TETANUS
Pembimbing
dr. Hj. Rini Sulviani, Sp.A, M.Kes
Penyusun
Elsa Monica Adriani
202106010030
KATA PENGANTAR 2
BAB I 3
PENDAHULUAN
BAB II 4
2.1 Definisi 4
2.2 Etiologi 4
2.3 Patogenesis 4
2.5 Diagnosis 10
2.6 Tatalaksana 12
2.7 Prognosis 16
DAFTAR PUSTAKA 17
1
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena referat ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat dengan judul “Tetanus” ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan pembelajaran dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Atma Jaya
dan RSUD R. Syamsudin SH Sukabumi pada periode 03 Juli 2023- 09 September 2023
Penulis menyadari referat ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, terutama kepada dr.
Hj. Rini Sulviani, Sp.A, M.Kes, selaku pembimbing dan penguji, seluruh dosen baik di
Rumah Sakit Atma Jaya dan RSUD R. Syamsudin SH Sukabumi, serta teman-teman yang
telah mendukung terlaksananya penulisan referat ini.
Penulis ingin menyampaikan bahwa referat ini masih banyak kekurangan, sehingga
peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membuat referat ini menjadi lebih
baik. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat memberikan banyak manfaat bagi berbagai
pihak dan penulis ini mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Tetanus atau lockjaw adalah penyakit akut yang menyerang sistem saraf pusat
yang ditandai dengan kontraksi otot berkepanjangan. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan
otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh
Clostridium tetani. Infeksi seringkali timbul melalui luka yang terkontaminasi bakteri dan
infeksi lain seperti otitis media. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi,
orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia.
Diperkirakan angka kejadian per tahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas
yang berkisar dari 6% hingga 60%. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang
dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi,
tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey
menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data
dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam
diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per
tahun.1 Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2009-2018 melaporkan terdapat rerata 29
kasus yang dilaporkan setiap tahunnya, dengan total akumulasi 297 kasus dalam 10 tahun
dengan 19 laporan kematian , rerata usia penderita yakni 55 tahun. Pada tahun 2018, 23
kasus tetanus dilaporkan tanpa ada laporan kematian. 1,14
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) selama tiga periode menunjukkan bahwa
secara nasional cakupan imunisasi dasar lengkap mengalami peningkatan yaitu tahun 2010
sebesar 53,8%, tahun 2013 sebesar 59,2% dan tahun 2018 sebesar 57,9%. 2 Angka cakupan
imunisasi DPT tahun 2013 sebesar 75,6% dan mengalami penurunan menjadi 61,3% pada
tahun 2018.3 Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah
diterapkan secara luas di seluruh dunia. Data Riskesdas tahun 2020 melaporkan terdapat
0,3% kasus kematian neonatus akibat tetanus neonatorum. Oleh karena itu, diperlukan
kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan
angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.1,15
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani dengan tanda utama spasme tanpa gangguan kesadaran. 4 Gejala ini
bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin)
yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang,
sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.1
2.2. Etiologi
Tidak seperti spesies Clostridium lainnya, C. tetani bukan merupakan organisme
tissue-invasive tetapi menyebabkan gejala klinis melalui toksin yaitu tetanospasmin (tetanus
toxin). Dosis letal untuk tetanospasmin ini diperkiraan 10−5 mg/kgBB.5 Kuman ini memiliki
sifat yaitu1,5 :
● Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti
drumstick atau tennis racket dalam mikroskop.
● Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela
● Menghasilkan eksotoksin yang kuat
● Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan
dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten
terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat
bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif
resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.6
4
Gambar 1. Clostridium Tetani1
2.3. Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin dari Clostridium tetani. Bakteri ini bersifat
obligat anaerob dan mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrem dalam periode
lama karena sporanya sangat kuat. Port d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun diduga melalui7 :
Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
Otitis media, tindik telinga, karies gigi, luka kronis maupun bakteri yang masuk
melalui ulkus, abses, gangrene, luka bakar .
Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan ujung tali pusat dengan
bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus
tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam
tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),
sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang
dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate
di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem
saraf simpatis.7
5
Gambar 2. Patogenesis Tetanus8
Hipotesis bahwa pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan
aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke
susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah.
Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.7 Toksin lalu
keluar dari saraf motorik dan memasuki bagian celah presinaptik neuromuscular junction,
dimana toksin ini akan menghambat pelepasan dari neurotransmiter inhibitor yaitu glisin
dan GABA. Tetanus toksin menghambat kerja neurotransmiter inhibitor pada otot dimana
asetilkolin akan terus dihasilkan maka akan terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme.5
Terdapat beberapa dampak dari toksin, antara lain:
Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan
gejala keringat yang berlebihan, hipertermia
6
Gambar 3. Rute Tetanus Toksin5
7
75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran
klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Spasme dapat terjadi berulang
kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
8
Gambar 6. Generalized Tetanus (Risus Sardonicus)10
9
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali
pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk
tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-
10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan
spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
2.5. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan.
2.5.1. Anamnesis
● Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah
atau gigitan binatang?
● Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
● Apakah pernah menderita gigi berlubang?
● Jika pada pasien neonatus ditanyakan kepada Ibu atau pendamping persalinan mengenai
riwayat persalinan apakah di Rumah Sakit atau di tempat lain, ditanyakan mengenai
pemotongan dan perawatan tali pusat
● Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?
● Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)
dengan spasme yang pertama (period of onset)7
11
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
● Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu
seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menyusui. Secara klinis untuk menilai
kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
● Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik wajah sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
kebawah.
● Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
● Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
● Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi
setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar
yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsi.
● Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak
bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku
serta terdapat spasme intermiten.
● Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme
yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan
sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula
menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot
sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau
spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.7
● Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi
kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks
muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang
tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang
terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).7,12
12
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
● Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus terduga tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan
kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil
biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus
C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak
mengalami tetanus.
● Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
● Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
● Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi
dan bukan tetanus.
● Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
● EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.5,7
13
2.6. Tatalaksana
Ada tiga sasaran penatalaksanaann tetanus, yakni :
1. Membuang sumber tetanospasmin
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat sekaligus meminimalisir efek toksin
3. Perawatan penunjang ( suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis di metabolisme
● Netralisasi toksin
14
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler
dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat
berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary
adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis
tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler
masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5 Setelah penderita sembuh, sebelum keluar
rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid. 1,4,15
● Meminimalisir efek toksin (antikonvulsan)
○ Diazepam 0,1-0,3 mg/kg/kali IV tiap 2-4 jam. Dalam keadaan berat: diazepam
drip 20 mg/kg/hari, di ICU
○ Prinsip penurunan dosis diazepam : 5-10 mg/hari bila kondisi pasien membaik
(kejang dan spastisitas berkurang)4
● Perawatan luka atau port d’entree
○ Dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsan
○ Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang, bila perlu
konsul ke departemen terkait, seperti THT, Gigi-Mulut dan Bedah.
○ Luka ringan dan bersih: jika imunisasi lengkap tidak perlu ATS atau tetanus
imunoglobulin. Jika imunisasi tidak lengkap berikan imunisasi aktif DPT/DT
○ Luka sedang/berat dan kotor: belum dilakukan imunisasi atau riwayat tidak
jelas: ATS 3000-5000 U IV, tetanus imunoglobulin 250-500 U.
○ Imunisasi (+), lamanya sudah >5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,
IV, tetanus imunoglobulin 250-500 U.4
● Terapi suportif
15
○ Bebaskan jalan napas
○ Pertimbangkan isolasi pada tetanus umum
○ Hindarkan aspirasi dengan mengisap lendir perlahan-lahan dan
memindah-mindahkan posisi pasien
○ Pemberian oksigen
○ Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila trismus berat dapat dipasang NGT
○ Bantuan napas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
○ Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit4
○ Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromida 0,02 mg/kg IV,
diikuti 0,05 mg/kg/kali, diberikan tiap 2-3 jam.
○ Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan, berikan beta blocker seperti
propranolol / beta blocker labetalol.4
17
2.6.4. Pencegahan
● Imunisasi aktif
○ Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan (usia 2, 3, dan 4
bulan) dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan, 5-7 tahun
dan 10-18 tahun.
○ Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah
dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS).7
● Pemberian ATS dan HTIG Profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga
dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM
dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 7
Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus :
18
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut
ini11:
19
DAFTAR PUSTAKA
14. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020 [Internet]. Scribd; [cited 2023 Jul 21]. Available
from:https://id.scribd.com/document/526663412/Profil-Kesehatan-Indonesia-Tahun-2020
15. LAKSMI, Ni Komang Saraswita. Penatalaksanaan tetanus. Cermin Dunia Kedokteran, 2014,
41.11: 283-287
20