BANYUMAS
Oleh:
Pembimbing:
B. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa nyeri. Keluhan
dirasakan sudah sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan sangat mengganggu
sehingga pasien mencari pengobatan. Nyeri terutama terpusat di betis. Selain
keluhan nyeri badan pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari SMRS.
Sekitar 4 hari SMRS pasien pulang dari sawah terdapat luka di kaki dan
jempol. Pasien mengaku luka tersebut timbul karena terkena tempurung
keong sempat menancap ke dalam kulit. Pasien tidak menggunakan sepatu
boat atau alat pelindung lain ke sawah.
Sesampainya pasien di bangsal pasien merasakan badan kaku dan
mulut sulit membuka. Pasien kesulitan untuk berbicara. Pasien maasih
mampu bernapas dan masih bisa diajak berbicara. Tidak ada keluhan pada
buang air kecil dan buang air besar.
:
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani. Bila bekerja pasien jarang sekali
menggunakan sepatu boots sebagai alat pelindung diri. Pasien tinggal
bersama keluarga dan kedua anaknya. Pasien menggunakan pembiayaan
kesehtan BPJS.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Respiratory rate : 20x per menit
Denyut nadi : 90x per menit
Suhu tubuh : 36.5
Status generalis
Mata : anemis -/- ikterik -/-
Hidung : discharge –
Mulut : sianosis –; trismus +; rhisus sardonicus +
Leher : distensi vena jugular –
Thoraks : SD Vesikuler +/+ Suara tambahan -. Cor dbn
Abdomen : distensi, tegang, jejas -, BU (+)N, hepatomegali (-), splenomegali
(-), Truncal tampak opistotonus +
Ekstremitas: kaku sulit digerakan, luka bekas tusukan (+)
D. Pemeriksaan Penunjang
E. Diagnosis
Tetanus
Leptospirosis
F. Tatalaksana
IVFD NaCl 0.9% 15 tpm
Inj. Ceftriaxon 2x1gram
Inj. Metronidazol 3x500mg
Inj. Parasetamol 3x500mg
Inj. Ondansentron 2x4mg
Inj. Dizepam 5mg bila kejang
Inj. ATS 5000 U extra IM
Po. Alprazolam 1x1
Konsul Unit Penyakit Dalam
Usul pemeriksaan lab darah lengkap, SGOT, SGPT, Ureum dan Creatinin
Usul rawat ruang isolasi
G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps
ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular
(neuromuscular junction) dan saraf otonom.
B. Etiologi Tetanus
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1
hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan
dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke
Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara
tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin
pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan.
Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka
trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian
besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw,
diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme
pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75%
kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut.
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.
Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin
karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang
kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan
waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang
terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini
merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang
baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus
umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus
yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi
setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf
kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa
tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa
inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi
pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah
kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat
yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah,
rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka
mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis,
berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat
(4) tingkatan.
H.
Sistem tubuh Komplikasi
pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)
Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks
Spasme diafragma
I. Penatalaksanaan Tetanus
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum
berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan
secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada
bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan
dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada
kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya
kuman, untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada
tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan
spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau
minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000
IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan
reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat
disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah
sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU)
secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya
adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat
menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung
saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin
tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi
HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau
komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM.
Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan
intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan
penatalaksanaan berikut
a) HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan
perbaikan klinis dari 4-30%).
b) Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
c) Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah
spasme otot.
d) Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu
melalui infus iv.
e) Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper
dan hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia)
dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin
atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas
otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus
yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada
pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik.
Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang
berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang
sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan
tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur
paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan
relaksasi yang optimal.
Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak
menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus
harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus
pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus
neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia
yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.
2. Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah
menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15
mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap
6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-
10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,
pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000
U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan perbandingan
antara penisilin dan metronidazol.
J. Prognosis Tetanus
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi
angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka,
dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,
prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut
memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga
memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus
dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus. Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan
prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck.