Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

PROGRAM INTERNSIP RUMAH SAKIT UMUM SIAGA MEDIKA

BANYUMAS

Oleh:

Fikri Fachri Pradika Busono

Pembimbing:

Dr. Tuti Bimasari

Dr. Pandu Nugroho Kanta

DOKTER INTERNSIP WAHANA RS SIAGA MEDIKA BANYUMAS


PERIODE FEBRUARI 2020 – FEBRUARI 2021
KABUPATEN BANYUMAS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Tempat tanggal lahir : Banyumas, 14 Februari 1969
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sokawera, Banyumas
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan terkahir : SMP
Tanggal pemeriksaan : 6 Juni, 2020

B. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa nyeri. Keluhan
dirasakan sudah sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan sangat mengganggu
sehingga pasien mencari pengobatan. Nyeri terutama terpusat di betis. Selain
keluhan nyeri badan pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari SMRS.
Sekitar 4 hari SMRS pasien pulang dari sawah terdapat luka di kaki dan
jempol. Pasien mengaku luka tersebut timbul karena terkena tempurung
keong sempat menancap ke dalam kulit. Pasien tidak menggunakan sepatu
boat atau alat pelindung lain ke sawah.
Sesampainya pasien di bangsal pasien merasakan badan kaku dan
mulut sulit membuka. Pasien kesulitan untuk berbicara. Pasien maasih
mampu bernapas dan masih bisa diajak berbicara. Tidak ada keluhan pada
buang air kecil dan buang air besar.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan sama : disangkal
b. Riwayat alergi : disangkal
c. Riwayat hipertensi :+
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat kejang : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes mellitus : disangkal

:
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani. Bila bekerja pasien jarang sekali
menggunakan sepatu boots sebagai alat pelindung diri. Pasien tinggal
bersama keluarga dan kedua anaknya. Pasien menggunakan pembiayaan
kesehtan BPJS.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis

Tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Respiratory rate : 20x per menit
Denyut nadi : 90x per menit
Suhu tubuh : 36.5

Status generalis
Mata : anemis -/- ikterik -/-
Hidung : discharge –
Mulut : sianosis –; trismus +; rhisus sardonicus +
Leher : distensi vena jugular –
Thoraks : SD Vesikuler +/+ Suara tambahan -. Cor dbn
Abdomen : distensi, tegang, jejas -, BU (+)N, hepatomegali (-), splenomegali
(-), Truncal tampak opistotonus +
Ekstremitas: kaku sulit digerakan, luka bekas tusukan (+)

D. Pemeriksaan Penunjang

E. Diagnosis
Tetanus
Leptospirosis

F. Tatalaksana
IVFD NaCl 0.9% 15 tpm
Inj. Ceftriaxon 2x1gram
Inj. Metronidazol 3x500mg
Inj. Parasetamol 3x500mg
Inj. Ondansentron 2x4mg
Inj. Dizepam 5mg bila kejang
Inj. ATS 5000 U extra IM
Po. Alprazolam 1x1
Konsul Unit Penyakit Dalam
Usul pemeriksaan lab darah lengkap, SGOT, SGPT, Ureum dan Creatinin
Usul rawat ruang isolasi

G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps
ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular
(neuromuscular junction) dan saraf otonom.
B. Etiologi Tetanus

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman


berbentuk batang dengan sifat :
 Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk
seperti pemukul genderang
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela
 Menghasilkan eksotoksin yang kuat
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap
panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen.
Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.
Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam
autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif
resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya
luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.
Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi
telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena
atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda
asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau
luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
C. Patogenesis Tetanus

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran


lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal
menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik
atau biologik. Port d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun
diduga melalui :
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang,
luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat
yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk
ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor
(kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak
dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala
klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel
vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan
oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat
sistem saraf:
(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4)
pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal
minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan
(satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang
dengan berat badan 70 kg.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum
tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini
melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada
ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan
kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke
arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak
aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang
terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme
terutama pada otot yang besar. Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi
kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang
khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.
D. Gejala Klinis Tetanus

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1
hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan
dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke
Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara
tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin
pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan.
Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka
trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian
besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw,
diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme
pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75%
kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut.
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.
Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin
karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang
kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan
waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang
terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini
merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang
baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus
umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus
yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi
setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf
kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa
tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa
inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi
pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah
kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat
yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah,
rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka
mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis,
berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat
(4) tingkatan.

Gambar 1. Derajat Tetanus.

E. Penegakan Diagnosis Tetanus


Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis
sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan
menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi
secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang
yang telah divaksinasi (imunokompeten).
1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang?
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
 Apakah pernah menderita gigi berlubang?
 Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan
imunisasi yang terakhir?
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
 Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter)
sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan
mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga
bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut
tertarik keluar dan kebawah.
 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh
seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle.
Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung
seperti busur.
 Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
 Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun -
masa istirahat‖ spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam
status konvulsivus.
 Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk
menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang
menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan.
Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme
intermiten.
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan
sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan
otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh
toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi
(gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula
menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak;
kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio
alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
 Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior
faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam
laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki
spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas
yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang
positif).
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus
tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat
ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan
seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman
memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang
ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak
mengalami tetanus.
 Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang
normal.
 Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap
sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
 Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
 EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus
menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang
normal yang diamati setelah potensial aksi.
 Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG
F. Diagnosis Tetanus
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis


tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai
gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis
media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya
asimetris.
G. Komplikasi Tetanus

H.
Sistem tubuh Komplikasi

Jalan napas Aspirasi*


Laringospasme/obstruksi*
Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*
Respirasi Apnea*
Hipoksia
Tipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan
tipe II* gagal
napas (spasme laring, pemanjangan spasme
batang tubuh,
sedasi berlebihan)
ARDS*
Komplikasi dari pemanjangan bantuan
ventilasi (contoh :

pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)
Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks
Spasme diafragma

Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia*


Hipotensi*, bradikardia*
Takiaritmia, bradiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuria


Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis lambung


Ileus
Diare
Perdarahan*

Lain-lain Status konvulsivus


Dehidrasi
Penurunan berat badan*
Tromboemboli*
Sepsis dan gagal organ multipel*
Fraktur vertebra selama spasme
Avulsi tendon selama spasme

I. Penatalaksanaan Tetanus
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum
berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan
secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada
bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan
dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada
kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya
kuman, untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada
tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan
spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau
minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri


dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas,
oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang
diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus
terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.
Tatalaksana Umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena
sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus
belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi
secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-
4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk
usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-
3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan
pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam
intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
dengan keadaan klinis pasien.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan
dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7
hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma),
tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam
maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami
spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat
bantuan pernapasan mekanik.
Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis
dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis
dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap
dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin
dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree,
maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.

Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000
IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan
reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat
disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah
sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU)
secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya
adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat
menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung
saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin
tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi
HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau
komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM.
Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan
intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan
penatalaksanaan berikut
a) HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan
perbaikan klinis dari 4-30%).
b) Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
c) Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah
spasme otot.
d) Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu
melalui infus iv.
e) Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper
dan hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia)
dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin
atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas
otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus
yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada
pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik.
Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang
berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang
sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan
tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur
paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan
relaksasi yang optimal.
Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak
menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus
harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus
pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus
neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia
yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.
2. Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah
menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15
mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap
6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-
10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,
pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000
U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan perbandingan
antara penisilin dan metronidazol.

J. Prognosis Tetanus
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi
angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka,
dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,
prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut
memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga
memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus
dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus. Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan
prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck.

Anda mungkin juga menyukai