Anda di halaman 1dari 11

1

Di susun oleh:

Nama :Haryaty Putri


Nim :21011127
Dosen: Agus Alamsyah SKM, M.Kes
Pelajaran : epidemiologi penyakit menular

1
2

Daftar Isi

PENDAHULUAN.......................................................................................................................3

Etiologi....................................................................................................................................4

Patofisiologi............................................................................................................................4

Cara Penularan........................................................................................................................5

Masa Inkubasi.........................................................................................................................5

F.Diagnosis (Gambaran Klinis dan Laboratorium)...................................................................7

G.Pengobatan.........................................................................................................................7

H. Pencegahan dan Program Pemberantasanya.....................................................................9

I. Faktor-Faktor.....................................................................................................................10

Kesimpulan...........................................................................................................................11

Daftar Pustaka......................................................................................................................12

2
3

A.PENDAHULUAN
Bayi neonatus meliputi umur 0  – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi diluar
kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faal. (Sandi 2017).
Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan
atau kegagalan  penyesuaian biokimia dan faal. Masalah pada neonatus ini biasanya
timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Contoh penyakit
yang sering didapatkan pada neonatus yaitu Tetanu neonatorum masih banyak
terdapat di negara-negara sedang membangun. Tetanus Neonatorum adalah Penyakit
tetanus yang terjadi  pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium Tetani yaitu
bakteria yang mengeluarkan racun(toksin) yang menyerang sistem saraf pusat. Hal
ini disebabkan karena akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
bersih. termasuk Indonesia dengan kematian bayi yang tinggi dengan angka
kematian 80 %. Di Indonesia pada saat ini persalinan yang ditolong di rumah sakit
hanya 10  –  15 %, 10 % lagi ditolong oleh bidan swasta, sedangkan sisanya 75  –  80
% masih ditolong oleh dukun.(Kemenkes,2020)

Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian.
Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di
bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah
menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius.
Tetanus juga terjadi  pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena
umumnya terjadi pada  bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus).
Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat,
karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan. WHO
menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih
tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru
mendapat pertolongan bila keadaan  bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna
memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka
kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta
pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.(Herman 2020)

Tetanus neonatorum angka kematian kasusnya (Case Fatality Rate atau CFR)
sangat tinggi. Pada kasus teanus neonatorum angkanya mendekati 100 %, terutama
yang mempunyai masa inkubasi kurang 7 hari. Angka kematian kasus tetanus
neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8
– 55 %. Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi seorang
tenaga medis dapat memberikan pertolongan/tindakan pertama dalam menghadapi
kasus tetanus neonatorum. Oleh karena itu penulis membuat makalah dengan judul
“Tetanus Neonatorum” untuk memberikan informasi kepada pembaca.
3
4

B.Etiologi
Penyebabnya adalah Clostrodium tetani, yang infeksinya biasanya terjadi
melalui luka pada tali pusat. Ini dapat terjadi karena pemotongan tali pusat tidak
menggunakan alat-alat yang steril. Faktor lain adalah sebagian ibu yang melahirkan
tidak atau belum mendapatkan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada masa
kehamilannya. Hasil Clostrodium tetani ini bersifat anaerob,  berbentuk spora selama
diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan
sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang
bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Masa
inkubasi biasanya 5-14 hari, tergantung pada tempat terjadinya luka, bentuk luka,
dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum (Herman 2020).

C.Patofisiologi
Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk kedalam tubuh melalui luka
potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak
steril atau perawatan tali pusat yang tidak baik. Spora yang masuk dan berada di
lingkungan anaerobik berubah menjadi bentuk flex dan berbiak sambil menghasilkan
toxin. Dalam  jaringan yang anaerobic ini terjadi penurunan potensial oksidasi
reduksi jaringan dan turunan tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis
jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan
ke sel saraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas
serabutnya. Belum dapat perubahan elekrik dan fungsi sel walaupun toxin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sumsum  belakang toxin menjalar dari sel saraf lower
motorneuron ke letuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory
neurin. Pada daerah inilah toxin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter
dan menimbulkan kekakuan. Eksotoksin mencapai sistem saraf pusat dengan
melewati akson neuron atau sistem vaskular. Kemudian menjadi terikat pada sel
saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
arititoksin. (Rizal et al. 2021)

Pengangkutan toksin melaui saraf motorik:

A. Sinaps ganglion sumsum tulang belakang. Eksotoksin memblok sinaps jalur


antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus
otot meningkat dan menjadi kaku.
B. Otak. Toksin yang menempel pada cerebral ganglionsides diduga
menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.

4
5

C. Saraf autonom. Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala


keringat berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block
atau takikardia

D.Cara Penularan

Bakteri tetanus bisa ditemukan di setiap tempat. Spora bakteri C. tetani ada di
mana saja di siktar kita. Yang paling banyak ada di tanah dan feses hewan. Bakteri
bisa masuk ke tubuh melalui luka terbuka atau terkena tusukan benda tajam yang
terkontaminasi, misalnya tertusuk paku.

Bakteri tetanus akan masuk ke dalam tubuh, dan spora berkembang biak
menjadi bakteri baru dan mengumpul dalam luka. Kumpulan bakteri tersebut akan
menghasilkan racun yang menyerang saraf motorik Anda dan langsung
menyebabkan gejala tetanus.

Selain itu, cara umum lain penularan tetanus antara lain:

 Luka yang terkontaminasi dengan air liur atau kotoran


 Luka yang disebabkan oleh benda menusuk kulit seperti paku, serpihan kaca,
jarum
 Luka bakar
 Luka yang dipencet
 Cedera dengan jaringan yang mati

Cara penularan tetanus yang jarang, antara lain:

 Prosedur operasi
 Luka dangkal (misalnya goresan)
 Gigitan serangga
 Penggunaan obat infus
 Suntikan ke otot
 Infeksi gigi

E.Masa Inkubasi

Masa inkubasi 3  – 28 hari, dengan rata-rata 6 hari. Bila kurang dari 7 hari,  biasanya
penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.

5
6

Kategori Tetanus Neonatorum Sedang Tetanus Neonatorum


Sedang
Umur Bayi >7 hari 0-7 hari
Frekuensi Kejang Kadang-kadang Sering
Bentuk Kejang Mulut mencucu Mulut mencucu
Trismus kadang Trismus terus-menerus
Kejang rangsang (+) Kejang rangsang (+)
Posisi Badan Opistotonus kadang-kadang Selalu Opistotonus
Kesadaran Masih sadar Masih sadar
Tanda-tanda infeksi Tali pusat kotor Tali pusat kotor
Lubang telinga kotor Lubang telinga kotor

F.Diagnosis (Gambaran Klinis dan Laboratorium)

1. Gambaran Klinis

Gejala klinis pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang
primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan”. Anak yang
semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala
klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus
sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada
penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter,
sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku. Bentukan
mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali
lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang
menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas Kekakuan pada
tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi
plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan dimulai
pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada
siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga
bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali
menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

2. Laboratorium

1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat
Elektrolit : K, Na (Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang ) Kalium ( N 3,80 –  5,00 meq/dl)  Natrium ( N 135  – 144 meq/dl)

6
7

3. Skull ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi,
Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal

G.Pengobatan

1. Medik
a. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis
dalam  perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk
memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering
kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5%
dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah
dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde,
melalui eflex diberikan tambahan protein dan kalium.
b. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit,
kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam
dimasukan ke dalam cairan eflex dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih
sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-
lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5
mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15
mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan
diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila
makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh
diberikan secara intravena.
c. Antitetanus Serum 10.000 per hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut
dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 untuk sekaligus
d. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari.
Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal
tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis
bakterialis
e. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%
f. Perhatikan jalan napas, eflexe, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

2. Keperawatan

Pasien tetanus adalah pasien yang gawat, mudah kejang dan bila kejang
selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernapasan sering menyebabkan pasien
apnea. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut
dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar
yang tenang tetapi harus terang. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah

7
8

bahaya terjadi gangguan pernapasan, kebutuhan nutrisi/cairan, dan kurangnya


pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

a. Bahaya terjadinya gangguan pernapasan Masalah yang perlu diperhatikan


adalah bahaya terjadi gangguan  pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. Gangguan pernafasan yang
sering timbul adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang
menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi.

a.Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal


dibawah bahunya
b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika
sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi
dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke
belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya
d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas
buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi
e. Observasi tanda vital setiap ½ jam
f. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.

b. Kebutuhan nutrisi/cairan Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah,
untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infus dengan cairan glukosa
10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan
bikarbonas natrikus 11/2 % dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik,
kejang sudah berkurang  pemberian makanan dapat diberikan melaui sonde dan
selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara
bertahap
c. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan  bahwa
bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan
khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan
ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum
memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya
cukup mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika
ibu kelak hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan,
dan minta pertolongan  persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah
ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali
pusat yang baik. (Yuliawati and Suparni 2017)

H. Pencegahan dan Program Pemberantasanya

8
9

1. Pencegahan
Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan
bersih alat .
a. Bersih tangan Sebelum menolong persalinan, tangan penolong disikat dan dicuci
dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun.
Cuci tangan dilakukan selama 15
– 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung
merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.
b. Bersih alas Tempat atau alas yang dipakai untuk persalinan harus bersih, karena
clostrodium tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran.
c. Bersih alat Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode
sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 170C selama 60’ dan yang
kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 121C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘
jika alat tidak dibungkus

2.Program Pemberantasan
a. Pemeriksaan Antenatal
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan
untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin secara berkala, yang diikuti
dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya
adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan,
persalinan, dan nifas dengan baik dan selamat, serta menghasilkan bayi yang
sehat.
b. Imunisasi Tetanus Toksoid Pada Ibu Hamil
Salah satu komitmen global yang ingin dicapai adalah untuk menekan
insiden tetanus neonatorum hingga di bawah 1 per 1000 kelahiran hidup pada
tahun 2000. Pencapaian program ETN di tingkat kabupaten atau kota dinilai
berdasarkan cakupan imunisasi TT ibu hamil dan TT wanita usia subur (WUS)
serta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 1999).
c. Dengan mengupayakan agar persalinan yang ditolong oleh dukun bayi
didampingi bidan, maka selain pertolongan persalinan 3 bersih lebih terjamin,
diharapkan persalinan yang aman juga terjamin. Pertolongan persalinan yang
bersih, meliputi: bersih tangan penolong, bersih daerah perineum ibu, jalan lahir
tidak tersentuh oleh sesuatu yang tidak bersih, bersih alas tempat melahirkan, dan
memotong tali pusat menggunakan alat yang bersih (Depkes RI, 2020).

I. Faktor-Faktor
a.Tingkat perekonomian yang frendah, sehingga jarang melakukan pemeriksaan
antenatal
b.Kurangnya pengetahuan tentang penyakit tersebut
c.Jauh nya akses ke fasilitas kesehatan sehingga jarang untuk check up kesehatan
(Hidayat, Setiadi, and Setiawan 2019)
9
10

Kesimpulan

1.Apa penyebab dari neonatus?


2.Faktor apa saja yang mempengaruhi neonatus?
3.Berapa lama masa inkubasi neonatus?
4.Bagaimana upaya pencegahan neonatus?
5.Bagaimana cara penularan neonatus?

10
11

Daftar Pustaka

Herman, Herman. 2020. “The Relationship of Family Roles and Attitudes in Child
Care With Cases of Caput Succedeneum in Rsud Labuang Baji, Makassar City
in 2018.” Jurnal Inovasi Penelitian 1(2): 49–52.
Hidayat, Felix, Adji P. Setiadi, and Eko Setiawan. 2019. “Kajian Penggunaan
Antibiotik Pada Neonatus Intensive Care Unit Di Sebuah Rumah Sakit
Pemerintah Di Surabaya.” Indonesian Journal of Clinical Pharmacy 8(1).
Rizal, Fakhrul et al. 2021. “Penyebab Kematian Neonatus Di Kabupaten Gayo
Lues.” 11(November): 658–63.
Sandi. 2017. “Jurnal Kebidanan BALITA RELATIONSHIP KNOWLEDGE OF
CADRES WITH EARLY DETECTION OF DISORDERS TODDLERS
GROWTH IN MUSUK BOYOLALI Sangat Tinggi Yaitu Pada Tahun 2003
Masa Pertumbuhan Masih Di Kandungan Sampai Mereka Tumbuh Kembang
Harus Menjadi Perhatian Bagi.” IX(01).
Yuliawati, Dwi, and Ita Eko Suparni. 2017. “Gambaran Faktor Resiko Ikterus
Neonatorum Pada Neonatus Di Rsud Kabupaten Kediri Tahun 2015.” JURNAL
ILKES (Jurnal Ilmu Kesehatan) 8(2): 220–25.

11

Anda mungkin juga menyukai