak mengelupas di sekitar leher dan dada. Bercak
terjadi sejak kurang lebih 3 tahun lalu. Bercak dirasakan semakin meluas dan
terasa mengganggu aktivitas. Kelainan tersebut tidak disertai gatal. Kronologi
terjadinya kelainan tersebut diawali dengan adanya benjolan disekitar leher,
benjolan terasa nyeri lalu benjolan pecah kemudian membentuk ceruk, dan
timbul bercak yang meluas sampai dengan dada. Faktor memperingan gejala
yaitu saat luka keropeng hilang dibersihkan dengan air hangat. Faktor
memperberatnya timbul seiring dengan batuk yang terus menerus.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu batuk lama disertai dahak
berwarna merah sejak 3 tahun lalu dan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak napas bersifat mengganggu aktivitas. Sesak napas memberat
ketika pasien tidur miring ke arah kanan. Pasien juga mengeluhkan demam dan
berkeringat pada malam hari. Saat ini pasien dipasang WSD dan keluhan sesak
napas sudah mulai membaik

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit paru : batuk lama (tanpa pengobatan 6 bulan)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya dan seorang kakak. Pasien tinggal di
dalam rumah beratap genting berlantai ubin dengan 3 kamar tidur serta 1 kamar
mandi, ventilasi cukup. Pasien bekerja menjadi buruh perbulan sebesar Rp.
1.000.000-1.500.000.

C. Status Generalis
Keadaaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 23 x/menit
Suhu : 37,2C

4
Kepala : Mesochepal,rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut kering, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 T1 , tidak hiperemis, detritus (-)
Leher : pembesaran KGB (-), tampak luka meluas dengan krusta
kuning dan dasar kemerahan
Thorax
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru :

Inspeksi : Gerak napas kanan tertinggal

Palpasi : Vokal fremitus melemah, gerakan napas kanan


tertinggal

Perkusi : Paru kanan redup, paru kiri sonor

Auskultasi : SD vesikular (+)/(+), RBK (+)/(+), Whz (-)/(-)

Abdomen : datar, timpani, supel, nyeri tekan (-), BU (+) N


Ekstremitas : Akral hangat (+/+)/(+/+)
edema (-/-)(-/-)
sianosis (-/-)(-/-)

5
D. Status Dermatologis
Lokasi : leher dan dada
Efloresensi :
Plak dan krusta berwarna kuning diatas kulit dengan dasar berwarna ungu
kemerahan disertai skar, berbatas tegas, konfigurasi serpiginosa, distribusi di
leher sampai dengan thorax mengikuti arah pembuluh limfe (limfenodi).

Gambar 2.1.
Skrofuloderma di sekitar
leher dan dada.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap
Hemoglobin : 11.1 g/dl (L)
Leukosit : 22310 U/L (L)
Hematokrit : 34 % (L)
Eritrosit : 34.6 x106/ul

6
Trombosit : 688.000/ul (H)
MCV : 73.0 fL (L)
MCH : 24.1 pg/cell (L)
MCHC : 33.0 %
RDW : 16.5 % (H)
MPV : 8.1 fL (L)

Kimia klinik
Ureum darah : 21.3 mg/dl
Kreatinin darah : 0.86 mg/dl
Gula darah sewaktu : 136 mg/dl
Natrium : 132 mmol/L (L)
Kalium : 3.6 mmol/L
Klorida : 95 mmol/L (L)
SGOT : 113 (H)
SGPT : 23
Albumin : 1.96 (L)

b. Sputum BTA
Sputum S-P-S BTA (+/+/+)

c. Foto thorak

d. Pemeriksaan mikroskopis cairan


WSD

F. Resume
Pasien mengeluhkan bercak mengelupas di sekitar leher dan dada. Bercak
terjadi sejak kurang lebih 3 tahun lalu. Bercak dirasakan semakin meluas dan

7
terasa mengganggu aktivitas. Kelainan tersebut tidak disertai gatal. Kronologi
terjadinya kelainan tersebut diawali dengan adanya benjolan disekitar leher,
benjolan terasa nyeri lalu benjolan pecah kemudian membentuk ceruk, dan
timbul bercak yang meluas sampai dengan dada. Faktor memperingan gejala
yaitu saat luka keropeng hilang dibersihkan dengan air hangat. Faktor
memperberatnya timbul seiring dengan batuk yang terus menerus.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu batuk lama disertai dahak berwarna
merah sejak 3 tahun lalu dan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak napas bersifat mengganggu aktivitas. Sesak napas memberat ketika
pasien tidur miring ke arah kanan. Pasien juga mengeluhkan demam dan
berkeringat pada malam hari. Saat ini pasien dipasang WSD dan keluhan sesak
napas sudah mulai membaik
Status dermatologis ditemuka efloresensi plak dan krusta berwarna kuning di
atas kulit dengan dasar berwarna ungu kemerahan disertai skar, berbatas tegas,
konfigurasi serpiginosa, distribusi di leher sampai dengan thorax mengikuti arah
pembuluh limfe (limfenodi).

G. Diagnosa Kerja
Skrofuloderma

H. Diagnosis Banding
Hidradenitis supuratif
Aktinomikosis
Impetigo krustosa

I. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
a. Pemasangan WSD

2. Medikamentosa

8
a. IVFD RL 20 tpm
b. Plasbumin 20% 100 cc
c. Inj. Ceftriaxon 2x1 gram IV
d. Inj. Paracetamol 2x400 mg IV bila demam
e. Salep
Acdat II
Asil 3%
Soft u derm I
mf cream da in pot, 2 x oles pagi dan malam

f. Rifampisin 15mg/kgBB/hari = 600 mg/hari


Isoniazid 20 mg/kgBB/hari = 800 mg/hari
Pirazinamid 30 mg/KgBB/hari =1200 mg/hari
Etambutol 25 mg/kgBB/hari =1000 mg/hari
g. Kompres NaCL 0.9 % sebelum diberikan salep

3. Edukasi
a. Jelaskan mengenai penyakit yang diderita (penyebab, gejala klinis, dan
penatalaksanaanya).
b. Gunakan masker untuk meminimalisir penularan.
c. Minum OAT teratur.
d. Edukasi pengawas minum obat (dari keluarga) agar memperhatikan
dan paham tentang pengobatan TB.
e. Skrining TB untuk seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah.
f. Diet dengan gizi seimbang.
g. Jaga kebersihan lukanya.
h. Gunakan salep yang rutin untuk membantu penyembuhan lukanya
i. Jangan memegang luka tersebut dalam keadaan tangan kotor

J. PROGNOSIS

9
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad kosmeticam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

10
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis
adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan
kehancuran sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran
langsung dari suatu organ di bawah kulit yang mengandung kuman tuberkulosis
dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis tuberkulosis, tuberkulosis
tulang dan sendi, epididimitis tuberkulosis.

B. Epidemiologi
Sklofuloderma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) merupakan
bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul tuberkulosis kutis verukosa (13%),
bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Tuberkulosis kutis umumnya pada
anak-anak dan dewasa muda, wanita agak lebih sering dibanding pria.5

C. Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan kuman tuberkulosis yang secara langsung
menginfeksi kulit (ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit dan luka terbuka).
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama dari skrofuloderma.
Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol
yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini
resisten terhadap degradasi setelah fagositosis. Mycobacterium scrofulaceum,
Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung
Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga merupakan etiologi lain dari
skrofuloderma.4

D. Patogenesis

11
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran perkontinuitatum dari organ di
bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari
kelenjar getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu
tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah
bening superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul di ketiak
dan yang terjarang pada lipat paha.
Port dentre skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika
di ketiak kemungkinan port dentre pada apeks pleura, bisa di lipat paha pada
ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang
sekaligus, yakni pada leher, ketiak, dan lipat paha. Kemungkinan besar terjadi
penyebaran secara hematogen.
Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa
pembesaran kelenjar getah bening tanpa tanda-tanda radang akut selain tumor.
Mula-mula hanya beberapa kelenjar getah bening yang diserang lalu makin
banyak dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis juga terdapat periadenitis
yang menyebabkan perlekatan kelenjar getah bening tersebut dengan jaringan di
sekitarnya. Kemudian kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan tidak
serentak, mengakibatkan konsistensinya kenyal dan lunak (abses dingin). Abses
akan memecah dan membentuk fistel. Kemudian muara fistel meluas hingga
menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas, yaitu bentuknya memanjang dan tidak
teratur, di sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan, dinding bergaung, jaringan
granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mengering menjadi krusta
berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan menjadi sikatriks-
sikatriks yang juga memanjang dan tidak teratur. Kadang-kadang di atas sikatriks
tersebut terdapat jembatan kulit (skin bridge).5

E. Gejala Klinis
Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibular, dan
supraklavikula serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran

12
dari kelenjar getah bening servikal sedangkan lokasi lain yang cukup sering
adalah aksila dan inguinal. Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis
tuberkulosis, setelah berbulan-bulan liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk
ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk memanjang, serpiginosa, tidak
teratur dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan,
menggaung, lunak dengan dasar jaingan granulasi tertutup pus seropurulen.
Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit. Saluran sinusoid yang
terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi organ dalam atau
membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding dada,
dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan
parut ini menghubungkan are ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan
proses penyembuhannya memakan waku yang lama.4

Gambar 3.1. Skrofuloderma

F. Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
a. Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis

13
b. Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah,
sekolah, tempat kerja, dan lain-lain)
c. Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya
d. Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko
infeksi tuberkulosis
e. Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada
penderita, misalnya batuk lama, berkeringat banyak di malam hari,
nafsu makan menurun, kelainan miksi, dan lain-lain
2. Pemeriksaan fisik
a. Pembesaran kelenjar getah bening
b. Abses dan multiple sinus
c. Ulkus yang khas
d. Jaringan parut
e. Jembatan kulit (skin bridge)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi pada posisi PA
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama
yang berasal dari paru
b. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan
basil tahan asam dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap
bahan yang diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media
Lowenstein Jensen. Pada penderita dengan skrofuloderma hasil
pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab
skrofuloderma misalnya Mycobacterium tuberculosis.
c. Pemeriksaan laboratorium darah
Hasil pada umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah
(LED)
d. Pemeriksaan histopatologi

14
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya
inflamasi akut dan kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian
tengah lesi didominasi oleh nekrosis masif dan pembentukan
abses. Namun bagian perifer dari abses atau batas-batas sinus
mengandung granuloma tuberkuloid. Nekrosis perkejuan dengan
bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang
lebih dalam. Basil tuberkulosis dapat diisolasi dengan mudah
melalui pus.
e. Tes tuberkulin
Biasanya hasilnya positif
f. Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus
Dilakukan pada media Lowenstein Jensen, pengeraman pada suhu
370C. Jika positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu artinya
kuman tuberkulosis.

G. Diagnosis Banding
Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium
avium intraseluler, infeksi Mycobacterium scrofuloderma, guma sifili,
sporotrikosis, aktinomikosis, bentuk-bentuk berat dari akne konglobata, dan
hidradenitis supurativa.2,5 Limfadenitis Mycobacterium avium intraseluler dan
infeksi Mycobacterium scrofuloderma dapat dibedakan melalui pemeriksaan
biakan bakteri. Jika di daerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis supurativa,
yaitu infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering
didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian
deodorant, atau rambut ketiak digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut
disertai tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan
leukositosis. Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit
venerik yaitu limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada
limfogranuloma venereum terdapat tersangka senggama pada anamnesis disertai
gejala konstitusi (demam, malaise, arthralgia), dan terdapat tanda radang akut.

15
Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma venereum yang diserang
adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal, sedangkan pada
skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo
bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka.
Skrofuloderma di daerah ekstremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis.
Biasanya pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai tanda-tanda
radang, terdapat indurasi, penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan
perjalanan pembuluh getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur
penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya negatif.5

Gambar 2.2. Hidradenitis supurativa.

16
Gambar 2.3. Limfogranuloma venereum

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis kutis terdiri dari pemberian regimen obat
multiple dengan durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya
untuk membunuh mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk
mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya
rekurensi. Tatalaksana tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis sistemik. Hal
ini dikarenakan jumlah bakteri penyebab tuberkulosis kutis jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan tuberkulosis sistemik. Tuberkulosis kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong tuberkulosis ekstra paru yang ringan yang mendapat
pengobatan tuberkulosis kategori I. Berdasarkan SK Menkes OAT Kategori I
diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif
foto toraks positif, pasien TB ektstra paru.

17
Dosis yang digunakan untuk panduan OAT KDT kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3x/minggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Dosis yang digunakan untuk panduan OAT Kombipak kategori I:


2HRZE/4H3R3
Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet
hari/kali
Pengobat Pengobat Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
menelan
an an @300 mg @450 mg @500 mg @250 mg
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

I. Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi secara amat lambat
dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan
sepenuhnya oleh jaringan parut.4 Keberadaan infeksi tuberkulosis pada organ lain
seperti tulang, kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksaan lebih lanjut.3

IV. KESIMPULAN

18
1. Skrofuloderma adalah tuberkulosis kutis yang menyebabkan pembentukan
abses dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya.
2. Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran kuman dari suatu fokus infeksi ke
jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman penyebab
skrofuloderma antara lain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
scrofulodermis, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium avium.
3. Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya
penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap,
artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya
belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum terbentuk.
Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis, submandibular, dan
supraklavikula.
4. Penatalaksanaan skrofuloderma sesuai dengan penanganan TB paru melalui
pengobatan fase intensif dan fase lanjutan.
5. Prognosis pada skrofuloderma umumnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Franklin, Emelyn. 2009. Cutanes Tuberculosis; A Practical Case Report and
Review for the Dermatologist. J Clin Aesthet Dermatol. 10(2):19-27.
2. James, William D. 2006. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology
Tenth Edition. Kanada: Saunders Elsevier.
3. Burns, Tony. 2012. Rooks Textbook of Dermatology Volume 2 Eight Edition.
USA: Blackwell Publishing.
4. Wolff, Klaus. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology Sixth Edition. USA: Mc Graw Hill Medical.
5. Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK-UI. Jakarta: Badan
Penerbit FK-UI.
6. KMK No. 34 tentang Pedoman Penanggualngan Tuberkulosis.

20

Anda mungkin juga menyukai