Anda di halaman 1dari 35

Skenario 3

“Gara – gara Kunyit”

Malam ini, dr. Aria yang sedang berjaga di UGD RSPTN Unila
kedatangan pasien rujukan dari RS Swasta di daerah pelosok Kabupaten
Tanggamus. Pasien Bayi Ny.A, umur 3 hari datang dengan keluhan kejang –
kejang dan panas tinggi. Sebelumnya pasien sempat di beri penanganan untuk
kejangnya di RS Swasta di kabupaten Tanggamus, namun karena keterbatasan
prasarana dan tenaga medisnya khususnya dr. Sp. A oleh karena itu dirujuk ke RS
lebih tinggi tingkatannya.
Menurut pengakuan bapak pasien, sebernrnya anaknya pada saat lahir
tidak terjadi kelainan. Lahirnya normal walaupun dengan dukun di desa
menggunakan alat sederhana. Setelah dipotong tali pusatnya oleh dukun diberi
kunyit agar cepat kering. Namun satu hari setelah persalinan di daerah pusar bayi
Ny. A tampak memerah dan tali pusatnya bengkak di sekitarnya dan terdapat
nanah. Karena merasa khawatir keluarga membawanya ke dukun kembali,
menurut sang dukun ini merupakan kelainan bawaan awal lahir saja jika anak baru
lahir dan hilang pada waktu satu minggu.
Pada hari ke 3 ternyata selain keluhan pusarnya, bayi Ny. A panas tinggi
dan timbul kejang rangsang. Karena merasa takut akhirnya bayi Ny. A dibawa ke
RS Swasta. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan HR : 100x/menit, RR :
30x/menit, T : 41 C. Tampak kesadaran somnolen, lemah, tampak agak kaku di
bagian tangan dan kaki. Dr. Aria kemudian melakukan pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan awal dan menjelaskan penyakit anaknya bukan penyakit kelainan
/ kelainan kongenital.

1
Step 1
-

Step 2

1. Diagnosa skenario
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Faktor resiko
5. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
6. Pencegahan dan tatalaksana
7. Mengapa kunyit yang menyebabkan infeksi kemudian kejang

2
Step 3 dan 4

1. Kemungkinan terjadi infeksi pada bayi Ny. A yang berasal dari alat yang
tidak steril yang digunakan pada saat persalinan, tetapi bukan kelainan
bawaan atau kelainan kongenital
Terdapat kejang yang merupakan manifestasi klinis dari infeksi
neonatorum.
Et causa  klebsiella / pseudomonas
- Infeksi
- Sepsis  terdapat kejang tapi kejangnya tidak spesifik, karena pada
skenario terdapat kejang rangsang yang bukan sepsis.
- Meningitis  karena terdapat kejang juga tapi kejangnya juga tidak
jelas bentuknya, dan juga terdapat kaku tubuh
- Tetanus Neonatorum  terdapat kejang rangsang yang sudah
pasti diagnosis dari skenario

2. Penyebab tersering dari tetanus neonatorum adalah Clostridium tetani.


Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-
0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk
spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang
letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang (drum
stick). Spora ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan panas,
antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup
beberapa bulan bahkan bertahun. Bakteria yang berbentuk batang ini
sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka
melalui debu atau tanah yang terkontaminasi. Clostridium tetani
merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat menyebabkan
kekejangan pada otot

3
3. Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan
memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan
melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor
di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui
sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula
spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf
pusat (SSP) dan sistim saraf perifer.
Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam
aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu
lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga
penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh
terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau
pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang
belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan
ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja
toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang
spontan. Pada sistim saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan
menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring,
hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan.
(hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom.
Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala tersebut timbul

4. Faktor Resiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan
penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di
lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan

4
adalah amat penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah
pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian
ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-
bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan
peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat
bayi baru lahir.

c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat


Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan
abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan
menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual
untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang
tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian
tetanus neonatorum.

d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan


Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting.
Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan sahaja berisiko
untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah
pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal
sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril.

e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil


Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat
membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru
lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada
bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium

5
tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya
lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT
5. Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku
seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari
yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa
inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2
hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa
inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat
masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval
antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat
invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai
pada tetanus neonatorum adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka
mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut
kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat
dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut
sehingga bayi tak dapat menetek.
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan
mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke
samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara
berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba
seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada
(toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan
untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih
dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat
kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan
sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut
jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar

6
denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat
menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula
dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
f. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum
yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya.
Lambat laun, “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga
menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung
terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh
masa sedar; seterusnya bisa menyebabkan kematian

Diagnosis tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakan berdasarkan


pemeriksaan klinis. Biasanya tidak sukar, anamnesis terdapat luka dan
ketegangan otot yang khas terutama pada rahang sangat membantu.
Biasanya pada pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit,
pemeriksaan cairan otak biasanya normal, dan pada pemeriksaan
elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit motorik
secara terus-menerus dan pemendekan atau tanpa interval yang tenang,
yang biasanya tampak setelah potensial aksi. Keadaan lain yang mungkin
dapat dikacaukan dengan tetanus adalah meningitis/ensefalitis, rabies, dan
proses intra abdomen akut (karena abdomen yang kaku). Peninggian nyata
tonus pada otot pusat (wajah, leher, dada, punggung, dan perut), disertai
spasme generalisata yang menjadi tersamar dan bebas gejala pada tangan
dan kaki, maka kuat mendukung adanya tetanus.

6. Tatalaksana
Diberikan cairan intra vena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% :  NaCl
fisiologis = 4 : 1 selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan
selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat.
Bila sakit penderita lebih dari 72 jam atau sering kejang atau
apnoe, diberikan larutan glukosa 10% : Natrium bikarbonat 1,5% = 4 : 1

7
(sebaiknya jenis cairan yang dipilih disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
analisa gas darah).
Bila setelah 72 jam belum mungkin diberikan minuman per oral,
maka melalui cairan infus perlu diberikan tambahan protein dan kalium.
 Diazepam dosis awal 2,5 mg intra vena perlahan-lahan selama 2 – 3
menit. Dosis rumat 8 – 10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam
dimasukan ke dalam caian intravena dan diganti tiap 6 jam).
Bila kejang masih sering timbul, boleh diberikan diazepam
tambahan 2,5 mg secara intra vena perlahan-lahan dalam 24 jam boleh
diberikan tambahan diazepam 5 mg/kgBB/hari. Sehingga dosis diazepam
keseluruhan menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinisnya
membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap.
Pada penderita dengan hiperbilirubinemia berat atau makin berat
diberikan diazepam per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan
diazepam intravena.
 ATS 10.000 U/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis secara intra vena selama
10 hari.
Bila terdapat gejala sepsis hendaknya penderita diobati seperti
penderita sepsis pada umumnya dan kalau pungsi lumbal tidak dapat
dilakukan, maka penderita diobati sebagai penderita meningitis bakterial.
 Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% dan betadine.
 Perhatikan jalan napas, diuresis dan keadaan vital lainnya. Bila banyak
lendir jalan napas harus dibersihkan dan bila perlu diberikan oksigen.

Pencegahan

Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah


bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-
faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali
pusat wajib menggunakan alat yang steril. Pengendalian kebersihan pada

8
tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal
mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan,
pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu
diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih
alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat
penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih
dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat
dilakukan dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil. Pemberian
imunisasi TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan sangat
bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum.

7. Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit


infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka
kematiannya yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya
yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan
feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai
14 hari. Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana
anaerob. Clostridium tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin
suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan mencapai system syaraf
pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman
Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
 Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
 Luka baker tingkat 2 dan 3
 Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
 Luka-luka di bawah kuku
 Ulkus kulit yang iskemik
 Luka bekas suntikan narkoba
 Bekas irisan umbilicus pada bayi
 Endometritis sesudah abortus septic
 Abses gigi
 Mastoiditis kronis

9
 Ruptur apendiks
 Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja.
Step 5

Learning Objectives:

1. Perawatan Tali Pusat


2. Pemeriksaan Penunjang
3. Komplikasi Tetanus Neonaturum
4. Meningitis Neonaturum
5. Penyakir akibat infeksi tali pusat dan kelainan kongenital tali pusat
6. Tatalaksana Tetanus

10
Step 6

Belajar mandiri

Step 7

1. Perawatan Tali Pusat


Langkah-langkah perawatan tali pusat bayi baru lahir adalah sebagai berikut :
 Ketika mengganti popok atau diaper, pastikan memasangnya di bagian
bawah perut bayi (di bawah tali pusat), ini untuk menjaga agar tali pusat
tidak terkena air kencing atau kotoran bayi.
 Gunakan pakaian yang agak longgar untuk sirkulasi udara di sekitar tali
pusat, sampai tali pusat puput.
 Jangan pernah menarik-narik tali pusat, walaupun seakan-akan tampak
sudah terlepas.
 Mandikan bayi dengan menggunakan washlap atau sponge bath dan air
hangat sampai tali pusat puput.
 Adanya sedikit pendarahan adalah normal sebelum dan sesudah tali pusat
puput. Gunakan kasa steril, lalu bersikan bagian sekeliling pangkal tali
pusat dengan menggunakan kasa steril yang dibasahi larutan alkohol 70%.
 Bersihkan tali pusat setiap hari secara teratur dengan mengeringkan tali
pusat dengan kasa steril, lalu bersihkan bagian sekeliling pangkal tali pusat
dengan menggunakan kasa steril yang dibasahi larutan alkohol 70%.
 Jangan pernah meletakkan ramuan atau bubuk apa pun kebagian pangkal
tali pusat bayi.
 Ketika tali pusat sudah puput, biarkan area pusar sembuh dalam beberapa
hari. Tidak perlu menggunakan plester untuk menutupinya, tapi biarkan
kering secara alamiah untuk mencegah infeksi. Teruskan menggunakan
popok atau diaper dibawah perut untuk memberi tempat bagi pusat yang
belum sembuh.

11
2. Pemeriksaan Penunjang
LAJU ENDAP DARAH (LED)
Kecepatan menurunnya (mengendap) SDM setelah SDM terpisah dari plasma
(satuan: mm/jam)
Fase pengendapan:
1.Pembentukan rouleaux
2.Fase pengendapan cepat (SDM dengan BM >)
3.Fase pengendapan lambat (SDM dengan BM <)

Faktor-faktor yang mempengaruhi LED


1.Faktor SDM
Ukuran SDM: SDM dengan BM >, makrosit 
mudah terbentuk rouleaux (aglutinasi)→pengendapan cepat LED ⬆
Bentuk SDM→sferis, Sabit→sulit terbentuk rouleaux→pengendapan
lambat→LED⬇

Jumlah SDM/cmm: Anemi (kadar SDM rendah)→cepat mengendap→LED⬆

2.Faktor komposisi plasma


LED↑ : - ↑makromolekul plasma,↑ perbandingan globulin terhadap albumin,
↑ kadarfibrinogen mempercepat pembentukan rouleaux→cepat
mengendap→LED↑

LED↓ : peningkatan viskositas plasma

3.Faktor teknik/mekanik 
LED ⬆ : Tabung miring pengendapan cepat (miring 3° , kesalahan30%), tabung
LED terlalu panjang, suhu tinggi
LED⬇:⦵ tabung kecil, darah disimpan > 2 jam
bentuk sferis
sulit terjadi rouleaux, suhu <20°C, tabung kotor
hemolisis,antikoagulan >> SDM krenasi, sebagian darah beku

12
Metode pemeriksaan
Makro:Westergren, Wintrobe, Culter
Mikro : Landau, Helliger Vollmer, Cresta
Harga normal tergantung tabung yang digunakan
Prinsip :
Darah vena dengan antikoagulansia tertentu dimasukkan kedalam tabung tertentu,
kemudian dicatat kecepatan pengendapan dari eritrosit-eritrositnya

Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikandalam Pemeriksaan LED


1. Antikoagulansia dan darah harus dicampur dengan baik
2. Tidak boleh terjadi hemolisis.
3. Tabung yang dipakai harus bersih dan kering.
4. Posisi tabung harus vertikal.
5. Kolom darah tidak boleh mengandung gelembung udara.
6. Penentuan LED sebaiknya dilakukan tidak lebih dari dua jam setelah
pengambilan darah.

3 Komplikasi Tetanus Neonaturum


 Patah tulang (fraktur)

Kejang otot berulang-ulang dan kejang-kejang yang disebabkan oleh infeksi


tetanus dapat menyebabkan patah tulang di tulang belakang, dan juga di tulang
lainnya. Patah tulang kadang-kadang dapat menyebabkan kondisi yang disebut
myositis circumscripta ossificans, yang mana tulang mulai terbentuk dalam
jaringan lunak, sering di sekitar sendi.

 Aspirasi pneumonia

Rigiditas otot dapat membuat batuk dan menelan sulit. Hal ini dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi untuk berkembang. Aspirasi pneumonia
terjadi sebagai akibat menghirup sekresi atau isi perut, yang dapat
menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah.

13
 Laryngospasm

Laryngospasm adalah tempat laring (kotak suara) masuk ke dalam kejang,


singkat sementara yang biasanya berlangsung 30-60 detik. Laryngospasm
mencegah oksigen dari mencapai paru-paru Anda, membuat sulit bernapas.
Setelah serangan laryngospasm, pita suara Anda biasanya akan rileks dan
kembali normal. Namun, dalam kasus yang sangat parah, laryngospasm dapat
mengakibatkan asfiksia (mati lemas). Tidak ada obat untuk efektif mengobati
laryngospasm, tetapi duduk dan mencoba untuk rileks seluruh tubuh Anda
dapat mempercepat pemulihan.

 Pulmonary embolism

Suatu emboli paru adalah kondisi serius dan berpotensi mengancam nyawa.
Hal ini disebabkan oleh penyumbatan dalam pembuluh darah di paru-paru
yang dapat mempengaruhi pernapasan dan sirkulasi. Oleh karena itu, penting
bahwa pengobatan segera diberikan dalam bentuk obat anti-pembekuan dan,
jika diperlukan, terapi oksigen.

 Gagal ginjal akut

Kejang otot parah yang berhubungan dengan infeksi tetanus dapat


menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai rhabdomyolysis. Rhabdomyolysis
adalah tempat otot rangka dengan cepat hancur, sehingga mioglobin (protein
otot) bocor ke dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal akut.

 Bronkopneumonia

 Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan

 Sepsis neonatorum

4 Meningitis Neonaturum
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai sebagian atau
seluruhselaput otak (meningen) yang melapisi otak dan medulla spinalis, yang
ditandai dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal.

14
Etiologi

Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),


Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa

Faktor predisposisi : jenis kelamin, laki-laki lebih sering dibandingkan dengan


wanita

Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan

Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak


yang mendapat obat-obat imunosupresi.

Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan sistem persa

Manifestasi Klinis

 Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Raasa nyeri ini dapat menjalar
ketengkuk dan punggung.
 Tengkuk menjadi kaku.
 Kaku kuduk disebabkan olehmengejangnya otot – otot ekstensor tengkuk.
Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala
tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi.
 Kesadaran menurun.
 Tanda Kernig dan Brudzinsky positif.

Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi


padacairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.

15
Meningitis Bakteri

Meningitis bakteri (purulenta) adalah meningitis yang bersifat akut dan


menghasilkan eksudat berupa pus, serta bukan disebabkan oleh bakteri
spesifik maupunvirus.

Penyebab meningitis bakteri menurut organisme penyebab dan umur:

Neonatus (0-1 bulan): listeria, streptokokus grup B

Bayi dan prasekolah (1 bulan-6 tahun): haemofilus influenza, meningokokus

Anak sekolah (6–12 tahun): meningokokus, pneumokokus

Dewasa muda (12–18 tahun): pneumokokus, meningokokus

Dewasa (>18 th): pneumokokus, meningokokus, stafilokokus, streptokokus,


listeria.

Patogenesis

Bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada


penyakitfaringitis, tonsillitis, pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis, dan
lain – lain.Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organatau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses
otak, otitis media,mastoiditis, trombosis sinus kavernosus, sinusitis, dan lain-
lain. Penyebaran bakteri bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak.

Gejala klinis

Meningitis bakteri basanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan


atas dangastrointestinal. Dapat dibagi menjadi 3 gejala klinis:

1.Gejala infeksi akut berupa lesu, mudah terangsang, demam, muntah-muntah,


anoreksia, dan pada anak yang besar mengeluh nyeri kepala.

16
2.Gejala tekanan intrakranial yang meninggi berupa muntah, nyeri kepala,
merintih.

3.Gejala rangsang meningeal berupa kaku kuduk, malahan kadang terjadi


rigiditasumum, kernig, brudzinsky I dan II.

Cairan serebrospinal pada meningitis bakteri umumnya berwarna opalescent


sampaikeruh. Pada meningitis bakteri stadium dini dapat diperoleh cairan
yang jernih. Reaksi None dan Pandy umumnya positif, sedang sebagian besar
sel terdiri dari polimorfonuklear.Pada meningitis bakteri biasanya kadar
protein dalam cairan serebrospinalmeninggi, kadar gula menurun, kadar
klorida kadang – kadang merendah. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri.DiagnosisMeningitis
bakteri ditemukan atas dasar gejala klinis dan hasil pemeriksaan
cairanserebrospinal yang didapatkan dengan pungsi lumbal.

Meningitis Tuberkulosa

Merupakan reaksi peradangan selaput otak akibat komplikasi bakteri TBC.

Patogenesis Meningitis tuberkulosa umumnya terjadi akibat komplikasi


penyebaran tuberkulosa primer, biasanya dari paru, yang melalui
pembentukan tuberkel pada permukaan otak,sumsum tulang belakang yang
kemudian pecah ke dalam rongga arakhnoid.Eksudat yang fibro-fibrinosa dan
gelatinosa dapat menimbulkan penyumbatan pada sisterna basalis
mengakibatkan hidrosefalus dan kelainan pada saraf otak. Kelainan pada
pembuluh darah seperti arteritis dan phlebitis darah dapat menyebabkan infark
otak,dan selanjutnya infark otak dapat menyebabkan perlunakan otak.

Gejala klinis

Gejala yang timbul terdiri dari 3 stadium:

17
Stadium II (Prodromal)tanpa demam / kelainan, tidak suka bermain, tidur
terganggu, kemudian menjadiapatis, anoreksia, obstipasi dan muntah, pada
anak besar dapat mengeluh sakitkepala. 

Stadium II (Transisi)kejang, rangsang meningeal berupa kaku kuduk, kernig,


brudzinsky, reflekstendon meninggi, ubun – ubun cekung (pada bayi),
kelumpuhan saraf berupanistagmus dan strabismus. Bisa terjadi edema otak,
sehingga timbul disorientasi,gelisah, suara melemah, penurunan kesadaran,
tremor

Stadium III (Terminal) berupa kelumpuhan, koma, pupil melebar dan tidak


bereaksi, nadi dan nafas tidak teratur, kadang – kadang cheyne stokes,
hiperpireksia.Pada meningitis serosa TBC, cairan serebrospinal berwarna
jernih/opalesen/kekuningan(xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi,
terutama terdiri dari limfosit. Kadar  protein meninggi, sedangkan kadar
glukosa dan klorida menurun.

Meningitis Purulenta

Pasien meningitis purulenta pada umumnya dalam kesadaran yang menurun


yangseringkali disertai muntah dan atau diare. Oleh karenanya untuk menbina
masukan yang baik pasien perlu langsung mendapat cairan intervena.Bila anak
masuk dalam status konvulsi diberikan diazepam 0.2 – 0.5 mg/kgBB
secaraintravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian dia
dapat diulangdengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti
dilanjutkan dengan pemberianfenobartial dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB
hari. Apabila dengan diazepam intravena2 kali berturut-turut kejang belum
berhenti dapat diberikan fenitonin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit janganmelebihi 50
mg atau 1 mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5 mg/kgBB/hari diberikan 12-24
jam kemudian.

18
Kortikosteroid

Pada penelitian terbukti bahwa steroid dapat mengurangi produksi mediator


inflamasiseperti sitokin sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis
seperti paresis dan tulidan menurunkan mortalitas apabila diberikan pada
pasien ringan dan sedang dandiberikan 15-20 menit sebelum pemberian
antibiotik. Kortikosteroid yang menberikanhasil baik ialah deksametason
dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari selama 4 hari.

Penggunaan antibiotik

Penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase , yaitu fase pertama sebelum ada hasil
biakandan uji sensitivitas. Dosis ampisilin 200-300 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 6 dosis, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis pada
neonatus 50 mg/kgBB/hari. Pada bayi dan anak pengobatan diberikan selama
10-14 hari, dan pada neonatus selama 21 hari.

Pengobatan fase kedua setelah ada hasil biakan dan uji sensitivitas disesuaikan
dengan kuman penyebab dan obat yang serasi.Antibiotic yang dipergunakan
utnuk meningitis purulenta ialah H influenzae; ampisilin, kloramfenikol,
sentriakson, dan sefotaksim. S. pneumoniae; penisilin, kloramfenikol
,sefuroksim, seftriakson, dan vankomisin. N. meningitides; penisilin,
seftriakson, danamikasin. Staphylococcus; nafsilin, vankomisin, dan
rifampisin. Neonatus; ampisilin, gentamisin, tobramisin, vankomisin,
amikasin, kanamisin, seftriakson, sefotaksim, seftazidim, dan penisilin.

Dosis antibiotik pada meningitis purulenta;

ampisilin 200-300mg/kgBB/hari (tunggal 400 mg), kloramfenikol 100


mg/kgBB/hari, neonatus 50 mg/kgBB/hari (waspadai grey baby), sefuroksim
250 mg/kgBB/hari, sefotaksim 200mgkgBB/hari (neonatus 0-7 hari 100
mgkgBB/hari), seftriakson 100 mg/kgBB/hari,seftazidim 150 mg/kgBB/hari
(neonatus 60-90 mg/kgBB/hari, gentamisin neonatus 0-7hari 5 mg/kgBB/hari,
7-28 hari 7,5 mg/kgBB/hari, amikasin 10-15 mg/kgBB/hari).

19
Fungsi lumbal ulangan terjadi apabila keadaan klinis membaik dilakukan pada
hari ke 10 pengobatan.

Patofisiologi

Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebrospinalis yang


dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dan peradangan tersebut
adalah hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial.

Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier.
Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau
pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea atau
rhinorrea akibat fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan meningitis,
dimana dapat terjadi hubungan antara GSF dan dunia luar.

Masuknya mikroorganisme ke susunan saraf pusat melalui ruang sub


arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan
ventrikel.

Dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel,
edema dan skar jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada
CSF dan menimbulkan hidrosefalus

Meningitis bakteri, netrofil, monosit, limfosit, dan yang lainnya merupakan sel
respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin dan lekosit yang di bentuk
diruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF disekitar otak dan medula
spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat
menimbulkan ruptur atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak
dapat menjadi infarct.

Meningitis virus sebagai akibat dari penyakit virus seperti meales, mump,
herpes simplek dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya tidak
terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.

20
Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi adalah,

 Gangguan pembekuan darah


 Syok septic
 Demam yang memanjang
 Hidrosefalus obstruktif
 Meningococcal Septicemia (mengingocemia)
 Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan
adrenal bilateral)
 SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
 Efusi subdural
 Kejang Edema dan herniasi serebral
 Cerebral palsy
 Gangguan mental Gangguan belajar
 Attention deficit disorder

Pemeriksaan Penunjang

1.    Lumbal Pungsi

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan
protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan TIK.

Meningitis bacterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan


protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis
bakteri.

Meningitis Virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan


protein normal, kultur biasanya negative

2.    Glukosa & LDH : meningkat

21
3.    LED/ESRD : meningkat

4.    CT Scan/MRI : melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik

5. Rontgent kepala : mengindikasikan infeksi intracranial.

6.   Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah


pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi

7.    Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi


bakteri )

Prognosis

Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau
mental atau meninggal tergantung :

1.    Umur penderita.

2.    Jenis kuman penyebab

3.    Berat ringan infeksi

4.    Lama sakit sebelum mendapat pengobatan

5.    Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan

6.    Adanya dan penanganan penyakit

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terapeutik

1.        Isolasi

2.        Terapi antimikroba: antibiotik yang di berikan didasarkan pada hasil


kultur, diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena.

3.        Mempertahankan hidrasi optimum,: mengatasi kekurangan cairan dan


mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema serebral.

22
4.        Mencegah dan mengobati komplikasi: aspirasi efusi subdural (pada
bayi), terapi heparin pada anak yang mengalami DIC.

5.        Mengontrol kejang: pemberian terapi antiepilepsi

6.        Mempertahankan ventilasi

7.        Mengurangi meningkatnya tekanan intra kranial

8.        Penatalaksanaan syok bakterial

9.        Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim

10.    Memperbaiki anemia

Penatalaksanaan medis meningitis

1.        Antibiotik sesuai jenis agen penyebab

2.        Steroid untuk mengatasi inflamasi

3.        Antipiretik untuk mengatasi demam

4.        Antikonvulsant untuk mencegah kejang

5.        Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa


dipertahankan

6.        Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt ( Ventrikel Peritoneal)

5 Penyakit akibat infeksi dan kelainan kongenital tali pusat (Omfalokel)

Omfalokel adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar
pusar yang hanya dilapisi oleh peritoneum (selaput perut) dan tidak dilapisi
oleh kulit. Omfalokel terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran. Usus terlihat dari
luar melalui selaput peritoneum yang tipis dan transparan (tembus pandang).

23
Omfalokel (eksomfotos) merupakan suatu cacat umbilicus, tempat usus besar
dan organ abdomen lain dapat menonjol keluar. Ia bisa disertai dengan
kelainan kromosom, yang harus disingkirkan. Cacat dapat bervariasi dan
diameter beberapa centimeter sampai keterlibatan dinding abdomen yang luas.

Organ yang menonjol keluar ditutupi oleh lapisan tipis peritoneum yang
mudah terinfeksi. Rongga abdomen sendiri sangat kecil, sehingga perbaikan
bedah bisa sangat sulit atau tidak mungkin, kecuali bila dinding abdomen yang
tersisa cukup dapat direntang untuk memungkinkan penempatan kembali isi
abdomen. Penggantinya, cacat ini dapat ditutupi dengan bahan sintetis seperti
silastic, yang dapat digulung ke atas, sehingga usus dapat didorong masuk
secara bertahap ke dalam rongga abdomen dalam masa beberapa minggu.

Etiologi
Penyebab pasti terjadinya omfalokel belum jelas sampai sekarang. Ada 25-
40% bayi yang menderita omfalokel, disertai oleh kelainan bawaan lainnya,
seperti kelainan kromosom, hernia diafragmatika dan kelainan jantung. ada
beberapa penyebab omfalokel, yaitu:
1)  Kegagalan kembalinya usus ke dalam abdomen dalam 10-12 minggu yaitu
kegagalan lipatan mesodermal bagian lateral untuk berpindah ke bagian
tengah dan menetapnya the body stalk selama gestasi 12 minggu.
2)  Faktor resiko tinggi yang berhubungan dengan omfalokel adalah resiko
tinggi kehamilan seperti :
o   Infeksi dan penyakit pada ibu
o   Penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok
o   Kelainan genetik
o   Defisiensi asam folat
o   Hipoksia
o   Salisil dapat menyebabkan defek pada dinding abdomen.
o   Asupan gizi yang tak seimbang
3)  Kegagalan migrasi usus tengah (midgut) dalam perkembangan embrionik.

24
Omfalokel dapat terjadi apabila kedua lipatan ektomesoderm lateral gagal
bertemu di garis tengah abdomen antara minggu ketiga sampai keempat.
Akibatnya, isi abdomen ditutupi hanya oleh kantong tipis berlapis dua yang
terdiri dari amnion dan peritoneum, dan tali pusat berinsersi ke apeks kantung
tersebut.

Beberapa faktor resiko atau faktor-faktor yang berperan menimbulkan


terjadinya omfalokel diantaranya adalah infeksi, penggunaan obat dan rokok
pada ibu hamil, defisiensi asam folat, hipoksia, penggunaan salisilat, kelainan
genetik serta polihidramnion. ada beberapa penyebab omfalokel, yaitu:
1.      Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan
terinfeksi, penggunaan obat-obatan, merokok dan kelainan genetik. Faktor-
faktor tersebut berperan pada timbulnya insufisiensi plasenta dan lahir pada
umur kehamilan kurang atau bayi prematur, diantaranya bayi dengan
gastroschizis dan omfalokel paling sering dijumpai.
2.      Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding
abdomen pada percobaan dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis
masih sebatas perkiraan. Secara jelas peningkatan MSAFP (Maternal Serum
Alfa Feto Protein) pada pelacakan dengan ultrasonografi memberikan suatu
kepastian telah terjadi kelainan struktural pada fetus. Bila suatu kelainan
didapati bersamaan dengan adanya omfalokel, layak untuk dilakukan
amniosintesis guna melacak kelainan genetik.
3.      Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan
kemungkinan tersebut harus dilacak dengan USG.
Patofisiologi
Omfalokel disebabkan oleh kegagalan alat dalam untuk kembali ke rongga
abdomen pada waktu janin berumur 10 minggu sehingga menyebabkan
timbulnya omfalokel. Kelainan ini dapat terlihat dengan adanya prostrusi
(sembilan) dari kantong yang berisi usus dan visera abdomen melalui defek
dinding abdomen pada umbilicus (umbilicus terlihat menonjol keluar).
Angka kematian tinggi bila omfalokel besar karena kantong dapat pecah dan

25
terjadi infeksi.

Pada 25-40% bayi yang menderita omfalokel, kelainan ini disertai oleh
kelainan bawaan lainnya, seperti kelainan kromosom, hernia diafragmatika
dan kelainan jantung.
Pada janin usia 5–6 minggu isi abdomen terletak di luar embrio di rongga
selom. Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan lumen abdomen sehingga
usus dari extra peritoneum akan masuk ke rongga perut. Bila proses ini
terhambat maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus yang berisi usus,
lambung kadang hati. Dindingnya tipis terdiri dari lapisan peritoneum dan
lapisan amnion yang keduanya bening sehingga isi kantong tengah tampak
dari luar, keadaan ini disebut omfalokel.

Patofisiologi dari omfalokel adalah :


-  Selama perkembangan embrio, ada suatu kelemahan yang terjadi dalam
dinding abdomen semasa embrio yang mana menyebabkan herniasi pada isi
usus pada salah satu samping umbilicus (yang biasanya pada samping kanan).
Ini menyebabkan organ visera abdomen keluar dari kapasitas abdomen dan
tidak tertutup oleh kantong.
-  Terjadi malrotasi dan menurunnya kapasitas abdomen yang dianggap
sebagai anomaly.
-  Gastroskisis terbentuk akibat kegagalan fusi somite dalam pembentukan
dinding abdomen sehingga dinding abdomen sebagian tetap terbuka.
-  Letak defek umumnya disebelah kanan umbilicus yang terbentuk normal.
-  Usus sebagian besar berkembang di luar rongga abdomen janin. Akibatnya,
usus menjadi tebal dan kaku karena pengendapan dan iritasi cairan amnion
dalam kehidupan intrauterine. Usus juga tampak pendek. Rongga abdomen
janin sempit.
-  Usus-usus, visera dan seluruh permukaan rongga abdomen berhubungan
dengan dunia luar menyebabkan penguapan dan pancaran panas dari tubuh
cepat berlangsung, sehingga terjadi dehidrasi dan hipotermi, kontaminasi usus
dengan kuman juga dapat terjadi dan menyebabkan sepsis, aerologi

26
menyebabkan usus-usus distensi sehingga mempersulit koreksi pemasukan ke
rongga abdomen pada waktu pembedahan.
-  Embriogenesis. Pada janin usia 5 – 6 minggu isi abdomen terletak di luar
embrio di rongga selom. Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan lumen
abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan masuk ke rongga perut.
Bila proses ini terhambat maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus
yang berisi usus, lambung kadang hati. Dindingnya tipis terdiri dari lapisan
peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya bening sehingga isi kantong
tengah tampak dari luar, keadaan ini disebut omfalokel. Bila usus keluar dari
titik terlemah di kanan umbilikus, usus akan berada di luar rongga perut tanpa
dibungkus peritoneum dan amnion, keadaan ini disebut gastroschisis.

Diagnosis
Omfalokel yaitu hernia umbilikalis inkomplet terdapat waktu lahir ditutup
oleh peritonium, selai Warton dan selaput amnion. Hernia umbilikalis
biasanya tanpa gejala, jarang yang mengeluh nyeri. Banyaknya usus dan organ
perut lainnya yang menonjol pada omfalokel bervariasi, tergantung kepada
besarnya lubang di pusar. Jika lubangnya kecil, mungkin hanya usus yang
menonjol, tetapi jika lubangnya besar, hati juga bisa menonjol melalui lubang
tersebut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, dimana isi
perut terlihat dari luar melalui selaput peritoneum atau tampak kantong yang
berisi usus dengan atau tanpa hati di garis tengah pada bayi yang baru lahir.
pemeriksaan diagnostik dari omfalokel adalah :
1. Pemeriksaan Fisik
Pada omfalokel tampak kantong yang berisi usus dengan atau tanpa hati di
garis tengah pada bayi yang baru lahir.
Pada gastro schisis usus berada di luar rongga perut tanpa adanya kantong.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Maternal Serum Alfa Fetoprotein (MSAFP). Diagnosis prenatal
defek pada dinding abdomen dapat dideteksi dengan peningkatan MSAFP.
MSAFP dapat juga meninggi pada spinabifida yang disertai dengan
peningkatan asetilkolinesterase dan pseudokolinesterase.

27
3. Prenatal, ultrasound
Menunjukkan adanya defek omfalokel
4. Pemeriksaan radiology
Fetal sonography dapat menggambarkan kelainan genetik dengan
memperlihatkan marker structural dari kelainan kariotipik. Echocardiography
fetus membantu mengidentifikasi kelainan jantung. Untuk mendukung
diagnosis kelainan genetik diperjelas dengan amniosentesis
Pada omphalocele tampak kantong yang terisi usus dengan atau tanpa hepar di
garis tengah pada bayi yang baru lahir

Penatalaksanaan Omfalokel
Agar tidak terjadi cedera pada usus dan infeksi perut, segera dilakukan
pembedahan untuk menutup omfalokel.
Sebelum dilakukan operasi, bila kantong belum pecah, harus diberi
merkurokrom dan diharapkan akan terjadi penebalan selaput yang menutupi
kantong tersebut sehingga operasi dapat ditunda sampai beberapa bulan.
Sebaiknya operasi dilakukan segera sesudah lahir, tetapi harus diingat bahwa
dengan memasukkan semua isi usus dan otot visera sekaligus ke rongga
abdomen akan menimbulkan tekanan yang mendadak pada paru sehingga
timbul gejala gangguan pernapasan. Tindakan yang dapat dilakukan ialah
dengan melindungi kantong omfalokel dengan cairan anti septik misalnya
betadin dan menutupnya dengan kain dakron agar tidak tercemar. Setelah itu
segera melaksanakan persiapan untuk merujuk ke Rumah Sakit untuk segera
dilakukan pembedahan menutup omfalokel agar tidak terjadi cedera pada usus
dan infeksi perut.

Pengobatan
Omfalokel (eksomfalokel) adalah suatu hernia pada pusat, sehingga isi perut
keluar dan dibungkus suatu kantong peritoneum. Penanganannya adalah
secara operatif dengan menutup lubang pada pusat. Kalau keadaan umum bayi
tidak mengizinkan, isi perut yang keluar dibungkus steril dulu setelah itu baru
dioperasi.

28
Agar tidak terjadi cedera pada usus dan infeksi perut, segera dilakukan
pembedahan untuk menutup omfalokel. Sebelum dilakukan operasi, bila
kantong belum pecah, harus diberi merkurokrom dan diharapkan akan terjadi
penebalan selaput yang menutupi kantong tersebut sehingga operasi dapat
ditunda sampai beberapa bulan. Sebaiknya operasi dilakukan segera sesudah
lahir, tetapi harus diingat bahwa dengan memasukkan semua isi usus dan otot
visera sekaligus ke rongga abdomen akan menimbulkan tekanan yang
mendadak pada paru sehingga timbul gejala gangguan pernapasan.

Penatalaksanaan prenatal pada omfalokel


Apabila terdiagnosa omfalokel pada masa prenatal maka sebaiknya dilakukan
informed consent pada orang tua tentang keadaan janin, resiko terhadap ibu,
dan prognosis. Informed consent sebaiknya melibatkan ahli kandungan, ahli
anak dan ahli bedah anak. Keputusan akhir dibutuhkan guna perencanaan dan
penatalaksanaan berikutnya berupa melanjutkan kehamilan atau mengakhiri
kehamilan. Bila melanjutkan kehamilan sebaiknya dilakukan observasi
melalui pemeriksaan USG berkala juga ditentukan tempat dan cara
melahirkan. Selama kehamilan omfalokel mungkin berkurang ukurannya atau
bahkan ruptur sehingga mempengaruhi prognosis.
Oak Sanjai (2002) meyebutkan bahwa komplikasi dari partus pervaginam
pada bayi dengan defek dinding abdomen kongenital dapat berupa distokia
dengan kesulitan persalinan dan kerusakan organ abdomen janin termasuk
liver. Walaupun demikian, sampai saat ini persalinan melalui sectio caesar
belum ditentukan sebagai metode terpilih pada janin dengan defek dinding
abdomen. Ascraft (1993) menyatakan bahwa beberapa ahli menganjurkan
pengakhiran kehamilan jika terdiagnosa omfalokel yang besar atau janin
memiliki kelainan konggenital multipel.

Penatalaksanan postnatal (setelah kelahiran)


Penatalaksannan postnatal meliputi penatalaksanaan segera setelah lahir
(immediate postnatal), kelanjutan penatalakasanaan awal apakah berupa
operasi atau nonoperasi (konservatif) dan penatalaksanaan postoperasi. Secara

29
umum penatalaksanaan bayi dengan omfalokele dan gastroskisis adalah
hampir sama. Bayi sebaiknya dilahirkan atau segera dirujuk ke suatu pusat
yang memiliki fasilitas perawatan intensif neonatus dan bedah anak. Bayi-bayi
dengan omfalokel biasanya mengalami lebih sedikit kehilangan panas tubuh
sehingga lebih sedikit membutuhkan resusitasi awal cairan dibanding bayi
dengan gastroskisis.

Konservatif
Dilakukan bila penutupan secara primer tidak memungkinkan, misalnya pada
omfalokel dengan diameter > 5 cm. Perawatan dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a.       Bayi dijaga agar tetap hangat
b.      Kantong ditutup kasa steril dan ditetesi NaCl 0,9%
c.       Posisi penderita miring
d.      NGT diisap tiap 30 menit

Penatalaksanaan non-operasi (konservatif)


Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus omfalokel
besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume organ-organ
intraabdomen yang mengalami herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen
seperti pada giant omphalocele atau terdapat status klinis bayi yang buruk
sehingga ada kontra indikasi terhadap operasi atau pembiusan seperti pada
bayi-bayi prematur yang memiliki hyaline embran disease atau bayi yang
memiliki kelainan kongenital berat yang lain seperti gagal jantung. Pada giant
omphalocele bisa terjadi herniasi dari seluruh organ-organ intraabdomen dan
dinding abdomen berkembang sangat buruk, sehingga sulit dilakukan
penutupan (operasi/repair) secara primer dan dapat membahayakan bayi.

Beberapa ahli, walaupun demikian, pernah mencoba melakukan operasi pada


giant omphalocele secara primer dengan modifikasi dan berhasil. Tindakan
nonoperatif secara sederhana dilakukan dengan dasar merangsang epitelisasi
dari kantong atau selaput. Suatu saat setelah granulasi terbentuk maka dapat

30
dilakukan skin graft yang nantinya akan terbentuk hernia ventralis yang akan
direpair pada waktu kemudian dan setelah status  kardiorespirasi membaik.

Beberapa obat yang biasa digunakan untuk merangsang epitelisasi adalah 0,25
% merbromin (mercurochrome), 0,25% silver nitrat, silver sulvadiazine dan
povidone iodine (betadine). Obat-obat tersebut merupakan agen antiseptik
yang pada awalnya memacu pembentukan eskar bakteriostatik dan perlahan-
lahan akan merangsang epitelisasi. Obat tersebut berupa krim dan dioleskan
pada permukaan selaput atau kantong  dengan elastik dressing yang sekaligus
secara perlahan dapat menekan dan menguragi isi kantong.

Indikasi terapi non bedah adalah:


Bayi dengan omfalokel raksasa (giant omphalocele) dan kelainan penyerta
yang mengancam jiwa dimana penanganannya harus didahulukan daripada
omfalokelnya. Neonatus dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila
dilakukan pembedahan. Bayi dengan kelainan lain yang berat yang sangat
mempengaruhi daya tahan hidup.
Prinsip kerugian dari metode ini adalah kenyataan bahwa organ visera yang
mengalami kelainan tidak dapat diperiksa, sebab itu bahaya yang terjadi akibat
kelainan yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan komplikasi misalnya
obstruksi usus yang juga bisa terjadi akibat adhesi antara usus halus dan
kantong.
Jika  infeksi dan ruptur kantong dapat dicegah, kulit dari dinding anterior
abdomen secara lambat akan tumbuh menutupi kantong, dengan demikian
akan terbentuk hernia ventralis, karena sikatrik yang terbentuk biasanya tidak
sebesar bila dilakukan operasi. Metode ini terdiri dari pemberian lotion
antiseptik secara berulang pada kantong, yang mana setelah beberapa hari
akan terbentuk skar. Setelah sekitar 3 minggu, akan terjadi pembentukan
jaringan granulasi yang secara bertahap karena terjadi epitelialisasi dari tepi
kantong. Penggunaan antiseptik merkuri sebaiknya dihindari karena  bisa
menghasilkan  blood and tissue levels of mercury well above minimum toxic
levels. Alternatif lain yang aman adalah alkohol 65% atau 70% atau gentian

31
violet cair 1%. Setelah keropeng tebal terbentuk,bubuk antiseptik dapat
digunakan. Hernia ventralis memerlukan tindakan kemudian tetapi kadang-
kadang menghilang secara komplet.

Penatalaksanaan dengan operasi


Tujuan mengembalikan organ visera abdomen ke dalam rongga abdomen dan
menutup defek. Dengan adanya kantong yang intak, tak diperlukan operasi
emergensi, sehingga seluruh pemeriksaan fisik dan pelacakan kelainan lain
yang mungkin ada dapat dikerjakan. Keberhasilan penutupan primer
tergantung pada ukuran defek serta kelainan lain yang mungkin ada (misalnya
kelainan paru).

Tujuan operasi atau pembedahan ialah memperoleh lama ketahanan hidup


yang optimal dan menutup defek dengan cara mengurangi herniasi organ-
organ intra abomen, aproksimasi dari kulit dan fascia serta dengan lama
tinggal di RS yang pendek. Operasi dilakukan setelah tercapai resusitasi dan
status hemodinamik stabil. Operasi dapat bersifat darurat bila terdapat ruptur
kantong dan obstruksi usus.

Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu primary closure (penutupan


secara primer atau langsung) dan staged closure (penutupan secara bertahap).
Komplikasi
Komplikasi dini merupakan infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada
permukaan yang telanjang. Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin
disertai kelainan bawaan lain yang memperburuk prognosi.
komplikasi dari omfalokel adalah :
- Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada
permukaan yang telanjang.
- Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi
yang adekuat misalnya dengan nutrisi parenteral.
- Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator
yang lama.

32
- Nekrosis
- Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain
yang memperburuk prognosis.
Gastrostizis

6 Tatalaksana Tetanus
Tujuan dari terapi adalah menetralkan toksin yang beredar sebelum toksin
masuk ke dalam sistem saraf pusat, menurunkan produksi toksin yang lebih
banyak, mengontrol gejala neuromuskuler dan otonom yang muncul serta
mempertahankan kondisi pasien sampai efek toksin menghilang. Efikasi terapi
dipengaruhi oleh faktor prognostik seperti masa inkubasi, jangka waktu antara
gejala pertama yang muncul dan spasme yang pertama (interval onset),
frekuensi dan durasi spasme, demam dan kom-plikasi respiratorius yang
terjadi .

Perawatan suportif sangat penting, menjaga jalan napas tetap terbuka untuk
mendapatkan ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang sangat penting.
Pemasangan kateter saluran kencing bisa dilakukan bila terjadi retensi urin.
Manajemen lainnya yang penting adalah perawatan untuk mencegah
pneumonia aspirasi dan atelektasis serta menurunkan rangsangan yang dapat
mencetuskan kejang. Pasien paling baik dirawat pada bangsal terbuka yang
mudah dilihat, terdapat akses terhadap tindakan keperawatan yang cepat dan
peralatan resusitasi. ASI harus tetap diberikan dan ibu harus didorong untuk
berpartisipasi dalam observasi dan perawatan pasien. Asi peras dapat
diberikan melalui pipa lambung diantara periode spasme. Pemberian ASI
dimulai dengan setengah kebutuhan per hari dan dinaikkan bertahap sehingga
mencapai jumlah yang mencukupi kebutuhannya dalam 2 hari.

Metronidazol merupakan obat pilihan untuk elimunasi bentuk vegetatif Cl


tetani, biasanya diberikan selama 10-14 hari. Penicillin G 100.000 unit/kg/hari
sebagai pilihan kedua dapat diberikan selama 10 hari. Infeksi lain yang terjadi
bersamaan dapat diberi-kan terapi antibiotik spektrum luas.

33
Antitoksin tetanus 5000 U intramuskular atau human tetanus immunoglobulin
500 U intramuskular dapat diberikan untuk menetralkan toksin yang beredar
dan tak terikat. Antitoksin tetanus tidak memiliki efek terhadap toksin yang
terikat pada sistem saraf pusat. Meskipun sistem saraf pusat sering
terpengaruh oleh toksin sebelum gejala muncul namun pasien yang diberikan
antitoksin menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pasien
yang tidak diberikan antitoksin. Dosis masif serum antitetanus tidak
menunjukkan keuntungan dibandingkan dengan dosis yang lebih kecil.
Pemberian serum antitetanus 1500 unit secara intrathecal pada saat awal
mulainya penyakit mungkin dapat memberikan keuntungan. Angka kematian
lebih rendah pada kelompok bayi dengan terapi intrathecal (45%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan terapi intramuskular (82%).
Kelompok bayi yang menerima serum antitetanus intrathecal menunjukkan
komplikasi yang lebih sedikit.

Terapi medikamentosa pilihan untuk menghentikan spasme adalah diazepam


dengan dosis 10 mg/kg/hari secara intravena dalam 24 jam atau dengan bolus
intravena setiap 3 jam dengan dosis 0,5 mg/kg per kali pemberian dengan
maksimum dosis 40 mg/kg/hari. Bila jalur intravena tidak terpasang, diazepam
dapat diberikan melalui pipa lambung atau melalui rektal. Bila perlu, dapat
diberikan dosis tambahan 10 mg/kg/hari. Pemberian diazepam harus
dihentikan apabila frekuensi napas < 30 kali/menit, kecuali jika tersedia
ventilator mekanik. Pemberian kortikosteroid pada tata laksana tetanus
neonatorum belum terbukti.

34
DAFTAR PUSTAKA

Kosim, M. Sholeh. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : IDAI


Dr (Can). dr. H. Prambudi Rukmono, Sp A(K). 2012. Neonatologi Praktis.
Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja ( AURA )
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta : EGC

35

Anda mungkin juga menyukai