Anda di halaman 1dari 5

PENDEKATAN KLINIS DAN MANAJEMEN

TETANUS NEONATORUM
Monica Bethari Primanesa, Chindhia Rima Bunga Lestari Rochmatika
Fakultas Kedokteran Universitas Jember/Dokter Umum Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi
Jember, Indonesia

Abstrak
Kata kunci:

Abstract
Key word:

PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit akut, paralisis yang spastik yang disebabkan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani, termasuk dalam kuman anaerob gram positif. C. tetani
bukan merupakan kuman yang bersifat menginvasi jairngan, kuman ini dapat menyebabkan
sakit karena toksin yang dihasilkan, yaitu tetanospasmin. Bentuk obligat bakteri berupa spora
yang mempunyai habitat alami di tanah, debu, dan traktus alimentarius beberapa hewan.
Spora C. tetani sangat tahan terhadap panas tapi akan mati dengan autoclave, sedangkan sel
vegetatifnya akan mati dengan pemberian antibiotic, pemanasan, dan disinfektan1.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemi di beberapa negara
berkembang. Pada tahun 2015, sekitar 57,000 kematian disebabkan oleh tetanus, dari angka
tersebut, 20,000 kematian di antaranya terjadi pada neonatus, atau disebut dengan tetanus
neonatorum. Mortalitas tertinggi terjadi pada negara-negara di Asia Selatan dan Afrika1.
Indonesia telah mendapatkan validasi dalam mengeliminasi tetanus maternal dan neonatal
pada tahun 2016 oleh WHO2. Pada tahun 2018, terdapat 10 kasus tetanus neonatorum yang
tercatat, 4 diantaranya meninggal dunia3.

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum adalah persalinan dan perawatan tali pusat
yang tidak higienis. Persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten di
fasilitas pelayanan kesehatan3. Perawatan tali pusat yang benar yaitu tali pusat yang telah
dipotong dan diikat tidak diberi apa-apa5. Pemberian ramuan, bubuk, zat, atau obat tradisional
pada tali pusat dapat meningkatkan risiko terjadinya tetanus neonatorum 6. Pemberian TTCV
(Tetanus Toxoid-containing vaccines) sesuai dosis pada masa kehamilan dapat memberikan
perlindungan terhadap terjadinya tetanus baik maternal maupun neonatorum2.

GEJALA KLINIS
Tetanus neonatorum biasanya bermanifestasi dalam 3 hingga 12 hari setelah kelahiran.
Manifestasi klinis meliputi gejala progresif adanya kesulitan minum (menghisap dan
menelan), peka rangsang, dan bayi menangis terus menerus. Gejala khas yang lain adalah
adanya kekakuan dan spasme otot. Kekakuan otot melibatkan otot masseter, otot-otot perut,
dan tulang belakang4.
Trismus disebabkan oleh adanya spasme pada otot masseter dan terjadi pada separuh pasien
tetanus neonatorum beberapa hari setelah lahir. Gejala ini akan diikuti dengan kekakuan pada
otot leher dan kesulitan menelan. Bayi akan menjadi rewel, gelisah, dan sulit minum. Spasme
pada otot fasial menyebabkan risus sardonicus. Kontraksi tonik otot abdomen dan lumbal
menghasilkan gejala opistotonus dan diikuti dengan fleksi dan adduksi tangan serta kepalan
tangan seperti petinju. Spasme pada awalnya terjadi beberapa detik dan memanjang seiring
dengan semakin memberatnya penyakit. Pasien sadar dan menangis karena nyeri akibat
spasme otot. Spasme otot sangat mudah dicetuskan oleh rangsangan taktil, visual, maupun
auditorial. Adanya demam kemungkinan akibat aktivitas otot yang berlebihan. Spasme otot
laringeus dan respiratorius menyebabkan osbtruksi, asfiksia, dan sianosis1,4.
Perjalanan alamiah tetanus neonatorum adalah adanya peningkatan keparahan penyakit pada
7 hari pertama diikuti kondisi yang menetap pada minggu kedua dan berkurang secara
bertahap pada 2-6 minggu berikutnya. Komplikasi yang sering terjadi adalah
bronkopneumonia, pneumonia aspirasi, dan ateletaksis. Angka kematian dapat menurun
dengan adanya perawatan intensif dan ventilator.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis serta faktor risiko yang terdapat pada ibu dan bayi,
tanpa perlu melakukan pemeriksaan penunjang6,9. Tes spatula adalah uji yang dapat dilakukan
dengan mudah saat memeriksa pasien, yaitu dengan cara menyentuh bagian orofaring pasien
menggunakan spatula. Biasanya manuver ini akan menimbulkan refleks muntah, dan pasien
akan mencoba mengeluarkan spatula. Jika terjadi tetanus, pasien akan mengalami refleks
berupa spasme otot masseter dan menggigit spatula. Manuver ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi1.

TERAPI
Terapi tetanus neonatorum membutuhkan eradikasi terhadap C. tetani, merawat lingkungan
luka yang anaerob sehingga bakteri tidak bisa bereplikasi, menetralkan semua toksin tetanus,
mengontrol kejang dan pernapasan, paliatif, serta pencegahan kekambuhan4,9.
Human tetanus immonuglobulin (TIG) 500 U intramuskular harus segera diberikan untuk
menetralkan toksin yang beredar dan tidak terikat, meskipun tidak berefek pada toksin yang
sudah terikat pada sistem saraf pusat. Bila tidak tersedia TIG, dapat diberikan anti tetanus
serum (ATS) dengan dosis 5,000 U intramuskular 8. Infeksi tetanus tidak memberikan
imunitas, sehingga imunisasi aktif dapat diberikan sebagai bagian dari terapi pasien1,4.
Antibiotik metronidazole merupakan antibiotik pilihan, dengan dosis 30 mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6 jam sehari, dengan dosis maksimal 4 gram/hari, dapat menurunkan bentuk
vegetatif C. tetani. Pemberian Penicillin G juga dapat diberikan sebagai terapi alternatif
(100,000 U/kgBB/hari, diberikan dalam interval 4-6 jam, dengan dosis maksimal 12 juta U).
Antibiotik diberikan selama 7-10 hari1,8.
Pengendalian kejang sangat penting dicapai dalam terapi tetanus, sehingga semua pasien
tetanus generalisata harus mendapat muscle relaxants. Diazepam dengan dosis 10 mg/kg/hari
secara intravena dalam 24 jam atau dengan bolus intravena setiap 3 jam dengan dosis 0,5
mg/kg per kali pemberian dengan maksimum dosis 40 mg/kg/hari dapat diberikan baik untuk
pengendalian kejang dan relaksasi otot. Bila jalur intravena tidak terpasang, diazepam dapat
diberikan melalui pipa lambung atau rektal. Bila perlu, dapat diberikan dosis tambahan 10
mg/kg/hari, Pemberian diazepam dengan dosis yang efektif dipertahankan hingga 2-6 minggu
sebelum dilakukan tappering off. Pemberian diazepam harus dihentikan apabila frekuensi
napas < 30 kali/menit, kecuali bila tersedia ventilator mekanik. Magnesium sulfat, obat lain
golongan benzodiazepine (midazolam), chlorpromazine, dantrolene, dan baclofen dapat pula
digunakan8.
Menjaga jalan napas tetap terbuka untuk mendapatkan ventilasi yang adekuat merupakan
langkah yang sangat penting. Pemasangan kateter saluran kencing bisa dilakukan bila terjadi
retensi urin. Manajemen lainnya yang penting adalah perawatan untuk mencegah pneumonia
aspirasi dan ateletaksis serta menurunkan rangsangan yang dapat mencetuskan kejang.
Sebaiknya bayi dirawat di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi rangsangan yang
tidak perlu, tetapi yakin bahwa bayi tidak terlantar, mudah dilihat, serta terdapat akses
terhadap tindakan keperawatan yang cepat dan peralatan resusitasi. ASI harus tetap diberikan,
ASI perah dapat diberikan melalui pipa lambung di antara periode spasme. Pemberian ASI
dimulai dengan setengah kebutuhan per hari dan dinaikkan bertahap sehingga mencapai
jumlah yang mencapai kebutuhannya dalam 2 hari4.
Perawatan luka secara pembedahan dengan eksisi dan debridemen sering dibutuhkan untuk
mengangkat benda asing atau jaringan mati yang menciptakan kondisi anaerob yang
diperlukan untuk replikasi vegetatif. Pembedahan harus segera dilakukan setelah pemberian
human tetanus immunoglobulin (TIG) dan antibiotik. Jika terjadi kemerahan dan atau
pembengkakan pada kulit sekitar tali pangkal tali pusat, keluar nanah dari permukaan tali
pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi local tali pusat.
Eksisi pangkal pusar pada neonatus dengan tetanus tidak lagi direkomendasikan1,4.

KASUS
Bayi usia 10 hari dengan keluhan kejang terus menerus sejak 12 jam yang lalu. Kejang
seluruh tubuh, seluruh tubuh didapatkan kaku, kedua tangan sulit untuk diluruskan. Saat
kejang bayi sadar terus dan menangis. Bibir tampak mecucu, pasien sulit untuk minum. Tidak
ada riwayat demam, batuk, sesak, dan tersedak sebelumnya. Bayi lahir di kamar bersalin
rumah sakit daerah secara spontan dari ibu G3P1A1 usia kehamilan 38 minggu dengan
penyulit ketuban pecah dini > 24 jam. Bayi lahir langsung menangis dengan Apgar Score 7-8,
berat badan lahir 2,8 kg. Imunisasi TT ibu pasien terakhir tahun 2013, pada kehamilan ini
tidak mendapatkan imunisasi TT. Antenatal care (ANC) ibu di bidan posyandu dan
puskesmas setiap bulan. Perawatan tali pusat di rumah menggunakan serbuk dari daun-daun
sirih lalu ditutup dengan kain hingga tali pusat lepas pada usia 5 hari.
Pada pemeriksaan didapatkan berat badan saat ini 3,3 kg, kesadaran E4V5M6, heart rate
220x/menit, laju napas 64x/menit, suhu axilla 36.9° C, kadar saturasi oksigen 93% udara
ruang. Pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak lemah, menangis, tungkai bawah proksimal
spastik, posisi tangan spastik (boxing position), mulut mecucu seperti ikan, rigiditas perut
(perut papan), serta opistotonus. Uji spatula positif. Pada umbilikus didapatkan tali pusat
telah lepas, kering, tidak tampak pus maupun kemerahan, dan tidak tercium bau busuk.
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap terdapat leukositosis 24.4x1
01/L dan trombositosis 752.000/L.

Pasien didiagnosis tetanus neonatorum, mendapat terapi infus D10 1/5 NS 420 ml/24 jam,
diazepam 40 mg/hari dalam syringe pump, dosis dapat dinaikkan 10 mg/kg bila masih kejang
atau dapat diberikan tambahan bolus dengan dosis 0,6 mg tiap 3-6 jam, TIG 500 U yang
disuntikkan secara intramuskular pada anterolateral paha kanan pasien, injeksi metronidazole
3x30 mg secara intravena, injeksi ampicillin sulbactam 2x150 mg secara intravena, injeksi
fenobarbital 60 mg loading secara intravena. Pasien dipasang pipa orogastric untuk
membantu minum ASI. Pasien seharusnya dirawat di ruang perawatan NICU, namun saat itu
ruang perawatan NICU dan perina penuh, maka pasien dirawat di ruang bangsal anak biasa.
Lingkungan pasien dikondisikan minim rangsang, cahaya yang redup, tenang, dan tidak
ramai.
Pada hari perawatan ke 4, kejang dan spasme otot bayi masih terjadi, maka dosis diazepam
dinaikkan menjadi 50 mg/hari. Selain itu pasien juga mulai diberi ASI perah sebanyak 6x2,5
ml, yang dinaikkan menjadi 6x20 ml keesokannya. Pasien juga mendapatkan injeksi
fenobarbital 2x7 mg. Pada hari perawatan ke 5, laju napas pasien < 30x/menit, maka dosis
diazepam diturunkan menjadi 20 mg/hari. Hari berikutnya, dosis diazepam diturunkan lagi
menjadi 10 mg/hari, lalu dihentikan karena kesadaran bayi turun. Bayi dinyatakan meninggal
dunia pada hari perawatan ke 7.

PEMBAHASAN
Pasien bayi pada kasus ini datang ke IGD RS dengan keluhan kejang terus menerus tanpa
didahului demam. Kemudian ditemukan spasme pada seluruh tangan dan kaki, perut dan
rahang dan juga bayi sulit menyusu selama beberapa hari terakhir. Gejala ini mendukung
diagnosis tetanus neonatorum10.
Bayi ini dilahirkan spontan di ruang bersalin Rumah Sakit, dengan peralatan steril. Saat lahir
kondisi baik, dipulangkan saat hari ke 2 perawatan. Namun saat di rumah, perawatan tali
pusat kurang steril. Saat bayi berusia 3 hari, tali pusat bayi diberikan bubuk sirih dan ditutup
kain, sampai pada akhirnya lepas pada usia 5 hari. Perawatan tali pusat bayi yang kurang
steril akan menimbulkan infeksi karena kontaminasi dari bakteri Clostridium tetani yang
mana bakteri ini akan menyebarkan toksin ke system saraf pusat, dan pada akhirnya akan
menyebabkan spasme otot 11,12.
Bayi mulai timbul gejala kejang dan kaku seluruh tubuh pada usia 10 hari, dan mulai sulit
menyusu beberapa hari sebelum timbul kejang. Hal ini sesuai dengan masa inkubasi bakteri
Clostridium tetani yaitu sekitar 4 sampai 21 hari, namun sering terjadi dalam 14 hari. Dan
ketika periode inkubasi terjadi kurang dari 9 hari, angka kematiannya sekitar 60%11.

Prinsip penanganan tetanus neonatorum antara lain: 1) Sedasi dan paralisis untuk mencegah
perburukan spasme otot dan disfungsi autonom, dan juga mencegah dehidrasi. Pada kasus
ini , pasien diberikan terapi diazepam dan juga fenobarbital. 2) debridement dan pemberian
antibiotik untuk mengatasi infeksi, diberikan terapi antibiotik metronidazole dan juga
ampicillin sulbactam pada pasien ini. 3) netralisasi toksin, yaitu dengan diberikan tetagam
dan juga HTIG. 4) Perawatan suportif di ICU8.

Penyakit tetanus tidak akan pernah bisa diberantas sepenuhnya karena bakteri C.tetani ini ada
di seluruh lingkungan alam, manusia, dan juga hewan. Lebih lebih tidak ada kekebalan tubuh
yang didapat secara alami. Namun tetanus hampir sepenuhnya bisa dicegah dengan
pemberian vaksin Tetanus Toxoid13.
Pada pelayanan ANC, selalu periksa status imunisasi ibu hamil. Jika ibu hamil belum pernah
divaksin atau jika status vaksinasi tidak diketahui, berikan dua dosis TT/ Td dengan jarak 1
bulan sebelum persalinan. Dan jika ibu hamil pernah diberi sampai dengan 4 dosis TT
sebelumnya, maka 1 dosis TT diberikan 1 bulan sampai dengan 2 minggu sebelum
persalinan14.
KESIMPULAN
Tetanus neonatorum merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh bakteri
Clostridium tetani, dimana bakteri ini menghasilkan tetanospasmin yang akan menyerang ke
sistem saraf pusat sehingga menimbulkan spasme seluruh tubuh. Penyakit ini merupakan
penyakit yang fatal karena bisa menyebabkan kematian. Meskipun demikian, penyakit ini
bisa dicegah jika status imunisasi TT ibu hamil cukup, kemudian persalinan dilakukan
dengan tempat dan peralatan steril serta petugas kesehatan yang terlatih, dan juga perawatan
tali pusat yang baik bersih dan steril.

DAFTAR PUSTAKA
1. Schleiss MR. Tetanus (Clostridium tetani). In: Kliegman RM, Geme JW, Blum NJ,
Shah SS, Tasker RC, Wilson KM, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 21st ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 6253-6264.
2. World Health Organization. Protecting all against tetanus: Guide to sustaining maternal
and neonatal tetanus elimination (MNTE) and broadening tetanus protection for all
populations. 2019;Suppl:
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2018
[Internet]. 2019 [cited 2020 December 31]. Available from:
4. Pusat Data dan Informasi. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (MNTE) di
Indonesia. Bul Jendela Data dan Informasi Kesehatan Eliminasi Tetanus Maternal &
Neonatal. 2012; 1: 1-22.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riskesdas 2018.
Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes; 2019.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta; 2009.
7. World Health Organization. Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta; 2009.
8. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of tetanus: an
evidence-based review. Crit Care. 2014; 18(217).
9. Thwaites CL, Beeching NJ, Newton CR. Maternal and neonatal tetanus. Lancet. 2015
January 24; 385(9965): 362–370.
10. Gomes AP, Freitas BAC, Rodrigues DC, Silveria GL, Tavares W, Siquiera-Batista R.
Clostridium tetani infections in newborn infants: a tetanus neonatorum review.
Brazilian Journal of Intensive Care. 2011;23(4):484-491.
11. Emeribe VC, Akah LU. Neonatal tetanus in African Children: causes, symptomps,
predisposing factors, prevention and control. 2011;ASSJ 23:1-4.
12. Jenita B, Tulika GM, Abhijit D, Arpitta G . A neonatal tetanus death: an opportunity
lost. 2013; JEMDS 2: 4528-4530
13. Rhinesmith E, Fu Linda. Tetanus Disease, Treatment, Management. 2018. Pediatrics in
review; 39;430.
14. World Health Organization. Standart for Maternal and Neonatal Care developed by
Department of Making Pregnancy Safe: Maternal immunizatiom against tetanus.2006

Elizabeth Rhinesmith, MD,* Linda Fu, MD, MS*

Anda mungkin juga menyukai