Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

BLOK KEDOKTERAN TROPIS

“TETANUS DAN SEPSIS”

KELOMPOK 4

Dosen Pembimbing : dr. Refni Riyanto, Sp.An

Disusun Oleh :

Anggi Fitria Kusumaningtyas 1513010007

Ajikwa Ari Widianto 1513010049

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Tujuan......................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 2

2.1 Tetanus........................................................................................................ 2

2.2 Sepsis..........................................................................................................22

BAB III PENUTUP...................................................................................................34

3.1 Kesimpulan.................................................................................................34

3.2 Saran...........................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................36

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau parasit. Respon
sistemik tbuh dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi
radang yang berasal dari infeksi lokal.
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi akut yang diakibatkan oleh
tetanospamin neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman Clostridium Tetani. Reservoir
utama bakteri Clostridium Tetani adalah tanah yang mengandung kotoran ternak
sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora bakteri
clostridium Tetani yang tahan kering dapat bertebaran dimana-mana. Bakteri
clostridium Tetani tersebar luas ditanah, terutama tanah garapan, dan dijumpai pula
pada tinja manusia dan hewan.
Penyakit lainnya akibat infkesi sistemik dapat berupa sepsis. Sepsis
merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan
ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. Sepsis dibagi
dalam derajat Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat,
sepsis dengan hipotensi, dan syok septik. Infeksi dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme
penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari
mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
Di Indonesia, tetanus dan sepsis masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tentang penyakit
Tetanus dan Sepsis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TETANUS
a. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob
Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis
local1.

b. Mikrobiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga
diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Kuman ini mudah
dikenal karena pembentukan spora yang khas, ujung sel menyerupai ujung
tongkat pemukul gendering atau raket squash. Clostridium tetani merupakan
bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan
bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan
tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam.
Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu,
tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan
terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C selama 15-20
mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada
feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi dalam bentuk
vegetatifnya. dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida
tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang
memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam
sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan

2
neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani.
Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat
homolog2,3.

c. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu
non imun, individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan.
Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia.
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian
pada semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum
sebanyak 180.000 (85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100
kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan.
Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun,
18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi9.

d. Etiologi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani,
kuman berbentuk batang dengan sifat, basil gram-positif dengan spora pada
ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang (drumstick), obligat
anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anerob) dan
dapat bergerak menggunakan flagella, tumbuh dalam lingkungan dengan
kemampuan oksidasi-reduksi (Eh) yang rendah, atau tidak adanya oksigen,
menghasilkan eksotoksin yang kuat. Toksin ini dapat menghancurkan sel
darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanoplasmin, mampu
membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi
(mendidih, tetapi tidak dalam autoklaf) kekeringan, dan desinfektan, tetapi sel
vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Clostridium
tetani menghasilkan dua macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan

3
tetanospamin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan seldarah
merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri.
Tetanospamin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.
Toksin ini di absorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila
mencapai susunan saraf pusat, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi,
saraf yang terpotonh akan berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan
saraf sensorik sama sekali tidak menyerap5.

e. Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi
bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin
terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter
inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada,
perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin
pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama

4
jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf otonom2,3.
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini
mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan
polipeptida rantai gnada dengan berat yang semula bersifat inaktif. Rantai
berat dan rantai ringan dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan
disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai
berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya
toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah
pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin yang
dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada
gangliosida membran ujung saraf lokal. Jika otkisn yang dihasilkan banyak,
ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada
ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke
dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal2.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf
sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan
berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya.
Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan
muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan meliputi
transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas3.
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan
rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya
neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan
untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neuritransmiter.
Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang
membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga
mencegahperlepasan neurotrnasmiter5.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana
setelah toksin menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan

5
memblokade perlepasan neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa
yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan
fungsi inhibisinya. Lalu(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan
asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid.
Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih
berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin
mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara
dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai
pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan3.
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan
batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat
menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang,
sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan.
Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon.
Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan
otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat9.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat
terganggunya kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan
kadar katekolamin plasma yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron
bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang
baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal,
hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang
terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam
luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung
saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara

6
langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek
akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan
urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata3.

f. Manifestasi klinis
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan
empat minggu, kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat
penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi. Tetanus dapat timbul
sebagai tetanus local, terutama orang yang telah mendapat imunisasi
gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang
terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul
tetanus local tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai
dengan serabut saraf kepala yang terkena (nervus III,IV,V,VI,VII,IX,X dan
XII). Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang
dilihat dan terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang
menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus) selanjutnya timbul
opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku
punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus
sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan
penderita terganggu dengan proses menelan1,2.
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di
jumpai pada umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi
napas, kejang otot yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak
bersifat klonus dapat timbul karena rangsangan yang lemah, seperti bunyi-
bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak terganggu sehingga hal
tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa nyeri
akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang
menyebabkan anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita
tetanus merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas

7
dan infeksi sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan pernapasan serta
gangguan keseimbagan cairan dan elektrolit.
a) Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari
tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme
generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan
lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7
hari2.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat
disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah
yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri.
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh3.
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodik. Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh
stimulus berupa sentuhan, stimulus stimulus visual, auditori atau
emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga
menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat
berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan
sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan
dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan
spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki
jalan napas akut yang mengancam nyawa.

8
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus
generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala
dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran
kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Akibat trauma
perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas
sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di
mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf
kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada
spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan
mortalitasnya tinggi. Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas
kardiovaskular yang tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat
terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung
berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi
vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan
jantung. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain
mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis
gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal
failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik9.
b) Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan
biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada
anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,
terutama setelah perawatan setelah potongan tali pusat, kebersihan
lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus.
Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus
neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup10.

c) Tetanus lokal

9
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot
dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat yang berhubungan
neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan
sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
Namun demikian secara umum prognosismya baik2.
d) Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2
hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang
tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat
terjadi. Mortalitasnya tinggi10.

g. Derajat keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philsips,
Dakar, Udwadia) yang dilaporkan3.
Tabel 1.1 Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips)
Variable Tolak ukur Nilai
Masa inkubasi < 48 jam 5
2- 5 hari 4
6- 10 hari 3
11-14 hari 2
≥ 14 hari 1
Lokasi infeksi Internal/umbilical 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu dapat 8
>10 tahun lalu 4
<10 tahun lalu 2
Proteksi lengkap 0
Faktor pemberat Penyakit trauma 10

10
Membahayakan jiwa 8
Keadaan yang tidak langsung 4
Berbahaya 2
Keadaan tidak berbahaya 1
Trauma/penyakit ringan 0

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu


masa inkubasi, port d entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan.
Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat
dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16), dan
tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku,
sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif 1.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett2,3 :
a) DERAJAT I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas
generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau
tanpa disfagia.
b) DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas,
spasme singkat sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30 kali per menit, disfagia ringan.
c) DERAJAT III (berat) : Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme
reflek berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per
menit, serangan apnea, disfagia berat, dan takikardi ( lebih dari 120
kali per menit).
d) DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik
berat, melibatkan sistem kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi
terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardi, salah satunya
dapat menetap.

h. Komplikasi
Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi
menyebabkan gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang
panjangyang diakibatkan dari kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari

11
sistem saraf otonom dapat mengakibatkan hipertensi dan / atau irama jantung
yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn di rumah sakit dalam
jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis, didapatkan
dari pemasangan kateter, pneumonia dan ulkus decubitus.
Tabel 1.2 Komplikasi-komplikasi tetanus
Sistem Komplikasi
Jalan napas Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Obstruksi berkaitan dengan sedatif
Respirasi Apne
Hipoksia
Gagal nafas
ARDS
Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)
Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia
Hipotensi, bradikardia
Asistol, gagal jantung
Ginjal High output renal failure
Gagal ginjal oligouria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Ruptur tendon akibat spasme

i. Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus
tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah
diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.
Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun

12
demikian, Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus
sering tidak ditemukan dari pasien tetanus, kultur yang positif bukan
merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan
menyebabkan tetanus. Leukosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram mungkin
menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi.
Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektromyogram. Enzim otot
mungkin meningkat. Kadar antitoksin serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif
dan pada kadar kinin tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa
kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif 9.

j. Penatalaksanaan
1. Pencegahan3
a) Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan
tindakan pencegahan yang paling efektif dalam praktek. Semua
individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang
sembuh dari tetanus.
b) Penalaksanaan luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan
imunisasi pasif dengan TIG dan imunisasi aktif dengan vaksin.
c) Tetanus neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus
neonatorum mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan;
upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran yang dilakukan di
rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non medis10.
2. Pengobatan
Strategi pengobatan melibatkan tiga prinsip pentalaksanaan:organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah
pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar

13
sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah
terikat pada sistem saraf pusat diminimasi3.
a) Pentalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di
mana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan
secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi.
Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka hendaknya
dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen
secara menyeluruh3.
b) Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin
yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat,
walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf tdak
terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan
pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi
karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun
demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500
unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin
intravena merupakan alternatif lain daripada TIG tapi konsentrasi
antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling
baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Manfaat
memberikan antitoksin pada insisi proksimal luka atau dengan
menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan
karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat
meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda tidak tersedia di
Amerika Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain. Lebih
murah dibandingkan antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih
pendek dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas dan
serum sicknesss syndrome 5.
c) Menyingkirkan sumber infeksi
Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara
bedah. Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik

14
diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai
sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena
setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secra luas
dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis
GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol mungkin
merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1
gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas
antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan pada
penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka
harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena
metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA
seperti yang ditunjukkan oleh penisilin5.
d) Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang
nyeri dan dapat mengancam respirasi karena menyebabkan
laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot pernafasan.
Regimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas
spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi.
Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya
adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin
memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen
pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang
bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja
panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi
dan berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan dapat
diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh
memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya
klorprimazin. Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini
kedua3.
e) Penatalaksanaan respirasi

15
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik
mungkin dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi
berlebihan atau laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh
pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau disfagia.
Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara
elektif dan secara dini3.
f) Pengendalian disfungsi otonomi
Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik
didasarkan pada pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Sedasi sering merupakan terapi pertama. Benzodiazepin,
antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan. Morfin
terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi
karena gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180
mg per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah
penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis
dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin
merupakan sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis a
adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas kardiovaskular10.
g) Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut
menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan,
meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia atau aktivitas
muskular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi
hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri enteral berkaitan dengan
insidensi komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada nutrisi
parenteral10.

k. Penatalaksanaan Lain
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi
karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang
menyebabkan tetanus.

16
Gambar 1. Imunisasi Tetanus
a) Diazepam
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan
limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA,
suatu neurotransmiter inhibitori utama3.
Dosis dewasa
Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam
Dosis pediatrik
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau
empat kali sehari. Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3
mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
Interaksi
Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila
dipergunakan bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan
MAOI; cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara
bermakna.
b) Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan
depresi pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang

17
lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang
diinginkan3.
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit
paru-paru berat, dan nefritis.
Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin,
kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan
antikoagulan.
Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.
Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan
sistem hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia
berat, karena efek samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia
gravis dan miksedema.
c) Baklofen
Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah
dipergunakan secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari
ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam. Keseluruhan dosis
baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah
12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi3.
Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis
dewasa
Kontraindikasi: hipersensitifitas
Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum
dikuetahui.
Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.
d) Penisilin G
Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding
otot selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal
terhadap mikriorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14

18
hari. Dosis besar penisislin i.v dapat menyebabkan anemia hemolititk
dan neurotoksisitas2.
Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis
Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4
kali/hari
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila
manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.
e) Metronidazol
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat
diabsorbsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang
terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang
menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14
hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai
antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan
agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin3.
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam,
tidak lebih dari 4 gr/hari.
Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak
lebih darri 2 gr/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.
Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila
manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang
dan neuropati perifer.
f) Vekuronium
Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang
menyebabkan terjadinya paralisis muskuler.
Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg
apabila pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan
untuk paralisis: 0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.

19
Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti
dengan dosis pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila
perlu, 1-10 tahun: mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab
suplementasi yang lebih sering, > 10 tahun: seperti dosis biasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma
yang berkaitan.
Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan
anestesi inhalasi, blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan
gagal ginjal serta penggunaan steroid secara bersamaan dapat
menyebabkan blokade berkpenjangan walaupun obat telah distop.
Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil
vekuronium akan memberikan efek yang kuat.

l. Pencegahan
Banyaknya masalah dalam penanganan dan penaggulangan tetanus
serta masih tingginya angkan kematian (30-60%), tindakan pencegahan
merupakan usaha yang sangat penting dalam upaya menurunkan morbilitas
dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus yaitu perawatan
luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif2.
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan
tujuan merangsang tubuh membentuk antibodi sedangkan imunisasi pasif
diproleh dengan memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin
heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunogobulin antitetanus)
berdasarkan jenis luka baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau
toksoid. Keraguan untuk memberikan antitetanus serum bersamaan dengan
toksoid karena ditakutkan terjadinya neutralisasi toksoid oleh ATS. Ini dapat
dicegah dengan memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikkan
berbeda jauh misalnya lengan kanan dan paha kiri3.
Indikasi pemberian imunisasi
Imunisasi Luka bersih Luka kotor
Sebelumnya Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/tidak pasti Ya* Tidak Ya* Ya
1 X DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2 X DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya

20
3 X DT/DTP atau lebih Tidak + Tidak Tidak ++ Tidak
* = Seri imunisasinya harus dilengkapi
+ = kecuali buster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++ = kecuali buster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

Cara pemberian melalui intramuskuler (ATS 1500 U / imunoglobulin 250


U).
DT = vaksinasi difteri – tetanus
DTP = vaksinasi difteri – tetanus – pertusis

m. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa
inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit
lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa
inkubasi dan periode onset merupakan faktor yang menentukan prognosis
dala klasifikasi Cole dan Spooner1.
Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner
Kelompok prognostik Periode awal Masa inkubasi
I < 36 jam ±6 hari
II >36 jam >6 hari
III Tidak diketahui Tidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai


angka kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif
menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat
kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan
angka kematian1.

2.2 SEPSIS
a. Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya
respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme,
ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ
berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah4.

21
Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan dugaan infeksi. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut5:
1. Suhu > 38oC atau < 36oC.
2. Denyut jantung >90x/menit.
3. Laju respirasi >20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg.
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10% sel imatur.
Sepsis memiliki derajat penyakit berdasarkan perjalanannya. Berikut
ini adalah derajat sepsis menurut perjalanan penyakitnya:
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan ≥2
gejala sebagai berikut:
- Hipertermia/ Hipotermia (> 38,3oC atau < 35,6oC)
- Takikardi (> 100x/menit)
- Takipneu (>20x/menit) atau Pa CO2 < 32 mmHg
- Leukositosis (>12.000/mm3)
- Sel imatur >10%
b. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
c. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai dengan MODS/MOF (Multi Organ
Dysfunction Syndrome/Multi Organ Failure), kelainan hipoperfusi yang
meliputi asidosis laktat, oligouria, anuria atau perubahan akut pada status
mental, serta hipotensi. Tanda-tanda MODS dengan komplikasi: sindroma
distress pernafasan, koagulasi intravaskular, gagal ginjal akut, perdarahan
usus, gagal hati, disfungsi SSP, gagal jantung, hingga kematian.
d. Sepsis dengan Hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg atau penurunan tekanan sitolik >40 mmHg).
e. Syok Septik : Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati
telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan5.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi (tetapi tidak
terbatas) pada:
1. Asidosis laktat.
2. Oligouria.
3. Perubahan akut pada status mental5.

22
b. Epidemiologi
Di Indonesia untuk mengetahui tingkat penyebaran dari penyakit
sepsis ini maka data yang digunakan adalah data yang diperoleh di rumah
sakit Sutomo adalah penderita yang jatuh dalam keadaan sepsis berat
sebesar 27,08%, syok septik sebesar 14,58%, sedangkan 58,33% sisanya
hanya jatuh dalam keadaan sepsis6. Pada penelitian epidemiologi sepsis di
Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 berturut-
turut sebesar data yang diperoleh adalah 27,8% (1979-1984) dan 17,95%
(1985–2000). Dari tahun 1979-2000 dimana didapatkan rata-rata usia
penderita wanita 62,1 tahun dan 56,9 tahun pada laki-laki. Dimana
didapatkan laki-laki lebih banyak menderita sepsis dibanding wanita
dengan mean annual relative risk sebesar 1,28. Pada tahun 1990 Centers
for Disease Control (CDC) memberikan suatu laporan mengenai
epidemiologi penyakit sepsis. Dalam penelitian ini kejadian sepsis
meningkat dari 73,6 per 100.000 orang pada tahun 1979 menjadi 175.9 per
100000 orang pada tahun 19896.
Angka kematian dari penyakit sepsis telah berkisar dari 25% sampai
80% lebih pada beberapa dekade terakhir. Meskipun angka kematian
mungkin lebih rendah di akhir tahun, sepsis jelas masih kondisi yang sangat
serius7. Selain itu berdasarkan studi yang dilaporkan,, insiden terjadinya
sepsis dilaporkan pada daerah regional di Eropa pada tahun 2007 adalah
sekitar 61 per 100.000 orang untuk daerah Valencia. Pada tahun 2006
insiden yang terjadi adalah sebanyak 123 per 100.000 orang untuk Prancis
dan pada 38 per 100.000 orang pada populasi orang dewasa di Norwegia dan
149 per 100.000 orang di Firlandia. Berdasarkan 8 studi yang diteliti
dimana 4 kasus berasal dari USA dan 1 kasus berasal dari dari Brazil, UK,
Norwegia dan Australia maka insiden yang terjadi pada populasi tersebut
berada pada rentang 22 sampai 240/100.000 orang untuk kasus sepsis dan
11/100.000 orang untuk sepsis parah. Angka kematian tergantung dari
parahnya penyakit tersebut. Dimana dari hasil tersebut maka persentase yang
dapat terjadi adalah 30 % untuk sepsis, 50 % untuk sepsis parah8.

23
c. Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif yang
menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang
terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi dengan presentase 60-70%
kasus. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci, dan bakteri Gram positif
lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari
seluruh kasus. Selain itu, jamur oportunistik, Virus (Dengue dan Herpes) atau
protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyenbabkan sepsis
namun jarang.

Gambar 2. Etiologi penyebab sepsis


Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida
(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen
utama membran terluar dari bakteri Gram-negatif. LPS endotoksin Gram-
negatif dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang
dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS tidak mempunyai
sifat toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan TNF, IL-1, IL-6

24
dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan meningkat tinggi pada pasien
sepsis5.

d. Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang
berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan
berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena
proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan
dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari
peradangan biasa.
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-
mediator inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam
proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti
TNF, IL-1,interferon γ yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi
yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.
Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan
memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun
ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas
menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial,
disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi
dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari
kelebihan respon antiinflamasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua
proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi
ketidak harmonisan imunologi yang merusak9.
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif.
Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan
mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara
langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam

25
darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi
dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator5.
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit.
Mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian
ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa
muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major
Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan
dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell
Reseptor.
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T
akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage
Colony Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-
5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin
proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga
memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya terjadi
pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang
beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel
lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas
(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria
sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel
pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan
gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ
multipel.
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-
8, IL-6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah
terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen
Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin

26
oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan
kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh
yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan
mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan
melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan
menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa
menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,
kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi5.

e. Gejala Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk
infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non
infeksius. Tempat infeksi yang paling sering adalah paru, traktus digestifus,
traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis tersebut
akan lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal
organ utama, dan pasien dengan granulositopenia5.

f. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis sepsis diperlukan indeks dugaan tinggi,
pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium
yang sesuai dan tindak lanjut status hemodinamik. Pengambilan riwayat
medis dapat membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari
komunitas atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian
yang harus diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan
tungau, bahaya ditempat kerja, penggunaan alkohol, kejang, hilang
kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien ke agen
infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi.

27
2. Hipotensi, oligouria atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas.
4. Perdarahan.
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara menyeluruh. Pada semua
pasien nutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik
harus meliputi pemeriksaan rektum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut
akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan atau perineal, penyakit
dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis5.
Pada Gambar 3 dan Gambar 4 akan dijelaskan mengenai kriteria
diagnosis sepsis dan hasil laboratorium yang mungkin ditemukan pada pasien
sepsis.

Gambar 3. Kriteria diagnosis sepsis

28
Pada sepsis awal didapatkan temuan laboratorium yaitu leukositosis
dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat
terjadi leukopenia. Neutrophil mengandung granulasi toksik atau vakuola
sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Hipoksemia
dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemi. Kemudian terdapat peningkatan lipid serum.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan
DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase
(enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi serum
laktat. Asidosis metabolik (peningkatan anion gap) terjadi setelah alkalosis
respiratorik. Hipoksemia tiak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk
hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala
SIRS dan beratnya proses penyakit5.

Gambar 4. Indikator laboratoris pada sepsis

29
g. Penatalaksanaan5
Prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis terdiri dari:
1. Stabilisasi pasien
Pemberian resusitasi awal (ABC: airway, breathing, circulation)
sangat penting pada pasien sepsis.. Intubasi diperlukan untuk memberikan
kadar oksigen yang lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan pningkatan
ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Untuk mempertahankan
stabilisasi hemodinamik, pasien sepsis dapat diberikan kristaloid. Pasien
dengan hipovolemi diberikan minimal 30 ml/kgBB kristaloid.
Peningkatan hemodinamik dapat dipantau melalui variabel dinamis
(perubahan tekanan nadi dan variasi stroke volume) serta peningkatan
statis (tekanan arteri dan heart rate). Peredaran darah terancam dan
penurunan tekanan darah yang bermakana memerlukan terapi empirik
gabungan yang agresif dengan cairan (kristaloid/koloid) dan
inotropin/vasopressor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau
norepinefrin). Tujuan pencapaian resusitasi awal pada 6 jam pertama
adalah a) Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg; b) Mean Arterial
Pressure (MAP) ≥ 65 mmHg; c) Urin output ≥ 0.5mL/kgBB/jam; d)
Central venous (superior vena cava) oxygen saturation ≥ 70% atau mixed
venous ≥ 65%. Terdapat pertimbangan dialysis untuk membantu fungsi
ginjal.
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien
karena menyebabkan pelepasan LPS lebih banyak. Antimikrobial yang
tidak memperburuk keadaan pasien yaitu: karbapenem, ceftriaxone,
sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan kuinolon. Terapi empirik
diberikan sebelum hasil kultur dan tes sensitivitas didapatkan dan
maksimal pemberian 3-5 hari. Pemberian antimikroba secara dini terbukti
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil
kultur dan tes sensitivitas didapatkan, maka terapi empirik diubah
menjadi terapi rasional dengan regimen antimikrobial spektrum luas yang

30
sesuai dengan hasil kultur dan lama terapi 7-10 hari atau lebih sesuai
dengan respon klinis pasien. Obat yang digunakan juga tergantung
sumber sepsis, seperti:
a) Untuk pneumonia dapatan komunitas digunakan 2 regimen obat yaitu
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone) atau keempat (sefepim)
dengan aminoglikosida (gentamycin).
b) Pneumonia nosokomial: Sefepim atau imipenem-silastatin dan
aminoglikosida
c) Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan
aminoglikosida
d) Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dengan
aminoglikosida atau piperasilin-tazobaktam dengan amfoterisin B
e) Kulit/ jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau
piperasilin-tazobaktam
f) Kulit/ jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefepim
g) Infeksi traktus urinarius: ciprofloxacine dan aminoglikosida
h) Infeksi traktus urinarius nosokomial: vankomisin dan sefepim
i) Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem
j) Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi
Fokus infeksi dieliminasi dengan menghilangkan benda asing. Organ
yang terinfeksi dihilangkan atau memotong jaringan yang gangrene.
Untuk infeksi anaerob bisa menyalurkan eksudat purulen.
4. Pemberian nutrisi yang adekuat
Pemberian nutrisi enteral dan glukosa parenteral merupakan terapi
tambahan yang sangat penting. Nutrisi dapat diberikan dalam bentuk
makronutrient (omega-3 dan golongan nukleotida yaitu glutamin) dan
mikroutrient (vitamin dan trace element).
5. Terapi suportif

31
a) Drotrecogin alfa (protein C teraktivasi rekombinan, Zovant) terbukti
menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi
organ akut terkait. Sedangkan Zovant merupakan antikoagulan.
b) Transfusi darah dibutuhkan apabila konsentrasi hemoglobin <7 g/dL
hingga target konsentrasi hemoglobin 7-9 g/dL pada orang dewasa.
Transfusi platelet profilaksis dibutuhkan pada pasien tanpa perdarahan
(<10.000/mm3) dan dengan risiko perdarahan yang signifikan
(<20.000/mm3). Untuk perdarahan aktif, pembeahan, dan prosedur
yang invasif membutuhkan platelet ≥50.000 mm3.
c) Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT). Pasien sepsis diberikan
farmakoprofilaksis untuk mencegah tromboemboli vena. Obat yang
digunakan adalah low-molecular weight heparin (LMWH) secara
subkutan. Apabila creatinine clearance <30 mL/min bisa
menggunakan dalteparin. Pasien sepsis dengan trombositopeni,
koagulopati, perdarahan aktif, dan perdarahan intracerebral
merupakan kontraindikasi farmakoprofilaksis.
d) Profilaksis Stress Ulcer. Pasien dengan risiko perdarahan
menggunakan profilaksis H2 blocker atau proton pump inhibitor.
6. Kortikosteroid
Penggunaan kostikosteroid yang direkomendasikan adalah dengan
low doses corticosteroid <300mg hydrocortisone per hari dalam keadaan
syok septik. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama
sekali pada keadaan sepsis dan septic shock5. Kostikosteroid intravena
tidak perlu diberikan terhadap pasien syok septik apabila resusitasi cairan
dan vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik4.
7. Glukosa Kontrol
Kadar gula darah dipertahankan sampai dengan <150 mg/dL. Lalu
dilakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan
minimal sampai dengan 4 hari. Apabila pasien sepsis memiliki gula darah
>180 dalam 2 kali pengecekan maka dapat diberikan insulin. Dalam
protocol, target gula darah adalah 180 mg/dL dengan target atas 110
mg/dL4,5

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi akut yang diakibatkan oleh


tetanospamin neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman Clostridium Tetani. Penyakit
ini dapat timbul melalui beberapa faktor resiko berupa :
1. Lesi kulit kronik
2. Penyalahgunaan narkotika parenteral
3. Usia lanjut yang berhubungan dengan penurunan imunitas.
4. Pencemaran lingkungan fisik dan biologik
5. Faktor alat pemotongan tali pusat pada bayi baru lahir
6. Faktor cara perawatan tali pusat. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar
ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum
7. Faktor kebersihan tempat pelayanan kesehatan
8. Faktor kekebalan ibu hamil berhubungan dengan ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT
9. Clostridium Tetani dan selalu pastikan kondisi peralatan untuk intervensi
keperawatan dalam kondisi steril agar terhindar dari faktor resiko infeksi lebih
berat pada pasien.
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif.
Sepsis dapat mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang yang
mengalami imunokompromis dengan penyakit kronik.Sepsis adalah sindrom
inflamasi sistemik yang sangat mengancam jiwa.Permulaan dari infeksi yang
berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang apabila terlambat ditangani dapat
menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat syok septik yang menyebabkan
komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel yang berakhir dengan
kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan kompensasi dengan
mengeluarkan respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan antiinflamasi.

33
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun
laboratorium seperti darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi
laktat dalam darah dan lain-lain. Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah
perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotik, focus infeksi harus diobati dan terapi
suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain. Kegawatan yang paling umum
disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang disebabkan karena adanya
kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga perfusi
pembuluh darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami kelainan
fungsinya karena saluran nutrisi mereka terganggu oleh karena proses infeksi.
Kelainan multipel organ akibat sepsis dapat mengenai otak, paru, ginjal, hati, jantung
maupun darah yang dapat menyebabkan kematian.

3.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa lebih banyak mencari informasi tentang penyakit
infeksi tetanus dan sepsis, melakukan review artikel untuk mengetahui tatalaksana
ataupun informasi lebih lanjut terkait tetanus dan sepsis. Selian itu, mahasiswa perlu
menganalisis berbagai sumber, mempresentasikan hasil kepada kelompok lain.
Mahasiswa juga diharapkan aktif dalam diskusi kelompok.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2005. Hal 23-4.
2. Fauci, Braunwald et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition.
McGraw-Hill: United State. 2008.
3. Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 1777-85.
4. Dellinger, R. Phillip et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. 2012. 20:580-631.
5. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s
Tropical Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
6. Guntur A.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I . Edisi VI.
Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2014. Hal: 692-699.
7. Irawan, Danny, dkk. Profil Penderita Sepsis Akibat Bakteri Penghasil Penderita
Sepsis Akibat Bakteri Penghasil ESBL. J Peny Dalam, Vol. 13, No.1. 2012.
8. Moore, Laura J dan Frederick A. Moore. Epidemiology of Sepsis in Surgical
Patients. Elsevier Inc. Surg Clin N Am, 92. 2012. p. 1425–1443.
9. Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick &Adelberg’s Medical
Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGraw-Hill Companies,
New York.
10. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Elsevier, Philadelphia.
11. Jawad, et al. Assessing Available Information On The Burden Of Sepsis: Global
Estimates Of Incidence, Prevalence and Mortality. Journal of Global Health. Vol.
2 No. 1. 2012. p. 010404.
12. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi cairan.
Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang : Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2006.

35

Anda mungkin juga menyukai