Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN September 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

TETANUS

Oleh:
Magfirah Alfitri
C014192089

Pembimbing Residen:
dr. Eva Lusy Anggreni

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2020
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Usia : 53 Tahun
Jenis kelamin : Laki – Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Seluruh tubuh kaku
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Wahidin dengan keluhan kaku di seluruh tubuh, kaku dirasakan
kurang lebih 3 hari, makin hari makin terasa kaku. Keluhan disertai kesulitan membuka
mulut yang juga makin memberat tiap harinya. Demam (+) 4 hari, kejang (-), nyeri kepala
(+), sesak nafas (-), mual muntah (-), kesulitan menelan (+), nyeri sendi (+), BAK dan BAB
dalam batas normal. Pasien mulai kesulitan makan, minum dibantu keluarga menggunakan
sendok. Pasien mengaku sebelumnya pernah tertusuk paku di telapak kaki kanan lebih dari
seminggu SMRS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat kejang tidak ada
- Riwayat hipertensi ada, berobat teratur amlodipine 5 mg 1x1
- Riwayat hiperkolesterol tidak ada
- Riwayat diabetes militus tidak ada
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada
- Riwayat penyakit paru-paru tidak ada
- Riwayat pemberian vaksinasi tetanus sebelumnya tidak ada
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan sakit yang sama, anggota keluarga yang
menderita riwayat penyakit jantung, hipertensi, dan riwayat diabetes mellitus disangkal.
5. Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi
Pasien seorang petani yang masih aktif ke sawah, kadang tanpa menggunakan alas kaki.
Pasien merokok aktif, tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien mengatakan pendapatannya
cukup untuk kehidupan sehari-hari.

C. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


 Tanda vital:
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 67 x / menit, reguler, kuat angkat.
Respirasi : 22 x / menit
Temperatur : 38 C
Nyeri : NPRS 5
 Kepala dan wajah : Normosefali, risus sardonicus (+)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-).
 Telinga : Tidak ada kelainan
 Hidung : Tidak ada kelainan
 Mulut : Trismus (+) masuk 1 jari
 Leher : Bruit karotis negatif
 Thorax : Bunyi jantung I-II reguler, murmur -, gallop -.
Suara nafas Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen : Bising usus normal, nyeri tekan/lepas tidak ada,
organomegali tidak ada, defans muskular (-)

D. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
 Glasgow Coma Scale : E4M6V5
 Fungsi Kortikal luhur : Normal
 Rangsang meningeal : Kaku kuduk : positif, Kernig’s sign negatif/negatif
 Nervi Kraniales : Pupil bundar isokor, diameter 2,5mm/2,5mm,
Refleks cahaya langsung positif/positif,
Refleks cahaya tidak langsung positif/positif.
 Nervi kraniales lainnya : Normal
 Motorik : Pergerakan dan kekuatan sulit dinilai karena kaku
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Tonus Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Refleks Fisiologik +3 +3 +3 +3
Refleks Patologik Negatif Negatif Negatif Negatif

 Sensorik : Normal
 Otonom : BAK : Normal
BAB : Normal

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan bakteriologik, pewarnaan gram

F. RESUME
Seorang laki-laki usia 53 tahun datang ke IGD RS Wahidin dengan keluhan kaku di
seluruh tubuh, kaku dirasakan kurang lebih 3 hari, makin hari makin terasa kaku. Keluhan
disertai kesulitan membuka mulut yang juga makin memberat tiap harinya. Demam (+) 4 hari,
kejang (-), nyeri kepala (+), sesak nafas (-), mual muntah (-), kesulitan menelan (+), nyeri sendi
(+), BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien mulai kesulitan makan, minum dibantu keluarga
menggunakan sendok. Pasien mengaku sebelumnya pernah tertusuk paku di telapak kaki kanan
lebih dari seminggu SMRS. Riwayat hipertensi ada, berobat teratur amlodipine 5 mg 1x1 dan
riwayat pemberian vaksinasi tetanus sebelumnya tidak ada. Pasien seorang petani yang masih
aktif ke sawah, kadang tanpa menggunakan alas kaki. Pasien merokok aktif, tidak
mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatnya TD 160/90 mmHg, nadi 67 kali/menit, reguler, kuat
angkat, respirasi 22 kali/menit, suhu 38 C, dan skala nyeri 5 dengan NPRS. Didapatkan rhisus
sardonicus serta trismus (+) masuk 1 jari. Pada pemeriksaan nerulogis, GCS 15, kaku kuduk
(+), pergerakan dan kekuatan sulit dinilai karena kaku, tonus otot meningkat, refleks fisiologis
meningkat (+3), refleks patologis negatif pada keempat ekstremitas. Sensorik dan otonom
dalam batas normal.
G. DIAGNOSA KERJA
Diagnosis Klinik : Trismus et causa C. tetanii, Kaku seluruh tubuh
Diagnosis Topis : Neruomuscular Junction
Diagnosis Etiologi : Tetanus

H. PENATALAKSANAAN
- IVFD Dextrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
- ATS 20.000 IU/hari/i.m
- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Paracetamol 500mg/8 jam

I. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia
Quo Ad Sanationam : dubia
Quo Ad Functionam : dubia
BAB II
DISKUSI

Pada pasien yang dilaporkan diatas merasakan kaku di seluruh tubuh, kaku dirasakan
kurang lebih 3 hari, makin hari makin terasa kaku. Keluhan disertai kesulitan membuka mulut
yang juga makin memberat tiap harinya. Demam sejak 4 hari, kesulitan menelan dan ada nyeri
sendi. Pasien mulai kesulitan makan, minum dibantu keluarga menggunakan sendok. Gejala yang
ditunjukkan dari pasien ini merupakan gejala –gejala Tetanus. Diperkuat lagi dengan riwayat
pasien yang tertusuk paku pada telapak kakinya lebih dari seminggu yang lalu. Pasien tidak
mendapatkan vaksin tetanus sebelumnya.
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi,
infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Kuman ini dalam tubuh berkembang
biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan
kekakuan, spasme dari otot bergaris.
Tampak pada pasien bahwa kekakuan yang terjadi pada tubuh berkembang secara
progresif, makin hari kakunya semakin memberat. Kekakuan terjadi pada otot masseter,
menyebabkan kesulitan membuka mulut yang disebut sebagi trismus atau lockjaw. Kekuan terjadi
pada otot leher, dan juga seluruh tubuh. Kekakuan pada otot wajah akan memberikan gambaran
rhisus sardonikus. Kekakuan pada otot faring akan menyebabkan disfagia.
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, maka pasien ini didiagnosis sebagai
Tetanus.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan
spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Spasme hampir selalu
terjadi pada otot leher dan rahang yang menyebabkan penutupan rahang (trismus, lockjaw),
serta melibatkan tidak hanya otot ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh.1

B. ETIOLOGI
Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan
serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Kuman ini
dalam tubuh berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang
secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.2

Gambar 1. Pewarnaan Gram pada Kultur Clostridium tetani


Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang bulat,
khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4
jam dan obat antiseptik tetapi mati dalam autoklaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada
suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan
sampai tahunan. Juga dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing,
kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob
dan kemudian berkembang biak.3
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus
tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian
pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat memfermentasikan glukosa.2
Kuman tetanus tidak invasif tetapi dapat memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul
150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik,
tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena
toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang– kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis
dari sel darah merah.3

C. PATOFISIOLOGI
Chlostridium tetani dalam bentuk spora masuk kedalam tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui
luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi
gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, terkadang luka tersebut hampir tak terlihat.3,4
Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan
beberapa peneliti melaporkan bahwa port d'entry melalui telinga hanya 6,5%.3,5
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka
spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila
dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui:2,3
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf perifer atau
motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf
perifer. Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak memiliki riwayat luka yang jelas
sebagai port d’ entry.
2. Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat disekitarnya
sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan meningkat dan
terjadi peningkatan jumlah saraf yang terlibat dalam transport toksin ke sistem saraf
Pusat.
3. Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar melalui nodus limfatikus
regional, dan segera toksin tersebut akan menyebar melalui aliran darah.
4. Toksin akan diserap melalui sirkulasi darah melalui sistem limfatik, namun juga dapat
melalui kapiler pembuluh darah di dekat depot toksin. Semakin banyak jumlah toksin di
dalam darah maka semakin banyak toksin yang dapat dinetralisasi karena antitoksin dapat
diberikan intravena. Namun jika deposit di dalam otot lebih banyak tetanus ascenden yang
bersifat letal akan terus berkembang karena transport toksin ke susunan saraf sepanjang
jaras saraf.

Gambar 2. Mekanisme Toksin Tetanus6


Toksin tencapai susunan saraf pusat melalui transpor retrograde sepanjang jalur aksonal,
setelah penyebaran toksin melalui otot, pertama kan berikatan dengan reseptor membran
terminal presinap di dalam otot. Reseptor ini merupakan suatu gangliosid selanjutnya toksin
akan berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu
anterior segmen medula spinalis yang menginervasi otot –otot yang terinfeksi.7

D. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 hari
dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek
prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan
susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh
tempat invasi maka inkubasi makin panjang.5,8,9
Secara klinis tetanus, dapat muncul dengan berbagai tipe yaitu, tetanus umum, tetanus
lokal dan tetanus cephalic. Pada pasien yang terjadi adalah tetanus umum. Tetanus umum
merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan
dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam,
furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.9
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus)
dan leher (kaku kuduk). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menunjukkan
trismus. Pada 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama otot masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga
penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi
kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut
'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri
waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus.10
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan
maupun dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan
fleksi dan aduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran
penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga
penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan
dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urin sering terjadi
karena spasme sphincter kandung kemih.11
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi
sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu
pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas tinggi dan aritmia jantung.5,9
Berdasarkan PERDOSSI 2016, manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:1
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot
disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
2. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa
trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang
terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan
dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum
yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti
oleh kekakuan dan spasme.
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik:
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.

E. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.1
Kriteria Pattel Joag
a) Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot tulang belakang.
b) Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan.
c) Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7 hari.
d) Kriteria 4: waktu onset ≤ 48 jam.
e) Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100oF ( > 400 C), atau aksila 99oF ( 37,6oC)
Grading
a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada
kematian).
b) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%).
c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari atau
onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
d) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%). Derajat 5,
bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum (kematian 84%).

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain:1
a. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takiardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus
terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.
Komplikasi yang lain:
a. Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja,
panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Tetanus:
- Tidak ada yang spesifik
- Lab: DPL (Hb/Leu/Ht/Plt), GDA, SGOT, SGPT, Alb, Cl/Na/K, Ur/Cr, analisa cairan
serebro spinal, faal hemostasis, kultur + resistensi (aerob & anaerob).
- EKG & Thorax PA/AP
- Pungsi lumbal (diperiksa saat awal dating sebagai diagnosa banding meningitis)

H. TATALAKSANA
Berdasarkan PERDOSSI (2016), tatalaksana tetanus adalah sebagai berikut:1
- Manajemen luka
- Pengawasan, ruang isolasi
- Oksigenasi
- Diet cukup kalori dan protein
- Anti konvulsan titrasi (diazepam atau vancuronium, atau magnesium sulfat)
- Anti tetanus serum (ATS)
- Antibiotika (prokain penisilin atau tetrasiklin, atau eritromisin, atau metronidazol)
- Tetanus toksoid (TT)
- Tetanus immunoglobulin (TIg)
- Keseimbangan cairan danelektrolit, Antipiretika.

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk yakni toksin bebas dalam darah
dan toksin yang bergabung dengan jaringan saraf. Toksin yang dapat dinetralisir oleh
antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan
jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Antitoksin dapat digunakan Human
Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG
tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitoksin
dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian
harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U)
diberikan secara IM pada daerah sebelah luar.5,12
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama bersamaan dengan pemberian antitoksin
tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara
I.M. Pemberian TT dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.3
Obat–obat anti konvulsan digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik
dengan efek depresi nafas yang lebih rendah dibanding golongan barbiturat. Diazepam juga
memiliki efek anti konvulsan dan muscle relaction, sedatif dan anxiolytic. Efek maksimal
dalam darah dicapai dalam 30- 90 menit.5
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20
mg/kgbb/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian tiap 3 jam. Bila kejang terus berlangsung dapat
diberikan diazepam samapai dosis maksimal 40mg/kgbb/hari (600 mg/hari).3 Bila dosis
optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3
hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam
dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10-15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis
diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi
dan kenaikan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang
terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan
kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2-3 hari
dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam
penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka
penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan.3
Dosis yang danjurkan yaitu; Spasme ringan: 5-10mg p.o setiap 8 jam bila perlu; Spasme
sedang : 5-10 mg i.v tidak melebihi 120mg dalam 24 jam, atau dalam bentuk drip; Spasme
berat 50-100mg dalam 500 ml Dektros 5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam
dalam 24 jam.
Klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran
membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa
didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.3
I. PROGNOSIS
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi
berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C. tetani.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). 2016
2. Hassel Bjørnar. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins. 2013
3. Safrida W, Syahrul. Tata Laksana Tetanus Generalisata Dengan Karies Gigi (Laporan
Kasus). Cakradonya Dent J. 2018;10(1): 86-95
4. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010
5. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf, Kelompok Studi Neuro Infeksi,
Perdossi. 2011: 131-150
6. Bleck, T.P. Clostridium tetani (Tetanus). In Principles and Practice of Infectious Diseases,
6th ed.; Mandell, G.L., Bennett, J.E.,Dolin, R., Eds.; Elsevier: Amsterdam, The
Netherlands,2005; pp. 2817–2822
7. Samuels, AM. Tetanus, Manual of Neurologic Therapeutic ed.2nd, Little Brown and
Company, Boston, 2008:387-90
8. Adam RD, Victor M. Tetanus in Principles Of Neurology . 7th Edition . Mc Graw-Hill
international edition. Singapore. 2001 : 1030-1031
9. Ogunrin OA, Unuigbe EI.Tetanus: A Review of Current Consept Management. Jour of
Postgrad Med. 2004; 34(4): 46-61
10. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,2003, 1- 13
11. Sidhartha, Peter JV, Subhash HS, Cherian M, Jeyaseelan L, Cherian AM. A proposed new
scoring system for tetanus. Indian J Crit Med. 2004;8(3):168-72
12. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Faierweather N, Bihn N, Parry J, et al. Neurological Aspects
of Tropical Disease: Tetanus. JNNP. 2010;69;292- 3001

Anda mungkin juga menyukai