Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


PSIKOSIS AKUT

Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Oleh :
Fikri Fachri Pradika B G4A016039
Dzaki Luqmanulhakim G4A017051
M. Reiza Primayana G4A017055

SMF ILMU KESEHATAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
PSIKOSIS AKUT

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
RSUD Prof Dr Margono Soekarjo

Oleh :
Fikri Fachri P.B G4A016039
Dzaki Luqmanulhakim G4A017051
M. Reiza Primayana G4A017055

Disetujui
Pada tanggal Januari 2019

Penguji,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat,
rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga Presentasi Kasus berjudul Psikosis
Akut ini dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Kesehatan
Jiwa. Penyusunan kasus ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang
akan datang. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Tri Rini
Budi Setyaningsih, Sp. KJ selaku dosen pembimbing, dokter-dokter spesialis jiwa
di SMF Ilmu Kesehatan Jiwa RS Margono Soekardjo, orangtua serta keluarga
penulis atas doa, dan dukungan yang tidak pernah henti diberikan kepada penulis
dan rekan-rekan co-assisten Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Purwokerto, Januari 2019

Penulis

3
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Tempat, Tanggal Lahir : Cilacap, 31 Mei 1998
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Bekasi
Pekerjaan : -
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tanggal Masuk Poli : 27Desember 2018

II. ALLOANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan di PoliIlmu Kesehatan Jiwa RSUD Banyumas pada
hari Kamis, 27 Desember 2018.
Identitas
(Alloanamnesis)
Nama : Ny. R
Usia : 45 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Cilacap
Hubungan : Orangtua (Ibu kandung)
A. Keluhan Utama
Berbicara sendiri
B. Keluhan Tambahan
1. Kejadian sejak 1 minggu
2. Sering menangis
3. Sering merasa bersalah
4. Marah tanpa sebab yang jelas

4
5. Halusinasi seperti ada yang mengontrol dan memasuki pikirannya
6. Tidak bisa tidur (sering terbangun waktu tidur)
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Berdasarkan keterangan ibu kandung pasien mulai sering
berbicara sendiri sejak 1 minggu ini. Pasien sebelumnya tidak pernah
mengalami hal ini. Selain berbicara sendiri pasien juga sering marah-
marah tanpa sebab pada orangtuanya. Pasien marah bila orangtua
membicarakannya dirinya kepada orang lain namun kenyataannya
orangtuanya tidak melakukan hal tersebut.
Orang tuanya sempat mendengarkan pasien berbicara sendiri
seperti orang minta maaf “maafkan saya, saya salah” terus menerus
sepanjang hari. Pasien juga berbicara kepada orang tuanya bahwa pasien
harus minta maaf karena mendengar bisikan-bisikan dan serasa ada yang
memasuki pikirannya dan mengontrolnya.
Pasien juga sering menangis meratapi diri. Pasien sering melamun
di kamar dan enggan main keluar rumah dengan tetangga dan teman
sebayanya. Orangtua pasien merasakan pasien mulai berubah drastis
lebih sering melamun, berdiam diri, dan menangis dari sebelumnya.
Pasien sangat tertutup dan enggan menceritakan masalah kepada
siapapun termasuk orangtua. Namun akhirnya pasien sempat sedikit
cerita pada ibunya bila pasien memiliki suatu masalah. Masalah tersebut
yaitu masalah percintaan dan ekonomi.
Pasien memang belum menikah namun pacar pasien meminjam
uang kepada pasien yang belum bekerja dan pasien tidak punya uang
untuk meminjamkannya. Terpaksa pasien harus meminjam lagi pada
orang lain untuk meminjamkan pacarnya uang. Namun pasien terus
berpikir bagaimana cara saya mengembalikannya. Pasien belum bekerja
dan punya uang sendiri juga jadi pikiran bagaimana menghidupi orangtua
dan adik-adiknya. Pasien anak pertama yang menjadi tanggungan
keluarga. Masalah tersebut yang membuat pasien semakin merasa depresi
dan tidak berguna lagi.

5
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Psikiatri
- Tidak memiliki riwayat penyakit psikiatri sebelumnya
2. Riwayat Medis Umum
a. Riwayat mengalami kejang disangkal
b. Riwayat mengalami trauma pada kepala disangkal
c. Riwayat mengonsumsi alkohol dan penggunaan zat adiktif
disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga untuk gangguan psikisnya tidak ada yang
menderita hal serupa.
F. Silsilah Keluarga

20 th

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

6
G. Riwayat Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Usia kehamilan cukup bulan, berat lahir cukup, kehamilannya
direncanakan, tidak ada riwayat kejang saat ibu hamil, tidak ada
riwayat kejang, asfiksia, maupun kuning saat bayi. Pasien lahir
pervaginam di dukun bayi.
2. Masa Kanak-Kanak
Pertumbuhan dan perkembangan pasien selama masa kanak-kanak
tidak ada yang terhambat dan terganggu.
3. Masa Remaja
Perkembangan saat remaja baik
4. Riwayat Perkembangan Seksual
Pasien tidak mengalami gangguan dalam perkembangan seksualnya.
5. Riwayat Pendidikan
Pasien mengenyam pendidikan terkahir yaitu SMA
6. Riwayat Perkembangan Jiwa
Pasien memiliki kepribadian yang tertutup dan sulit bergaul dengan
tetangaa sekitar.
7. Kegiatan moral spiritual
Pasien beragama islam dan mampu melaksanakan ibadah penuh
namun setelah terkena gangguan jiwa ibadah berkurang.
8. Aktivitas sosial
a. Dalam keluarga
Pasien memiliki hubungan yangbaik dengan keluarganya namun
kepribadiannya sering tertutup terhadap suatu masalah tidak mau
membicarakannya.
b. Dengan tetangga
Kurang bergaul dan bersosialisasi
9. Sikap keluarga terhadap penderita
Keluarga sangat peduli terhadap kondisi kesehatan pasien.

7
H. Faktor Organik
Pasien tidak mengalami gangguan organik
I. Faktor Obat-obatan dan Alkohol
Pasien tidak didapatkan riwayat penggunaan alkohol, obat – obatan, dan
zat adiktif lainnya.
J. Hal-hal yang mendahului penyakit
1. Faktor Predisposisi
a. Jenis Kelamin perempuan
b. Kepribadian yang tertutup akan suatu masalah
c. Memendam masalah sendiri
d. Anak pertama
2. Faktor Pencetus
Percintaan (psikososial dan lingkungan)

III. AUTOANAMNESIS
Pasien merasakan sedih mengapa dirinya sangat tidak berguna sekali.
Pasien sempat ingin melakukan percobaan bunuh diri ketika ditanya. Pasien
merasa gelisah terhadap masalah namun tidak ingin menceritakan apa
masalah tersebut. Pasien mengaku sering menangis dan terkadang bila
perasaan sedih muncul banyak bisikan-bisikan dan hati berbicara sesuatu
padahal tidak ada orang di sekitar pun. Pasien pun merasakan dirinya sering
berbicara sendiri. Pasien memiliki kepribadian yang tertutup sedari kecil.
Pasien merasa tidak bersemangat.

8
IV. KESIMPULAN ANAMNESIS
1. Seorang perempuan, berusia 20 tahun, beragama Islam, suku jawa,
bangsa Indonesia, pendidikan terakhir SMA, tidak bekerja.
2. Pasien dibawa ke RSUD Banyumas oleh keluarga pasien karena pasien
sering berbicara sendiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan disertai mendengar bisikan, terkadang marah tanpa sebab,
sedikit bicara, murung, sering melamun, terkadang menangis dan
meminta maaf jika dia bersalah, mudah tersinggung, dan merasa bersalah
serta pernah terlintas keinginan untuk bunuh diri.
3. Pasien sakit untuk yang pertama kali, belum pernah dirawat atau
menderita penyakit psikiatri sebelumnya.
4. Faktor pencetus : masalah pekerjaan, percintaan, dan ekonomi.
5. Pasien memiliki kepribadian yang tertutup termasuk pad akeluarganya.
6. Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala serta penyakit sistemik
lainnya.
7. Pasien memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga. Pasien
cenderung pribadi yang pendiam, hanya saja akhir-akhir ini lebih banyak
bicara dibandingkan biasanya

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum : perempuan sesuai usia, tak tampak sakit jiwa
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/min
Respirasi : 20 x/min
Suhu : 36.8 C
D. Berat badan : 46kg
E. Tinggi badan :157 cm
F. Kepala : Mesocephal
G. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm, reflek pupil +/+

9
H. Hidung : Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum
I. Mulut : Tidak sianosis, tidak ada discharge
J. Telinga Tidak: ada kelainan bentuk dan ukuran, serumen (-
(-/-)
K. Leher : Tidak ada deviasi trachea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening

L. Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
LMCS
Perkusi c
: Batas kiri atas SIC II LPSS, batas kiri bawah SIC
V LMCS, batas kanan atas SIC II LPSD, batas
kanan bawah SIC IV LPSD
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur -, gallop -
M. Pulmo
Inspeksi : Jejas (-), simetris kanan-kiri
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, tidak ada suara
N. Abdomen tambahan
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi Tidak: ada nyeri nyeri tekan, tidak ada defans
muskular, tidak teraba masa, tidak teraba hepar
O. Ekstremitas Akral
: dan hangat (+/+/+/+), tidak terdapat edem pada
lien.
keempat ekstremitas

10
V. PEMERIKSAAN PSIKIATRI
A. Kesan umum : Perempuan, sesuai usia, tampak sakit jiwa
perawatan diri cukup baik
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Orientasi O/W/T/S : Baik/baik/baik/baik
D. Sikap : kooperatif
E. Tingkah laku : Hipoaktif
F. Proses pikir
Bentuk pikir : Non-realistik
Isi pikir : Delusion of control, thought of insertion, waham
bersalah, waham curiga
Progesi pikir : remming,blocking
G. Persepsi : Halusinasi auditori (+), Halusinasi visual (-)
H. Roman muka : sedih
I. Afek : inappropriate
J. Mood : disforik
K. Perhatian : Mudah ditarik mudah dicantum
L. Hubungan jiwa : Cukup
M. Insight : derajat III

VI. SINDROM
A. Sindrom skizofrenia:
1. Progresi pikir : remming, blocking
2. Isi pikir: Delusion of control, thought of insertion, waham bersalah,
waham curiga
3. Afek inappropiate
4. Gejala negatif: bicarajarang, menarik diri dari pergaulan, menurunnya
kinerja sosial
B. Sindrom depresi:
1. Merasa bersalah
2. Ada keinginan untuk bunuh diri
3. Anenergi

11
4. Afek depresi (sedih)
5. Progresi pikir: remming, blocking
6. Mood: disforik

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Skizoafektif tipe depresi
2. Psikosis akut
3. Depresi berat dengan psikotik

VIII. DIAGNOSIS MULTI AKSIAL


Axis I : Psikosis akut
Axis II : Tidak ada
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Percintaan (psikososial dan lingkungan)
Axis V : GAF 70-61

IX. PENATALAKSANAAN
1. Fase Akut
a. Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien
melukaidirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku
yangmerusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejalaterkait
lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah (Amir, 2010).
1) Langkah Pertama: Berbicara kepada pasien dan memberinya
ketenangan.
2) Langkah Kedua: Keputusan untuk memulai pemberian obat.
Pengikatanatau isolasi hanya dilakukan bila pasien
berbahayaterhadap dirinya sendiri dan orang lain serta
usaharestriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukanhanya
boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dandigunakan untuk
memulai pengobatan. Meskipun terapioral lebih baik, pilihan

12
obat injeksi untuk mendapatkanawitan kerja yang lebih cepat
serta hilangnya gejaladengan segera perlu dipertimbangkan
(Amir, 2016).

a) Obat injeksi dapat berupa :


i. Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus,
dapatdiulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
ii. Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal
29,25mg/hari), intramuskulus.
iii. Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus,
dapatdiulang setiap setengah jam, dosis maksimum
20mg/hari.
iv. Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus,
dosismaksimum 30mg/hari.
b) Obat oral
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh
pengalamanpasien sebelumnya dengan antipsikotika
misalnya, responsgejala terhadap antipsikotika, profil efek
samping,kenyamanan terhadap obat tertentu terkait
carapemberiannya.Pada fase akut, obat segera diberikan
segera setelahdiagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari
dosis anjurandinaikkan perlahan-lahan secara bertahap
dalam waktu 1 – 3minggu, sampai dosis optimal yang dapat
mengendalikangejala(Hawari, 2016).
b. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus
yangberlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-
peristiwakehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien
ataumengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang
baik,memberikan dukungan atau harapan,
menyediakanlingkunganyang nyaman, toleran perlu
dilakukan(Hawari, 2016).

13
2. Fase Stabilisasi
a. Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi
gejalaatau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko ataukonsekuensi
kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi danproses kesembuhan
(recovery).Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut
dipertahankanselama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke
tahaprumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat antipsikotika
jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4minggu(Amir,
2010).
b. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan
orangdengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola
gejala.Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih
caramengelola gejala, merawat diri, mengembangkan
kepatuhanmenjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku
bermanfaatuntuk diterapkan pada fase ini(Meltzer dan Fatemi,
2015).
3. Fase Rumatan
a. Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai
diperolehdosis minimal yang masih mampu mencegah
kekambuhan.Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai
duatahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa
kalikekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkanseumur
hidup(Meltzer dan Fatemi, 2015).
b. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien
kembalipada kehidupan masyarakat.Modalitas rehabilitasi
spesifik,misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan
sosialdan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini.Pada fase
ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali danmengelola

14
gejala prodromal, sehingga mereka mampumencegah kekambuhan
berikutnya(Meltzer dan Fatemi, 2015).
4. Obat antipsikotik
Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis rendah.
Dosis tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali terdapat gejala
psikotik atau agresif atau sulit tidur yang parah. Peningkatan dosis yang
terlalu cepat akan meningkatkan risiko terjadinya gejala ekstrapiramidal
dan gejala negative sekunder tanpa adanya kegunaan dari antipsikotik itu
sendiri. Penggunaan obat parenteral short-acting untuk pasien baru
sebaiknya dihindari. Namun terapi dengan obat long-acting tidak boleh
diberikan kecuali pada pasien dengan riwayat tidak responsive dengan
bentuk pengobatan lain. Penggunaan dosis tinggi untuk pengobatan
skizofren akut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan
penggunaan dosis rata-rata. Beberapa studi mengatakan bahwa
penundaan pemberian antipsikotik akan memberikan outcome yang lebih
buruk, diperkirakan karena beberapa aspek pada psikosis secara biologis
toksik terhadap struktur otak (Kaplan dan Saddock, 2010).
Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik dalam
minggu pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama. Kebanyakan
akan tidak memberikan respon dalam 2 – 6 minggu. Namun tidak
disarankan untuk memutuskan obat dan mengganti dengan jenis yang
lain sebelum pengobatan mencapai 4 – 6 minggu, kecuali terdapat efek
samping atau gejala ekstrapiramidal yang tidak sesuai dengan
pengobatan (Hawari, 2015).Penggunaan beberapa antipsikotik pada
waktu bersamaan harus dihindari, khususnya penggunaan antipsikotik
tipikal yang diberikan secara oral dan parenteral, kecuali pengobatannya
memang sedang dialihkan dari intramuscular menjadi oral terapi. Pada
beberapa kasus bila antipsikotik tidak dapat mengontrol rasa cemas dan
agitasi yang berlebihan, penggunaan benzodiazepine dapat diberikan
(Sinaga, 2010).

15
a. Antipsikotik tipikal

Obat antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik


konvensional atau antipsikotik generasi 1 (APG-1) (Kazadi et al.,
2011). Obat antipsikotik tipikal ini memiliki mekanisme kerja
sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA). Sejak ditemukannya
klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofren
mengalami kemajuan. CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip
mengurangi gejala positif dari skizofren sampai 70 %, Namun untuk
gejala negatifnya, antipsikotik tipikal memiliki efek yang kurang,
begitu juga efek terhadap gangguan mood dan gangguan kognisinya
(Hawari, 2015).
APG-1 memiliki cara kerja mengurangi aktifitas
dopaminergik dengan cara memblok reseptor D2. dengan
pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan dopamine mesokortikal dan
dopamine pada badan nigra pada otak, akan memberikan efek
antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pada penggunaan benzamide
(sebagai contoh sulpiride dan amisulpride) sebagai terapi substitusi,
dimana benzamide merupakan antagonis D2 yang kuat dan juga
selektif, obat ini juga memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor
neurotransmitter lainnya. Dengan kesamaan cara kerja ini, obat
tersebut menunjukan sedikit perbedaan kemanjuran pada pengobatan
(Kaplan dan Saddock, 2010).Pemilihan obat antipsikotik tipikal
didasarkan oleh banyak pertimbangan, termasuk adanya preparat
obat long-acting. Obat potensi ringan (dosis maksimal 300 mg/ hari
seperti CPZ, thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek
sedative dan hipotensi dibanding dengan obat dengan potensi tinggi
seperti haloperidol dan fluphenazine. Obat potensi tinggi dapat
mengakibatkan gejala ekstrapiramidal lebih sering disbanding
dengan potensi rendah. Namun kedua obat ini memberikan efek
yang sama dalam mengurangi agitasi (Sinaga, 2010).

16
Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat
gejala ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan
fluphenazine menjadi pilihan utama (Kaplan dan Saddock, 2010).
Jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat antikolinergik seperti
benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat digunakan atau
dapat diganti obat menjadi obat potensi sedang (seperti
trifluoperazine) atau potensi ringan. Antipsikotik atipikal juga
menjadi pilihan jika terdapat gejala ekstrapiramidal. Gejala
ekstrapiramidal yang tidak teratasi dapat menyebabkan gejala
negative dan kurangnya kepatuhan minum obat (Hawari, 2015).
Kemampuan terhadap reseptor D2, 5-HT dan muskarinik
merupakan kunci dari sebuah obat antipsikotik menyebabkan gejala
ekstrapiramidal. Efek samping lainnya adalah ginekomastia,
impotensi dan amenorea merupakan sebab dari blockade reseptor
DA. Peningkatan berat badan adalah karena blockade reseptor 5-HT
dan H1 (Sinaga, 2010). Penelitian mengatakan bahwa dosis rendah
antipsikotik tipikal (haloperidol dan risperidone) lebih efisien karena
dapat memberi perbaikan secara cepat dan tanpa efek samping yang
berarti. Sebagai contoh, dosis haloperidol 5 – 10 mg/hari sudah
cukup untuk kebanyakan pasien dengan psikosis akut. Meningkatkan
dosis tidak boleh dilakukan sebelum 4 minggu terapi. Untuk
risperidone 1 – 4 mg/hari sudah cukup untuk menghindari efek
samping ekstrapiramidal (Amir, 2010). Untuk pasien kronik yang
tidak patuh untuk terapi oral, setiap 2 minggu atau setiap bulan dapat
diberikan injeksi fluphenazine decanoate 12.5 – 50 mg atau
haloperidol decanoate 25 – 100 mg. Hal tersebut akan mengurangi
gejala kambuh secara signifikan (Meltzer dan Fatemi, 2015).

17
b. Antipsikotik atipikal
1) Clozapine
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang
memperlihatkan efek yang dapat mengurangi gejala positif dan
negatif pada pasien yang gagal dengan terapi antipsikotik
tipikal. Obat ini juga hampir tidak memberikan efek
ekstrapiramidal, termasuk akathisia. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena clozapine memiliki daya ikat yang kuat
terhadap reseptor serotonin (5-HT), adrenergik (α1,2),
muskarinik, dan histaminergik (Meltzer dan Fatemi, 2015).
Clozapine telah digunakan pada ratusan pasien di
negara barat selama kurang lebih 20 tahun dan tidak ada kasus
tardive diskinesia yang dilaporkan. Respon terhadap
penggunaan clozapine bisa mencapai 6 bulan. Sindrom negatif
cenderung membaik paling lama. Respon terhadap clozapine
biasanya hanya sebagian, namun untuk pasien-pasien parah
yang tidak memberikan respon terhadap terapi lain, perubahan
dengan obat ini bisa terlihat drastis. Keuntungan terbesar dari
clozapine adalah rendahnya kemungkinan untuk menyebabkan
granulositopeni dan agranulositosis (sekitar 1%)(Kaplan dan
Saddock, 2010). Sehingga di Amerika Serikat, clozapine
digunakan hanya untuk pasien-pasien skizofren yang telah
gagal dengan terapi antipsikotik tipikal atau dengan antipsikotik
tipikal memberikan gejala ekstrapiramidal atau tardive
diskinesia. Meskipun jarang terdapat efek agranulositosis, sel
darah putih pasien harus dimonitor setiap 2 minggu. Bila sel
darah putih turun di bawah 3000 /mm3, pemakaian harus
dihentikan. Clozapine juga dapat menyebabkan leukositosis dan
eosinofilia pada tahap-tahap awal (Hawari, 2015).
Perkembangan dari gangguan tersebeut tidak dapat dijadikan
patokan sebagai terjadinya agranulositosis. Efek samping
lainnya dari clozapine adalah sedasi, peningkatan berat badan,

18
kejang, gejala obsesif kompulsif, hipersalivasi, takikardi,
hipotensi, hipertensi, gagap, inkontinensia urin, konstipasi, dan
hiperglikemi. Efek samping tersebut biasanya dapat diatasi
dengan penurunan dosis. Untuk kejang harus ditangani dengan
anti konvulsan seperti asam valproat (Amir, 2010).
Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100
– 900 mg/hari. Peningkatan dosis harus dilakukan perlahan-
lahan mengingat adanya efek samping takikardi dan hipotensi.
Dosis biasanya dimulai pada 25 mg/hari, kemudian sampai pada
dosis 500 mg/hari dan biasanya diberikan sehari 2x (Hawari,
2015). Clozapine terbukti dapat mengurangi depresi dan gejala
ingin bunuh diri. Clozapine juga dilaporkan dapat meningkatkan
beberapa aspek kognitif terutama kemampuan bicara, pemusatan
pikiran, dan memory recall. Clozapine juga menunjukan dapat
meningkatkan fungsi bekerja dan kualitas kehidupan pasien.
Tidak ada data yang menunjukan bahwa clozapine efektif
terhadap kasus skizotipal atau gangguan personalitas skizoid
(Sinaga, 2010).
2) Risperidon
Risperidon merupakan golongan benzisoxazole.
Risperidon memiliki efek mengurangi gejala positif dan negatif
yang lebih baik daripada haloperidol. Namun tidak terdapat
bukti yang menunjukan bahwa risperidon efektif terhadap pasien
yang gagal terapi dengan antipsikotik tipikal. Risperidon juga
dapat meningkatkan fungsi kognitif (Hawari, 2016). Risperidon
mempunyai kecenderungan untuk dapat menyebabkan tardive
diskinesia, sehingga pemakaian risperidon biasanya dalam dosis
rendah (4 – 8 mg/hari) namun lebih efektif dibanding dengan
obat antipsikotik tipikal dengan dosis yang sama. Beberapa
pasien memberi efek pada dosis 2 mg/hari, namun ada juga yang
memberi respon pada 10 – 16 mg/hari. Pada dosis 2 -4 mg/hari,
gejala ekstrapiramidal biasanya ringan. Risperidon memiliki

19
ikatan pada reseptor D2 yang lebih kuat daripada clozapine
(Meltzer dan Fatemi, 2015).
Risperidon merupakan pilihan untuk pasien yang
memberi respon baik terhadap antipsikotik tipikal yang ditandai
dengan penurunan gejala positif, namun memiliki efek samping
gejala ekstrapiramidal dan gejala negatif sekunder (Sinaga,
2010). Risperidon juga efektif untuk menekan tardive diskinesia.
Efek samping risperidon selain gejala ekstrapiramidal adalah
akathisia, peningkatan berat badan, disfungsi seksual, penurunan
libido, dan galaktorea. Tidak seperti clozapine, risperidon
meningkatkan serum prolaktin. Tidak ada laporan bahwa
risperidon dapat menyebabkan agranulositosis (Hawari, 2016).
3) Olanzapine
Merupakan salah satu obat antipsikotik tipikal yang
terbaru. Olanzapine memiliki struktur yang mirip dengan
clozapin, dan memiliki risiko yang rendah untuk terjadinya
gejala ekstrapiramidal, efektif terutama dalam mengatasi gejala
negatif, dan memiliki efek minimal terhadap prolaktin (Kaplan
dan Saddock, 2010). Olanzapine terbukti lebih efektif daripada
haloperidol dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran
olanzapin dimulai pada 10 mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan
pasien memerlukan 10 – 25 mg/hari, namun dosis sebaiknya
dinaikan secara perlahan. Sama seperti clozapine, respon
perngobatan dapat baru terlihat setelah beberapa bulan.
Olanzapine memberi efek samping gangguan ekstrapiramidal
dan tardive diskinesia yang lebih ringan dibanding haloperidol.
Efek samping terbesar dari olanzapin adalah peningkatan berat
badan dan sedasi. Efek samping lainnya adalah mengantuk dan
peningkatan kadar transaminase hepar (Sinaga, 2010).

20
4) Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone
Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik terbaru
yang dapat memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal
lebih sedikit. Seperti clozapine, risperidon dan olanzapin, ketiga
obat ini lebih poten terhadap reseptor 5HT antagonis dibanding
dengan D2 antagonis (Hawari, 2016). Quentiapine merupakan
dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat tehadap reseptor 5-
HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki kemampuan
memblok yang sedang terhadap reseptor D2 dan kemampuan
yang kecil pada reseptor M. Dengan dosis 150 – 180 mg/hari
dalam 2 – 3 sehari, quetiapine memberi hasil dalam mengatasi
gejala positif dan negatif. Efek samping utama dari obat ini
adalah rasa mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan,
agitasi, konstipasi, dan hipotensi ortostatik (Amir, 2010).
Sertindole merupakan golongan imidazolidonone yang
memiliki potensi kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2, dan α1.
untuk mengurangi gejala positif, digunakan dosis 12 – 24
mg/hari, setara dengan haloperidol dengan dosis 4 – 16 mg/hari.
Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari memiliki efek lebih besar
pada gejala negatif dibanding dengan haloperidol. Efek samping
dari obat ini adalah sakit kepala, takikardi, pemanjangan interval
Q-T, penurunan pompa jantung, peningkatan berat badan,
kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki masa
kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat diberikan
sehari 1x (Kaplan dan Saddock, 2010). Ziprasidone memiliki
potensi 10x lebih kuat terhadap reseptor 5-HT2 dibanding
dengan reseptor D2. Ziprasidone hampir tidak memberikan
gejala ekstrapiramidal namun sama efektifnya dengan
penggunaan haloperidol. Ziprasidone efektif untuk menangani
gejala positif dan negatif pada pasien dengan gejala skizofren
akut. Efek samping ziprasidone adalah terutama sedasi (Amir,
2010).

21
Tabel 1Daftar Obat Antipsikotika, Dosis dan Sediaannya(Amir, 2010).

5. Terapi Kejang Listrik


Terapi kejang listrik (TKL) atau yang dalam bahasa
Inggris Electroconvulsive Treatment (ECT) jarang digunakan saat
ini karena begitu mudahnya pemakaian obat-obatan antipsikotik.
Terapi TKL dapat berguna sebagai terapi tambahan pada terapi obat
antipsikosis berbagai jenis, termasuk clozapine, terutama untuk
pasien yang memiliki respon yang kurang terhadap dan perlu
pengontrolan perilaku agitasi dengan cepat. TKL dapat digunakan
pada pasien yang tidak merespon terhadap obat-obatan, namun
tidak ada data yang menunjukan pemakaian TKL dapat dilakukan

22
pada pasien skizofren (Kaplan dan Saddock, 2010).
6. Terapi Psikososial
Meskipun obat antipsikotik merupakan pilihan utama dari
pengobatan skizofrenia, terapi nonfarmakologis juga mempunyai
peran yang penting bagi kesembuhan pasien. Terapi ini bertujuan
untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, mendukung pasien,
melatih pasien untuk mandiri, meningkatkan fungsi sosial dan
fungsi bekerja serta mengurangi beban orang yang
menanggungnya. Memberi pelatihan dan dukungan kepada anggota
keluarga merupaqkan hal yang penting terhadap keseluruhan
proses pengobatan (Hawari, 2016).

Pada kebanyakan system kesehatan, program manajemen


pengobatan telah dikembangkan menjadi model program yang
tidak mahal, dibandingakan dengan pasien yang dirawat di rumah
sakit. Terdapat seorang pengelola yang akan membantu pasien
mencari tempat tinggal, mengatur keuangan, memperoleh akses ke
klinik psikiatri maupun tempat rehabilitasi, dan akan menjelaskan
tentang kegunaan obat-obat yang dipakai. Dengan demikian, hal
tersebut akan memunkinkan pasien untuk hidup seminimal
mungkin, atau bahkan tidak sama sekali, dalam pengawasan tenaga
medis, khususnya tenaga medis bagian kejiwaan (Sinaga, 2010).

23
X. PENATALAKSANAAN EFEK SAMPING
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal(distonia
akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitumenurunkan dosis
antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi,berikan obat-obat antikolinergik,
misalnya triheksilfenidil,benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi
IM atau IV.Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan
dosisantipsikotika.Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi denganpenurunan
dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikanobat dan ganti dengan
golongan antispikotika generasi keduaterutama klozapin(Meltzer dan Fatemi,
2015).Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM)
memerlukanpenatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM
merupakan kondisi akut yang mengancam kehidupan.Dalamkondisi ini semua
penggunaan antipsikotika harusdihentikan.Lakukan terapi simtomatik,
perhatikan keseimbangancairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi,
temperatur,pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan
dalamkondisi kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari
ataubromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadipenurunan
kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif(ICU)(Hawari, 2016).

Tabel 2. Daftar Obat Yang Digunakan Untuk MengatasiEfek Samping Anti


Psikotik(Amir, 2010).

a.

24
XI. PROGNOSIS
A. Premorbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis
Riwayat penyakit keluarga Tidak ada Baik
Stressor psikososial Ada Buruk
Sosial ekonomi Ada Buruk
Riwayat penyakit yang sama Tidak ada Baik

B. Morbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis
Onset usia 20 tahun Buruk
Jenis penyakit Psikotik Buruk
Perjalanan penyakit Akut Baik
Kelainan organik Tidak ada Baik
Respon terapi Belum -

Kesimpulan prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

25

Anda mungkin juga menyukai