Anda di halaman 1dari 24

Tinjauan Pustaka

PENATALAKSANAAN TETANUS

Pembimbing
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S

Disusun oleh:
Yosep Made Pius Cardia 1302006210
I Putu Sakamekya Wicaksana Sujaya 1302006150
Gede Dilajaya Robin 1302006241

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ......................................................................... 3
2.2 Epidemiologi................................................................ 3
2.3 Etiologi......................................................................... 4
2.4 Patofisiologi ................................................................. 4
2.5 Gejala Klinis ............................................................... 6
2.6 Diagnosis ..................................................................... 8
2.7 Diagnosis Banding ...................................................... 9
2.8 Penatalaksanaan ......................................................... 10
2.9. Komplikasi ................................................................. 14
2.10 Prognosis ................................................................... 15
2.11 Pencegahan ................................................................ 17

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1 LATAR BELAKANG
Tetanus merupakan penyakit akut yang berpotensi fatal, yang ditandai
dengan adanya rigiditas dan spasms konvulsif dari otot rangka. Tetanus
merupakan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh paparan bakteri
Clostridium tetani, yang terdapat di tanah dan kotoran binatang ataupun manusia,
sehingga dapat mengkontaminasi beragam permukaan dan benda. Sporanya
masuk melalui luka di kulit dan berkembang biak dalam kondisi kadar oksigen
yang rendah (anaerob)1,2.
Tetanus ditandai dengan adanya rigiditas otot dan kaku (spasme) otot yang
sangat nyeri. Gejala dan tanda umum yang sering terjadi pada penderita tetanus
yaitu kaku dan nyeri yang dimulai dari otot dagu (trismus atau lock jaw) dan/atau
leher, bahu dan otot perut3.
Di Amerika Serikat, dalam periode tahun 2001 2008, sebanyak 233 kasus
dan 26 kematian yang terlaporkan. Sebanyak 71 orang (30%) berusia 65 tahun
atau lebih, 139 orang (60%) berusia antara 20 64 tahun, dan 23 orang pada usia
kurang dari 20 tahun, termasuk satu kasus tetanus neonates. Risiko kematian
karena tetanus 5 kali lebih tinggi pada pasien berusia lebih dari 65 tahun. Tetanus
dapat menyerang laki laki maupun perempuan. Di Amerika Serikat pada tahun
1998 2000, insiden tetanus 2,8 kali lebih tinggi pada laki laki berusia 59 tahun
dan lebih muda dibandingkan dengan perempuan dengan rentang usia yang sama.
Kasus tetanus pada neonatus jarang ditemukan, kasus ini sering muncul di negara
yang tidak memiliki program vaksinasi yang komprehensif. Risiko perkembangan
tetanus dan kondisi yang berat banyak terdapat pada populasi usia tua. Di Amerika
Serikat didapatkan 59% kasus dan 75% kematian terjadi pada usia 60 tahun atau
lebih. Dari 1980 2000, 70% kasus tetanus yang tercatat di Amerika Serikat
terjadi pada usia 40 tahun atau lebih. Hampir keseluruhan pasien ini, 36 % -nya
berusia lebih dari 59 tahun dan hanya 9% yang lebih muda dari 20 tahun4.

1
Tetanus dapat menyerang usia berapapun dan angka kematiannya yang
tinggi (10 80%) bahkan kematian karena tetanus masih dapat terjadi pada daerah
yang tersedia pelayanan intensif yang modern. Tidak ada kekebalan alami
terhadap tetanus, perlindungan terhadap tetanus bias didapatkan dari imunisasi
aktif dengan vaksin toxoid atau dari antibodi anti tetanus3.
Berdasarkan sedikit penjelasan yang sudah diterangkan diatas dan
pentingnya penyakit ini untuk ditangani segera, tinjauan pustaka ini akan lebih
membahas tentang penatalaksanaan tetanus, sehingga dapat bermanfaat
kedepannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tetanus merupakan penyakit akut yang berpotensi fatal, yang ditandai
dengan adanya rigiditas dan spasms konvulsif dari otot rangka. Tetanus
merupakan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh paparan bakteri
Clostridium tetani, yang terdapat di tanah dan kotoran binatang ataupun manusia,
sehingga dapat mengkontaminasi beragam permukaan dan benda. Sporanya
masuk melalui luka di kulit dan berkembang biak dalam kondisi kadar oksigen
yang rendah (anaerob)1,2

2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dalam periode tahun 2001 2008, sebanyak 233
kasus dan 26 kematian yang terlaporkan. Sebanyak 71 orang (30%) berusia 65
tahun atau lebih, 139 orang (60%) berusia antara 20 64 tahun, dan 23 orang
pada usia kurang dari 20 tahun, termasuk satu kasus tetanus neonates. Risiko
kematian karena tetanus 5 kali lebih tinggi pada pasien berusia lebih dari 65
tahun. Tetanus dapat menyerang laki laki maupun perempuan. Di Amerika
Serikat pada tahun 1998 2000, insiden tetanus 2,8 kali lebih tinggi pada laki
laki berusia 59 tahun dan lebih muda dibandingkan dengan perempuan dengan
rentang usia yang sama. Kasus tetanus pada neonatus jarang ditemukan, kasus ini
sering muncul di negara yang tidak memiliki program vaksinasi yang
komprehensif. Risiko perkembangan tetanus dan kondisi yang berat banyak
terdapat pada populasi usia tua. Di Amerika Serikat didapatkan 59% kasus dan
75% kematian terjadi pada usia 60 tahun atau lebih. Dari 1980 2000, 70% kasus
tetanus yang tercatat di Amerika Serikat terjadi pada usia 40 tahun atau lebih.
Hampir keseluruhan pasien ini, 36 % -nya berusia lebih dari 59 tahun dan hanya
9% yang lebih muda dari 20 tahun4.

3
2.3. Etiologi
Tetanus tidak ditularkan melalui orang ke orang. Infeksi tetanus terjadi
jika spora bakteri Clostridium tetani, masuk ke tubuh melalui luka di kulit, yang
biasanya melalui luka yang disebabkan benda yang terkontaminasi. Bakteri C.
tetani umumnya dapat masuk ke dalam tubuh melalui; (1) luka yang
terkontaminasi dengan kotoran, feses, atau air liur; (2) luka yang disebabkan oleh
benda yang menusuk kulit, seperti paku atau jarum; (3) luka bakar; (4) crush
injuries; (5) luka dengan adanya jaringan yang mati. Ketika bakteri C. tetani
masuk ke dalam luka, spora bakteri C. tetani akan memproduksi toksin yang
sangat kuat yaitu tetanospasmin, yang mengganggu saraf pengatur otot (motor
neurons)5,6.

2.4. Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram
positif anaerob, Clostridium tetani. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh
setelah kontaminasi pada luka yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan atau ujung potongan umbilikus pada neonatus. Bakteri juga
dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik
telinga, dan injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.8
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Aktivitas tetanospamin pada
motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat

4
alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi
otot berupa spasme otot.8
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport
secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan
zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II
(VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini
penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi,
mencegah pelepasan -amino butyric acid (GABA) dan glisin. Pada saat
interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi
kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik
tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus.
Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-
neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak.
Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan
kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan
membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan
durasi penyakit ini. 7,9

5
Gambar 1. Patogenesis Tetanus

2.5. Gejala Klinis


Rata-rata masa inkubasi Tetanus adalah 7 hari, dan pada kebanyakan
kasus (73%) masa inkubasi antara 4 14 hari. Masa inkubasi lebih pendek dari 4
hari di 15% kasus dan lebih dari 14 hari di 12% kasus. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan makin beratnya penyakitnya. 7,9
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. 10

1. Kekakuan Otot dan Rigiditas


Gejala awal tetanus meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada
lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus atau lock jaw,
kaku leher, dan nyeri punggung.7.Kekakuan otot tersebut terjadi karena
arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di medula dan
batang otak yang menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang
menyerupai kejang. Tonus otot meningkat diselingi dengan spasme otot
secara episodik. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis menjadi

6
hilang dan kelompok otot agonis serta antagonis berkontraksi secara
simultan.11 Kekakuan otot tersebut tampak dalam bentuk:
a. Rigiditas abdomen yang sering disebut perut papan
b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas disebut
dengan rhesus sardonicus atau rhisus smile
c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala. Otot-otot
rahang, wajah, dan kepala pada banyak kasus terpengaruh pertama kali
karena jaras aksonalnya lebih pendek
d. Trismus atau lock jaw, disebabkan oleh kontraksi yang kuat dari otot
maseter
e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
f. Spasme berat pada otot batang tubuh (punggung) disebut opistotonus dapat
menyebabkan kesulitan bernapas akibat berkurangnya compliance otot
dinding dada
g. Otot ekstremitas terpengaruh paling terakhir, namun biasanya tidak
melibatkan otot tangan dan kaki
h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan
spasme laring dan berkurangnya compliance dinding otot dada dapat
menyebabkan gagal napas.

2. Spasme Otot
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada
otot yang telah mengalami kekakuan. Spasme otot dapat muncul secara
spontan, dapat juga diprovokasi oleh rangsangan fisik, visual, auditori,
atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan
ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan gagal napas.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-
otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi
berat dan apnea yang dapat menyebabkan kematian. 1.Retraksi kepala akan
tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus makin jelas
terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Frekuensi dan beratnya spasme
sangat bervariasi. Biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik, secara
tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3

7
sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa
minggu lagi.10,12

3. Gangguan Saraf Otonom


Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme
dan berlangsung 1-2 minggu. Gangguan otonom melibatkan komponen
simpatis maupun parasimpatis. Meningkatnya tonus simpatis biasanya
dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat menyebabkan miokarditis
yang ditandai dengan demam, ruam, eosinofilia perifer, dan peningkatan
biomarker nekrosis. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar
katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,
bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain
meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus,
hiperpireksia, stasis lambung dan ileus. 7,10

Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe, yaitu:


i. Tetanus Lokal
Tetanus ini terjadi secara lokal (misalnya terjadi pada satu tungkai bawah
saja). Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di
area 7 tertentu dan pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan
mengikat toksin didalam darah sehingga penyebaran lebih luas dapat
dihindari.
ii. Tetanus Sefalik
Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka didaerah kepala atau
dengan riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat
adalah otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan
segmen servikal.
iii. Tetanus Generalisata
Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%). Gejala klinis biasanya
dimulai dengan trismus atau lock jaw diikuti dengan kekakuan pada otot
leher, kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdomen. Gejala lain bisa
berupa keringat berlebihan, demam, penigkatan tekanan darah, takikardia
episodik. Spasme terjadi cukup sering dan berlangsung beberapa menit. 10

8
2.6. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan
uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan
alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi
rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari
luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi. 7,13
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat
adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani
hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan
rabies. 13

2.7. Diagnosis Banding

1. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di
mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,
kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya
trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis.
Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi
meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

9
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. bentuk spasme otot yang khas yaitu
karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai
trismus.
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, tidak ada kejang tetapi ada trismus.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan
otot.
9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.

2.8. Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen pasein tetanus adalah kontrol jalan
napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai
berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga perlu dilakukan
intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan
suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas.
Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan.14
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan
penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah
habis dimetabolisme.
2.8.1. Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan
sampai pulih. Tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara: 15,16
i. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan

10
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2
jam setelah Anti Tetanus Serum (ATS) dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
ii. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.

iii. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita

iv. Oksigen, pernafasan buatan dan trakiostomi bila perlu.

v. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

2.8.2. Penatalaksanaan Khusus


1. Antibiotik
Antibiotik diperlukan untuk eradikasi bakteri kausatif. Kuman
tetanus pada umumnya sensitif terhadap penicillin, oleh karena clostridium
tetani berada pada daerah anaerob dimana perfusi jaringan jelek, maka
diperlukan antibiotika dosis tinggi untuk memcapai daerah tersebut. Akan
tetapi dengan adanya infeksi campuran dengan kuman-kuman penghasil
betalaktamase maka pinicillin menjadi kurang efektif. Akhir-akhir ini
diketahui bahwa Metronidazol dapat mencegah tetanus dan terbukti lebih
efektif dibanding dengan penicillin. Alternatif lain bila penderita tidak
tahan terhadap penicillin, juga boleh diberikan tetracyiclin. Antibiotik
digunakan untuk membunuh bakteri anaerob yang berkembang dari luka
yang merupakan pintu masuk bakteri dan untuk membunuh clostridium
tetani. 10,15,17
2. Manajemen Luka
Semua luka harus dibersihkan dan sebaiknya dilakukan
debridement untuk membuang jaringan nekrotik atau benda asing pada
luka. Luka dapat digolongkan menjadi luka yang rentan mengalami
tetanus dan luka yang tidak rentan tetanus. Setelah menentukan jenis luka,
pastikan riwayat imunisasi pasien. Tetanus toksoid diberikan pada pasien

11
dengan imunisasi booster berakhir tidak lebih dari 10 tahun. Jika imunisasi
lebih dari 10 tahun yang lalu diberikan pula TIG (Tetanus Immune
Globulin). 10,18
Dosis tetanus toxoid (TT) 10
i. Usia 7 tahun : 0,5 ml (5 IU) intramuskuler

ii. Usia < 7 tahun : Gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dosis 0,5 ml intramuskuler
Dosis TIG 10
i. Profilaksis dewasa : 250-500 U intramuskuler pada ekstremitas
kontralateral lokasi penyuntikan TT

ii. Profilaksis anak : 250 U intramuskuler pada ekstremitas kontralateral


lokasi penyuntikan TT

Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus


6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial (< 1 cm)
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulse atau Bentuk linier, tepi tajam
hancur (ireguler) Neuro/vaskuler intak
Denervasi, iskemik Tidak terinfeksi
Terinfeksi (purulen, jaringan
nekrotik)
Table 2.1. Kriteria jenis luka

3. Anti Toxin
Imunisasi pasif dengan Human Anti Tetanus Gamma-glubumin
(HTIG) dapat digunakan untuk memperpendek perjalanan penyakit tetanus
dan meningkatkan angka keselamatan. Namun imunisasi pasif ini hanya
dapat menetralisir toksin yang tidak terikat saja. HTIG 3000-10.000 unit,
diberikan secara intra muskuler dan dapat diulang bila diperlukan. Tetanus
anti toksin tidak akan menetralisir toksin yang sudah terikat pada susunan
saraf pusat, tetapi hanya menetralisir toksin yang masih beredar. Bila HTIG

12
tidak tersedia maka diberikan ATS (Anti Tetanus Serum) dengan dosis
100.000 - 200.000 unit, diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000
intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita
sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberikan immunisasi aktif
dengan toksoid, oleh karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak
memiliki kekebalan. 10,18
Terapi Suportif
1. Kekakuan otot dan rigiditas / spasme otot
Terapi utama untuk spasme otot adalah benzodiaepine.
Benzodiaepine akan memperbesar GABA agonis dengan cara menghambat
inhibitor endogen direseptor GABA. Diazepam dilaporkan memiliki
efektifitas yang baik dengan efek depresi yang lebih rendah dibandingkan
dengan golongan barbiturat. Diazepam juga memiliki efek antikonvulsan
dan muscle relaxation, sedatif, dan anxiolytic. Efek maskimal dalam darah
dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan adalan 0,5-10
mg/kg untuk dewasa. Sedasi lain adalah dengan fenobarbital,
klorpromazine, dan propofol. 10,15,17
Apabila efek sedasi tidak cukup untuk menghentikan spasme maka
perlu diberikan neuromuscular blocking agent (pacuronioum, vecuronium)
dan ventilator dengan mode intermitent positive pressure (IPPV). Namun
pemberian neuromuscular blocking agent yang terlalu lama dihubungkan
dengan kejadian neuropati dan miopati. Baclofen interektal (GABA agonis)
dapat diberikan dengan dosis 500-2000 g/ hari, diberikan bolus atau infus.
10,15

Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan


dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan dekstrose 5% 100 ml secara
intravena melalui infus selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 gram/jam (< 60 tahun) dan 1 gram/jam ( 60 tahun) dalam
larutan dekstrose 5% 500 ml, diberikan selama 6 jam. Kemudian dititrasi
setiap 6 jam sampai spasme umum terkontrol. Kurangi dosis 0,25 gram/jam
sampai terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Untuk menjegah
overdosis diperlukan pemantauan yang ketat dari tanda vital, gejala klinis,

13
EKG, kadar magnesium setiap 3 hari atau setiap hari bila ada tanda
toksisitas, tanda hipokalsemia dan kadar kalsium setiap 3 hari. 10,15,17
2. Kontrol disfungsi otonom
Disfungsi otonom dapat diatasi dengan pemberian cairan 8 liter per
hari dan pemberian sedasi. Obat yang dapat digunakan yaitu
benzodiazepine, antikonvulsan, dan morfin. Morfin merupakan pilihan yang
sering digunakan karena memiliki efek stabilitas kardiovaskular dengan
dosis pemberian 20-180 mg/ hari. Klorpromazine, antikolinergik dan alfa
adrenergik antagonis juga memiliki efek stabilitas kardiovalskular. 10,17
Propanolol (-adrenergic bloking agent) digunakan untuk
mengontol hipertensi episodik dan takikardi. Dosis yang digunakan 5-10
mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg 3 kali sehari. 10
Atropin hingga dosis 100 mg/hari dapat diberikan pada kasus
diaforesis, bradiaritermia dan hipersekresi. Diharapkan dengan dosis besar
akan memblok efek muskarinik dan nikotinik, sedasi sentral, dan blok
neuromuskuler. 10
Klonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk
mengurangi efek simpatis sehingga mengurangi tekanan arterial, denyut
jantung dan pelepasan ketokolamin dari medula adrenal.10,17

2.9. Komplikasi
Komplikasi dari tetanus dirangkum dalam tabel 2.2
Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi
Spasme laring
Obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu
Hipoksia
Gagal napas tipe I (Atelektasis, Aspirasi, Pneumonia)
Gagal napas tipe II (Spasme laring, sedasi berlebihan, Spasme
dada berkepanjangan)
ARDS
Komplikasi akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (misalnya stenosis trakea)
Kardiovaskular Takikardia
Hipertensi

14
Iskemia
Hipotensi
Bradikardia
Takiaritmia
Bradiaritmia
Asistol
Gagal jantung.
Renal Gagal ginjal
Infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis
Ileus
Perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis
Myositis ossificans circumscripta
Fraktur akibat spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolisme
Sepsis
Sindrom disfungsi multiorgan.
Tabel 2.2. Komplikasi dari tetanus.

2.10. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa
inkubasi, periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit
lain yang menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang
menilai berat penyakit dapat menentukan prognosis. Sistem skoring yang
diusulkan Ablett adalah yang paling banyak digunakan. Selain skoring Ablett,
terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan
Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan
periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga
memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18,
severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan
dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4,
severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat dengan
mortalitas >50%. 7

15
Tabel 22.4. Phillips Score Tabel 2.5. Severitas Tetanus Berdasarkan
Klasifikasi Ablett

Tabel 2.6. Dakar Score

16
2.11. Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus
bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin
yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan
antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam
konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). Sampai
pada saat ini pemberian imunisasi aktif dan pasif dengan tetanus toksoid dan
perawatan luka yang adekuat merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan
terjadinya tetanus. Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid
yang bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif
dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau
DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar
untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien. 19

Bayi dan anak normal. Imunisasi DPT pada usia 2,4,6,dan 15-18 bulan.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun)
diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun
sekali.
Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian
sampai usia 7 tahun 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi
yang tidak diimunisasi
pertama.
pada masa bayi awal.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun)
diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun
sekali.
Usia 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang
belum pernah diberikan pada kunjungan pertama, 4-8 minggu
diimunisasi. setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah
injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus

17
pernah diimunisasi. menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan
(lebih baik pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan
setelah injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang
tidak pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetrik
yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU
human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan
pasif untuk ibu juga harus diberikan.
Tabel 2.7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus 19

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. 14

Tampilan Klinis Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan


Tetanus
Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau,
bakar, frostbite kaca)
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada Tidak ada
rumput, saliva, dan lain-
lain)
Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada
Tabel 2.8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on
Trauma (1995) 14

18
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma
adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.
Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran,
kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi
sebagai yang riwayatnya tidak diketahui. 20

Riwayat Imunisasi Luka Tidak Rentan


Luka Rentan Tetanus
Tetanus Tetanus
Sebelumnya (Dosis) TT HTIG TT HTIG
Tidak diketahui atau Ya Ya Ya Tidak
<3
3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali 5 (kecuali
tahun sejak 10 tahun
dosis terakhir) sejak dosis
terakhir)
Tabel 2.9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma 14.

19
BAB III

KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit akut yang berpotensi fatal, yang ditandai


dengan adanya rigiditas dan spasms konvulsif dari otot rangka. Tetanus
merupakan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh paparan bakteri
Clostridium tetani, yang terdapat di tanah dan kotoran binatang ataupun manusia,
Tetanus ditandai dengan adanya rigiditas otot dan kaku (spasme) otot yang sangat
nyeri. Gejala dan tanda umum yang sering terjadi pada penderita tetanus yaitu
kaku dan nyeri yang dimulai dari otot dagu (trismus atau lock jaw) dan/atau leher,
bahu dan otot perut. Di Amerika Serikat, dalam periode tahun 2001 2008,
sebanyak 233 kasus dan 26 kematian yang terlaporkan. Sebanyak 71 orang (30%)
berusia 65 tahun atau lebih, 139 orang (60%) berusia antara 20 64 tahun, dan 23
orang pada usia kurang dari 20 tahun. Tetanus dapat menyerang usia berapapun
dan angka kematiannya yang tinggi (10 80%) bahkan kematian karena tetanus
masih dapat terjadi pada daerah yang tersedia pelayanan intensif yang modern.
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni; tetanus lokal
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada daerah tempat dimana luka
terjadi, tetanus sefalik bentuk yang jarang dari tetanus dan tetanus generalisata
yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam,
Profilaksis tetanus sebelum terjadi pajanan dengan pemberian vaksin
tetanus. Tetanus toxoid tersedia dalam kombinasi dengan difteri baik pada anak
(DT) maupun pada dewasa (Td). Selain itu terdapat juga dalam kombinasi dengan
difteri dan pertusis aseluler (DTaP) maupun pertusis whole cell (DTwP). Orang
yang terpapar sumber dari penularan penyakit harus dikonsultasikan ke dokter
untuk diperiksa dengan tepat dan menilai apakah perlu mendapat profilaksis. Hal-
hal yang dapat dilakukan bila terjadi pajanan yakni; pembersihan luka,
manajemen apabila luka berpotensi tetanus yaitu dengan memberikan vaksin
tetanus (DT dan/atau TT) dan immunoglobulin tetanus, dan pemberian antibiotik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Tiwari TSP. Tetanus. VPD Surveill Man. 5th ed. 2011;


2. World Health Organization (WHO). Tetanus [Internet]. World Health

Organization (WHO). 2017 [dikutip 19 Maret 2017]. Diambil dari:

http://www.who.int/immunization/diseases/tetanus/en/
3. World Health Organizations (WHO). Current recommendations for

treatment of tetanus during humanitarian emergencies WHO Technical Note.

2010;(January):16.
4. Hinfey PB, Ripper J, Engell CA, Chappell KN. Tetanus [Internet]. Brusch

JL, editor. Medscape. 2016 [dikutip 18 Maret 2017]. Diambil dari:

http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview#showall
5. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus | Causes and

Transmission [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention. 2017

[dikutip 18 Maret 2017]. Diambil dari:

https://www.cdc.gov/tetanus/about/causes-transmission.html
6. Mayo Clinic Staff. Tetanus [Internet]. Mayo Clinic. [dikutip 18 Maret

2017]. Diambil dari: http://www.mayoclinic.org/diseases-

conditions/tetanus/symptoms-causes/dxc-20200458
7. Laksmi N. Penatalaksanaan Tetanus. Cermin Dunia Kedokteran.

2014;41(11):823-827.
8. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta


9. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of

Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins.

2013;5(1):73-83.
10. Raka. Sudewi, dkk. Infeksi pada Sistem Saraf. Kelompok Studi Neuro Infeksi.

2011: 135-139

21
11. Richard F. Edlich, dkk. 2009.Management and Prevention of Tetanus. Mc

Graw Hill. USA


12. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,

Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:

Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.


13. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan

Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.


14. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-

407.
15. WHO Technical Note. Current recommendations for treatment of tetanus

during humanitarian emergencies. 2010: 1-6.


16. Ritarwan, Kiking. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU

H. Adam Malik. USU Digital Library. 2004: 1-12.


17. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of tetanus:

an evidence-based review. Rodrigo et al. Critical Care 2014, 18:217


18. CDC. Tetanus. MMWR 2013; 21:341-352. diakses tanggal 13 Maret 2017.

tersedia di http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
19. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;

2005.
20. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).

http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 13 Maret 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai