Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENYAKIT TETANUS PADA

DEWASA

Disusun oleh:
Kelompok 2
Siti Nurholisa 23020008
Novita Anggraeni 23020005
Siti Jam’ah 23030003
Mutia Putri 23020002

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ICHSAN SATYA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penyakit Tetanus Pada Dewasa” ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas Mata Kuliah Anatomi dan Fisiologi.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengampu Mata Kuliah Anatomi dan Fisiologi, dr. Syahroni Lubis. M.K.M., yang
telah memberikan tugas ini kepada kami, dengan ini kami dapat mengetahui dan mengerti
tentang apa itu penyakit tetanus. Tidak lupa kepada semua pihak yang bersangkutan, kami
ucapkan terima kasih karena telah membantu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca kami harapkan guna melengkapi dan menyempurnakan
kekurangan kami dalam penulisan makalah ini. Kami berharap dengan disusunnya makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua yang membaca.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amiin.

Tangerang Selatan, 21 Oktober 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan.................................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pembahasan......................................................................................................................... 5
B. Klasifikasi............................................................................................................................ 6
C. Diagnosis............................................................................................................................. 6
D. Etiologi................................................................................................................................ 7
E. Patofisiologi........................................................................................................................ 7
F. Manifestasi Klinis............................................................................................................... 7
G. Penatalaksanaan Tetanus................................................................................................... 8

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 10
3.2 Saran.................................................................................................................................... 10
DAFTAR REFERENSI

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh tetanospasmin bakteri
Clostiridium tetani. Luaran tetanus dinilai berdasarkan Phillips score ataupun Dakar score.
Bakteri gram positif ini berbentuk batang anaerob, sporanya dapat bertahan di tanah dan
menginfeksi luka yang terkontaminasi. C. tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin,
yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek tetanolisin dan tetanospasmin masih belum
diketahui pasti. Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis infeksi
tetanus. Dosis letal tetanospasmin pada manusia adalah 2,5 ng/kgBB.

1.2 Rumusan Masalah


1. Definisi penyakit tetanus
2. Klasifikasi penyakit tetanus
3. Diagnosis penyakit tetanus
4. Etiologi penyakit tetanus
5. Patofisiologi penyakit tetanus
6. Manifestasi klinis dari klien dengan penyakit tetanus
7. Penatalaksanaan dari tetanus
1.3 Tujuan
1. Memahami definisi dari penyakit tetanus.
2. Mengetahui klasifikasi dari penyakit tetanus.
3. Mengetahui diagnosis penyakit tetanus.
4. Mengetahui etiologi dari penyakit tetanus.
5. Memahami patofisiologi dari penyakit tetanus.
6. Mengetahui manifestasi klinis dari klien dengan penyakit tetanus.
7. Mengetahui penatalaksanaan yang harus diberikan pada klien dengan penyakit tetanus.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Tetanus adalah penyakit akut, seringkali berakibat fatal, yang disebabkan oleh
eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri. Penyakit ditandai oleh kekakuan atau kejang otot
menyeluruh. Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang (lockjaw) dan leher kemudian
diikuti oleh kekakuan otot seluruh tubuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan menyebabkan
manifestasi klinis tetanus.
C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Selain itu kuman juga bisa
masuk melalui proses pemotongan tali pusat, infeksi gigi, infeksi telinga, dan bekas
suntikan. Racun yang diproduksi akan menyebar melalui pembuluh darah dan sistem
limfatik. Tetanospasmin akan memengaruhi pelepasan neurotransmitter dan memblokir
penghantaran impuls di susunan saraf pusat. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya
kontraksi dan si plasma otot yang tidak terkendali.
Masa inkubasi tetanus biasanya sekitar 8 hari, dengan kisaran 1 sampai 21 hari
Semakin jauh lokasi cedera dari sistem saraf pusat, maka masa inkubasinya juga lebih
lama. Masa inkubasi yang lebih pendek juga dikaitkan dengan penyakit dan kemungkinan
kematian yang lebih tinggi.
Penyakit tetanus disebabkan oleh pelepasan eksotoksin oleh bakteri Clostridium
tetani dimana bakteri ini bersifat anaerob obligat. Bakteri ini bisa ditemukan di mana saja
dan bisa bertahan pada berbagai kondisi lingkungan ekstrem dalam waktu yang lama
karena sifat dari sporanya yang sangat kuat. Bakteri ini akan masuk ke dalam tubuh
seseorang akibat adanya kontaminasi pada kulit yang abrasi, luka tusuk minor atau ujung
potongan umbilikus pada neonates, pada 20% kasus tetanus bahkan tidak ditemukan
tempat masuknya.
Sistem skoring yang telah diakui dapat digunakan untuk menilai prognosis tetanus,
yaitu Phillips score dan Dakar score. Pada Phillips score, nilai <9 menggambarkan
severitas ringan, 9-18 severitas sedang, dan >18 severitas berat. Pada Dakar score, nilai
0-1 menunjukkan severitas ringan dengan mortalitas 10%, 2-3 severitas sedang dengan
mortalitas 10-20%, 4 severitas berat dengan moratlitas 20-40%, dan 5-6 severitas sangat
berat dengan mortalitas >50%.
Angka kematian akibat penyakit ini di negara berkmebang lebih 50%, diperkirakan
jumlah kematian pertahunnya adalah 800.000-1.000.000. Tetanus merupakan penyakit
yang dapat dicegah melalui program imunisasi. Imunitas terhadap tetanus pada diri
seseorang tidak berlangsung seumur hidup sehingga dibutuhkan booster apabila

5
seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi kuman tetanus. Akses terhadap program
imunisasi yang masih buruk dilaporkan menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi
penyakit ini di berbagai negara berkembang.

B. Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala ini dapat menetap dalam beberapa
minggu dan menghilang.
2. Tetanus general: merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak dengan
kaku duduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung, dan sakit kepala merupakan
manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatic meluas. Timbul kejang
tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas
bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa
menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segel: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesuai otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf
III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.

C. Diagnosis
Langkah pertama dalam mendiagnosis pasien tetanus adalah dengan melakukan
anamnesis secara lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
merupakan hal yang paling utama dalam menegakkan dan mendiagnosis tetanus. Pada
anamnesis dapat dicari informasi tentang riwayat luka sebelumnya yang sesuai dengan
masa inkubasi, kumpulan gejala klinis yang muncul dan penyakit ini biasanya terjadi
pada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi.
Diagnosis tetanus sepenuhnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tidak
memerlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis utama dapat ditegakkan dengan
melakukan anamnesis dan pemeriksan fisik secara lengkap terhadap penderita. Menurut
WHO untuk menegakkan diagnosis tetanus pada orang dewasa membutuhkan setidaknya
satu dari tanda-tanda berikut ini, yaitu trismus (ketidakmampuan membuka mulut) atau
risus sardonikus (spasme pada otot wajah), atau nyeri pada saat kontraksi otot. Gejala
paling awal muncul meliputi kekakuan otot biasanya terlebih dahulu akan mengenai
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek. Oleh sebab itulah maka gejala trismus dan
6
kekakuan pada otot leher serta otot punggung paling banyak ditemukan pada pasien
tetanus yang dirawat di rumah sakit, di mana kasusnya melebihi 90%.
Spasme pada tetanus akan muncul secara spontan tetapi bisa juga diprovokasi oleh
berbagai stimulus baik rangsangan fisik, auditori, visual, atau emosional. Pada kondisi
yang berat bisa terjadi spasme laring sehingga mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran nafas akut dan bahkan bisa menyebabkan gagal nafas. Gangguan pernapasan ini
bisa juga terjadi akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Jika tidak tersedia
ventilasi mekanik di ruang intensif, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab
kematian yang paling sering ditemukan pada pasien tetanus.

D. Etiologi
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani yang dapat masuk
melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak dirawat dan
tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan
penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman clostridium tetani lebih
mudah bila klien belum terimunisasi.

E. Patofisiologi
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora berkembang
pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan dapat menyebar
melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan
saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat
(SSP). Toksin tetanus merupakan metaproteinase tergantung seng yang menarget protein
(sinaptobrevin/vesicle-associated membrane protein – VAMP) untuk melepaskan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran plasma
saraf.
Gejala awal infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan
asetilkolin di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar secara retrograde di akson
lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis atau batang otak. Di
tempat ini, toksin ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf
inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan/atau saraf glisinergik yang mengontrol
aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal saraf inhibitor, toksin tetanus akan
memecah VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Hal ini
mengakibatkan denervasi fungsional dan parsial LMN menyebabkan hiperaktivitas dan
peningkatan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme.

F. Manifestasi Klinis

7
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi
nyata dengan gejala umum:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku duduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki.
3. Ketegangan otot dinding perut.
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di komu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut mulut tertarik
ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering
merupakan gejala dini).
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar,
spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi
dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan
intramuskuler karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang penyajian tekanan cairan
otak.

G. Penatalaksanaan Tetanus
Tiga prinsip utama dalam tata laksana tetanus adalah:
(1) Mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
(2) Menetralisasi toksin yang ada di dalam tubuh.
(3) Minimalisisr efek toksin yang sudah ada di susunan saraf pusat.
Pada penanganan pasien tetanus di ruang ICU bisa diberikan terapi suportif dimana fokus
utamanya pada pengontrolan sistem pernapasan, pengendalian kondisi inhabilitas fungsi
otonom, dan menghentikan spasme otot.
1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan
dari stimulasi taktil ataupun auditorik.
2. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama, diinjeksikan di
tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary ialah 5.000-10.000
8
unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis
100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM. Antitoksin
diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah
berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu,
gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan
trans-sinaps serta memcah VAMP.
Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang
tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah
dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam
intravena atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi
2-4 dosis. Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid,
klindamisin, sefalosporin, atau kloramfenikol.
4. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan
dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan
hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi
dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis
loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme.
5. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
6. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi
dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera
mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat
memprovokasi spasme dan memperburuk napas.
7. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yanga dekuat mengingat tetanus meningkatkan
status metabolik dan katabolik.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tetanus dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
menemukan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot
yang nyeri; tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pengenalan gejala sedini mungkin
diperlukan untuk menekan risiko mortalitas. Pemberian antitoksin tetanus, antibiotik, kontrol
spasme otot, kontrol saluran napas, dan pemberian cairan serta nutrisi yang adekuat menjadi
pilar bagi keberhasilan penatalaksanaan tetanus. Skoring prognosis TSS tidak berbeda
dengan hasil dua skoring yang telah ada. Dengan demikian, skoring ini dapat diaplikasikan
pada pusat layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas.

3.2 Saran
Dengan makalah ini, kita sebagai mahasiswa kebidanan dapat mengerti dan memahami
konsep tentang tetanus karena sangat bermanfaat bagi kita dalam dunia kerja. Semoga
dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa lain untuk dijadikan referensi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Surya, Raymonds. 2016. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa. RSUD
Ende, NTT, Indonesia
Maryanti, Yossi. 2022. Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of Medical Science), Jilid 16, Nomor 2,
Hal 134-138
Bulandari, Sri. 2021. Makalah Kel. 7 Tetanus, Scribd

11

Anda mungkin juga menyukai