Anda di halaman 1dari 60

SINDROM KORONER AKUT-NSTEMI

Laporan Kasus

Oleh:
dr. Yosep Made Pius Cardia
dr. I Gde Arya Dharmika Palguna

Pembimbing:
dr. I Putu Gede Budiana, M.Biomed, Sp.JP(K)

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD BADUNG MANGUSADA
BALI
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Sindrom
Koroner Akut-NSTEMI” ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Program Internship Dokter Indonesia pada stase Unit Gawat Darurat di RSD
Mangusada Badung. Dalam penulisan ini, penulis banyak mendapat bimbingan maupun
bantuan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. dr. I Putu Gede Budiana, M.Biomed, Sp.JP(K), selaku pembimbing penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus
2. dr. I Wayan Muliana selaku pendamping dokter Internship di bagian Unit Gawat
Darurat RSD Mangusada.
3. dr. Nyoman Suastika selaku pendamping dokter Internship di bagian Poliklinik Rawat
Jalan RSD Mangusada.
4. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik dukungan moral maupun
material.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhirnya penulis mengharapkan
semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Mangupura, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................3

2.1. Definisi........................................................................................................................3

2.2. Patofisiologi.................................................................................................................3

2.3. Diagnosis.....................................................................................................................6

2.3.1. Anamnesis............................................................................................................6

2.3.2. Pemeriksaan Fisik................................................................................................8

2.3.3. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................9

2.4. Diagnosis Banding.....................................................................................................15

2.5. Terapi.........................................................................................................................16

2.6. Prognosis...................................................................................................................24

LAPORAN KASUS.................................................................................................................29

PEMBAHASAN......................................................................................................................44

KESIMPULAN........................................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50

1
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring waktu, berbagai penyakit mengalami tingkat kematian dan kecacatan. Mulai
dari berbagai penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, penyakit jantung hingga penyakit
menular. Di berbagai negara maju, dan kini juga mulai merambah ke negara berkembang,
penyakit jantung hampir selalu menjadi masalah kesehatan menakutkan bagi masyarakat oleh
karena angka kematian dan kecacatan yang tinggi akibat penyakit jantung, khususnya
penyakit jantung koroner atau sindrom koroner akut (SKA).
SKA merupakan kondisi ketika otot jantung kekurangan oksigen akibat sumbatan
pembuluh darah koroner yang mengakibatkan kelemahan hingga kematian otot jantung yang
menyebabkan angka kematian yang tinggi (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut,
2018). Pada tahun 2013, tercatat sebanyak 0,5% (883.447 orang) penduduk Indonesia usia
>18 tahun didagnosis dengan penyakit jantung koroner dengan penderita terbanyak pada
kelompok umur 65-74 tahun. Sedangkan penderita diabetes dan hipertensi pada tahun yang
sama sebanyak 1,5% dan 9,4%, yang mana diabetes dan hipertensi merupakan faktor risiko
terjadinya SKA (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Sedangkan di Amerika Serikat, diperkirakan
tiap tahunnya terdapat >780.000 pasien yang akan mengalami SKA dengan rentang usia 56-
79 tahun dan proporsi pira:wanita sebanyak 3:2. Dari angka tersebut 70% diantaranya
merupakan pasien dengan NSTEMI yang umumnya memiliki lebih banyak komorbiditas
daripada pasien STEMI (Peterson et al., 2006; Go, Mozaffarian and Roger, 2013).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi angina pektoris tidak
stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST atau Non ST segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi segmen ST atau ST segment
Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Terapi utama yang diberikan pada pasien dengn
diagnosis SKA bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner jantung secepat
mungkin untuk memaksimalkan fungsi otot jantung. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian
obat-obatan anti platelet, antikoagulan, tromoblitik, hingga tindakan intervensi perkutan
(Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).
Hingga saat ini, tenaga medis profesional umumnya menemui tantangan dalam
berpacu dengan waktu untuk mendiagnosis SKA dengan tepat. Oleh karena itu tenaga medis
harus lebih teliti dalam melihat kondisi klinis pasien baik di fasilitas kesehatan primer
maupun di layanan kesehatan lainnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat dibagi menjadi 2 kelompok: pasien
dengan Chronic Coronary Artery Disesase (CAD) yang umumnya dengan angina stabil
dan kelompok dengan Sindrom Koroner Akut (SKA). Gejala yang terjadi Pada pasien
dengan SKA merupakan manifestasi kerusakan plak ateroma pembuluh darah koroner
yang akan menyebabkan sumbatan aliran darah koroner sehingga terjadi iskemia
hingga infark miokardium. Meskipun begitu, tidak semua infark miokard disebabkan
oklusi total, sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi juga dapat menyebabkan
iskemia (Loscalzo and Harrison, 2013).
Pasien dengan SKA umumnya datang dengan keluhan nyeri dada, berupa angina
tipikal ataupun atipikal. Angina tipikal merupakan rasa tertekan atau berat di daerah
retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu ,atau
epigastrium. Gejala ini berlangsung intermiten atau persisten (20 menit) serta sering
disertai dengan diaforesis, mual muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi (Loscalzo
and Harrison, 2013; Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018):
1.1nfark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
2.1nfark miokard akut non-elevasi segmen ST (NSTEMI)
3.Angina pektoris tidak stabil (UAP)

2.2. Patofisiologi

Secara umum pembuluh darah koroner dibagi menjadi Left Coronary Artery (LCA)
dan Right Coronary Artery (RCA). Kemudian LCA terbagi kembali menjadi 2 cabang
besar yaitu left Anterior Descending (LAD) dan Left Circumflex (LCX). Keseluruhan
cabang dari LCA ini menyuplai darah kepada atrium kiri, sebagian besar ventrikel kiri
dan septum interventrikel serta berkas AV. Sedangkan RCA menyuplai darah kepada
atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil septum interventrikel serta nodus SA dan
AV (Mancini, 2015).

3
Gambar 1. Anatomi Pembuluh Darah Koroner
(sumber: https://emedicine.medscape.com/article/905502-overview#a6
Faktor risiko mayor terbentuknya ateroskelrosis antara lain tingkat low-density
lipoprotein (LDL) yang tinggi, tingkat high-density lipoprotein (HDL) yang rendah,
merokok, hipertensi, dan diabetes melitus. Faktor-faktor risiko ini mengganggu fungsi
normal endotel pembuluh darah seperti kontrol tonus vaskuler, menjaga kondisi
antitrombosis pada permukaan pembuluh darah, serta mengontrol aktivitas sel
inflamasi. Terganggunya fungsi ini menyebabkan konstriksi, pembentukan trombus,
gangguan fungsi sel monosit dan platelet: secara kesulurhan menyebabkan
pembentukan plak aterosklerosis yang berisi tumpukan lemak, jaringan otot halus,
fibroblas, dan matriks interseluler pada lapisan subintima (Loscalzo and Harrison,
2013).
Pada kondisi normal, miokard dapat mengontrol aliran darah untuk mencegah
terjadinya kekurangan perfusi miokard untuk mencegah terjadinya iskemia dan infark.
Penentua utama dalam permintaan kosigen miokard (MVO2) adalah detak jantung,
kontraktilitas miokard, dan stres dinding miokard. Suplai oksigen miokard yang cukup
ditentukan dari kemampuan darah untuk membawa oksigen (ditentukan dari oksigen
yang diinspirasi, fungsi paru, serta konsentrasi dan fungsi hemoglobin) dan aliran darah
koroner yang adekuat (Loscalzo and Harrison, 2013).
Pada kondisi aterosklerosis, terjadi penyempitan lumen pembuluh darah koroner
yang menghambat perfusi ke miokard, khususnya saat terjadi peningkatan kebutuhan
oksigen seperti saat aktivitas. Jika penyempitan cukup parah, diameter lumen <80%,
bahkan perfusi miokard saat basal juga menurun yang dapat menyebabkan iskemia
bahkan saat istirahat. Selain terjadi penyempitan langsung akibat penebalan lapisan
pembuluh darah, plak aterosklerosis juga dapat ruptur yang menyebabkan (1) aktivasi
dan agregasi platelet, dan (2) aktivasi kaskade koagulasi yang menimbulkan trombus
pada lokasi ruptur plak aterosklerosis (Loscalzo and Harrison, 2013).

4
Trombus ini dapat menghambat aliran darah secara total atau parsial pada lokasi
trombus, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh darah lebih distal.
Selain pembentukan trombus, juga terjadi vasokonstriksi yang memperberat kondisi
sumbatan pembuluh darah koroner. Seluruh kejadian ini menyebabkan ketidaksesuaian
suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen miokard yang disebut dengan iskemi
miokard, jika kondisi iskemi ini terus berlanjut akan menyebabkan nekrosis otot
jantung atau infark miokard (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Gambar 2. Pembentukan plak aterosklerosis


(sumber: google)

Jika kondisi iskemi transien, maka akan terjadi episode angina pectoris yang
sementara. Namun jika iskemia ini berkepanjangan dapat menyebabkan nekrosis dan
jaringan parut miokard. Pada episode iskemi akibat aterosklerosis pembuluh darah
koroner, area miokard terdampak akan mengalami.gangguan kontraktilitas ventrikel
(hipokinesia segmental, akinesia, diskinesia) yang berujung pada gangguan pompa
jantung. Kondisi iskemia ini akan dirasakan pasien sebagai rasa tidak nyaman atau
nyeri pada dada.
2.3.

5
Gambar 3. Dampak dari oklusi subtotal dan total
(sumber: Loscalzo and Harrison, 2013, Adapted from CW Hamm et al: Lancet 358:1533, 2001, and MJ Davies: Heart
83:361, 2000; with permission from the BMJ Publishing Group .)
Diagnosis
2.3.1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa
nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat pada area retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher,
area interskapuler, bahu , atau epigastrium. Rasa berat ini dapat berlangsung intermiten
atau persisten (>20 menit) dan sering disertai fiaforesis, mual/muntah, nyeri
abdominal ,sesak napas, dan sinkop (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut,
2018).
Sedangkan angina atipikal berupa nyeri di daerah penjalaran angina tipikal,
indigesti, sesak napas yang tidak dapat diterangkan, rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan. Keluhan ini sering ditemui pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia
lanjut (>75 tahun), wanita penderita diabetes, gagal ginjal kronis, atau demensia.
Keluhan angina atipikal baiknya dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan
dengan aktivitas, terutama jika hal ini terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit
jantung koroner (PJK). Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan-keluhan
tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut (Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018):
- Pria
- Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer/karotis)
- Diketahui mempunyai PJK (pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau intervensi koroner perkutan)

6
- Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
melitus, riwayat PJK dini dalam keluarga

Sedangkan terdapat beberapa gambaran nyeri lainnya yang dapat menyerupai


gambaran nyeri angina pada pasien SKA. Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan
karakteristik iskemia miokard (nyeri dada non kardiak) (Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, 2018):
- Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
- Nyeri abdomen tengah atau bawah
- Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari (terutama pada daerah apeks
atau pertemuan kostokondral)
- Nyeri dada akibat gerakan tubuh aau palpasi
- Nyeri dengan durasi beberapa detik
- Nyeri dada yang menjalar ke ekstrimitas bawah

Pentingnya menggali informasi terkait gejala angina yang dialami pasien bertujuan
untuk membedakan nyeri dada akibat SKA atau nyeri dada non kardiak seperti riwayat
nyeri dada sebelumnya (saat aktivitas dan/atau istirahat), riwayat peripheral arterial
disease (PAD) riwayat stroke, trasient ischemic attack (TIA). Selain itu, penting juga
untuk mengetahui: riwayat keluarga terkait penyakit jantung yang terjadi dini pada
keluarga kandung (pada usia <55 tahun pada laki-laki dan <65 tahun pada perempuan),
diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, merokok, dan faktor risiko lainnya untuk
aterosklerosis koroner. Tingkat keseriusan angina dapat disimpulkan berdasarkan
klasifikasi The Canadian Cardiac Society (CSC) dan dampak fungsional terhadap
pasien dapat diklasifikasi menggunakan New York Heart Association functional
Clasification (NYHA) (Loscalzo and Harrison, 2013; Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, 2018)

7
Gambar 4. Algoritme Evaluasi dan Tatalaksana SKA
(sumber: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018

2.3.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai SKA seringnya ditemukan dalam
batas normal pada pasien dengan angina stabil saat asimptomatik. Pada pasien dengan
risiko tinggi iskemik (diabetes melitus, PAD), harus dicari tanda aterosklerosis pada
lokasi lain seperti aneurisma aorta abdominalis, bruit arteri carotid, dan penuruan
denyut arteri ekstrimitas bawah. Pada palpasi dapat ditemukan pembesaran jantung
dan kontraksi ventrikel kiri yang abnormal (akibat diskinesia ventrikel kiri).
Auskultasi dapat ditemukan adanya bruit arteri, suara jantung 3 atau 4 (S3 atau S4),
dan bisa juga ditemukan murmur (jika ada riwayat infark sebelumnya yang
mempengaruhi fungsi otot papiler) (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut,
2018).
Pemeriksaan fisik pada saat angina terjadi dapat menunjukkan kelainan jantung
yang diakibatkan oleh iskemia atau bahkan infark yang sedang terjadi, gangguan
fungsi ventrikel kiri yang disertai S3 dan/atau S4, diskinetik apeks, regurgitasi mitral
dan bahkan edema paru. Sedangkan nyeri dada yang diperberat dengan

8
palpasi/sentuhan, tenderness pada deinding dada, lokalisasi nyeri yang dapat ditunjuk
dengan satu jari menunjukkan kemungkinan kecil nyeri dada tersebut diakibatkan
karena iskemi miokard. Selain itu, harus juga dipastikan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya stenosis aorta, regurgitasi aorta, hipertensi pulmoner, dana
kardiomopati hipertropik karena kelainan tersebut dapat menyebabkan angina tanpa
adanya proses ateroskelrosis (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).
2.3.3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pasien yang dicurigai mengalami nyeri dada harus dilakukan pemeriksaan
elektrokardiografi (EKG) dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Gambaran EKG
yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-
diagnostik, left bundle branch block (LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten ( 20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Hasil rekaman EKG awal dapat normal atau non diagnostik sehingga perlu diulang tiap
15-30 menit dalam 1 jam pertama, khususnya jika gejala nyeri dada juga berulang.
Temuan EKG normal juga tidak mengeksklusi kejadian SKA karena EKG yang normal
dapat terjadi pada 1%-6% pasien. Temuan EKG yang normal pada nyeri dada juga
dapat dicurigai adanya sumbatan pada arteri korones sirkumfleks (LCX) atau arteri
koroner kanan (RCA) yang dapat dievaluasi dengan tambahan sadapan V7-V9.
Sedangkan pemeriksaan tambahan sadapan V3R-V4R dilakukan pada kasus STEMI
Inferior untuk mendeteksi adanya infark pada ventrikel kanan. Gambaran EKG berupa
Left Ventricle Hypertrophy (LVH), bundlebranch block dengan gangguan repolarisasi,
dan ventricular pacing dapat menutupi kejadian iskemia. Semua perubahan EKG yang
tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan
EKG yang non-diagnostik (Amsterdam and Wenger, 2015).

Penilaian segmen ST dilakukan dengan mengevaluasi evelvasi segmen ST yang


dimulai dari titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang
elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk laki-lakidan perempuan secara umum
pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV, sedangkan nilai ambang diagnostik pada
berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin (Tabel 2.1 dan 2.2).
Temuan depresi segmen ST yang resiprokal, yaitu sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh pada segmen elevasi ST, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali

9
jika STEMI terjadi di mide anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi
segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan
baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemeriksaan biomarka jantung tersedia (Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut, 2018).

Tabel 2.1. Nilai Ambang Diagnostik Elevasi Segmen ST

Sadapan Jenis Kelamin & Usia Nilai Ambang Elevasi ST


V1-3 Laki-laki ≥ 40 tahun ≥ 0,2 mV
Laki-laki< 40 tahun ≥0,25 mV
Perempuan (usia berapapun)
V3R-V4R Laki-laki & Perempuan ≥ 0,05 mV
Laki-laki <30 tahun ≥0,1 mV
V7-V9 Laki-laki & Perempuan ≥ 0,05 mV

Pada pasien dengan keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen
ST yang persisten dapat didiagnosis dengan NSTEMI atau UAP yang dibedakan
berdasarkan peningkatan biomarka jantung. Sedangkan gambaran EKG yang
ditemukan dapat bervariasi mulai dari ST depresi, inversi T, hingga gambaran normal
(Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Tabel 2.2. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark


V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R-V4R Ventrikel Kanan

Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di


sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen
ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan
terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T dengan minimal 0,1mV
dapat dicurigai sebagai gambaran iskemia miokard, sedangkan inversi gelombang T
yang simetris ≥ 0.2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk iskemia akut (Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

10
Tampilan ST depresi dapat beragam, mulai dari upsloping, downsloping dan horizontal.
Gambaran upsloping dapat dikatakan tidak spesifik untuk iskemia miokard. Gambaran
ST depresi horizontal dan downsloping ≥ 0,5mm pada ≥ 2 sadapan berdekatan
mengindikasikan gambaran untuk kejadian iskemia miokard dan gambaran ST depresi
≥ 1 mm lebih spesifik dan menggambarkan prognosis lebih buruk. Temuan gambaran
ST depresi ≥ 2mm pada ≥ 3 sadapan dihubungkan dengan probabilitas tinggi NSTEMI
dan mortalitas yang signifikan (mortalitas 35% dalam 30 hari) (Burns, 2019)

Gambar 5. Gambaran variasi ST depresi


(sumber: https://litfl.com/myocardial-ischaemia-ecg-library/)

Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam periode pemantauan
nyeri dada tidak berulang, EKG tetap non-diagnostik, biomarkan jantung negatif, dan
tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan
diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi diagnosis NSTEMI atau UAP. Hasil
stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan dengan rawat
jalan (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

2) Pemeriksaan Marka Jantung

Terdapat 3 subunit tropnonin dalam tubuh, 2 subunit (Troponin I & T) spesifik berasal
dari miokardium sehingga pemeriksaan Cardiac Troponin dapat menunjukkan hasil
yang sensitif untuk mendeteksi nekrosis miokard. Pemeriksaan troponin I atau T
baiknya dilakukan pada saat pasien datang dan diulang 3-6 jam berikutnya pada semua
pasien dengan gejala yang konsisten pada diagnosis SKA untuk melihat pola
peningkatan atau penurunan. Pemilihan rentang waktu ini sebab troponin mulai
mengalami peningkatan pada aliran darah pada 2-4 jam sejak awitan awal gejala.

11
Peningkatan biomarka jantung hanya dapat menunjukkan ada proses nekrosis miokard,
tidak dapat mengetahui penyebab kerusakan tersebut (koroner atau non koroner)
(Amsterdam and Wenger, 2015).

Peningkatan Troponin juga dapat ditemui pada penyebab non koroner, seperti
takiaritmia trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Sedangkan kondisi non kardiak yang juga dapat meningkatkan
kadar troponin antara lain, sepsis, luka bakar, gagal napas,penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi dan insufisiensi ginjal (Amsterdam and

Gambar 6. Algorltma 'rule-out' 0h/3h menggunakan assay hs-troponln NSTEMI


Sumber: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018 (dladaptasi dari Roffi et al., 2016)

Wenger, 2015).

12
Jika tersedia assay hs-troponin dengan algoritma yang telah tervalidasi, dapat
digunakan algoritma 0h/1h yang merujuk pada waktu dari pemeriksaan darah pertama.
NSTEMI dapat disingkirkan jika:
 Konsentrasi hs-cTn sangat rendah
 Konsentrasi hs-cTn rendah dan tidak ada peningkatan relevan dalam waktu 1
jam.

Kemungkinan besar pasien mengalami NSTEMI jika kadar hs-cTn meningkat sedang
atau menunjukkan suatu peningkatan yang jelas dalam 1 jam pertama. Kadar cut-off
tergantung kepada reagen yang digunakan. Algoritma ini hanya dapat digunakan jika
awitan nyeri dada > 3 jam. Untuk mendiagnosis NSTEMI, ditemukan peningkatan
troponin akut yang konsisten dengan kondisi klinis yaitu gejala iskemi yang sedang
terjadi dan perubahan gambaran EKG. Pasien dengan peningkatan kadar troponin
berada dalam risiko tinggi, serta sangat terbantu dengan manajemen intensif serta
revaskularisasi dini ((Amsterdam and Wenger, 2015; Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, 2018).

Selain troponin, juga terdapat pemeriksaan creatine kinase myocardial isoenzyme (CK-
MB) dan mioglobin yang juga digunakan untuk mendeteksi adanya kerusakan miokard.
Kedua biomarka ini lebih cepat dilepaskan ke aliran darah karena ukuran molekul yang
lebih kecil dibandingkan troponin. Dibandingkan dengan troponin, CK-MB dan
mioglobin kurang sensitif dalam mendeteksi infark miokard. Namun begitu, CK-MB
dapat digunakan untuk mendiagnosis kejadian inafrk berulang karena CK-MB memiliki
waktu paruh yang lebih singkat. (Amsterdam and Wenger, 2015)

Gambar 7. Waktu Timbulnya Berbagai Jenis Biomarka Jantung


Sumber: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018

13
3) Angiografi Koroner
Angiografi koroner dilakukan untuk menilai kondisi lumen arteri koroner sehingga
dapat mendeteksi adanya oklusi. Untuk tujuan diagnostik, angigrafi koroner dilakukan
karena memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan oklusi.
Temuan gambaran angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect mengesankan adanya trombus
intrakoroner (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Gambar 8. Contoh Gambar Angiografi Koroner


(sumber: Dokumentasi Cathlab RSDM

Pemeriksaan angiografi koroner diindikasikan pada: (1) pasien angina pectoris stabil
kronis dengan keluhan yang menetap meskipun sudah diberikan pengobatan dan akan
direncanakan untuk tindakan revaskularisasi, (2) pasien dengan gejala yang berat
namun dengan diagnosis yang meragukan dan harus memastikan atau menyingkirkan
kemungkinan infark miokard, (3) pasien dengan angina pectoris definitif atau possible
yang selamat dari henti jantung, (4) pasien dengan angina atau bukti iskemia pada
pemeriksaan non invasif (bukti adanya disfungsi ventrikel), dan (5) pasien dengan
risiko tinggi kejadian oklusi koroner berdasarkan gejala iskemia yang berat pada
pemeriksaan non invasif (terlepas dari ada tidaknya gejala dan beratnya gejala)
(Amsterdam and Wenger, 2015).

14
Waktu yang optimal untuk melakukan angiografi dapat dibagi dalam early invasive
(dalam 24 jam) atau delayed invasive (dalam 25-72 jam). Pilihan strategi
urgent/immediate invasive (Dilakukan dalam 2 jam, berupa angiografi diagnostik
dengan tambahan untuk revaskularisasi jika memungkinkan) diindikasikan pada pasien
NSTEMI dengan angina refrakter atau instabilitas hemodinamik atau elektrisitas
jantung (tanpa kontraindikasi dan komorbiditas untuk prosedur tersebut). Kriteria
dalam memilih strategi terapi invasif untuk NSTEMI ditentukan oleh beberapa faktor,
mulai dari stratifikasi risiko (TIMI, GRACE), keluhan, instabilitas hemodinamik,
gambaran EKG, dan riwayat penyakit lainnya (Amsterdam and Wenger, 2015).

Gambar 9. Pemilihan strategi invasif untuk terapi NSTEMI


Sumber: Amsterdam and Wenger, 2015)

2.4. Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding untuk Sindrom Koroner Akut (Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut, 2018):
1. Nyeri dada non iskemik (diseksi aorta, aneurisma aorta yang membesar, perikarditis,
emboli paru)
2. Penyebab nyeri pada dada, punggung, atau perut atas non kardiak:
- Pulmoner (pneumonia, pleuritis, pneumothoraks)
- Gastrointestinal (refluks gastroesofageal, spasme esofageal, ulkus
peptikum,pankreatitis, penyakit bilier
- Muskuloskeletal (kostokondritis, radikulopati servikal)

15
- Kondisi psikiatri
- Penyebab lainnya (herpes zooster, krisis sickle cell)
2.5. Terapi

1) Terapi Awal SKA (Amsterdam and Wenger, 2015; Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, 2018)
Berdsarkan langkah diagnostik mulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan SKA, dokter perlu s eg er a menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Terapi
awal merupakan terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan .
1. Oksigen
Oksigen diindikasikan pada pasien dengan SpO2 <90%, distres pernapasan, atau
risiko tinggi hipoksemia
2. Nitrat
Nitrat sublingul diberikan tiap 5 menit (maksimal 3 kali) selama nyeri dada masih
berlangsung. Nitrat IV diberikan pada nyeri dada yang persisten (nyeri dada masih
dirasakan setelah pemberian nitrat 3 kali), HF, atau hipertensi. Pemberian nitrat
dikontraindikasikan pada kondisi hipotensi dan pasien yang menggunakan
phosphodiesterase inhibitor (dalam 24 jam setelah penggunaan sildenafil)
3. Aspirin
Aspirin 160-320mg diberikan segera (loading dose) kepada semua pasien yang
tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut selaput lebih
dipilih. Dosis pemeliharaan 80mg/hari
4. Clopidogrel
Loading dose Clopidogrel 300mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
75mg/hari. Clopidogrel lebih dipilih untuk pasien yang akan dilakukan fibrinolitik
sebagai terapi reperfusi
Loading dose Ticagrelor 180mg dilanjutkan 2x90mg.
5. Morfin
Morfin Sulfat IV1-5mg dapat diberikan dan diulang tiap 10-30 menit pada pasien
yand tidak responsif dengan pemberian 3 kali nitrat sublingual

16
2) Terapi NSTEMI (Amsterdam and Wenger, 2015; Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, 2018)
Terapi standar untuk pasien SKA yang sesuai dengan kriteria diagnosis NSTEMI
bertujuan untuk memulihkan kondisi iskemia miokard, pencegahan terjadinya infark,
dan mencegah kematian. Terapi utama yang diberikan antara lain, anti angina, anti
platelet, dan anti koagulan.
1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya
tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan,
asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral
cukup memadai dan hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta
direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi
dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. Pemberian penyekat beta
pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA
tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip =III.

Tabel 5.1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
Aktivitas
Penyekat beta Selektivitas Dosis untuk angina
agonis parsial
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari, titrasi sampai


maksimum 2x25 mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Non selektif - 2x20-80 mg/hari

17
b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
 Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina
 Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah
itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra.
 Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas
seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I)
 Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
>30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia
tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
 Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat
untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan
Tabel 5.2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin (trinitrin, TNT, Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg
glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

c. Calcium channel blockers (CCBs).

18
Semua CCB mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Nifedipin dan
amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA
Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri.
. CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan
angina.
 CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang
telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
 CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi
kontra terhadap penyekat beta.
 CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
terapi penyekat beta
 CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastic
 Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
Tabel 5.3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5.10g/hari

2. Antiplatelet
 Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan
 Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih.
 Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan

19
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia
=65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
 Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
 Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan).
 Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
 Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti
dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor.
 Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat.
 Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila
terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
 Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
 Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX2 selektif
dan NSAID non-selektif)
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis
stent.
Tabel 5.4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan
75-100 mg

20
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90
mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75
mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan
(Kelas I-C).Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan
pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-
B).Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A)
atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-
A).

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
 Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet.
 Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
 Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.
 Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus
UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan
penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
 Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia
 Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat
molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.
 Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
 Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan

21
Tabel 5.5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA
Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal
1000 U/jam, target aPTT 11/2-2x control

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


 Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
 Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat
diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR
terendah yang masih efektif.
 Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih.

6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada
penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa
penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
 Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada
indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri =40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).
 Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di
atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan
penelitian yang ada.
 Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang
intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri =40%,
dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.

Tabel 5.6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

22
Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5.20g/hari dalam 1 atau 2 dosis

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan
pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya
dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai
kadar kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70
mg/dL mungkin untuk dicapai.

23
2.6. Prognosis

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA.
Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In
Myocardia/Infarction) dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events),
sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients
Suppress Adverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines)
digunakan untuk menstratifikasirisiko terjadinya perdarahan (Amsterdam and Wenger,
2015; Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Stratifikasi menggunakan skor TIMI bertujuan untuk mengestimasi risiko kematian


pada kasus iskemia miokard. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi
penanganan selanjutnya (konservatif atau invasif) pada NSTEMI. Klasifikasi GRACE
bertujuan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan dirumah sakit dan dalam 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit (Amsterdam and Wenger, 2015; Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Tabel 6.1. Skor dan Stratifikasi Risiko Skor TIMI

Parameter Skor
Skor Risiko
Usia >65 tahun 1
0-1 4,7
Lebih dari 3 faktor risiko 1
(Hipertensi, DM, merokok, 2 8,3
riwayat dalam keluarga,
3 13,2
dislipidemia)
4 19,9
Angiogram koroner sebelumnya 1
menunjukkan stenosis >50% 5 26,2
Penggunaan aspirin dalam 7 hari 1 6-7 40,9
terakhir

Setidaknya 2 episode nyeri saat 1


istirahat dalam 24 jam terakhir

Deviasi ST > 1 mm saat tiba 1

Peningkatan biomarka jantung 1


(CK, troponin)

24
Tabel 6.2. Skor GRACE
.
Prediktor Skor Prediktor Skor
Usia dalam tahun Kreatinin (μmol/L)
<40 0 0-34 2
40-49 18 35-70 6
50-59 36 71-105 8
60-69 55 106-140 11
70-79 73 141-176 14
80-91 91 177-353 23
Laju denyut jantung (kali >354 31
per menit) GagaI jantung berdasarkan
<70 0 klasifikasi Killip
70-89 7 I 0
90-109 13 II 21
1l0-149 23 Ill 43
150-199 36 IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
>200 46
Tekanan darah sistolik Peningkatan biomarka 15
(mmHg) jantung Deviasi segmen ST 30
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0

25
Tabel 6.3. Stratifikasi Risiko Kematian Berdasarkan GRACE

Prediksi Kematian di Rumah Sakit


Skor <108 Risiko rendah (risiko kematian <1%)
Skor 109-140 Risiko kematian menengah (1-3%)
Skor >140 Risiko tinggi(>3%)
Prediksi Kematian 6 bulan setelah keluar dari Rumah Sakit
Skor < 88 Risiko rendah (risiko kematian <3%)
Skor 89-118 Risiko menengah (3-8%)
Skor >118 Risiko tinggi(>8%)

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan


indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan
untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam 30 hari (Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel
yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan
dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens
kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular
sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia
tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan
klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan
perdarahan yang lebih tinggi (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

Tabel 6.4. Skor risiko perdarahan CRUSADE

Prediktor Skor
Hematokrit
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit

26
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per
menit)
0
≤70
1
71-80
3
81-90
6
91-100
8
101-110
10
111-120
11
≥121
Jenis kelamin
Laki-laki 0
Perempuan 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular
sebelumnya
Tidak
0
Ya
6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10

27
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5

Tabel 6.5. Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE

Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan


1-20 Sangat rendah 3,1%
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat tinggi 19,5%

Gambar 10. Risiko Perdarahan Mayor Berdasarkan Skor CRUSADE


(sumber: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018)

28
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. BGBA
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Alamat : Br. Lebah sari Gulingan, Mengwi
Masuk RS : 20 Desember 2019

ANAMNESIS (auto anamnesis)


Keluhan Utama
Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sadar, diantar keluarga ke UGD RSD Mangusada pada tanggal 20
Oktober 2018. Pasien mengeluh mengalami nyeri dada yang dirasakan kurang lebih 1 jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dengan durasi kurang lebih 10 menit. Keluhan nyeri
dada dirasakan pada dada kiri, pada sekitar parasternal kiri, terasa seperti tertindih benda
berat. Pasien menyangkal adanya penjalaran nyeri ke leher, rahang, bahu, punggung, maupun
ke lengan kiri. Nyeri dirasakan saat pasien sedang mandi. Nyeri tidak berkurang dan tidak
hilang dengan beristirahat. Saat mengalami nyeri dada pasien merasa gelisah dan muncul
keringat dingin. Selain itu pasien juga mengeluh mual sebelumnya namun tidak sampai
muntah. Keluhan lain seperti sesak napas dan berdebar tidak ada. Dalam 24 jam terakhir,
pasien sudah mengalami nyeri dada sebanyak 3 kali, dengan karakteristik nyeri yang sama.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, yaitu pada tahun
2005, dan 1 bulan yang lalu (November 2019).
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Melitus tipe 2 (+) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien tidak rutin
control
- Riwayat Stroke (-)
- Riwayat penyakit saluran napas (-)

29
- Riwayat trauma (-)
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
 Orang tua pasien memiliki riwayat DM tipe 2
 Riwayat Hipertensi, penyakit jantung dan stroke di keluarga (-)
Riwayat Pribadi dan Sosial
 Pasien merokok sejak usia muda, dikatakan biasa 2 bungkus sehari, namun dikatakan
sudah berhenti sejak tahun 2005.

 Pasien jarang berolahraga dan suka mengkonsumsi jeroan, makanan berlemak serta
makanan bersantan.
 Alkohol (-)
Riwayat Pengobatan
 ISDN 3 x 5mg
 Clopidogrel 1 x 75mg
 Bisoprolol 1 x 2,5mg
 Simvastatin 1x20mg
 Novorapid 6-6-6 IU
 Lantus 0-0-10 IU
Namun dalam 3 hari terakhir pasien menghentikan terapi insulin sendiri, dan
menggantinya dengan Metformin 2 x 500mg.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Present
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Vital Sign : - Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 96x/menit, regular
- Frekuensi napas : 20x/menit
- Suhu : 36,40 C
- TB :165 cm
- BB : 80 kg
- BMI : 27,7 kg/m2

Status General

30
Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva normal, anemis -/-, ikterik -/-, refleks pupil isokor +/+

THT :

Telinga : normal

Hidung : normal

Tenggorokan : normal

Lidah : normal

Bibir : normal

Leher : JVP 5+0 cm H2O, pemebesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax : Simetris

Cor: Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak

Palpasi: Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)

Perkusi:

a. Batas atas jantung ICS 2 sinistra


b. Batas bawah jantung setinggi ICS 5 sinistra
c. Batas kanan jantung Parasternal Line dekstra
d. Batas kiri jantung Mid Clavicular Line sinistra

Auskultasi: S1 S2 normal, regular, extrasistol (-), murmur (-), S3 gallop (-), opening
snap (-).

Pulmo:

Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

Palpasi: Fokal fremitus normal di seluruh lapang paru

Perkusi: Sonor/Sonor

31
Auskultasi: Ves/Ves Rhonki: - - Wheezing - -

Ves/Ves - - - -

Ves/Ves - - - -

Abdomen:

Inspeksi : Distensi (-), scar (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Hangat + + Edema - -

+ + - -

32
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium Darah Rutin (20/12/19)

Parameter Hasil Interpretasi Unit Nilai Rujukan

WBC 6,78 103/µL 3,80-10,60

Neutrofil% 48,3 L % 50,0-70,0

Neutrofil# 3,3 103/µL 1,5-7,0

Lymph% 43,4 H % 25,0-40,0

Mono% 5,8 % 2,0-8,0

Mono# 0,4 103/µL 0,0-0,7

Eos% 2,5 % 2,0-4,0

RBC 4,56 106/µL 4,40-5,90

HGB 13,5 g/dL 13,2-17,3

HCT 39,0 L % 40,0-52,0

MCV 85,5 fL 80,0-100,0

MCH 29,6 pg 26,0-34,0

MCHC 34,6 g/dL 32,0-36,0

PLT 221 103/µL 150-440

Laboratorium Kimia Klinik (20/12/19)

Parameter Hasil Interpretasi Unit Nilai Rujukan

Gula Darah Acak 404 H mg/dL 70-140

SGOT (AST) 21 U/L 11-33

SGPT (ALT) 14 U/L 11-50

Ureum 28 mg/dL 15-45

Creatinin serum 0,9 mg/dL 0,70-1,20

Na 131 L mmol/L 136-145

33
K 4,2 mmol/L 3,5-5,1

Cl 106 mmol/L 94-110

Pemeriksaan Enzim Jantung (20/12/19) 23.13 WITA

Parameter Hasil Interpretasi Unit Nilai Rujukan


hs-Troponin 51,0 HH ng/L <19
CKMB MASS 1,6 ng/mL <5,1

34
Pemeriksaan Enzim Jantung (21/12/19) 04.56 WITA

Parameter Hasil Interpretasi Unit Nilai Rujukan


hs-Troponin 99,6 HH ng/L <19
CKMB MASS 2,1 ng/mL <5,1

EKG ( 20/12/19 21.35)

Interpretasi:

 Ritme: Sinus rythm


 Heart Rate: 80 x/ menit reguler
 Axis: normoaxis
 Gelombang P: 0,12 detik
 PR interval: 0,16 detik
 QRS durasi: 0,09 detik
 ST segment: ST segmen tidak tampak kelainan
 Gelombang T: pada lead V4-5 tampak inverted T >0,5mm

35
Kesan: Infark Miocard Akut tanpa ST Elevasi

EKG ( 20/12/19 22.39)

Interpretasi:

 Ritme: Sinus rythm


 Heart Rate: 75 x/ menit reguler
 Axis: normoaxis
 Gelombang P: 0,08 detik
 PR interval: 0,17 detik
 QRS durasi: 0,08 detik
 ST segment: ST segmen tidak tampak kelainan
 Gelombang T: pada lead V2-3 tampak inverted T >1mm

Kesan: Infark Miocard Akut tanpa ST Elevasi

36
EKG ( 21/12/19 03.26)

Interpretasi:

 Ritme: Sinus rythm


 Heart Rate: 78 x/ menit reguler
 Axis: normoaxis
 Gelombang P: 0,08 detik
 PR interval: 0,20 detik
 QRS durasi: 0,08 detik
 ST segment: ST Segmen depresi >0,5mm pada lead I, aVL, V5, V6
 Kesan: Infark miocard Akut tanpa ST Elevasi

37
DIAGNOSIS KERJA

- NSTEMI

- DM tipe II

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi:

 Posisikan pasien semi fowler


 Bedrest
 Rawat ruang ICCU
Farmakologis:
 Oksigen 3 Liter/menit nasal kanul
 IVFD NaCl 8 tpm
 Drip ISDN 1mg/jam  Up titrasi 2 mg/jam karena masih nyeri
 Morfin 2,5mg (IV)
 Aspilet 1 x 160 mg
 Clopidogrel 1 x 75 mg
 Simvastatin 1 x 20mg
 Laxadin syrup 3 x C I
 Arixtra 1 x 2,5 mg SC
 Novorapid 6-6-6 IU
 Lantus 0-0-10 IU

38
FOLLOW UP
Penunjang Laboratorium 22 Desember 2019

Parameter Hasil Interpretasi Unit Nilai Rujukan

KIMIA KLINIK

Gula Darah Acak 240 H mg/dL 70-100

Asam Urat 2,5 mg/dL 2,0-7,0

LIPID - CARDIO

Kolesterol Total 120 <200

HDL 34 L mg/dL 35-60

LDL 52 mg/dL <130

Trigliserida 173 H mg/dL <150

22 Desemnber 2019

S Nyeri Dada (-), Sesak (-), Berdebar (-)

O St Present:

GCS E4V4M5

TD: 110/70 mmHg Tax: 36,5C RR: 18x/menit N: 75x/menit

St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

P - IVFD NS 0,9% 8 tpm

39
- Asetosal 1x80 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Laxadin syrup 3xC I
- Diazepam 3x5 mg k/p
- Arixtra 1x2,5 mg SC
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Nitrokaf retard 2x2,5 mg
- ISDN 5 mg SL k/p nyeri dada

23 Desemnber 2019

S Nyeri Dada (-), Sesak (-), Berdebar (-)

O St Present:

GCS E4V4M5

TD: 100/70 mmHg Tax: 36,7C RR: 20x/menit N: 70x/menit

St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

P - IVFD NS 0,9% 8 tpm


- Asetosal 1x80 mg
- Clopidogrel 1x75 mg

40
- Simvastatin 1x20 mg
- Laxadin syrup 3xC I
- Diazepam 3x5 mg k/p
- Arixtra 1x2,5 mg SC
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Nitrokaf retard 2x2,5 mg
- ISDN 5 mg SL k/p nyeri dada
- Planning Coronary Angiography
(26/12/2019)
- Screening Laboratorium pada 24/12/2019 :
HbsAg, Inr, APTT, PT, BUN SC, Na, K, Cl

24 Desemnber 2019

S Nyeri Dada (-), Sesak (-), Berdebar (-)

O St Present:

GCS E4V4M5

TD: 110/80 mmHg Tax: 36,5C RR: 18x/menit N: 85x/menit

St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

P - IVFD NS 0,9% 8 tpm


- Asetosal 1x80 mg

41
- Clopidogrel 1x75 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Laxadin syrup 3xC I
- Diazepam 3x5 mg k/p
- Arixtra 1x2,5 mg SC
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Nitrokaf retard 2x2,5 mg
- ISDN 5 mg SL k/p nyeri dada

Pemeriksaan Laboratorium 24 Desember 2019

Nilai
Parameter Hasil Interpretasi Unit
Rujukan

WBC 8,33 103/µL 3,80-10,60

Neutrofil% 59,3 % 50,0-70,0

Neutrofil# 4,9 103/µL 1,5-7,0

Lymph% 32,7 % 25,0-40,0

Mono% 5,6 % 2,0-8,0

Mono# 0,5 103/µL 0,0-0,7

Eos% 2,4 % 2,0-4,0

RBC 5,04 106/µL 4,40-5,90

HGB 15,0 g/dL 13,2-17,3

HCT 44,0 % 40,0-52,0

MCV 87,3 fL 80,0-100,0

MCH 29,8 pg 26,0-34,0

MCHC 34,1 g/dL 32,0-36,0

PLT 235 103/µL 150-440

42
43
Nilai
Parameter Hasil Interpretasi Unit
Rujukan

Gula Darah Acak 193 H mg/dL 70-140

FAAL GINJAL

Ureum 23 mg/dL 15-45

Serum Creatinin 0,9 mg/dL 0,70-1,20

ELEKTROLIT

Na 134 H mmol/L 136-145

K 4,0 mmol/L 3,5-5,1

Cl 110 mmol/L 94-110

FAAL KOAGULASI

PT 10,7 L mmol/L 136-145

INR 0,94 mmol/L 3,5-5,1

APTT 25,5 mmol/L 94-110

IMUNO-SEROLOGY

HbSAg Positive * Negative

<1: non
Anti HCV Total 0,48
reactive

Method ELFA 0,48 COI >=1: reactive

25 Desember 2019

S Nyeri Dada (-), Sesak (-), Berdebar (-)

O St Present:

GCS E4V4M5

TD: 110/80 mmHg Tax: 36 C RR: 20x/menit N: 69x/menit

44
St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

HbSAg (+)

P - Pro PCI 26/12/2019


- IVFD NS 0,9% 70 cc/jam dengan
infused pump
- Pasang IV line pada tangan kiri
- Pasang kondom kateter atau
pampers
- Puasa 4-6 jam sebelum PCI
- EKG pagi sebelum tindakan
(26/12/2019)
- Konsul TS Interna di ruangan
- Asetosal 1x80 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Nitrokaf retard 2x2,5 mg
- ISDN 5 mg SL k/p chest pain

26 Desember 2019

S Pro Standby PCI

O St Present:

45
GCS E4V4M5

TD: 110/80 mmHg Tax: 36,4 C RR: 20x/menit N: 80x/menit

St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

HbSAg (+)

P - Coronary Angiography
- Standby PCI
- Asetosal 1 x 80mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 2,5 mg
- Captopril 3 x 6,25 mg
- Nitrocaf retard 2 x 2,5 mg
- ISDN k/p
- IVFD NaCl 0,5% 70cc/ jam
(syringe pump)
- Novorapid 3 x 8 IU
- Lantus 0-0-10 IU

Hasil Coronary Angiography:

● LM : Normal

● LAD : Subtotal occlusion at proximal to mid

● LCx : Stenosis 90-95% at distal after D2

46
● RCA : Subtotal occlusion at proximal

 Conclusion: Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease –


Succesful PCI 1 DES (Drug Eluting stent) at LAD

Suggestion: Elective PCI at LCX, Continue DAPT (Asetosal 1x80mg,


Clopidogrel 1x75mg)

27 Desember 2019

S Nyeri Dada (-), Sesak (-), Berdebar (-), Perdarahan (-)

O St Present:

GCS E4V4M5

TD: 110/80 mmHg Tax: 36 C RR: 20x/menit N : 69x/menit

St Generalis:

Thorax: cor : S1 S2 reguler, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+ Rhonki -/- wheezing -/-

A NSTEMI

DM Tipe 2

Dislipidemia

HbSAg (+)

P - Asetosal 1x80 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Nitrokaf retard 2x2,5 mg
- Novorapid 3 x 8 IU

47
- Lantus 0-0-10 IU
- Poliklinis (BPL)
- Kontrol Poli Jantung dan Interna

48
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus, didapatkan identitas pasien berjenis kelamin laki-laki, berumur 54
tahun, datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan kurang lebih 1 jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dengan durasi kurang lebih 10 menit. Krakteristik nyeri
berupa terasa seperti tertindih benda berat, namun menyangkal adanya penjalaran nyeri ke
leher, rahang, bahu, punggung, maupun ke lengan kiri. Nyeri muncul saat pasien berkativitas
yaitu sedang mandi, namun tidak berkurang dan tidak hilang dengan beristirahat. Saat
mengalami nyeri dada pasien merasa gelisah dan muncul keringat dingin. Selain itu, pasien
juga mengeluh mual namun tidak sampai muntah. Keluhan lain seperti sesak napas dan
berdebar dikatakan tidak ada. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, dan bulan Novembner 2019. Faktor risiko yang ada
pasien yaitu riwayat merokok dan DM tipe 2 yang tidak terkontrol dengan baik.
Pada pasien-pasien dengan keluhan utama nyeri dada, harus dipikirkan terlebih dahulu
apakah nyeri dada tersebut merupakan nyeri dada kardiak atau non-kardiak. Adapun keluhan
nyeri dada non-kardiak adalah dengan gambaran seperti nyeri pleuritik, nyeri abdomen
tengah atau bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari (terutama pada daerah
apeks atau pertemuan kostokondral), nyeri dada akibat gerakan tubuh atau palpasi, nyeri
dengan durasi beberapa detik, nyeri dada yang menjalar ke ekstrimitas bawah.
Berdasarkan literatur, data anamnesis pasien secara umum dapat dicurigai mengarah ke
Sindrom Koroner Akut (SKA), oleh karena pasien mengalami keluhan manifestasi dari
iskemia miokard, yaitu berupa angina atipikal, namun berhubungan dengan aktivitas,
sehingga dapat dicurigai sebagai angina ekuivalen. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat
sosial berperan penting untuk mengetahui faktor risiko SKA yang dimiliki pasien. Adanya
riwayat merokok sejak usia muda, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dengan baik, serta
rendahnya tingkat aktivitas fisik pasien mengarahkan adanya kemungkinan terbentuknya
aterosklerosis pada arteri kroner yang menimbulkan keluhan nyeri dada. Faktor-faktor risiko
yang dimilki oleh pasien memperbesar kecurigaan keluhan nyeri dada disebabkan oleh SKA.
Terkait anamnesis, pada pasien tersebut selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diutamakan sesuai dengan kondisi klinis pasien. Pemeriksaan
fisik pada pasien ini tidak ditemukan adanya kelainan, hal ini sesuai dengan literatur dimana
pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai SKA seringnya ditemukan dalam batas normal.

49
Namun tetap, pada kecurigaan SKA dengan risiko tinggi (diabetes melitus, PAD) harus
dilakukan pemeriksaan fisik dengan teiliti, untuk mencari tanda aterosklerosis pada lokasi
lain seperti aneurisma aorta abdominalis, bruit arteri carotid, dan penuruan denyut arteri
ekstrimitas bawah. Pada pasien dengan nyeri dada yang diperberat dengan palpasi/sentuhan,
tenderness pada deinding dada, lokalisasi nyeri yang dapat ditunjuk dengan satu jari
menunjukkan kemungkinan kecil nyeri dada tersebut diakibatkan karena iskemi miokard.
Auskultasi dapat ditemukan adanya bruit arteri, suara jantung 3 atau 4 (S3 atau S4), dan bisa
juga ditemukan murmur (jika ada riwayat infark sebelumnya yang mempengaruhi fungsi otot
papiler).
Dari hasil pemeriksaan penunjang di IGD berupa EKG, dilakukan EKG serial
dikarenakan pada EKG pertama tidak ditemukannya gambaran EKG diagnostik. Pada EKG
ke dua yaitu 1 jam setelah EKG pertama, tidak ditemukan adanya abnormalitas pada segmen
ST semua lead, namun ada gambaran inversi gelombang T pada lead V2-V3 dengan
amplitudo T >0,1mV. Berdasarkan (Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018),
gambaran iskemia akut yang spesifik adalah inversi gelombang T yang simetris sebesar ≥ 0.2
mV. Dari anamnesis dan pemeriksaan EKG mendiagnosis pasien ini Unstable angina pectoris
(UAP) dengan diagnosis banding NSTEMI dikarenakan enzim jantung belum dilakukan.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) (Amsterdam and Wenger, 2015), perbedaan UAP dan infark tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) adalah dari pemeriksaan enzim jantung. Pasien dikatakan UAP bila
pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB,
dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST
ataupun elevasi yang sebentar atau adanya inversi gelombang T, dan dikatakan NSTEMI jika
pasien mempunyai keluhan iskemia dan ada peningkatan enzim jantung bermakna.
Berdasarkan buku Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2018, pemeriksaan troponin
I atau T baiknya dilakukan pada saat pasien datang dan diulang 3-6 jam berikutnya pada
semua pasien dengan gejala yang konsisten pada diagnosis SKA untuk melihat pola
peningkatan atau penurunan. Pemilihan rentang waktu ini sebab troponin mulai mengalami
peningkatan pada aliran darah pada 2-4 jam sejak awitan awal gejala. Kemungkinan besar
pasien mengalami NSTEMI jika kadar hs-cTn meningkat sedang atau menunjukkan suatu
peningkatan yang jelas dalam 1 jam pertama.
Dari Pemeriksaan enzim jantung pertama, didapatkan hs-Troponin sebesar 51,0 ng/l,
dan pemeriksaan enzim jantung kedua, 3 jam setelah pemeriksaan pertama, didapatkan hs-
Troponin sebesar 99,6,0 ng/l. Dari kedua pemeriksaan tersebut, terdapat kecenderungan

50
peningkatan kadar troponin yang mengindikasikan bahwa terjadi kerusakan pada otot jantung
dan masih sedang berlangsung. Rekomendasi dari Study Group on Biomarkers in Cardiology
of the European Society of Cardiology Working Group on Acute Cardiac Care menyebutkan,
jika hasil pemeriksaan hs-cTn kedua meningkat dari pemeriksaan hs-cTn pertama dan
peningkatan tersebut sebesar 20% dari nilai hasil hs-cTn pertama maka pasien didiagnosis
dengan NSTEMI (Jaffe and Ordonez-Llanos, 2013).
Penatalaksanaan pada pasien sudah sesuai dengan anjuran terapi pada pasien IMA
tanpa ST elevasi, kemudian dilakukan pemberian oksigen, anti angina : drip ISDN dan
morfin, dual antiplatelet : clopidogrel dan aspilet, ACE Inhibitor : Captopril, golongan ACE
Inhibitor untuk mengurangi remodeling, pemberian beta blocker: bisoprlol, pemberian statin:
simvastatin, serta pemberian antikoagulan: Arixtra (Fondaparinux).

Dual antiplatelet diberikan pada pasien SKA selama 12 bulan kecuali ada indikasi
kontra seperti risiko perdarahan berlebih. Nitrat bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri
dada pada pasien. Nitrat memiliki efek: (1)dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya
preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang, dan (2)dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang
mengalami aterosklerosis.
Pemilihan terapi antikoagulan dilakukan dengan memperhitungkan resiko perdarahan
melalui CRUSADE bleeding risk score. Skor CRUSADE pasien ini adalah 26, yang
termasuk dalam kategori resiko rendah. Pasien mendapatkan terapi antikoagulan golongan
fondaparinuks yang mana secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik. Fondaparinuks merupakan penghambat selektif faktor X dengan waktu
paruh 17 jam sehingga dapat diberikan satu kali sehari, namun dikontraindikasikan pada
pasien dengan clearance creatinine (CrCl) <30ml per menit.
Pemberian ACE-inhibitor berguna utnuk mengurangi remodeling jantung dan
menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung klinis. Beta blocker bertujuan
untuk menurunkan turunnya konsumsi oksigen miokardium namun hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkial, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Obat-obatan CCB dapat diberikan jika terapi beta
blocker tidak berhasil atau terdapat kontraindikasi pemberian beta blocker. Terapi statin
bermanfaat untuk mengurangi tingkat rekurensi infark, mortalitas penyakit jantung, dan
stroke. (Amsterdam and Wenger, 2015; Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, 2018).

51
52
Tabel 5.1 Perhitungan Skor CRUSADE pasien

Prediktor Skor
Hematokrit
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9  39 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120  106 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100  96 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Laki-laki 0
Perempuan 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vascular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120  110 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5
Total 26

Pasien memiliki riwayat DM Tipe 2, oleh karena itu dikonsulkan ke bagian Penyakit
Dalam untuk regulasi gula darah dengan memberikan Novorapid 6-6-6 IU dan Lantus 0-0-10
IU. Kadar gula darah acak saat pasien datang sebesar 401mg/dL. Kadar gula darah yang

53
tinggi saat datang dapat memberikan prognosis yang buruk pada pasein dengan NSTEMI.
Selain itu, jika dibandingkan dengan kejadian SKA pada pasien non diabetes, pasien diabetes
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi (Donahoe et al., 2007). Sehingga perlu strategi
manajemen gula darah pasien agar tetp dalam batas normal yang aman, tidak mencapai kadar
hiperglikemia (>180-00 mg/dL) atau hipoglikemia (<90mg/dL) (Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut, 2018).
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh AHA untuk penanganan pasien
NSTEMI, pada pasien dengan NSTEMI dapat dilakukan pemilihan 2 tindakan, invasive
startegy dan ischemia-guided strategy (strategi non invasif). Kedua strategi manajemen ini
dipilih berdasarkan perhitungan stratifikasi risiko pasien NSTEMI, mulai dari risiko sangat
tinggi hingga risiko rendah. Pasien dengan profil risiko sangat tinggi hingaa tinggi dapat
dipersiapkan untuk mendapatkan strategi invasif, sedangkan pasien dengan profil risiko
rendah mendapatkan manajemen non invasif. Sebelum pemilihan strategi manajemen, pada
kedua kelompok ini wajib mendapatkan terapi anti iskemik dan anti trombotik yang optimal.
Strategi invasif yang dimaksud dalam panduan ini adalah tindakan angiografi
koroner yang bertujuan untuk dapat segera mengevaluasi kondisi pembuluh darah koroner
pasien, yang bila diperlukan dapat dilakukan tindakan revaskularisasi. Sedangkan strategi non
invasif dapat dipilihkan pada pasien stabil dengan profil risiko rendah yang bertujuan untuk
mendeteksi dan mengevaluasi iskemia yang terjadi tanpa memerlukan tindakan invasif yang
berisiko dan memerlukan biaya besar.

Gambar 11. Pemberian Terapi antiplatelet dan antikoagulan pada strategi invasif dan non invasif pada
NSTEMI
(sumber: (Amsterdam and Wenger, 2015)

Gambar 12. Pemberian Terapi antiplatelet dan antikoagulan pada strategi invasif NSTEMI
(sumber: (Amsterdam and Wenger, 2015)

54
Berdasarkan stratifikasi risiko menggunakan skor GRACE dan TIMI. Parameter
TIMI yang dipenuhi pasien adalah adanya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir
dan peningkatan biomarka jantung dengan risiko mortalitas sebesar 8,3%. Sedangkan Skor
GRACE pasien sebesar 112 dengan risiko kematian menengah (1-3%). Dari skor TIMI dan
GRACE serta adanya riwayat DM tipe 2 pada pasien, maka pasien berada pada risiko
menengah/intermediet. Pada kelompok risiko intermediet dapat dilakukan delayed invasive
strategy (angiografi koroner) setelah >24 jam (dalam 25-72 jam) dari onset. Pemilihan
strategi invasif pada pasien ini juga karena dapat dengan mengurangi peluang terjadinya
infark miokard berulang pada pasien DM tipe 2 (Amsterdam and Wenger, 2015).
Pada pasien dilakukan follow-up atau pemantauan kondisi di ruangan dan
perencanaan Coronary Angiography dan standby PCI pada tanggal 26 Desember 2019. Dari
hasil skrining laboratorium, ditemukan
Gambar 13. PemilihanHbSAg
strategi positif, oleh karena
invasif untuk itu dikonsulkan ke bagian
terapi NSTEMI
(sumber: (Amsterdam and Wenger, 2015)
Penyakit Dalam untuk tatalaksana lebih lanjut.

Adapun Hasil Coronary Angiography pada tanggal 26 Desember 2019 yaitu:


● LM : Normal
● LAD : Subtotal oklusi pada proksimal hingga pertengahan
● LCx : Stenosis 90-95% pada bagian distal setelah D2 (diagonal branches 2)
● RCA : Subtotal oklusi pada bagian proksimal
 Kesimpulan: Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease – Sukses tindakan PCI 1
DES (Drug Eluting stent) pada LAD

55
Anjuran: Elektif PCI pada LCX, lanjutkan terapi DAPT (Asetosal 1x80mg, Clopidogrel
1x75mg).

Gambaran Angiografi Koroner Sebelum PCI Gambaran Angiografi Koroner Setelah PCI

Pasien dirawat selama 7 hari di RSDM dan poliklinis dari bagian Kardiologi dan
Penyakit dalam dengan pemberian obat pulang Asetosal 1x80 mg, Clopidogrel 1x75 mg,
Simvastatin 1x20 mg, Bisoprolol 1x2,5 mg, Captopril 3x6,25 mg, Nitrokaf retard 2x2,5 mg,
Novorapid 3 x 8 IU, Lantus 0-0-10 IU.

56
BAB V
KESIMPULAN
Peyakit jantung koroner, yang dalam bahasa medis disebut sindrom koroner akut
(SKA), merupakan suatu kondisi ketika otot jantung mengalami kekurangan oksigen akibat
sumbatan pembuluh darah koroner yang mengakibatkan kelemahan hingga kematian otot
jantung yang dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi.
Salah satu faktor risiko terjadinya SKA adalah terjadinya plak ateroskleroris pada
pembuluh darah koroner yang menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah koroner
sehingga menghambat perfusi ke miokard. Kurangnya perfusi mioakrd ini akan berdampak
pada terbentuknya nekrosis dan jaringan parut miokard yang dapat dirasakan sebagai episode
angina pectoris.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi angina pektoris tidak
stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST atau Non ST segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi segmen ST atau ST segment
Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Terapi utama yang diberikan pada pasien dengn
diagnosis SKA bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner jantung secepat
mungkin untuk memaksimalkan fungsi otot jantung. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian
obat-obatan anti platelet, antikoagulan, tromoblitik, hingga tindakan intervensi perkutan.
Pada kasus ini, didapatkan identitas pasien berusia 54 tahun, jenis kelamin laki-laki,
datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan kurang lebih 1 jam, durasi
kurang lebih 10 menit, dengan nyeri terasa seperti tertindih benda berat. Kemudian dilakuka
pemeriksaan EKG serial dengan munculnya gambaran inversi gelombang T serta peningkatan
kadar hs-cTn pada pemeriksaan biomarka jantung. Dari seluruh pemeriksaan, pasien
didagnosis dengan NSTEMI dengan skor TIMI 2, GRACE 112, dan CRUSADE 6.
Kemudian pasien direncankan tindakan delayed invasive strategy dengan tambahan standby
PCI dengan hasil ditemukan multiple vessel stenosis serta pemasangan DES.

57
DAFTAR PUSTAKA
Amsterdam, E. and Wenger, N. (2015). The 2014 American College of Cardiology
ACC/American Heart Association Guideline for the Management of Patients With
Non-ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. Clinical Cardiology, 38(2).

Burns, D. (2019). Myocardial Ischaemia • LITFL • ECG Library Diagnosis. [online] Life in


the Fast Lane • LITFL • Medical Blog. Available at: https://litfl.com/myocardial-
ischaemia-ecg-library/) [Accessed 31 Jan. 2020].

Donahoe, S., Stewart, G., McCabe, C., Mohanavelu, S., Murphy, S., Cannon, C. and Antman,
E. (2007). Diabetes and Mortality Following Acute Coronary Syndromes. JAMA,
298(7), p.765.

Go, A., Mozaffarian, D. and Roger, V. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics-2013
Update: A Report from The American Heart Association. Circulation, 127(6), p.245.

Jaffe, A. and Ordonez-Llanos, J. (2013). High-sensitivity Cardiac Troponin: From Theory to


Clinical Practice. Revista Española de Cardiología (English Edition), 66(9), pp.687-
691.

Loscalzo, J. and Harrison, T. (2013). Harrison's Cardiovascular Medicine 2/E. Blacklick:


McGraw-Hill Publishing.

Mancini, M. (2015). Heart Anatomy: Overview, Cardiac Chambers, Great Vessels and Septi.
[online] Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/905502-overview [Accessed 31 Jan. 2020].

Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. (2018). 4th ed. Jakarta.

Peterson, E., Roe, M., Mulgund, J., DeLong, E., Lytle, B., Brindis, R., Smith, S., Pollack, C.,
Newby, L., Harrington, R., Gibler, W. and Ohman, E. (2006). Association Between
Hospital Process Performance and Outcomes Among Patients with Acute Coronary
Syndromes. JAMA, 295(16), p.1912.

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Jakarta.

58

Anda mungkin juga menyukai