Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Tetanus
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :

Eva Chandra Fitriani 21904101026


Dewi fitri indriyani 21904101030

Pembimbing

dr. Agustinus Kiki Kristianto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
2020
i

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Referat yang berjudul: Tetanus dengan lancar.
Tujuan penyusunan Referat ini adalah sebagai tambahan ilmu pengetahuan guna memenuhi
tugas.
Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
penatalaksanaan, prognosis, serta uraian kasus dari Tetanus.
Dengan selesainya tugas referat ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis, masih
banyak kekurangtepatan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun agar
tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

` Malang, 01 Juni 2020

Penulis
Eva Chandra Fitriani
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah. ...................................................................................... 2
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3 Manfaat....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tetanus ...................................................................................... 3
2.2 Etiologi Tetanus ...................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi Tetanus ............................................................................. 4
2.4 Patofisiologi Tetanus ............................................................................... 5
2.5 Gambaran Klinis Tetanus ....................................................................... 8
2.6 Penagakan Diagnosis Tetanus ................................................................ 12
2.7 Diagnosa Banding Tetanus ..................................................................... 13
2.8 Pencegahan Tetanus ............................................................................... 14
2.9 Penatalaksanaan Tetanus . ....................................................................... 15
2.10 Komplikasi Tetanus ................................................................................ 17
2.11 Prognosis Tetanus ................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 23
3.2 Saran ........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 24
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan
spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Spasme hampir selalu
terjadi pada otot leher dan rahang yang menyebabkan penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta
melibatkan tidak hanya otot ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh. Clostriduim tetani
terdapat di lingkungan bebas, debu, benda berkarat, ataupun peralatan operasi yang tidak steril.
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi masalah
kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka kejadian 1.000.000 pasien
setiap tahunnya di dunia. Di Indonesia, insidensi berkisar 0.2/100.000 populasi. Berdasarkan data
dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), angka kejadian tetanus telah menurun
melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan
angka kematian telah menurun 99%. Pada tahun 2015, di United States, terdapat 29 kasus
tetanus, dengan case fatality rate 13.2%. Angka kematian bervariasi, berkisar 60.000 kematian
setiap tahun di dunia. Implementasi vaksinasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak
tahun 1974. Program vaksinasi tetanus menurunkan angka kejadian tetanus pada negara-negara
berkembang. Namun, angka kematian akibat tetanus mencapai 50% pada pasien berusia diatas
60 tahun dimana jarang mendapatkan vaksinasi tetanus.
Clostriduim tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora berkembang pada
keadaan anaerobik (oksigen rendah). Clostriduim tetani dapat menghasilkan dua jenis
eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek tetanolisin masih belum diketahui pasti.
Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis infeksi tetanus. Dosis letal
tetanospasmin pada manusia ialah 2,5 ng/kgBB. Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui
pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang
kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP).
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh tetanus harus menjadi perhatian bagi
pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman yang baik tentang
etiologi dan patofisiologi tetanus merupakan bagian kunci dalam membuat diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang sesuai.
2

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan
prognosis dari tetanus ?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan
prognosis dari tetanus.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
1.4.2. Memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Saraf RSUD
Kanjuruhan Kepanjen.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI TETANUS


Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan
bakteri Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot
rangka. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Sevenday Disease ". Pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti
strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan
dari tetanus (Ritarwan, 2004).

2.2 ETIOLOGI TETANUS


Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob.
Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam
periode lama karena sporanya sangat kuat. Bentuk spora terdapat pada tanah, rumput, kayu,
kotoran hewan dan manusia. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada
abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya.
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu
bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C.tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul,
motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses
pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
menimbulkan tetanus (Thwaites, 2005)
Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik
telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme
ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang
biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin
poten yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis (Lipman, 2009).
4

Gambar 1. Pewarnaan Gram C.tetani.


Keterangan: Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki kecenderungan
variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endosporadibentuk secara
intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik
drum (Todar, 2007)

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif
C.tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam
patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus.
Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring
pertumbuhan C.tetani pada tempat infeksi (Lipman, 2009).

2.3 EPIDEMIOLOGI TETANUS

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan
vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia.
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian
5

bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di
pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50%
terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan
sisanya pada bayi (Sudoyo,2006).

2.4 PATOFISOLOGI TETANUS


Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila
ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat
membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta saraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi
dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah
keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-
menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada
extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin
mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom (Hassel, 2013).
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih
dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai gnada dengan berat
150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da)
dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan
yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil
dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin
ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter
6

dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di
bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika
otkisn yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk
terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal (Hassel, 2013).
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-
gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan meliputi
transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Laksmi, 2014).
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan
melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang
diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neuritransmiter. Rantai ringan
tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik
tunggal, sehingga mencegahperlepasan neurotrnasmiter (Hassel, 2013).
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler
dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis
flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian
pada hewan. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara
dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik,
myopati yang terjadi setelah pemulihan (Hassel, 2013).
7

Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi
secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot
rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang
terlibat (Hassel, 2013).
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol
otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada
tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat.
Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe
dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade
masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh
sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di
kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata (Hassel, 2013).
8

Gambar 2. Sintesis toxin tetanus

2.5 MANIFESTASI KLINIS TETANUS


Tetanus biasanya mengikuti luka tembus dalam di mana pertumbuhan bakteri anaerobik
difasilitasi. Portal infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi
postpartum, suntikan intramuskular non-steril, dan fraktur. Masa inkubasi tetanus umumnya
antara 3-21 hari, dan umumnya terjadi dalam 8 hari. Masa inkubasi yang lebih pendek terkait
dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul
dari 4 hingga 14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari

Berdasarkan gambaran klinisnya, tetanus dibagi menjadi 4 bentuk yaitu:

a) Tetanus lokal adalah bentuk penyakit yang tidak umum, di mana pasien memiliki kontraksi
otot yang terus-menerus di daerah anatomis yang sama dengan cedera. Kontraksi ini dapat
bertahan selama beberapa minggu dan secara bertahap mereda. Tetanus lokal dapat
mendahului onset tetanus umum tetapi umumnya lebih ringan. Hanya sekitar 1% dari kasus
yang berakibat fatal.
9

Gambar 3 Gambaran tetanus lokal


b) Tetanus Cephalic adalah bentuk langka dari penyakit ini, Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI dan
menyebabkan gangguan motorik dari serabut saraf tersebut. Gangguan tersebut dapat berupa
gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan
berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek3

Gambar 4. Gambaran tetanus cephalic

c) Tetanus Umum, merupakan tipe yang paling umum (80% kasus tetanus). Gejala yang
pertama terlihat dan dirasakan pasien adalah kaku otot masseter yang mengakibatkan
gangguan membuka mulut (trismus), sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. diikuti
oleh kekakuan leher, kesulitan menelan, dan kekakuan otot perut. Gejala lain yaitu demam,
berkeringat, tekanan darah tinggi, dan peningkatan denyut jantung. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik
10

ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian
belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan
gejala kaku kuduk sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti
kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan,
sinar dan bunyi)5. Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang
hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung
kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang
tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas
simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan
aritmia jantung5. Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar dan berkeringan sering
dijumpai. Pada umumnya ditemukan demam dan peningkatan frekuensi napas. Kejang otot
yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan bukan bersifat klonus dapat timbul hanya
karena rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian dan cahaya. Selama sakit sensorium
tidak terganggu, sehingga hal ini menyebabkan penderitaan bagi pasien karena merasa nyeri
akibat kaku otot. Selanjutnya dapat timbul gangguan pernapasan yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian. Penyebab kematian merupakan kombinasi berbagai keadaan, seperti
kelelahan otot napas, infeksi sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan pernapasan,
serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 1. Spasme dapat sering terjadi dan
berlangsung selama beberapa menit. Spasme berlanjut selama 3–4 minggu. Pemulihan
lengkap bisa memakan waktu berbulan-bulan
11

Gambar 5. Manifestasi klinis tetanus general

d) Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak yang memiliki
kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi
kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan
spasme. Biasanya terjadi melalui infeksi pada umbilical akibat dipotong dengan instrumen
yang tidak steril. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus. Tetanus
neonatal banyak terjadi di negara berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa pada tahun 2010, 58.000 bayi baru lahir meninggal akibat tetanus
neonatorum
12

Gambar 6. Tetanus neonatorum

2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS TETANUS


Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan
saat pemeriksaan dan riwayat imunisasi. Menurut WHO, apabila didapatkan trismus atau risus
sardonicus atau spasme otot yang nyeri dan didahului riwayat luka cukup untuk menegakkan
diagnosis tetanus. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril.
Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifi sitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu)
dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan
cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C.tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ),
dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi (Ogunrin, 2009).
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden
tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negaraberkembang dimana tetanus jarang
ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaranyang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal.Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun
general. Sebagian besarpasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
tidak memilikiriwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Ogunrin, 2009).
13

Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C.tetani pada hanya sekitar


sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C.tetani dari
luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi
C.tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkandengan memanaskan satu set
spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif
mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulas (Ogunrin, 2009).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan


serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi
dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantudiagnosis. Pada kasus tertentu
apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T.
Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat duaatau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL
dianggap protektif (Ogunrin, 2009).

2.7 DIAGNOSIS BANDING TETANUS


Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari pemeriksaan fisik,
tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin, sedangkan
SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta
riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus
dan kesadaran yang tetap normal. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :

a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu
jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan
serologis, titer antibody meningkat.
14

c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang
bersifat klonik.

d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya diikuti
dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.

2.8 PENCEGAHAN TETANUS


Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya angka
kematian (30 - 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara pencegahan tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif serta pasif. Imunisasi aktif didapat dari
penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi
aktif ini sudah banyak dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin antitetanus)
(Sjamjuhidayat, 2010).
Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum
atau toksoid. Indikasi pemberian imunisasi tetanus bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Indikasi pemberian imunisasi tetanus
Imunisasi Luka Bersih Luka Kotor
sebelumnya Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/tidak pasti Ya* Tidak Ya* Ya
1 x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2 x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3 x DT/DTP atau Tidak + Tidak Tidak ++ Tidak
lebih
*
: Seri imunisasinya harus dilengkapi
+ : kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
15

++ : kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih


Cara pemberian melalui intramuskular (ATS 1.500 IU/ Imunoglobulin
250 IU)
DT : vaksinasi difteri-tetanus
DTP : vaksinasi difteri- tetanus- pertussis

2.9 TATALAKSANA TETANUS

A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sebagai berikut (Bhatia,2002):

1) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:


Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda
asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka
tersebut dilakukan 1-2 jam setelah penyuntikan ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka
disuntik ATS.

2) Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3) Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan tindakan terhadap
penderita
4) Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.
5) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. Khusus (Obat- obatan)

1) Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/ kgBB/ 12 jam secara IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30- 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
16

dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai
adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan. Tetrasiklin,
eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama bila penderita alergi penisilin. Dosis
yang diberikan :
a. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
b. Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
c. Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam

2) Anti Tetanus Toksin


Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :

a. Toksin bebas dalam darah

b. Toksin bergabung dengan jaringan saraf

Toksin yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah
bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum pemberian
antitoksin harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata, dan harus
sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann (1987) dan Grossman (1987)
menganjurkan dosis 50.000-100.000 u yang diberikan setengah lewat i.v. dan setengahnya i.m.
pemberian lewat i.v.diberikan selama 1-2 jam.

3) Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan
reaksi alergi yang serius.
17

4) Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

5) antikonvulsan
Obat yang lazim digunakan ialah :

a. Diazepam.
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kgbb/kali i.v.
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian
diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari
diberikan 6 kali.

b. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari.


Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi
mekanik. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, dila ada gangguan
saraf otonom.

c. Fenobarbital.
Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9
mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.

2.10 KOMPLIKASI TETANUS


Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis.
Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau
faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran
nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem
kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan
syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat
terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,
dehidrasi dan asidosis metabolic (Behrman, 2004).
18

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien tetanus antara lain (Behrman, 2004):

a. Saluran pernapasan
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia.. Dapat terjadi asfiksia, aspirasi
pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takiardia, hipertensi,
vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

c. Tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang
dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada
anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.

d. Komplikasi lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja,
panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu
pusat pengatur suhu.

2.11 PROGNOSIS TETANUS


Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus yaitu klasifikasi menurut cole dan spooner, dakar
score, Ablett skor, severity score dan Philips skor. Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien
tetanus adalah masa inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit
lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode
awitan merupakan faktor yang menentukan dalam klasifikasi Cole dan Spooner (Sjamjuhidayat,
2010)
19

Tabel 2 Klasifikasi Prognostik Cole-Spooner.


Klompok prognostic Periode awal Masa inkubasi
I < 36 jam ± 6 hari
II > 36 jam > 6 hari
III Tidak diketahui Tidak diketahui

Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan bahwa angka kematian pasien termasuk dalam
kelompok prognostik I lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan
angka kematian akibat gagal napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu pemberian nutrisi
yang cukup ternyata juga manurunkan angka kematian
Selain itu, skor yang bisa digunakan untuk menentukan prognosis pasien tetanus yaitu
Dakar Score. Dakar score menggunakan variabel masa inkubasi, periode onset, jalan masuk
kuman, adanya spasme, suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko yang dapat
berpengaruh pada kematian penderita tetanus (WHO,2010).
Tabel 3 Dakar Score

Interpretasi :
0-1 : severitas ringan, mortalitas 10 %
2-3 : severitas sedang, mortalitas 10-20 %
4 : severitas berat, mortalitas 20-40 %
5-6 : severitas sangat berat, mortalitas >50 %

Maksud dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi sampai terjadi gejala awal
(trismus). Tentunya semakin pendek masa inkubasinya, semakin buruk prognosisnya. Periode
onset adalah waktu saat gejala awal (trismus) sampai terjadinya kejang umum.
20

Selanjutnya yaitu Ablett skor. Kriteria ablett banyak dipakai oleh klinisi yang ingin menilai
prognosis penyakit dari pasiennya karena variabel yang digunakan adalah gejala dan tanda klinis
tanpa data demografik, seperti trismus, frekuensi napas, dll.
Tabel 4 Ablett skor

Sistem skoring philips skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset,
begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi
pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar
score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-
20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat.
21

Tabel 5 Philips score

Tabel 6 Tetanus Severity Score


22

Sebagaimana Phillips score, TSS menyertakan derajat keparahan penyakit menurut ASA
1963.Selain itu suhu dan jalan masuk kuman juga masuk ke variabel scoring system tersebut.
Adanya riwayat sesak napas saat masuk RS mungkin sangat berpengaruh karena rata-rata
penderita tetanus yang meninggal karena komplikasi sistem pernapasan.
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak
diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik,
angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien
yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna,
beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan
keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan.
23

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik
(tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus
termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.
Kuman Clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil. Berat
ringannya penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, onset, kejang lokal atau umum dan ada
atau tidaknya gangguan autonomik karena hal ini yang menyebabkan kematian pada tetanus.

3.2. Saran
Sebagai seorang mahasiswa terutama dalam bidang kesehatan, sebaiknya kita melakukan
tindakan anti-septik dalam menangani luka untuk mencegah terjadinya berbagai macam infeksi.
Dokter seharusnya memberikan edukasi dan pendidikan tentang tetanus kepada masyarakat.
24

DAFTAR PUSTAKA
Dalal S, Sameulson J, Reed J, Yakubu A, Ncube B, Baggaley R. Tetanus disease and deaths in
men reveal need for vaccination. http://www.who.int/bulletin/volumes/94/8/15-
166777/en/
George EK, Vivekanandan R. Clostridium Tetani.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482484/
Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di FasilitasPelayanan Kesehatan
Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.
Ismanoe G. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K, Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, 2009, vol. 1, p.1799-1807
Leman, Martinus M. dan Alan R. Tumbelaka. Penggunaan Anti Tetanus Serum danHuman
Tetanus Immunoglobulin pada TetanusAnak (Laporan Kasus). Sari Pediatri, Desember
2010, Vol. 12, No.4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI,RSCM, Jakarta.2010.
Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo,
2007.
PERDOSSI. Standar pelayanan medik neurologi.2013.
Public Health England. Research and analysis tetanus in England and Wales: 2013.
https://www.gov.uk/government/publications/tetanus-in-england-and-wales-
2013/tetanus-in-england-and-wales-2013.
Pusdatin Kemenkes RI. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
mnte.pdf.
Rahmanto, Danawan and Farhanah, Nur. FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG
BERPENGARUH PADA KEMATIAN PASIEN TETANUS DI RSUP DR. KARIADI
SEMARANG. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine. 2017.
Roper MH, Wassilak SGF, Tiwari TSP, Orenstein WA. in Vaccines. ed. Plotkin SA, Orenstein
WA, Offit PA. Elsevier Inc, Philadelphia, 2013, p.747-772.
Safrida, W. dan Syahrul. Tata Laksana Tetanus Generalisata dengan Karies Gigi (Laporan
Kasus). Cakradonya Dent J 10(1): 86-95.2018.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
25

Tetanus Surveillance United States, 2001-2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
2011;60(12):365-369
WHO.Tetanus.http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillan
ce_type/passive/tetanus/en/

Anda mungkin juga menyukai