Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

TETANUS: A POTENTIAL PUBLIC HEALTH THREAT IN TIMES OF


DISASTER

Disusun oleh :

Kelompok JR 3

1. Nurul Aulia 016.06.0027


2. Atiya Fasya 018.06.0009
3. Ayu Baitul Muhsinin 018.06.0052
4. Dewa Ayu Kade Veren Pramesti 018.06.0080

Tutor : dr. Hardinata, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya penyusun dapat melaksanakan dan menyusun makalah yang berjudul
“TETANUS: A POTENTIAL PUBLIC HEALTH THREAT IN TIMES OF
DISASTER” tepat pada waktunya.

Makalah ini penulis susun untuk memenuhi prasyarat sebagai syarat nilai Journal
Reading. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

 dr. Hardinata, S.Ked selaku tutor Journal Reading kelompok penulis.

 Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan


terkait makalah yang penulis buat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 12 oktober 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................1

DAFTAR ISI..........................................................................................................................2

ABSTRAK...........................................................................................................................13

BAB I....................................................................................................................................14

PENDAHULUAN................................................................................................................14

BAB II..................................................................................................................................16

PEMBAHASAN...................................................................................................................16

BAB III.................................................................................................................................29

PENUTUP.............................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................30

2
3
4
5
6
ABSTRAK

Latar belakang: Tetanus merupakan kondisi yang sangat fatal dan jarang terdapat
di lingkungan perkotaan tetapi biasa terjadi di negara berkembang dan pasca
bencana alam. Jadi,tujuan dari laporan ini adalah untuk meninjau epidemiologi,
patogenesis, dan manajemen tetanus pada pasien trauma. Metode: Dilakukan
sebuah tinjauan literatur menyeluruh untuk mencari pedoman terbaru tentang
profilaksis dan pengobatan tetanus. Mencari artikel dalam bahasa Inggris dengan
PUBMED (National Center for Biotechnology Information, National Institutes of
Health; Bethesda, Maryland USA), MEDLINE (US National Library of Medicine,
National Institutes of Health; Bethesda, Maryland USA), dan Cochrane Library
(The Cochrane Collaboration; Oxford, United Kingdom) yang diterbitkan dari tahun
2005 hingga 2015, menggunakan kata kunci “Tetanus,” “Trauma/Bedah,” dan
“Bencana. ”Controlled trials, randomized controlled trials,uji coba pasien dewasa,
pedoman yang diterbitkan, pendapat ahli, dan artikel ulasan dipilih dan diekstraksi
Hasil: Jadwal vaksinasi saat ini di negara maju memberikan pencegahan penyakit
untuk tetanus. Namun, ketika bencana alam yang parah terjadi banyak pasien
mungkin tidak dapat memberikan riwayat vaksinasi yang dapat dibuktikan. Dalam
situasi ini, tetanus imun globulin (TIG) diindikasikan jika sumber daya tidak
terbatas, baik toksoid tetanus dan TIG harus diberikan kepada mereka yang luka
berisiko tinggi. Jika sumber daya terbatas, TIG harus disediakan untuk mereka yang
tidak memiliki antibodi pelindung. Kesimpulan: Meskipun tetanus adalah penyakit
insiden rendah di negara maju karena tingkat imunisasi yang tinggi, selama
terjadinya bencana alam skala besar, faktor-faktor yang memperparah seperti jenis
cedera, kurangnya layanan medis, dan keterlambatan dalam pengobatan yang terkait
dengan tingkat imunisasi yang rendah akan menghasilkan peningkatan insiden dan
wabah penyakit yang memiliki angka kematian lebih tinggi di masyarakat
(Finkelstein et al., 2017).

7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Membaca jurnal merupakan teknik pembaca dalam menilai secara rasional karya
peneliti jurnal tersebut. Pembaca mengandalkan teknik analisa yang tepat. Pada blok
emergency, mahasiswa kedokteran diwajibkan mampu mengkritisi jurnal yang sesuai
dengan topik pembahasan. Pada blok ini topik yang terpilih untuk kelompok 3 adalah “
Tetanus”.

Tetanus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Clostridium


Tetani yang menyebabkan kejang otot dan diikuti oleh kekakuan seluruh badan
(Muttaqin, 2008). Toksin tetanus (Tetanospasmin) masuk dan menyebar ke sistem
saraf pusat menghambat pelepasan asetikolin, kondisi ini memicu spasme otot
sehingga terjadi resiko cedera (Nurarif & Kusuma, 2015). Pasien beresiko mengalami
bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang tidak dalam sepenuhnya
sehat atau dalam kondisi baik (SDKI, 2016). Jika masalah resiko cedera tidak segera
ditangani akan menyebabkan penyakit yang serius dan mengancam jiwa. Penyakit
tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di
negara berkembang dengan angka kejadian 1.000.000 pasien setiap tahunnya di dunia.
Di Indonesia, insiden penyakit tetanus menurut WHO (2020) sebayak 391 kasus dan
17 diantaranya menderita tetanus neonatal data terakhir diperbarui 15 Juli 2020.
Berdasarkan data dari Kemenkes RI di provinsi Jawa Timur jumlah kasus tetanus dan
faktor risiko yakni berjumlah 0 kasus (Profil Kesehatan Indinesia, 2017).

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman C. Tetani yang .


menyebabkan kejang otot dan diikuti oleh kekakuan seluruh tubuh . Kuman masuk
melalui luka (luka tusuk, jaringan nekrotik, luka yang terinfeksi) sebagai Port
d’entreee yang lebih beresiko menimbulkan tetanus. Pada luka tersebut tercipta

8
kondisi anaerob yang kemudian menjadi lingkungan optimal bagi proses germinasi
(spora dengan bentuk vegetatif) dan memproduksi tetanospasmin dan tetanolisin.
Toksin tetanus (Tetanospasmin) kemudian masuk dan menyebar ke sistem saraf
pusat menghambat pelepasan asetikolin, kondisi ini memicu spasme otot sehingga
terjadi resiko cedera. Apabila resiko cedera dibiarkan tanpa penanganan bisa
menyebabkan penyakit yang serius dan mengancam jiwa (Nurarif & Kusuma,
2015).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi kejang pada pasien
tetanus yaitu dengan memberikan kenyamanan lingkungan kepada pasien seperti
mengurangi pencahayaan, membatasi pengunjung, memasang side-rail di tempat
tidur dan menjauhkan dari benda-benda yang berbahaya. Selain itu bisa memberikan
edukasi kepada keluarga pasien untuk menghindari untuk memasukkan apapun ke
dalam mlut pasien saat periode kejang serta tidak menggunakan kekerasan untuk
menahan pergerakan pasien (SIKI, 2018).

1.2 Identitas Jurnal

TETANUS: A POTENTIAL PUBLIC HEALTH THREAT IN TIMES OF DISASTER


(dalam Bahasa Indonesia “Tetanus: Potensi Ancaman Kesehatan masyarakat pada saat
bencana”) merupakan jurnal penelitian yang ditulis oleh Paige Finkelstein, BS; Laura
Teisch, MD; Casey J. Allen MD; Gabriel Ruiz, MD dan dipublikasikan pada 26
februari 2017(Finkelstein et al., 2017)

9
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pembahasan Isi Jurnal

2.1.1 Pendahuluan Jurnal

Tetanus merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di


seluruh dunia. Adanya vaksin toksoid sangat menurunkan angka kejadian di negara
maju, namun di negara berkembang yang mana tingkat vaksinasi sangat rendah,
tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar. Ketika bencana
alam terjadi, insiden meningkat meskipun kasus yang dilaporkan dari rumah sakit
setempat tidak banyak dilaporkan (Finkelstein et al., 2017).

Tetanus adalah penyakit tidak menular yang disebabkan oleh basil Clostridium
tetani (C. tetani). C. tetani biasanya masuk melalui luka tusukan atau luka dengan
cedera jaringan yang signifikan dan jarang terjadi akibat goresan, prosedur bedah,
gigitan serangga, dan penggunaan obat intravena/IV. Namun, dalam 20% kasus,
tidak ada luka masuk yang jelas diidentifikasi (Finkelstein et al., 2017).

Bencana alam, seperti gempa bumi misalnya, menciptakan lingkungan yang


sempurna untuk berjangkitnya penyakit yang mungkin kurangnya pengalaman
mengobati pasien yang terjangkit penyakit tersebut oleh dokter perkotaan biasa.
Kombinasi infrastruktur yang tidak ada dan pasokan medis dengan kasus trauma
jaringan lunak yang parah mungkin bertanggung jawab atas wabah yang terlihat di
negara-negara tertentu. Luka tusukan cenderung meningkatkan perkembangan
mikroorganisme C.tetani karena lingkungan mikro oksigen yang rendah (Finkelstein
et al., 2017).

1
0
Globalisasi telah memfasilitasi kemampuan dokter dari negara-negara kaya
sumber daya untuk dibawa ke daerah yang membutuhkan setelah bencana.

Jadi, meskipun insiden tetanus rendah di negara maju, kesadaran klinis tetanus,
profilaksisnya, manifestasi klinis, dan pengobatannya penting, terutama ketika
potensi wabah di lokasi bencana alam sangat tinggi. Oleh karena itu, tujuan dari
laporan ini adalah untuk memberikan tinjauan epidemiologi, patogenesis dan
manajemen tetanus pada pasien trauma (Finkelstein et al., 2017).

2.1.2 Metode Penelitian

Jurnal ini adalah sebuah tinjauan literatur menyeluruh yang dilakukan untuk
mencari pedoman terbaru dan menyeluruh tentang profilaksis dan pengobatan
tetanus. Database dari PUBMED (Pusat Informasi Bioteknologi Nasional, Institut
Kesehatan Nasional; Bethesda, Maryland USA), MEDLINE (Perpustakaan
Kedokteran Nasional AS, Institut Kesehatan Nasional; Bethesda, Maryland USA),
dan Perpustakaan Cochrane (Kolaborasi Cochrane; Oxford, Inggris Raya ) yang
dicari adalah artikel dalam bahasa Inggris yang diterbitkan dari tahun 2005 hingga
2015, menggunakan kata kunci “Tetanus,” “Trauma/Bedah,”dan
“Bencana/disaster.” Jurnal yang dipilih dan diekstrasi adalah jurnal yang
menggunakan metode uji coba terkontrol, uji coba terkontrol secara acak, uji coba
pasien dewasa, pedoman yang diterbitkan, pendapat ahli, dan review articles
(Finkelstein et al., 2017).

2.1.3 Epidemiologi
Secara global, sebagian besar kasus tetanus terjadi di negara berkembang
yang imunitas terhadap penyakit ini jarang. Selain itu, insiden tetanus seringkali
meningkat setelah terjadi bencana alam (Finkelstein et al., 2017).

Tetanus dikategorikan menjadi tiga jenis: generalisata/neonatal, lokal, dan


sefalik. Tetanus generalisata adalah jenis tetanus yang paling umum terjadi (80%

1
1
dari kasus yang dilaporkan), sedangkan tetanus neonatorum adalah tetanus
generalisata pada anak-anak berusia kurang dari satu bulan. Di seluruh dunia,
kematian akibat tetanus neonatus telah menurun insidennya dari 490.000 pada tahun
1994 menjadi 49.000 pada tahun 2013. Pada tahun 1999, telah didirikan Maternal
and Neonatal Tetanus Elimination Initiative untuk mengeliminasi tetanus pada ibu
dan pada neonatus sebagai masalah kesehatan masyarakat, dan sejak 1999, 35 dari
59 negara-negara prioritas telah mengeliminasi tetanus pada ibu dan neonatus.
Tetanus lokal jarang terjadi, dan hanya satu persen yang menyebabkan kematian.
Dan tetanus sefalik ditandai dengan kelumpuhan saraf kranial dan memiliki angka
kematian yang tinggi sekitar 15% -30% apabila berlanjut menjadi tetanus
generalisata (Finkelstein et al., 2017).

Pada tahun 2015, Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (Jenewa, Swiss)


melaporkan total 13.532 kasus tetanus di seluruh dunia, tetapi insiden global
diperkirakan mencapai satu juta kasus setiap tahun. Tingkat kematian tetanus
bervariasi berdasarkan hambatan untuk perawatan; dengan hati-hati, rangkaian
toksoid tetanus memiliki kemanjuran klinis hampir 100%. Herd immunity tidak
berperan dalam melindungi anggota suatu populasi terhadap tetanus, jadi hampir
semua orang harus divaksinasi untuk mendapatkan perlindungan (Finkelstein et al.,
2017).

2.1.4 Patogenesis

C. tetani adalah pembentuk spora, anaerob obligat yang melepaskan dua


racun: tetanospasmin dan tetanolysin. Spora C. tetani biasanya ditemukan di tanah
dan kotoran dan sangat tahan terhadap panas dan disinfektan umum (Finkelstein et
al., 2017).

Tetanospasmin adalah neurotoksin yang menginduksi kejang otot klasik


terlihat pada tetanus dengan menghambat pelepasan asam -amino-butirat (GABA)
dan glisin di sistem saraf pusat. Tetanospasmin itu sendiri merupakan peptida tidak

1
2
aktif yang membutuhkan pembelahan enzimatik sebelum memulai penghambatan.
Setelah aktivasi, tetanospasmin dibagi menjadi dua rantai. Rantai berat berjalan
secara retrograde ke sistem saraf pusat. Begitu berada di dalam sumsum tulang
belakang dan batang otak, tetanospasmin memotong synaptobrevin (VAMP), yang
menghambat GABA, dan pelepasan glisin. Baik glisin dan GABA bertindak sebagai
penghambat otot rangka; oleh karena itu, pada blokade, kejang otot klinis terlihat
(Finkelstein et al., 2017).

Tetanolysin dan fungsinya yang tepat dalam patofisiologi tetanus masih


belum dipahami dengan baik. Masa inkubasi tetanus berkisar dari empat hari sampai
14 hari. Semakin jauh luka awal dari sistem saraf pusat, semakin lama masa
inkubasi. Seringkali, gejala awal adalah tetanus lokal yang dimanifestasikan oleh
kekakuan di daerah luka asli pada tubuh. Tetanus generalisata muncul dengan gejala
trismus, kekakuan, kaku kuduk, gelisah, dan spasme otot. Spasme otot dapat terjadi
dengan rangsangan eksternal yang minimal dan peningkatan frekuensi dengan
perkembangan penyakit. Kekakuan otot menyebar dalam pola menurun sepanjang
24-48 jam berikutnya, dan gejala ekstra-otot lainnya termasuk demam, berkeringat,
hipertensi, dan peningkatan denyut jantung mungkin muncul. Trias klinis tetanus,
sering dilambangkan sebagai kekakuan otot, kejang, dan disfungsi otonom.
Terdapat klasifikasi tetanus berdasarkan derajatnya menurut Ablett Classification of
Severity yang ditunjukkan pada tabel berikut (Finkelstein et al., 2017):

Derajat Manifestasi klinis


I/Ringan Trismus ringan, spastisitas, tidak ada masalah
pernapasan, tidak ada disfagia.
II/Sedang Trismus sedang, spasme pendek, disfagia ringan,
frekuensi napas >30, disfagia ringan.
III/Berat Trismus berat, spastisitas umum, spasme
berkepanjangan, frekuensi napas >40, disfagia berat, nadi

1
3
>120
IV/Sangat Derajat III ditambah disfungsi otonom berat dari sistem
Berat kardiovaskular

2.1.5 Pengelolaan

Imunisasi

Empat vaksin kombinasi digunakan untuk mencegah tetanus: difteri, toksoid


tetanus, dan pertusis (DTaP); toksoid tetanus, pengurangan dosis difteri, dan
pengurangan dosis pertusis (Tdap); difteri dan tetanus toksoid (DT); dan toksoid
tetanus serta pengurangan dosis difteri (Td). Tabel 2 menunjukkan jadwal usia yang
direkomendasikan dari berbagai vaksin tetanus (Finkelstein et al., 2017).

DTaP dan DT diberikan kepada anak-anak di bawah usia tujuh tahun,


sedangkan Tdap dan Td diberikan kepada mereka yang berusia di atas tujuh tahun.
DTaP harus diberikan pada usia berikut: dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15-18
bulan, dan empat sampai enam tahun. DT dapat diberikan bagi mereka yang tidak
dapat mentolerir bagian pertusis dari DTaP. Td diberikan sebagai suntikan booster
setiap 10 tahun, atau setelah terpapar tetanus, dan Tdap harus diberikan sebagai
dosis tunggal untuk orang dewasa di atas usia 19 tahun. Wanita harus menerima
Tdap selama setiap kehamilan, dan Tdap dapat diberikan terlepas dari ketika dosis
terakhir Td diberikan (Finkelstein et al., 2017).

1
4
Tabel 2. Pedoman yang Direkomendasikan untuk Vaksin Tetanus

Medis dan Bedah

Awalnya, tujuan utama pengobatan tetanus adalah untuk mencegah


pelepasan toksin lebih lanjut di sistem saraf pusat. Ini dapat dilakukan dengan
debridement luka yang luas dan pengobatan antibiotik. Metronidazol umumnya
merupakan antibiotik pilihan dan lebih disukai daripada penisilin, yang tidak hanya
memiliki penetrasi jaringan yang lebih rendah, tetapi juga menunjukkan aktivitas
antagonis GABA yang dapat mempotensiasi efek neurotoksin tetanospasmin.
Pilihan antibiotik lain yang dapat diterima termasuk eritromisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan klindamisin (Finkelstein et al., 2017).

Tujuan kedua pengobatan adalah menetralkan toksin yang ada di dalam


tubuh, tetapi di luar sistem saraf pusat, dengan human tetanus immune globulin
(TIG). Ini harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah diagnosis; jika TIG manusia
tidak tersedia, serum kuda anti-tetanus dapat diberikan. Gambar 1 menunjukkan
pedoman saat ini untuk perawatan medis tetanus berdasarkan jenis luka. Jika luka
bersih, dan pasien mengikuti seri tetanus difteri dengan dosis terbaru dalam 10
tahun terakhir, tidak diperlukan vaksin. Jika luka bersih, dan status vaksinasi pasien
tidak diketahui atau jika pasien mengikuti seri tetanus difteri dan dosis terakhir
mereka tidak diberikan dalam 10 tahun terakhir, vaksin harus diberikan pada saat
datang dengan cedera. Jika lukanya kotor, dan pasien telah menyelesaikan seri
tetanus difteri primer tetapi belum mendapatkan dosis terakhir dalam lima tahun
terakhir, vaksin harus diberikan pada saat datang. Jika lukanya kotor, pasien telah
menyelesaikan seri tetanus difteri primer, dan telah mendapat dosis terakhir dalam
lima tahun terakhir, vaksin tidak diperlukan pada saat datang. Namun, jika lukanya
kotor dan rangkaian difteri tetanus primer pasien tidak lengkap atau status vaksinasi
tidak diketahui, baik vaksin maupun TIG harus diberikan (Finkelstein et al., 2017).

1
5
Tujuan pengobatan ketiga adalah untuk meminimalkan efek akibat toksin
yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Ini dapat dilakukan melalui sedasi,
dukungan pernapasan, dan kontrol otonom sesuai kebutuhan. Dosis besar
benzodiazepin sering digunakan untuk membantu mengontrol kejang otot
(Finkelstein et al., 2017).

Gambar 1. Algoritma untuk Profilaksis Tetanus dalam Manajemen Luka

Wabah Tetanus Selama Bencana Alam

Infeksi sering terjadi setelah bencana alam berskala besar seperti gempa
bumi. Sebagian besar wabah, bagaimanapun, terjadi di tempat-tempat di mana
tetanus umum terjadi karena tingkat vaksinasi yang rendah. Setelah gempa bumi
2010 di Haiti, terjadi peningkatan tetanus dibandingkan dengan kejadian awal
bahkan dengan potensi pelaporan yang kurang signifikan (Finkelstein et al., 2017).

Angka kematian tetanus setelah bencana alam yang parah berkisar antara
19%-31%. Jenis rumah sakit dan jarak ke perawatan medis merupakan prediktor
kematian yang signifikan dalam pengaturan ini. Kurangnya sumber daya (yaitu,
perawatan bedah, perawatan intensif, dan dukungan ventilasi mekanik) secara

1
6
signifikan meningkatkan kematian tetanus di lapangan setelah bencana alam yang
parah (Finkelstein et al., 2017).

Ketika bencana alam yang parah terjadi, banyak pasien mungkin tidak dapat
memberikan riwayat vaksinasi yang dapat diandalkan. Seperti disebutkan di bagian
pengobatan, dalam situasi ini, TIG diindikasikan. Jika sumber daya tidak terbatas,
baik toksoid tetanus dan TIG harus diberikan kepada mereka dengan luka berisiko
tinggi. Jika sumber daya terbatas, TIG harus disediakan untuk mereka yang paling
diuntungkan atau mereka yang paling tidak mungkin memiliki antibodi pelindung
(yaitu, mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, wanita, dan imigran dari wilayah
lain selain Amerika Utara atau Eropa) (Finkelstein et al., 2017).

1
7
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Meskipun tetanus adalah penyakit yang memiliki insiden rendah di negara maju
karena tingkat imunisasi yang tinggi, selama terjadinya bencana alam skala besar,
faktor-faktor yang memperparah seperti jenis cedera, kurangnya layanan dan pasokan
medis, dan keterlambatan dalam pengobatan yang terkait dengan tingkat imunisasi
yang rendah maka akan menghasilkan peningkatan insiden dan wabah penyakit yang
memiliki angka kematian lebih tinggi di masyarakat terbelakang. Penting bagi dokter
perkotaan yang merawat pasien trauma dan kritis untuk mengetahui langkah-langkah
pengobatan dan imunisasi pasien yang memiliki luka rawan tetanus, serta mengenali
potensi wabah dalam rangkaian bencana alam besar (Finkelstein et al., 2017).

1
8
DAFTAR PUSTAKA

Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Tinjauan naratif: tetanus-ancaman kesehatan


setelah bencana alam di negara berkembang.Ann Intern Med. 2011;154(4):329-335.

Kouadio IK, Aljunid S, Kamigaki T, Hammad K, Oshitani H. Penyakit menular setelah


bencana alam: tindakan pencegahan dan pengendalian. Expert Rev Anti Infect Ada.
2012;10(1):95-104.

Organisasi Kesehatan Dunia. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNT) (2016).
http://www.who.int/immunization/diseases/MNTE_initiative/en. Diakses 19 Februari
2016.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (AS). Tetanus. Epidemiologi dan Pencegahan
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Vaksin (2012). http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/
pinkbook/downloads/tetanus.pdf. Diakses 19 Februari 2016.

Taylor AM. Tetanus.Contin Educ Anesthesia Crit Care Pain. 2016;6:101-104.

Vandelaer J, Raza A, Zulu F, Yakubu A, Khan R. Eliminasi tetanus ibu dan bayi: dari
melindungi wanita dan bayi baru lahir hingga melindungi semua. Kesehatan Wanita Int
J. 2015;7:171.

1
9

Anda mungkin juga menyukai