Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing :
dr. Irma Yasmin. Sp.KK

Oleh:
Susi Suanti
111170066

KEPANITRAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT


KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ADHYATMA, MPH SEMARANG
2016

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A N
Usia : 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Semarang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk RS : 30 Juni 2016

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 30 Juni 2016
pukul 10.00 WIB
A. Keluhan utama : Gatal

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Penderita datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal dan
timbulnya bintik- bintik disertai kemerahan di seluruh tubuh. Keluhan
timbul sejak 3 bulan sebelum masuk RS. Keluhan muncul pada muka
menjalar ke badan, punggung, tangan dan kaki berupa kemerahan yang
gatal dan keluhan di perburuk apabila kepanasan dan berkeringat.
Ibu pasien mengatakan pernah berobat sebelumnya, membaik
beberapa hari dan muncul kembali. Ibu pasien menyangkal adanya
demam,dan riwayat kontak dengan produk ( sabun berbahan kimia atau
obat oles didaerah yang terkena), menyangkal memiliki alergi makanan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa : Penderita belum pernah merasakan keluhan
serupa
Alergi : Disangkal
Asma : Disangka

2
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : Disangkal
Alergi : makanan laut (ibu)
Asma : Ada. Nenek pasien.
Diabetes mellitus : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Jantung : Disangkal

E. Riwayat Pribadi dan Sosial


Penderita tinggal dengan 4 orang anggota keluarga dalam 1 rumah.
Anggota keluarga yang sakit serupa di sangkal.
Pemakaian handuk atau pakaian secara bersamaan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 September2014 pukul
10.35 WIB
A. STATUS GENERALIS
1. Keadaan umum dan Kesadaran
Keadaan umum : Pasien tampak sakit ringan
Kesadaran : komposmentis

2. Tanda-tanda Vital :
Nadi : 96 kali/menit regular, kuat.
Respirasi : 25 kali/menit regular
Suhu : 36,6 0C
Berat Badan : 8,2 kg

3. Pemeriksaan Status Interna


Kepala-Leher

3
Kepala : Normosefal, tidak ada tanda trauma atau benjolan
Mata : konjungtiva tidak anemis,
Sclera tidak ikterik
Hidung : dalam batas normal
Telinga: dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal

Thorax
Anterior : Inspeksi : Bentuk normothorak, pernafasan simetris.
Palpasi : Nyeri tekan (-). Fremitus taktil sama kuat
kanan kiri,
Perkusi : Lapang paru sonor, batas paru- hepar di
dapatkan di ICS 7 kanan.
Batas Jantung :
Batas Apex : ICS 5 MCL sinistra
Batas kanan : ICS 4 PSL dextra
Pinggang jantung : ICS 3 PSL
sinistra
Auskultasi : Pulmo : Bunyi vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing -/-
Cor : bunyi Jantung I,II regular,murmur
(-), gallop (-)
Posterior : Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : dalam batas normal
Perkusi : dalam bata normal
Auskultasi : dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi : supel, tidak tampak penonjolan, tidak tampak jejas
Auskultasi : bising usus (+) 7x/ menit
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
lien (-), ginjal tidak teraba

Ekstremitas : akral hangat, edema(-), sianosis (-), CRT < 2

4
B. STATUS VENEROLOGI :Tidak dilakukan

C. STATUS DERMATOLOGI

5
Inspeksi :
a. Lokasi : generalisata
b. Efloresensi : papul, eritema, erosi, skuama
Palpasi :
a. Suhu : sama dengan kulit sekitar
b. Permukaan : tidak rata
c. Nyeri (+)

IV. RESUME
Penderita datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal dan
timbulnya bintik- bintik disertai kemerahan di seluruh tubuh. Keluhan
timbul sejak 3 bulan sebelum masuk RS. Keluhan muncul pada muka

6
menjalar ke badan, punggung, tangan dan kaki berupa kemerahan yang
gatal dan keluhan di perburuk apabila kepanasan dan berkeringat.
Ibu pasien mengatakan pernah berobat sebelumnya, membaik
beberapa hari dan muncul kembali. Ibu pasien menyangkal adanya
demam,dan riwayat kontak dengan produk ( sabun berbahan kimia atau
obat oles didaerah yang terkena), menyangkal memiliki alergi makanan
Riwayat keluarga dengan alergi (+).
Status internus dalam batas normal. Status dermatologis tampak
papul, eritema, skuama secara generalisata.

V. DIAGNOSIS BANDING
- Dermatitis Atopik
- Dermatitis kontak

VI. USULAN PEMERIKSAAN


- Tes dermografisme untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan
terhadap kulit.
- Pemeriksaan Imunoglobulin

VII. DIAGNOSIS KERJA


Dermatitis Atopik

VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non Medikamentosa
- Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi
klinis
- Menjauhi alergen pemicu
- Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras
dan bahan pakaian dari wol

7
Medikamentosa
- hidrokortison salep 1-1,5%
- amoxicilin syrup 3x1 cth
- cetirizine syr 1 x cth

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam :ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

8
PEMBAHASAN

1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis
alergika, asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)

2 SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo
basiler.. (Djuanda, 2011).

3 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati.
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa,
Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak
mencapai 10-20%, sedangkan 1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya
Cina,Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita
lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor
lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA misalnya jumlah keluarga
kecil,pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa
ke kota, dan meningkatnya penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan
jumlah penderita DA.

9
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan
melindungi kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah
anak akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat
sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih
tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila
DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk
mewariskan untuk anaknya sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)

4 ETIOPATOGENESIS
A. Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam
perkembangan TH1.

10
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit.
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel
T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat
PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel
T.

11
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)

B. Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan

12
IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA. (Djuanda, 2011)
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE2

C. Berbagai Faktor Pemicu


Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak
disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai
gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya sensitisasi IgE polivalen
terhadap alergen hirup dan alergen makanan.

13
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik tidak
tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan
IgE total serum, dan (b) tipe ekstrinsik terdapat bukti sensitisasi terhadap
alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum.
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai
faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati
berbagai fakto risiko, yaitu:
1 Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi
diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan
dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat
alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula
berpengaruh atas berkembangnya penyakit.
2 Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3 Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding
terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut
dapat pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada
anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang
lebih tua
4 Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan
untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan
dan status ibu (misanya perokok)
5 Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali.
Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu
sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum
6 Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan
polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi

14
peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness,
asap roklok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula
pada kelemban, penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan
detergen yang tidak dibilas dengan sempurna2.

1.5 GAMBARAN KLINIS


Kulit penderita DA. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari
tangan teraba dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif,
atau merasa tertekan. (Djuanda, 2011)
Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa
papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. (Djuanda,
2011)
DA. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA. infantil (terjadi pada
usia 2 bulan sampai 2 tahun; DA. anak (2 sampai 10 tahun); dan DA. pada
remaja dan dewasa. (Djuanda, 2011)

A. DA. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)


DA. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke
skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai
merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk
setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu
sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya
lesi DA. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun

15
jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan
residif. (Djuanda, 2011)
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak
lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya. (Djuanda, 2011)
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada
bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan
secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya
ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. (Djuanda, 2011)

B. DA. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri
(de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,
likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat
lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di
muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi
erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat
garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal,
sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-garuk. Rangsangan
menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
DA. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat
memperlambat pertumbuhan. (Djuanda, 2011)

C. DA. pada remaja dan dewasa


Lesi kulit DA. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-
eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA.
remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan
sekitar mata. Pada DA. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering

16
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi.
Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung
menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi
eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila
mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang
rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya
DA. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun
dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita DA. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila
terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-
kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat
mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak. DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya. (Djuanda, 2011)
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris,
lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe),
keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan
keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA.
cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap
obat, gigitan atau sengatan serangga. (Djuanda, 2011)

17
1.6. DIAGNOSIS
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)

Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

18
Kriteria minor

Gambar 1. Kriteria Minor

- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular

19
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.

Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi
oleh William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka
menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang
dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras,
dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter
Puskesmas membuat diagnosis. (Djuanda, 2011)
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut
yaitu:

20
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan
orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1 Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang
lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher
(termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
2 Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4
tahun).
3 Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4 Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada
pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah
4 tahun).

Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

21
1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang
dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE
dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan
imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat. (Davey,
2006)
B. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon
yakni berturut-turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan
selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, edema
timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita yang atopi
akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi
kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul.
Keadaan ini disebut dermatografisme putih. (Davey, 2006)
C. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu
jam. (Davey, 2006)
D. Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi
eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau
obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit
orang normal. (Wolff, 2008)

22
1.8 DIAGNOSIS BANDING (Wollf, 2008)

Penyakit Gambaran klinis


1.9
Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted
nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat
keluarga tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak
sesuai dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder
PENATALAKSANAAN
Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan,
oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan
faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun
dan deterjen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap
panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang
berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian
baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan
formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen
harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Kalau
selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya
digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga dapat menyebabkan
eksaserbasi DA. (Djuanda, 2011)
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi
dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat;
pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah

23
popok; infeksi lokal; iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated
baby oil. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan
genitalia; popok segera diganti, bila basah atau kotor. Upaya pertama adalah
melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah
penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya
wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap
tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan.
(Djuanda, 2011)
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari
pembersih antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi. (Djuanda,
2011)
A. Pengobatan Topikal
1. Hidrasi kulit
Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme
patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu
diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula
ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab
yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%,
karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap
lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja
maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan
minyak pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-
10 menit dapat melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan
air pada kulit dan mencegah penguapan. Dokter juga menyarankan
pasien untuk memakai emolien seperti petrolatum atau Aquaphor ke
seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk menyegel kelembaban
dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum korneum.
Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif

24
harus diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti
Atopiclair dan Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang
lebih unggul, tetapi bahan tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih
lanjut.(Kim, 2015)

2. Kortikosteroid topical
Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal adalah yang
paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang
tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid
berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka
digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi
rendah juga dipakai di daerah genitalia dan intertriginosa, jangan di-
gunakan yang berpotensi kuat, misalnya fluorinated glucocorticoid.
Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten,
umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum
digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan
larutan permanganas kalikus 1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa
penggunaan kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada
kelopak mata dan daerah periorbital aman, namun masih dalam
pengawasan karena dapat menginduksi glaukoma atau katarak. (Kim,
2015)
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam
Asam Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti
efektif dan aman untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan)
untuk mencegah kemerahan akut dengan penambahan steroid-kelas

25
yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan akut secara cepat.
(Kim, 2015)

3. Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat
calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk
anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus
menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA. yaitu: sel
Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan
jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus me-
nurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti
terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada
pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa
askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang
pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces
hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip
siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari
Streptomycestsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam
struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug, yang baru
menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan
askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan
menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk
inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1
( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin
menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam
menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi
respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara

26
sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.(Djuanda,
2011)
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM
981 konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim
klobetasol-17- propionat 0.05% (steroid superpoten), tidak
menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman
pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
(Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak
usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan
pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai
pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit.(Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat
hanya digunakan jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis
atopik pada orang yang lebih dari 2 y dan hanya jika terapi lini
pertama gagal.terapi ini jauh lebih mahal daripada kortikosteroid
dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-
inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi
akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang
mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau
crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal
tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi
pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5%
dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal
tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai

27
pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
(Djuanda, 2011)

B. Pengobatan Sistemik
1. Kortikosteroid.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan
eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan
berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),
kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian
jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila
dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.(Djuanda,
2011)
2. Antihistamin.
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur.
Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai
efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus
yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang
mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1
dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada
orang dewasa.(Djuanda, 2011)
3. Anti-infeksi.
Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang
belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau,
klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan
dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.(Djuanda,
2011)
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks
kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir
400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari
selama 10 hari.(Djuanda, 2011)

28
4. Interferon.
IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi.
5. Siklosporin.
DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat
diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek.
Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan.
Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja
pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular)
menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan
siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh
lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan
hipertensi.(Djuanda, 2011)

C. Terapi Sinar (phototherapy)


Untuk DA. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB,
atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan
UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans
dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin
keratinosit.(Djuanda, 2011)

Menurut Kim dalam jurnalnya (Kim, 2015), penatalaksanaan DA meliputi:

29
Pelembab: Petrolatum, Aquaphor, atau agen yang lebih baru seperti
Atopiclair dan Mimyx (unggul tetapi lebih mahal dan membutuhkan
evaluasi lebih lanjut)
Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan
dalam hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison, triamsinolon,
atau betametason; basis salep umumnya lebih disukai, khususnya di
lingkungan kering
Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor
kalsineurin; dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan
digunakan hanya sebagai indikasi); omalizumab (antibodi
monoklonal yang berfungsi menghalangi imunoglobulin E [IgE])

Pengobatan Lainnya untuk Dermatitis Atopik


Probiotik
Probiotik telah direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk
pengobatan dermatitis atopik. Hal ini dikarenakan produk bakteri ini
dapat menyebabkan respon imun dari Th 1 seri bukannya Th 2 dan
karena itu bisa menghambat perkembangan produksi antibodi alergi,
IgE. Beberapa laporan manfaat terbatas dalam peran pencegahan dan
terapi. Sebuah meta-analisis dari 25 uji plasebo acak terkontrol yang
melibatkan 4.031 subjek menemukan bahwa pemberian probiotik saat
prenatal dan postnatal mengurangi kadar IgE pada bayi dan dapat
melindungi terhadap sensitisasi untuk alergi tetapi mungkin tidak
melindungi terhadap asma.(Hand, 2013) Pada bulan Januari 2015,
Organisasi Alergi Dunia merekomendasikan penggunaan probiotik oleh
ibu hamil dan menyusui untuk mencegah perkembangan DA.
Rekomendasi ini didasarkan pada meta-analisis dari 29 studi yang
digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi kejadian eksim sebesar
9% selama masafollow up 1-5 tahun dan penggunaan oleh wanita
menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa follow
up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan dengan

30
penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa tindak
lanjut. (Johnson, 2014)

Pada pasien dengan eksim herpeticum, asiklovir efektif.


Pada pasien dengan penyakit berat, dan terutama pada orang dewasa,
fototerapi, methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine,
mycophenolate mofetil dan telah digunakan dengan sukses. (Kim,
2015)
Kedua hydroxyzine dan diphenhydramine hydrochloride memberikan
tingkat tertentu bantuan dari gatal-gatal tetapi tidak efektif tanpa
pengobatan lain.(Kim, 2015)
Terapi berhasil dengan everolimus, macrolide rapamycin yang
diturunkan, telah dilaporkan pada 2 pasien dengan dermatitis atopik
parah. Terapi kombinasi dengan baik prednisone atau siklosporin A
tidak efektif. Namun, laporan dari ketidakefektifan everolimus telah
dipertanyakan.(Kim, 2015)
Hasil dengan banyak obat lain, seperti thymopentin, gamma interferon,
dan ramuan Cina, telah mengecewakan. Banyak obat yang tidak
praktis untuk digunakan, dan mereka bisa mahal. Beberapa obat herbal
Cina mengandung obat resep, termasuk prednison, dan telah dikaitkan
dengan masalah jantung dan hati.(Kim, 2015)
Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi klinis yang disebabkan
oleh S aureus atau flare penyakit. Mereka tidak berpengaruh pada
penyakit yang stabil tanpa adanya infeksi. Bukti laboratorium S aureus
kolonisasi tidak bukti infeksi klinis karena organisme staphylococcal
umum menjajah kulit pasien dengan dermatitis atopik.(Kim, 2015)
Sebuah acak, penyidik-buta, percobaan terkontrol plasebo termasuk 31
pasien menunjukkan bahwa salep mupirocin intranasal dan pemutih
diencerkan (sodium hipoklorit) mandi ditingkatkan atopik dermatitis

31
gejala pada pasien dengan tanda-tanda klinis infeksi bakteri sekunder.
(Kim, 2015)

Upaya Nonmedis Untuk Dermatitis Atopik


Pakaian harus lembut di sebelah kulit. Katun nyaman dan dapat
berlapis di musim dingin. Produk wol harus dihindari.
Suhu dingin, terutama pada malam hari, sangat membantu karena
berkeringat menyebabkan iritasi dan gatal.
Sebuah humidifier mencegah kelebihan pengeringan dan harus
digunakan pada musim dingin, ketika pemanasan mengering atmosfer,
dan di musim panas, ketika AC menyerap kelembaban dari udara.
Pakaian harus dicuci dalam deterjen ringan tanpa pemutih atau
pelembut kain.
Menghindari makanan Penyebab

32
Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik. (Davey, 2006)

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit


Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits dan Terapi ajuvan


inflamasi akut
Remisi penyakit Kortikosteroid topikal atau
(tidak ada tanda
Penghambat dan gejala)
kalsineurin topikal Pimekrolimus 2Hindari
kali sehari atau Takrolimus
faktor-faktor 2
pencetus

Infeksi bakterial: antibiotik or

Infeks viral: terapi antiviral


Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisen dan atau sering kambuhpsikologis
Intervensi
Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolim
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
antihistamin
kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


Fototerapi
Kortiosteriid topikal poten
Siklosporin
Metotreksat
Kortiosteroid oral
Azatioprin -Psikoterapi

1.10 KOMPLIKASI
Infeksi sekunder.

1.11 PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja.

33
Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan
DA. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun
sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada
yang melaporkan bahwa 84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja.
Ada pula laporan, DA. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja,
20% menghilang, dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo DA.
remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang
menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko
menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)

34
DAFTAR PUSTAKA

[Guideline] Fiocchi A, Pawankar R, Cuello-Garcia C, et al. 2015.World Allergy


Organization-McMaster University Guidelines for Allergic Disease
Prevention (GLAD-P): Probiotics. World Allergy Organ J. 8 (1):4.
[Medline].

Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32
Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

Johnson K. Probiotics in Pregnancy, Lactation Reduce Dermatitis. Medscape


Medical News. Nov 25 2014.[Full Text].

Kim, B. 2015. Atopic Dermatitis Treatment & Management. Medscape J.


http://emedicine.medscape.com/article/1049085-treatment. Diakses pada:
4 Oktober 2015.
National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009. Occupational
and Environmental Exposure of Skin to Chemic.
Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC : Jakarta, 2008
Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-400.

35

Anda mungkin juga menyukai