Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN TETANUS

Di Susun Oleh:
Lailatul Masruroh (1440120023)
Lantang Caesar Agdama (1440120024)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUSTIDA


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
KRIKILAN - GLENMORE - BANYUWANGI
2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah laporan
pendahuluan dan konsep asuhan keperawatan dengan tetanus.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang laporan pendahuluan dan konsep
asuhan keperawatan tetanus ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Krikilan, 13 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB 1:PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Batasan Masalah.............................................................................................1
C. Rumusan Masalah..........................................................................................1
D. Tujuan.............................................................................................................1

1. Tujuan Umum.....................................................................................1
2. Tujuan Khusus....................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT................................................................................
1. Definisi...............................................................................................3
2. Etiologi...............................................................................................3
3. Manifestasi Klinis..............................................................................4
4. Patofisiologi dan Pathway..................................................................5
5. Klasifikasi..........................................................................................7
6. Komplikasi.........................................................................................7
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian..........................................................................................8
2. Diagnosa Keperawatan.......................................................................13
3. Intervensi............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyakit tetanus adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostiridium tetani, yang bermanifestasi
dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot rangka (Muttaqin,
2008, p. 219).
Clostiridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob,
membentuk spora (tahan panas) gram – positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), pathogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic) (Batticaca, 2012, p. 126).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang
baik untuk proliferasi kuman anaerob . luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang
pening bagi tumbuhnya basil tetanus (Batticaca, 2012, p. 126).
B. Batasan Masalah
Masalah pada pembahasan ini dibatasi pada konsep teori penyakit dan asuhan
keperawatan klien yang mengalami tetanus.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep penyakit tetanus?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan tetanus ?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan
keperawatan pada klien dengan tetanus dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan.
1
2. Tujuan Khusus
1. Memahami konsep penyakit tetanus
2. Memahami konsep asuhan keperawatan tetanus.

2
BAB II
TNJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penykit
1. Definisi Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh clostridium tetanum. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk didalamnya tenatus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal (Sudoyo A. W., 2014).
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro
muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf autonomy (Nurarif & Kusuma,
2016, p. 286).
Tetanus adalah ganggua neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suau toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata, dan
gangguan neurologis local (Sudoyo, 2009, p. 2911).
2. Etiologi
penyebab penyakit tetanus adalah clostridium tetani yang hidup anaerob,
berbentuk spora. Bakteri ini terdapat dimana-dimana, dengan habitat alamnya di
tanah, tetapi dapat diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. (dr.
Taufan nugroho, 2011, p83)
Clostradium tetani merupakan hasil berbentuk batang yang bersifat anaerob,
membentuk spora ( tahan panas ), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin ( yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP ), patogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik ( pyogenic) (Batticaca, 2012, p. 126)
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka den gan jaringan mati ( corpus alienum) karena merupakan kondisi yang
baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
3
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang
penting bagi tumbuhnya basil tetanus (Batticaca, 2012, p. 126)
3. Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waku antara trauma dengan gejala pertama) rata-
rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama
dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama regiditas,
spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme
dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi kekuatan tetap bertahan lebih lama.
Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 286).
Gejala yang bisa terjadi :
1. Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang
2. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
3. Iritabilitas
4. Demam
5. Keringat berlebihan
6. Sakit menelan
7. Spasme tangan dan kaki
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
a. Generalized tetanus (tetanus umum)
Meruapakan bentuk yang sering ditemukan.derajat bervariasi, mulai dari luka
yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkonstaminasi. Masa inkubasi 7-2
hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan ssp, penyakit ini biasanya
memilii pola yang desendens.
b. Localized tetanus (tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ekstremitas dengan luka yang terkonstaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan.
c. Cepalich tetanus (tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejal terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2
hari. Progonosis biasanya buruk.
4
d. Tetanus neonatrum
Tetanus neonatrum terjadi pada negara yang belum berkembang dan
menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebabnya yang sering
adalah penggunaan alat-alat yang terkonstaminasi untung memotong tali pusat
pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari (Nurafif &
Kusuma, 2018, p.286
4. Patofisiologi
Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik. Basil
tetanus tetap berada didaerah luka dan berkembang biak sedangkan eksotoksinnya
beredar mengikuti sirkulasi darah sehingga terjadi toksemia ( toksemia murni tanpa
disertai bakterimia maupun sepsis)
Hipotesis cara kerja toksin, yaitu pertama toksin masuk dan diserap oleh
ujung saraf motorik dan mencapai sel-sel kornus anterior medula spinalis, melalui
axis silinder (kemudian menyebabkan kegiatan motorik seperti kejang). Kedua
toksin diangkut oleh aliran darah ke SSP, hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian
antitoksin tetanus yang bereaksi dengan baik, ATS bereaksi pada toksin yang hanya
ada di darah.
Tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusukan,
luka yang terkontaminasi oleh clostridium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan
menurunnya potential oksidasi sehingga menyebabkan lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhan clostridium tetani. Tetanus disebabkan oleh neurotoksin Yang kuat
yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk
vegetatif c. Tetani pada tempat infeksi terutama ketika terjadi lisis bakteri.
tetanospasmin dapat terikat secara kuat pada gangliosida dan tempat masuknya yang
terpenting kedalam syaraf. Bila jumlah tetanospasmin cukup besar untuk menyebar
melalui pembuluh darah dan limfe di seluruh tubuh, yang terkena lebih dahulu
adalah otot dengan jalur saraf terpendek.
Suntikan tetanospasmin kedalam otak dapat menimbulkan kejang.
Tetanospasmin dapat pula memudahkan kontraksi otot spontan tanpa potensial aksi
pada saraf eferen. Aliran eferen yang tak terkendali akan menyebabkan proses
inflamasi dijaringan otak dan perubahan tingkat kesadaran. Terdapat trias klinis
berupa spasme otot, disfungsi otonomik, rigiditas. Rigiditas menyebabkan
epistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada

5
serta menyebabkan penurunan reflek batuk sehingga terjadi obstruksi jalan nafas
(Batticaca, 2012, p. 126)
PATHWAY
Terpapar kuman clostridium tetani

eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Otak
Saraf otonom
sumsum tulang
belakang
Menempel Mengenai saraf simpatis
pada cerebral
Tonus otot meningkat
ganglionsides Keringat berlebih,
hipertermi,
Menjadi kaku hipotermi,
aritmia,takikardia
Kekakuan dan Timbulnya inflamasi
kejang khas
pada tetanus Hipoksia berat
Gangguan integritas kulit
Penurunan
oksigen di otak
Resiko infeksi
Gangguan orientasi Gangguan neuromuskular Kesadaran
menurun

Risiko cedera Spasme otot mastikatoris


Penumpukan sekret

Trismus (sukar
Penurunan reflek batuk
membuka mulut):
kesulitan makan
Bersihan
Gangguan mobilitas fisik jalan nafas
tidak efektif

5. Klasifikasi
Klasifikasi beratnya tetanus adalah sebagai berikut :
6
1. Derajad 1 (ringan) : trismus (kekuatan otot mengunyah) ringan sampai sedang,
spastisitas general, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia
2. Derajad II (sedang) : trismus sedang, ridigitas yang nampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR >30x/menit, disfagia
ringan
3. Derajad III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflek
berkepanjangan, RR >40x/menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia >120
4. Derajad IV (sangat berat) : derajad tiga dengan gangguan otomik berat melibatkan
system kardiovaskular. Hipotensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap komplikasi-komplikasi
tetanus (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 287).
6. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau
sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma,
aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia
berkaitan dengan ventilator (Sudoyo, 2009, p. 2916)
Komplikasi ini dapat berupa:
a. Fraktur: kejang otot dan kejang dapat menyebabkan patah tulang dalam kasus
yang parah
b. Pneumonia aspirasi: jika sekresi (isi perut) terhirup, infeksi saluran pernapasan
bagian bawah dapat berkembang lalu menyebabkan pneumonia
c. Laringospasme: kotak suara mengalami kejang yang dapat berlangsung sampai
satu menit sehingga menyebabkan kesulitan bernapas
d. Kejang tetanik: pasien dapat mengalami serangan tetanus jika infeksi menyebar
ke otak
e. Emboli paru: pembuluh darah di paru-paru dapat tersumbat dan memengaruhi
pernapasan dan sirkulasi
f. Gagal ginjal parah (gagal ginjal akut): kejang otot yang parah dapat menyebabkan
kerusakan otot rangka, lalu mengakibatkan protein otot bocor ke dalam urine

7
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada
anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan
pemeliharaan kesehatan seperti kebersihan lingkungan dan perorangan,
bahkan bisa juga terjadi pada penduduk pria pada usia produktif (Muttaqin,
2008, p. 219)
b. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan
penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, 2008, p. 118).
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma (Muttaqin, 2008, p. 221).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pasien tetanus sering menimbulkan kejang, dan harus diberikan
tindakan untuk menurunkan keluhan kejang tersebut (Muttaqin, 2008, p.
221).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya
tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi
kotor karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan
dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah
tulang terbuka. Adakah porte d'entree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan
benda yang kotor (Muttaqin, 2008, p. 222).
2) Riwayat Pengobatan

8
Biasanya pasien tetanus menggunakan obat-obatan diazepam sebagai
terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan
system saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan reticular, mungkin
dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori
utama (Sudoyo, 2009, p. 2920).
3) Riwayat Psikososial
Psikososial pasien tetanus biasanya timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit (Muttaqin, 2008, p.
222).
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Kesadaran klien biasaanya composmentis, pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan (Muttaqin, 2008, p. 223).
b) Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanus
biasanya normal (Muttaqin, 2008, p. 222).
2. Nadi : penurunan deenyut nadi terjadi berhubungan
dengan perfusi jaringan di otak (Muttaqin, 2008, p. 222)
3. RR : Frekuensi pernappassan pada pasien tetanus
meningkat karena berhubungan dengan peningkatan laju
metabolism umum (Batticaca, 2012, p. 127).
4. Suhu pada pasien tetanus biasanya peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40°C (Batticaca, 2012, p. 127).
2) Body System
a) Sistem pernapasan
9
Inspeksi apakah klien terdapat batuk, produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot pernapasan dan peningkatan frekuensi pernapasan
yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya
ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi thorax didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronchi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun (Muttaqin, 2008, p. 223).
b) Sistem kardiovaskuler
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik
yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasanya normal,
peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit
(Muttaqin, Arif, 2012, p. 138).
c) Sistem motoric
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada
tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
d) Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosreum derajat refleks pada respons normal.
e) Gerakan involunter
Tidak diremukun adanya tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada
anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu nibuh yang tinggi.
Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
f) Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan
raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseptif
normal dan pcrasaan diskriminatif normal. (Muttaqin, 2008, p. 223).
g) Sistem perkemihan
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena
kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran
urine dengan menggunakan cateter (Muttaqin, 2008, p. 224).
h) Sistem pencernaan
10
Mual sampai munttah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun Karen
aanorexia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan)
merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot
menyebabkan kesulitan BAB (Muttaqin, 2008, p. 224)
i) Sistem Integumen
klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam nisalnya
tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi
kotor, karena terjatuh di tempat yang kotor, dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu atau kotoran juga
luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte de entrée seperti
luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi
berlubang dikorek dengan benda yang kotor (Muttaqin, 2008, p.
222).
j) Sistem musculoskeletal
adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Biasanya klien yang mengalami
patah tulang terbuka memungkinkan port de entrée kuman
clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang
optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra
pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen (Muttaqin,
2008, p. 224)
e. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. bentuk takikardia
ventrikuler (torsaderse pointers)
2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih
rendah kadar fosfat dalam serum meningkat
3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi (Nurarif &
Kusuma, 2016, p. 289)
f. Penatalaksanaan
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita) jika
terjadi luka lagi, dilakukan booster ulang
11
2. Imunisasi pastif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat bertahan
7-10 hari). Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis
sehingga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Jika pda lokasi skin test
tidak terjadi kemerahan, gatal, dan pembengkakan maka imunisasi dapat
diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (750-1250 UI). HyperTet
250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan setengahnya (12,5 UI) bila
tidak tahan ATS
3. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai perhidrol
(hydrogen peroksida –H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit
4. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan simbiosis) (Batticaca, 2012, p.
128)
Pengobatan Tetanus :
Berdasarkan patogenesis, prinsip terapi ditujukan pada adanya toksin yang
berada di sirkulasi darah dan adanya basil di tempat luka. Adanya stimulus
yang diterima saraf aferen dan adanya serabut motoric yang menimbulkan
spasme dan kejang
Obat-obatan :
1. Antibiotika
Diberikan parenteral penniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan penicilin dosis 50.000 unit /
KgBB / 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis
30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
dalam dosis terbagi (4 dosis). Antibioika ini hanya bertujuan membunuh
bentuk vegetative dari C. tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Imunoglobulin (TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti complementary
aggregates of globulin, yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang
serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetaus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin intravena, pemberian harus

12
sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus
dilakukan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab kematian utama pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikasinya. Dengan
penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 290).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Definisi:
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten.
Penyebab:
Fisiologis
1) Spasme jalan napas
2) Hipersekresi jalan napas
3) Disfungsi neuromuskuler
4) Benda asing dalam jalan napas
5) Adanya jalan napas buatan
6) Sekresi yang tertahan
7) Hiperplasia dinding jalan napas
8) Proses infeksi
9) Respon alergi
10) Efek agen farmakologis (mis.anastesi)
Gejala dan tanda mayor
Objektif
1) Batuk tidak efektif
2) Tidak mampu batuk
13
3) Sputum berlebihan
4) Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering
5) Mekonium dijalan napas (pada neonatus)
Gejala dan tanda minor
Subjektif
1) Dispnea
2) Sulit bicara
3) Ortopnea
Objektif
1) Gelisah
2) Sianosis
3) Bunyi napas menurun
4) Frekuensi napas berubah
5) Pola napas berubah
Kondisi klinis terkait:
1) Gullian barre syndrome
2) Sklerosis multipel
3) Myasthenia gravis
4) Prosedur dignostik (mis. Bronkoskopi, transesophageal echocardiography
5) Depresi sistem saraf pusat
6) Cedera kepala
7) Stroke
8) Kuadriplegia
9) Sindrom aspirasi mekonium
10) Infeksi saluran napas (PPNI, 2017, p. 18)
2. Gangguan Mobilitas Fisik
Definisi
Keterbatasan dalam gerak fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri
Penyebab
1. Kerusakan integritas
2. Perubahan metabolism
3. Ketidakbugaran fisik
4. Penurunan kendali otot
5. Penurunan masa otot
14
6. Penurunan kekuatan otot
7. Keterlambatan perkembangan
8. Kekakuan sendi
9. Kontraktur
10. Malnutrisi
11. Gangguan muskuloskletal
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif
1. Kekuatan ototmenurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak
Objektif
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidan terorganisi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
Kondisi klinis terkait
1. Stroke
2. Cedera medulla spinalis
3. Trauma
4. Fraktur
5. Osteoarthritis
6. Ostemalasia
7. Keganasan
3. Risiko Infeksi
Definisi
Beresiko mengalami peningkatan terserang oraganisme patogenik

15
Faktor Risiko
1. Penyakit kronis
2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
Kondisi Klinis Terkait
1. AIDS
2. Luka bakar
3. Penyakit paru obstruktif kronis
4. DM
5. Tindakan invasive
6. Kondisi penggunaan terapi steroid
7. Penyalahgunaan obat
8. Ketuban pecah sebelum waktunya
9. Kanker
10. Gangguan fungsi hati
4. Risiko Cedera
Definisi
Beresiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang
tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik
Factor Risiko
Eksternal
1. Terpapar pathogen
2. Terpapar zat kimia toksik
3. Terpapar agen nosocomial
4. Ketidakmampuan transportasi
Internal
1. Ketidaknormalan profil darah
2. Perubahan orientasi afektif
3. Perubahan sensasi
4. Disfungsi autoimun
5. Disfungsi biokimia
16
6. Hipoksia jaringan
7. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
8. Malnutrisi
9. Perubahan fungsi psikomotor
10. Perubahan fungsi kognitif
Kondisi Klinis Terkait
1. Kejang
2. Sinkop
3. Vertigo
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan pendengaran
6. Penyakit Parkinson
7. Hipotensi
8. Kelainan nervus vestibularis
9. Retardasi mental
3. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
a. Tujuan: mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan nafas
b. Kriteria hasil
1) Batuk efektif
2) Mengeluarkan sekret secara efektif
3) Mempunyai jalan napas yang paten
4) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
5) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
6) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
7) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah
c. Intervensi (SIKI)
1) Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis, gurgling, mengi, wheezing, ronkhi,
kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2) Teraupetik
- Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
17
- Posisikan semi-fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen, jika perlu
3) Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
- Ajarkan tekhnik batuk efektif
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
(PPNI, 2018. p. 186)
2.Gangguan Mobilitas Fisik
1) Tujuan: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah
2) Kriteria hasil:
a. pergerakan ekstremitas meningkat
b. kekutan otot meningkat
c. rentang gerak (ROM) meningkat
3) Observasi
1. identifikasi adanyanyeri atau keluhan fisik lainnya
2. identifkasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
4. Monitor kondisiumum selama melakukan ambulasi
4) Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
2. Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
5) Edukasi
1. jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2. anjurkan melakukan ambulasi dini
3. anjurkan melakukan ambulai sederhana yang harus dilakukan
3. Risiko Infeksi
Tujuan: mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang oragnisme patogenik
Kriteria hasil:
1. demam menurun
18
2. kemerahan menurun
3. nyeri menurun
4. bengkak menurun
Observasi
1. monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik
1. batasi jumlah pengunjung
2. berikan perawatankulit pada area edema
3. cuci tangan sebelum dan sesuah bertemu pasien dan lingkungan pasien
4. pertahankan Teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
1. jelaskan tandadan gejala infeksi
2. ajarkan ara mencuci tangan denganbenar
3.ajarkan etika batuk
4. ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
5. anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. anjurkan meningkatkan asupan airan
4. Risiko Cedera
Tujuan: mengidentifikasi dan mengelola lingkungan fisik untuk meningkatkan
keselamatan
Kriteria hasil:
1. toleransi aktivitas meningkat
2. nafsu makan meningkat
3. toleransi makanan meningkat
4. kejadian cedera menurun
5. luka atau lecet menurun
6. ketegangan otot menurun
7. fraktur menurun
Observasi
1. identifikasi kebutuhan keselamatan
2. monitor perubahan status keselamatan lingkungan
Terapeutik
1. hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
2. modifikasi lingkunganuntuk meminimalkan bahaya dan risiko
19
3. sediakan alat bantu keamanan lingkungan
4. gunakan perangkat pelindung
5. hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
6. fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
7. lakukan program skrining bahaya lingkungan
Edukasi
1. ajarkan individu, keluarga dankelompok risiko tinggi bahaya lingkungan.

20
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Dr. Taufan Nugroho. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitar, Anak, Bedah, Penyakit
Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika
Muttaqin. (2008). Asuhan Kepeawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. (2017). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta:
Salemba Medika.
Nurarif & Kusuma. (2016). ASUHAN KEPERAWATAN PRAKTIS Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction Publishing.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat.
Sudoyo A. W . (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI.

21

Anda mungkin juga menyukai