Anda di halaman 1dari 22

Step 5

Penentuan Learning Objectives

1. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik obat anti malaria


beserta dosisnya?
2. Bagaimana penatalaksanaan malaria pada ibu hamil?
3. Apa diagnosis banding dari skenario?
4. Komplikasi dari penyakit malaria?
5. Bagaimana terapi profilaksis?

Step 6

Mencari jawaban di Step 5 di rumah.

Step 7

1. Farmakodinamik dan farmakokinetik obat anti malaria beserta


dosisnya

Pengobatan malaria umumnya mengacu pada rekomendasi WHO. Di Indonesia,


saat ini selain tersedia obat antimalaria standar (klorokuin, kina, primakuin dan
sulfadoksin-pirimetamin) juga tersedia obat antimalaria golongan artemisin.
Sementara menurut Depkes (2007), obat antimalaria dapat dibagi berdasarkan
cara kerja selektifnya pada fase yang berbeda dari siklus hidup parasit. Obat yang
bekerja terhadap merozoit di eritrosit (fase eritrosit) sehingga tida terbentuk
skizon baru dan tidak terjadi penghancuran eritro sit disebut skizontosida darah
(klorokuin, kuinin dan meflokuin). Obat yang bekerja pada parasit stadium pre-
eritrositer (skizon yang baru memasuki jaringan hati) sehingga dapat mencegah
parasit menyerang eritro sit disebut skizontosida jaringan (pirimetamin dan
primakuin). Obat yang dapat membunuh gametosit yang berada dalam eritrosit
sehingga transmisi ke nyamuk dihambat disebut gametosida (klorokuin, kina dan
primakuin). Obat yang dapat menghambat perkembangan gameto sit lebih lanjut
di tubuh nyamuk yang menghisap darah manusia sehingga rantai penularan putus
disebut sporontosida (primakuin dan proguanil).

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh


semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan
pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kllnis dan parasitologik serta
memutuskan rantai penularan (Depkes RI, 2008).

Beberapa jenis obat antimalaria yang sudah digunakan di Indonesia di antaranya


adalah:

Kina
Kina merupakan obat antimalaria kelompok alkaloid kinkona yang bersifat
skisontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametosida P.
vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan obat antimalaria alternatif untuk
pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap
klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (multidrug) (Zein, 2005; Gunawan 2009).

Klorokuin
Klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-aminokuinolin yang bersifat
skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium pada manusia sehingga dip
akai sebagai obat malaria klinis dengan menekan gejala klinis. Obat ini juga
bersifat gametosidal (melawan bentuk gamet) immature (muda) pada P. vivax, P.
ovale, P. malariae dan P. falciparum (stadium 1-3). Obat ini tidak efektif terhadap
bentuk intrahepatic, digunakan bersama primakuin dalam pengobatan radikal pada
P. vivax dan P. ovale. Penggunaan klorokuin sebagai pilihan pertama mulai
terbatas karena berkembangnya resistensi klorokuin dari P. falciparum dan P.
vivax (Depkes, 2008).

Sulfadoksin-primetamin
Menurut Zein (2005), Sulfadoksin-pirimetamin adalah obat antimalaria kombinasi
antara golongan sulfonamide/ sulfon dengan diaminopirimidine yang bersifat
skizontosida jaringan, skizontosida darah dan sporontosidal. Obat ini sangat
praktis karena dapat diberi dalam dosis tunggal namun obat ini memiliki
kelemahan karena mudah mengalami resistensi. Oleh karena itu kombinasi obat
ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum di
daerah yang resisten terhadap klorokuin.

Primakuin
Menurut Depkes RI (2008), Primakuin merupakan obat antimalaria kelompok
senyawa 8-aminokuinolin yang sangat efektif melawan gametosit seluruh spesies
Plasmodium. Obat ini juga aktif terhadap skizon darah P. falciparum dan P. vivax
tetapi dalam dosis tinggi sehingga harus berhati-hati, efektif terhadap skizon
jaringan P. falciparum dan P. vivax

Derivat Artemisinin
Menurut Depkes RI (2008), derivat artemisinin merupakan kelompok obat
antimalaria baru yang penggunaannya terbatas pada daerah-daerah yang resistensi
klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin.

Pengobatan Malaria dengan Obat Kombinasi Artemisinin


Menurut WHO (2010), konsep pengobatan menggunakan kombinasi dari dua atau
lebih obat antimalaria dapat mencegah berkembangnya resistensi dari masing-
masing obat kombinasi dimaksud. Pengobatan kombinasi merupakan penggunaan
dua atau lebih obat antimalaria skizontosidal darah secara simultan dimana
masing-masing obat mempunyai cara kerja yang independen dan mempunyai
target biokimia yang berbeda pada parasit. Tujuan penggunaan obat antimalaria
kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari masing-masing obat antimalaria
tersebut, meningkatkan angka kesembuhan, mempercepat respon pengobatan serta
mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi terhadap obat tunggal.

Menurut WHO (2010), Artemisinin combination therapy (ACT) yang


direkomendasikan WHO saat ini antara lain :

1. Artemeter + lumenfantrin (20 mg artemeter dan 120 mg lumenfantrin/


Coartem®)
2. Artesunat + amodiakuin (50 mg artesunat dan 150 mg amodiakuin dalam
tablet terpisah/ A rtesdiaquine®, Arsuamoon®)
3. Artesunat + meflokuin (50 mg artesunat dan 250 mg basa meflokuin
dalam tablet terpisah)
4. Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin (50 mg artesunat dan 500 mg
sulfadoksin serta 25 mg pirimetamin dalam tablet terpisah/ Artescope®)
5. Dihidroartemisinin + piperakuin (40 mg dihidroartemisinin dan 320 mg
piperakuin dalam bentuk fixed dose combination)
6. Artesunat + pironaridin
7. Artesunat + klorproguanil-dapson (Lapdap plus®)
8. Dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim (Artecom®)
9. Dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim + primakuin (CV8)
10. Dihidroartemisinin + naftokuin

Sementara Depkes RI, mulai merekomendasikan penggunaan ACT sebagai


pengganti klorokuin untuk pengobatan malaria falciparum sejak tahun 2004,
sedangkan untuk pengobatan malaria vivaks baru direkomendasikan untuk
dilaksanakan pada tahun 2009.

Menurut Depkes RI (2008), obat yang digunakan saat ini untuk pengobatan
malaria di Indonesia diantaranya adalah :

1. Amodiakuin: Amodiakuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-


aminokuinolin yang mempunyai struktur dan aktivitas yang sama dengan
klorokuin. Obat ini mempunyai efek antipiretik dan anti inflamasi. Dosis
obat untuk pengobatan malaria falciparum sama dengan dosis klorokuin
2. Derivat Artemisinin (qinghousu): Menurut Gunawan (2009),
Artemisinin merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen lakton.
Artemisinin dan derivatnya merupakan skizontosida darah yang sangat
poten terhadap semua spesies Plasmodium, onset kerja sangat cepat dan
dapat mematikan bentuk aseksual Plasmodium pada semua stadium dari
bentuk ring muda sampai skizon. Artemisinin juga bersifat gametosida
terhadap P. falciaparum termasuk stadium 4 gametosit yang biasanya
hanya sensitif terhadap primakuin.  Derivat artemisinin bekerja dengan
menghambat enzim yang berperan dalam masuknya kalsium ke dalam
membran parasit yaitu enzim adenosin trifosfatase (PfATPase 6).
Mekanisme kerja lain diduga melalui intervensi terhadap fungsi pelikel
mitokondria, menghambat masuknya nutrisi ke dalam vakuola makanan
parasit sehingga terjadi defisiensi asam amino disertai pembentukkan
vakuola autofagik yang berlanjut dengan kematian parasit karena
kehilangan sitoplasma.

Beberapa jenis derivat Artemisinin tersebut antara lain:

 Artemisinin: Artemisinin bersifat insoluble (larut dalam air) dengan kadar


puncak dalam plasma tercapai dalam 1-3 jam setelah pemberian per oral
dan 11 jam setelah pemberian per rektal. Waktu paruh eliminasi sekitar 1
jam. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain gangguan
pencernaan dan reaksi hipersensitivitas tipe I.
 Artesunat: Artesunat merupakan bentuk garam sodium dari hemisuksinat
ester artemisinin yang larut dalam air. Kadar puncak metabolit aktif
dihidroartemisinin dalam plasma tercapai dalam 1,5 jam per oral, pada
pemberian per rektal 2 jam dan injeksi 0,5 jam. Waktu paruh eliminasi
sangat cepat sekitar 45 menit. Keunggulan artesunat adalah onset of action
yang cepat, efektivitas tinggi, toksisitas rendah, larut dalam air.
 Artemeter: Artemeter adalah bentuk metil eter dihidroartemisinin yang
larut dalam lemak. Kadar puncak metabolit aktif dihidroartemisinin dalam
plasma tercapai 2-3 jam setelah pemberian per oral, sedangkan pemberian
intramuskular kadar puncak plasma biasanya 6 jam namun absorbsinya
sering p elan dan tidak menentu sehingga kadar puncak baru tercapai
setelah 18 jam atau lebih. Artemeter 95% terikat pada protein plasma dan
waktu paruh eliminasi sekitar 1 jam, namun pada injeksi intramuskular
dapat lebih lama karena absorpsinya yang berkelanjutan.
 Dihidroartemisinin: Dihidroartemisinin adalah bentuk metabo lit aktif
utama dari semua derivat artemisinin, namun dapat diberikan secara oral
atau rektal dalam bentuk dihidroartemisinin sendiri. Dihidroartemisinin
relatif tidak larut dalam air. Kadar puncak plasma pada pemberian per oral
2,5 jam dan pada pemberian per rektal 4 jam, 55% terikat pada protein
plasma dan waktu paruh eliminasi 45 menit.
 Artemotil: pada awalnya dikenal dengan nama arteeter, yaitu bentuk etil
eter dari artemisinin, tidak larut dalam air dan hanya dapat diberikan
secara injeksi intramuskular. Absorpsi artemotil lambat dan tidak menentu.
Waktu paruh eliminasi sekitar 25-72 jam.
 Asam artelinat: Obat ini tersedia dalam bentuk larutan yang lebih stabil
dari pada artesunat untuk pemberian parenteral (intravena), namun saat ini
masih dalam taraf penelitian.

3.    Piperakuin: Piperakuin merupakan skizontosida darah untuk P. falciparum.


Tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Untuk meningkatkan
efikasi piperakuin saat ini dikombinasikan dengan dihidroartemisinin dan
trimetoprim dalam bentuk fixed dose combination piperakuin 320 mg dan
dihidroartemisinin 40 mg.
4.    Terasiklin: Tetrasiklin adalah antibiotik yang bersifat skizontosida darah
untuk semua spesies plasmodium dan skizontosida jaringan untuk P. falciaprum.
Obat ini harus dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang bekerja cepat
dan menghasilkan efek potensiasi, misalnya kina. Tetrasiklin tidak boleh
diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah 8 tahun karena dapat
menyebabkan perubahan warna gigi dan gangguan pertumbuhan gigi dan tulang.
5.    Doksisiklin: Doksisiklin adalah derivat tetrasiklin. Kelebihannya dari
tetrasiklin adalah masa paruh yang lebih panjang, absorbsi yang lebih baik, lebih
aman pada pasien dengan insufisiensi ginjal, dapat diberikan per oral maupun
injeksi intravena.

2. Penatalaksanaan malaria pada ibu hamil

Terapi pada spesies non-falciparum

Sedikit sekali diketahui pengaruh spesies malaria non-falciparum


terhadap ibu dan janin kecuali P,vivax, akan tetapi diduga dua spesies yang
lain juga mempunyai pengaruh yang sama. Cloroquin (25 mg/kg BB) aman
diberikan pada semua trisemester dan efektif pada episode malaria non-falciparum
kecuali P,vivax di Asia Tenggara (kawasan Indonesia) dimana telah terjadi
resistensi. Sedangkan di Thailand pada satu penelitian double-blind placebo
control didapatkan bahwa klorokuin masih efektif terhadap P,vivax.
Amodiaquin juga efektif terhadap spesies non-falciparum, namun data mengenai
efektifitas dan keamanan terhadap wanita hamil masih sedikit. Oleh sebab itu
amodiaquin tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai profilaksis oleh karena
berisiko terjadinya agranulositosis. Primakuin dikontraindikasikan terhadap
wanita hamil dan menyusui oleh karena dapat mengakibatkan hemolisis sel darah
merah.

Terapi infeksi falciparum

Wanita hamil yang terinfeksi oleh P.falciparum harus segera diberikan


terapi walaupun tidak menunjukkan gejala. Terapi berguna menghambat
progresifitas menjadi simtomatik atau infeksi berat sehingga dapat mengurangi
anemia maternal dengan membunuh parasit di plasenta. Terapi yang dini juga
dapat mengurangi ancaman terhadap janin.

Klorokuin tidak lagi efektif namun masih luas digunakan oleh karena
harga yang murah dan mudah didapat. Sulfadoxin-pyrimetamin dianggap
masih aman walaupun pada penelitian preklinik adanya bukti toksisitas.
Efektifitas sulfadoxin-pyrimetamin dikurangi oleh asam folat (5 mg/hari).
Penggunaan sulfadoxin-pyrimetamin dapat mengurangi perluasan resistensi
dibeberapa daerah. Kuinin dengan Clindamycin terbukti mempunyai
efektifitas yang tinggi terhadap strain multidrug-resisten P,falciparum.
Kombinasi obat ini direkomendasikan untuk trisemester pertama, sedangkan
artemisin based combination therapy (ACT) efektif pada trisemester kedua
dan tiga dan digunakan sebagai terapi lini pertama sesuai dengan guideline
dari WHO. Penggunaan ACT didukung oleh bukti klinis terhadap keamanan dan
efektifitas derivat artemisin terhadap lebih dari 1000 wanita hamil.

Dosis artesunat diberikan mulai dari 4 mg/kg single dose dan meningkat sampai
12-16 mg/kg BB total dosis, diberikan 3-7 hari, dan tidak dijumpai efek samping
terhadap ibu dan janin.

Meflokuin efektif terhadap parasit resisten klorokuin dan telah digunakan


secara luas di Asia lebih dari 20 tahun, namun resisten terhadap meflokuin
telah dijumpai di Asia dan Amerika selatan. Saat ini meflokuin dianjurkan
untuk dikombinasikan dengan artesunat. Meflokuin efektif terhadap pencegahan
P,falciparum dan P,vivax pada wanita hamil, namun dalam satu penelitian
retrospektif meflokuin berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian bayi.

Atovaquone-proguanil (malarone) efektif terhadap infeksi falciparum namun


demikian harganya sangat mahal. Obat ini dapat ditoleransi dengan baik dan
efektif sebagi profilaksis. Kelemahan obat ini adalah mudah terjadi resisten
terhadap P, falciparum.

Kuinin masih merupakan terapi pilihan parenteral terhadap malaria


berat dengan kehamilan, akan tetapi memerlukan waktu terapi yang lama (7
hari), toleransinya rendah (gastrointestinal dan pendengaran) dan rasa yang tidak
menyenangkan (sangat pahit). Kuinin dikategorikan sebagai obat kategori C
oleh Food and Drug Administration. Kuinin sering menyebabkan hipoglikemia
pada wanita hamil, oleh sebab itu perlu dilakukan monitoring gula darah dan
kalau diperlukan dapat diberikan glukosa parenteral.

Artesunat dan artemeter saat ini direkomendasikan sebagai terapi malaria


berat pada wanita hamil, oleh karena kerjanya cepat dan tidak menimbulkan
hipoglikemia. Pada uji random yang menggunakan artesunat intravena (2-4
mg/kg dosis inisial selama 12 jam, kemudian dilanjutkan 2-4 mg/kg perhari)
didapat penurunan mortalitas pada orang dewasa asia sebesar 34% ( termasuk 49
wanita hamil) yang dibandingkan dengan kuinin. Artemeter juga dapat digunakan
namun absorpsinya kurang dibandingkan dengan artesunat, terutama pada pasien
dengan kelainan kardiovaskuler.

Data yang ada yang didapat dari terapi artesunat pada lebih dari 600 orang
wanita hamil trisemester dua dan trisemester tiga tidak menunjukkan adanya
maternal dan fetal toxicity dan juga aman digunakan pada ibu yang menyusui.

Terapi Malaria Berat

Pengobatan malaria berat memerlukan kecepatan dan ketepatan


diagnosis sedini mungkin. Pada setiap malaria berat tindakan/ pengobatan
yang perlu dilakukan adalah tindakan umum/simptomatik, obat anti malaria dan
pengobatan komplikasi.

Penderita malaria berat memerlukan obat anti malaria yang mempunyai


daya bunuh terhadap parasit secara cepat dan kuat, serta bertahan dalam aliran
darah dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sebaiknya diberikan
secara parenteral, sehingga mempunyai efek langsung dalam darah. Obat anti
malaria yang direkomendasikan Kina (Kina HCL 25%, 1 ampul 500 mg/2 ml).
kina aman digunakan pada semua trisemester kehamilan, tidak menyebabkan
abortus dalam dosis terapi dan pemberian intravena untuk usia kehamilan > 30
minggu tidak menyebabkan kontraksi uterus atau menyebabkan fetal distress.
Namun efek samping utama ialah hipoglikemia.

Karena kematian dapat terjadi 6 jam pertama, maka diperlukan kadar ideal
dalam darah secara cepat pula. Loading dose Kina HCL 25 % , 20 mg/kg BB
dalam 500 ml Dektrose 5 %. Diberikan dalam 4 jam pertama dengan
kecepatan konstan 2 ml/menit,4 jam berikutnya istirahat. Kemudian 8 mg/kg
BB tiap 8 jam (maintenance dose).
Loading dose digunakan bila penderita belum pernah mendapatkan
pengobatan kina atau meflokuin dalam 12 jam sebelumnya. Bila sudah bisa
minum kina intravena dapat digantikan dengan kina tablet, dengan dosis 10 mg/kg
BB/kali, tiga kali sehari ( dengan total 7 hari sejak hari pertama pemberian kina).
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena karena dapat menyebabkan
kadar dalam plasma sangat tinggi yang berakibat toksik pada jantung dan
kematian. Bila karena berbagai alasan kina tidak dapat diberikan melalui
intravena, maka diberikan IM dalam dosis yang sama dip aha bagian depan
masing-masing ½ dosis di setiap paha, untuk pemakian IM kina diencerkan
dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml. bila
tidak ada perbaikan klinis setelah 48 jam, maka dosis maintenance kina
parenteral dapat diturunkan 1/3-1/2 nya ( 5-7 mg ) dan lakukan pemeriksaan
parasit dan evaluasi klinis. Pemberian kina dapat disertai hipoglikemia, karena itu
perlu diperiksa gula darah setiap 12 jam.

3. Diagnosis banding malaria

Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai yang
berat.

1. Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain
sebagai berikut:

a. Demam tifoid
Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit perut (diare,
obstipasi), lidah kotor, bradikardi relatif, roseola spot, leukopenia,
limfositosis relatif, aneosinofilia, uji Widal positif bermakna, biakan
empedu positif
b. Demam dengue
Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, disertai keluhan sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah, uji tornique positif, penurunan
jumlah trombosit dan peninggian heoglobin dan hematokritpada demam
berdarah dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, IgM atau IgG anti
dengue positif
c. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Batuk, beringus, sakit menelan, sakit kepala, manifestasi kesukaran
bernafas antara lain: nafas cepat/sesak nafas, tarikan dinding dada ke dalam
dan adanya stridor
d. Leptospirosis ringan
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah,
conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri
betis yang menyolok. Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test
(MAT) atau tes Leptodipstik positif.
e. Infeksi virus akut lainnya

2. Malaria berat atau malaria dengan komplikasi dibedakan dengan penyakit


infeksi lain sebagai berikut :

a. Radang otak (meningitis/ensefalitis)


Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilangnya
kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya.
b. Stroke (gangguan serebrovaskuler)
Hilangnya atau terjadi gangguan kesadaran, gejala neurologik lateralisasi
(hemiparese atau hemiplegia), tanpa panas, ada penyakit yang mendasari
(hipertensi, diabetes mellitus dan lain-lain)
c. Tifoid ensefalopati
Gejala demam tifoid dtandai dengan penurunan kesadaran dan tanda-tanda
demam tifoid lainnya.
d. Hepatitis
Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa
makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit
kuning, urin seperti air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat > 5x
e. Leptospirosis berat
Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan
yang menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih got, sampah dan
lain-lain), leukositosis, gagal ginjal dan sembuh dengan pemberian
antibiotika (penisilin)
f. Glomerulonefritis akut dan kronik
Gagal ginjal akut akibat malaria umumnya memberikan respon terhadap
pengobatan malaia secara dini dan adekuat
g. Sepsis
Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan
sirkulasi, leukositosis dengan granula-toksis yang didukung hasil biakan
mikrobiologi
h. Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome
Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, disertai syok atau tanpa syok
dengan keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi
perdarahan (epistaksis, gusi, petekie, purpura, hematom, hemetemesis dan
melena), sering muntah, uji torniquet positif, penurunan jumlah trombosit
dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit, tes serologi inhibisi
hemaglutinasi, IgM atau IgG anti dengue positif

4. Komplikasi malaria

Malaria Serebral

Merupakan komplikasi paling berbahaya. Ditandai dengan penurunan kesadaran


(apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma) yang dapat terjadi secara
perlahan dalam  beberapa hari atau mendadak dalam  waktu hanya 1-2 jam, 
sering   disertai kejang. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan
GCS.

Diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, 


gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis.

Diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia
otak. Sumbatan karena eritrosit berparasit sulit melalui kapiler karena proses
sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. Tetapi pada penelitian Warrell, menyatakan
bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, atau
cerebral metabolic rate for oxygen pada pasien koma dibanding pasien yang telah
pulih kesadarannya.

Kadar laktat pada cairan serebrospinal (CSS) meningkat pada malaria serebral
yaitu >2.2 mmol/L (1.96 mg/dL) dan dapat dijadikan indikator prognostik: bila
kadar laktat >6 mmol/L memiliki prognosa yang fatal.

Biasanya disertai ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, dan edema paru. Bila
terdapat >3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75 %.

Gagal Ginjal Akut (GGA)

Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya
±5-10 % disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh
karena anoksia yang disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi
dan sumbatan mikrovaskular akibat sekuestrasi, sitoadherendan rosseting.

Apabila berat jenis (BJ) urin <1.01 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut;
sedang urin yang pekat dengan BJ >1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20
mmol/L menunjukkan dehidrasi

Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya 
GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria.

Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada


hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit
sudah negatif

Kelainan Hati (Malaria Biliosa)

Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum, mungkin disebabkan


karena sekuestrasi dan sitoadheren yang menyebabkan obstruksi mikrovaskular.
Ikterik karena hemolitik sering terjadi. Ikterik yang berat karena P. falsiparum
sering penderita dewasa hal ini karena hemolisis, kerusakan  hepatosit. Terdapat
pula hepatomegali, hiperbilirubinemia, penurunan kadar serum albumin dan
peningkatan ringan serum transaminase dan 5 nukleotidase. Ganggguan fungsi
hati dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis laktat, gangguan metabolisme
obat.

Edema Paru sering disebut Insufisiensi Paru

Sering terjadi pada malaria dewasa. Dapat terjadi oleh karena hiperpermiabilitas
kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin juga karena peningkatan TNF-α.
Penyebab lain gangguan pernafasan (respiratory distress): 1) Kompensasi
pernafasan dalam keadaan asidosis metabolic; 2) Efek langsung dari parasit atau
peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak; 3) Infeksi
sekunder pada paru-paru; 4) Anemia berat; 5) Kelebihan dosis antikonvulsan
(phenobarbital) menekan pusat pernafasan.

Hipoglikemia

Hipoglikemi sering terjadi pada anak-anak, wanita hamil, dan penderita dewasa
dalam pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi karena:
1) Cadangan glukosa kurang pada penderita starvasi atau malnutrisi; 2) Gangguan
absorbsi glukosa karena berkurangnya aliran darah ke splanchnicus; 3)
Meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan; 4) Pemakaian glukosa oleh
parasit; 5) Sitokin akan menggangu glukoneogenesis; 6) Hiperinsulinemia pada
pengobatan quinine.

Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat


yang akan memperburuk prognosis malaria berat

Haemoglobinuria (Black Water Fever)

Merupakan suatu sindrom dengan gejala serangan akut, menggigil, demam,


hemolisis intravascular, hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi pada
infeksi P. falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan
pengobatan kina yang tidak adekuat dan yang bukan disebabkan oleh karena
defisiensi G6PD atau kekurangan G6PD yang biasanya karena pemberian
primakuin.
Malaria Algid

Terjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg, disertai gambaran
klinis keringat dingin, atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 ˚C, kulit tidak
elastis, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan
sistolik tak terukur dan nadi yang normal.

Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan dengan sepsis.
Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang disebabkan
karena vasodilatasi.

Asidosis

Asidosis (bikarbonat <15meq) atau asidemia (PH <7.25), pada malaria


menunjukkan prognosis buruk. Keadaan ini dapat disebabkan: 1) Perfusi jaringan
yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan pengangkutan
oksigen; 2) Produksi laktat oleh parasit; 3) Terbentuknya laktat karena aktifitas
sitokin terutama TNF-α, pada fase respon akut; 4) Aliran darah ke hati yang
berkurang, sehingga mengganggu bersihan laktat; 5) Gangguan fungsi ginjal,
sehingga terganggunya ekresi asam.

Asidosis metabolik dan gangguan metabolik: pernafasan kussmaul, peningkatan


asam laktat, dan pH darah menurun (<7,25) dan penurunan bikarbonat (< 15meq).

Keadaan asidosis bisa disertai edema paru, syok gagal ginjal, hipoglikemia.
Gangguan lain seperti hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hipoalbuminemia.

Manifestasi gangguan Gastro-Intestinal

Gejala gastrointestinal sering dijumpai pada malaria falsifarum berupa keluhan tak
enak diperut, flatulensi, mual, muntah, kolik, diare atau konstipasi. Kadang lebih
berat berupa billious remittent fever (gejala gastro-intestinal dengan
hepatomegali), ikterik, dan gagal ginjal, malaria disentri, malaria kolera.

Hiponatremia

Terjadinya hiponatremia disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui


muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma abnormalitas hormon anti-
diuretik (SAHAD).

Gangguan Perdarahan

Gangguan perdarahan oleh karena trombositopenia sangat jarang. Perdarahan


lebih sering disebabkan oleh Diseminata Intravaskular Coagulasi (DIC).

5. Terapi profilaksis

Upaya pencegahan malaria telah dilakuakan bertahun-tahun dengan cara


pencegahan dari dalam yaitu dengan obat-obatan maupun pencegahan dari luar
yaitu dengan menggunakan kelambu dan sebagainya. Upaya pencegahan malaria
dengan menggunakan obat-obatan umumnya dengan menggunakan jenis obat
yang sama dengan jenis obat yang digunakan untuk mengobati malaria, bahkan
obat-obatan ini bekerja dengan lebih baik sebagai pencegah karena akan langsung
dapat membunuh parasit yang masih sensitif pada saat baru memasuki sistem
tubuh manusia.

Obat Klorokuin sangat efektif untuk mencegah parasit plasmodium falciparum


untuk masuk lebih lanjut ke dalam sistem tubuh manusia. Obat ini digunakan satu
kali seminggu selama dua minggu sebelum tiba di daerah dengan intensitas
malaria tinggi, yang kemudian dilanjutkan dengan pemakaian selama 4 minggu
setelah meninggalkan daerah tersebut.
Berikut adalah daftar obat yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit
malaria.

1. Atovaquone/Proguanil (Malarone)

 Obat ini dapat digunakan 1-2 hari sebelum melakukan perjalanan ke


daerah epidemi malaria (dibanding dengan obat lain yang harus digunakan
dalam jangka waktu yang lebih panjang)
 Pilihan terbaik untuk waktu perjalanan yang lebih singkat ke daerah
epidemi malaria karena obat ini hanya digunakan dalam waktu 7 hari
setelah perjalanan ke daerah epidemi, dibandingkan dengan obat lain yang
harus digunakan 4 minggu sepulangnya dari daerah epidemi malaria.
 Efek samping yang sangat rendah (hampir tidak ada efek samping)

Kontraindikasi :

 Tidak dianjurkan digunakan oleh wanita hamil.


 Tidak dapat digunakan oleh orang dengan gangguan ginjal berat.
 Harga yang lebih mahal.

2. Klorokuin

 Pilihan yang baik untuk perjalanan yang panjang ke daerah epidemi


malaria karena obat ini digunakan mingguan (satu minggu sekali)
 Dapat digunakan oleh wanita hamil.
 Beberapa orang lebih suka mengambil dosis mingguan.

Kontraindikasi :

 Tidak dapat digunakan pada daerah dimana plasmodium telah


mengembangkan kekebalan pada obat ini.
 Obat digunakan dalam jangka yang cukup panjang yaitu 4 minggu setelah
pulang dari daerah epidemi, dan haru digunakan 2 minggu sebelum
berangkat ke daerah epidemi malaria.

3. Doxycycline

 Obat ini dapat diambil 1-2 hari sebelum tiba di tempat epidemi malaria.
 Obat malaria yang paling murah di pasaran saat ini.
 Obat ini juga melindungi dari beberapa infeksi lain seperti Rickettsiae and
leptospirosis.

Kontraindikasi :

 Obat ini berbahaya bagi ibu hamil dan anak-anak.


 Obat ini harus digunakan selama 4 minggu setiap hari setelah pulang dari
tempat epidemi malaria.
 Obat ini dapat meningkatkan rasa sensitif terhadap sinar matahari.
 Beberapa orang dapat mengalami gangguan perut dalam penggunaan obat
ini.

4. Mefloquine

 Sangat cocok untuk perjalanan panjang dan lama ke tempat epidemi


malaria karena obat ini hanya digunakan seminggu sekali.
 Dapat digunakan oleh wanita hamil.

Kontraindikasi :

 Tidak dapat digunakan di daerah yang mana plasmodium malaria telang


mengembangkan kekebalan terhadap obat ini.
 Tidak dapat digunakan pada pasien dengan kasus psikologi tertentu.
 Tidak dianjurkan untuk pasien sakit jantung
 Tidak dapat digunakan pada pasien yang mengalami kejang.
 Obat ini harus digunakan 2 minggu sebelum ke tempat epidemi malaria.
 Obat ini haru terus digunakan selama 4 minggu setelah kembali dari
daerah epidemi malaria.

5. Primakuin

 Obat ini sangat efektif menangkal plasmodium vivax sehingga sangat


cocok digunakan di daerah epidemi malaria vivax.
 Obat hanya perlu digunakan 7 hari setelah meninggalkan tempat epidemi.
 Obat digunakan 1-2 hari sebelum ke tempat epidemi malaria.

Kontraindikasi :

 Tidak dapat digunakan oleh ibu hamil.


 Dapat menyebabkan gangguan perut pada orang tertentu.

Profilaksis pada anak

1. Pemakaian obat anti malaria

Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik


malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari
daerah endemik malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.

a. Klorokuin bnasa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 mg basa sekali


seminggu atau

b. Fansidar atau Suldox dengan dasar primetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau


sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau
lebih).

2. Menghindar dari gigitan nyamuk

a. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk


b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk

3. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah
penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadum pada perjalanan penyakit malaria
menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria
ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:

a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam


nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c.
Gametosit yang menginfeksi nyamuk

b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan


pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
P.falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah
berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama
pada anak dan ibu hamil

Profilaksis pada kehamilan

Kemoprofilaksis pada wanita hamil berguna menurunkan anemia maternal dan


berat lahir rendah. Kemoprofilaksis pada wanita hamil sangat rumit, oleh
karena dibatasi oleh keamanan dan kepatutan dan juga karena kurangnya
informasi tentang komposisiobat. Sejumlah obat antimalaria telah dievaluasi
pada wanita hamil yang bepergian sebagai wisatawan . Klorokuin dapat
digunakan namun dibatasi oleh resistensi yang semakin luas penyebarannya.
Doksisiklin dan primakuin dikontraindikasikan. Oleh karena kurangnya data,
atovaquone-proguanil tidak direkomendasikan, walaupun proguanil dianggap
aman pada wanita hamil. Pada binatang percobaan tidak terjadi terjadi
teratogenik oleh pemberian atovaquone. Meflokuin merupakan pilihan pada
wanita hamil yang tidak dapat menunda perjalanannya pada daerah endemik
malaria yang resisten klorokuin. Sejumlah peneliti memperkenankan pemakaian
meflokuin pada semua trisemester. Penelitian terbaru mengenai klorokuin
sebagai profilaksis terhadap P,vivax pada wanita hamil di Thailand, tidak di
dapatkan pengaruh terhadap anemia maternal ataupun berat badan lahir, namun
pada daerah yang predominan malaria P,vivax, infeksi pada wanita hamil
berperan terhadap angka morbiditas dan mortalitas maternal.

Klorokuin, hidroksiklorokuin dan meflokuin dapat diberikan pada wanita


menyusui, dan atovaquone-proguanil dapat diberikan jika berat bayi
menyusui lebih dari 5 kg. Proguanil disekresikan kedalam ASI dalam jumlah
yang sedikit. Pada tikus percobaan konsentrasi atovaquone dalam susu ekitar
30% sama dengan di plasma.

Namun harus diingat bahwa profilaksis dengan obat anti malaria tidak dianjurkan
untuk jangka panjang (>6 bulan). Jika lama di daerah endemik >6 bulan bawalah
kelambu dan/atau repellent lotion dan/atau kawat kassa sebagai perlindung
mekanisme terhadap gigitan nyamuk.
Sehubungan dengan tingginya tingkat resistensi plasmodium falciparum terhadap
klorokuin, maka Doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin
dapat diberikan setiap hari dengan dosis 2mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6
minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak < 8 tahun dan Ibu hamil.

Kemoprofilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis


5kg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut diminum satu minggu sebelum masuk
daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali. Dianjurkan menggunakan
klorokuin tidak lebih dari 3-6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI.  2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.

Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV .
Jakarta : EGC

WHO. 2010. Guidlines for The Treatment of Malaria.

Anda mungkin juga menyukai