Anda di halaman 1dari 27

A.

Definisi
Menurut Hastriati, 2019 memberi penjelasan bahwa fraktur tulang ialah suatu
kondisi dimana terputusnya kontinuitas struktur dari tulang sehingga
menyebabkan hilangnya integritas atau keutuhan dari tulang tersebut. Hal ini
dikarenakan oleh trauma akibat dari paparan stress fisik yang melebihi ambang
batas absorbs dari tulang tersebut yang seperti pukulan, benturan dengan benda
tumpul, meremuk, kontaksi otot ekstern dan kesalahan saat gerak reflek tubuh
yang terlalu mendadak. Selain itu, faktor resiko terjadinya fraktur dapat berupa
penyakit degeneratif seperti osteoporosis dan keadaan patologis lainnya
(Ramadhani, 2019)
Secara umum fraktur terbagi berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
sekitarnya yang meliputi fraktur terbuka maupun tertutup. Selain itu untuk
menentukan cara penatalaksanaannya, fraktur juga dibagi berdasarkan lokasi
dimana bagian tubuh yang terdampak salah satunya yang sering terjadi yaitu
fraktur ekstermitas bawah yang meliputi femur, tibia serta fibula (Ramadhani,
2019). Berdasarkan hal tersebut fraktur ekstermitas bawah menduduki angka
kejadian fraktur tertinggi yang dijumpai dibidang orthopedi dengan prosentase
sebanyak 46,2% (Martiana, 2019).
B. Etiologi
Fraktur diakibatkan oleh adanya trauma/cedera fisik maupun kondisi
patologis lainnya yang dapat memicu terjadinya kecacatan hingga kematian pada
individu yang terdampak. Penyebab trauma fisik pada pasien fraktur dapat
dikelopokkan sebagai kecelakaan lalu lintas (37,5%) dan kecelakaan non lalu
lintas (62,5%). Penyebab fraktur dari kecelakaan non lalu lintas dapat berupa
tusukan benda tajam, pukulan benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan
olahraga, terjatuh dan kecelakaan rumah tangga lainnya. Selain itu penyebab
degeneratif atau patologis pada pasien fraktur yang paling sering terjadi adalah
osteoporosis. Berikut merupakan klasifikasi frakur berdasarkan penyebabnya:
1. Trauma Langsung
Trauma terjadi secara langsung pada tulang mengenai kaki seperti pukulan,
benturan, dll
2. Trauma Tidak Langsung

1
Misalnya peristiwa jatuh ketika kaki pada keadaan ekstensi
3. Kekerasan akibat trauma otot
Beberapa kejadian yang menyebabkan pemuntiran, penekukan dan
penekanan.
4. Trauma Patologis
Secara patologis merupakan suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat
proses penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal ini
dapat terjadi pada berbagai keadaan
(Ramadhani, 2019)
C. Patofisiologi
Pada kejadian fraktur atau patah tulang, terdapat cedera pada periosteum,dan
pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak di dekatnya.
Keadaan tersebut merupakan indikasi pembedahan karena dapat mengakibatkan
syok hipovolemik. Perdarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan
jaringan sekitar daerah cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul
rasa nyeri yang hebat sehingga mengakibatkan syok neurogenik (Arafah dan
Martiana, 2019).
Sedangkan kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan
sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur hingga terjadi
keterbatasan gerak pada area yang terdampak. Akibat patah tulang tersebut
perdarahan dapat terjadi pada jaringan disekitar area cedera sehingga
menyebabkan kerusakan (Arafah dan Martiana, 2019). Sel darah putih dan sel
mast akan terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sel – sel mati dimulai. Pada area
yang patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala – jala
untuk pembentukan sel – sel baru yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi
dan sel – sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati
(Arafah dan Martiana, 2019).
Tulang bersifat rapuh namun memiliki kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternl yang datang lebih besar dari yang dapat
diseraptulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan usak
hingga terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,maka terjadilah

2
kerusakan periosteum dan pembuluh darah serta saraf daam korteks dan jaringan
lunak yang membungkus tulang. Akibat dari perdarahan maka terjadilah
hematoma di rogga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekaan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi , eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang (Arafah dan Martiana, 2019).

D. Manifestasi klinis
Menurut (Hastriati, 2019) terdapat beberapa tanda gejala klinis dari kasus
fraktur femur yang sudah di temukan, diantaranya:

1. Nyeri hebat pada area fraktur dan meningkat ketika ditekan/disentuh


2. Tidak dapat digerakkan
3. Spasme otot
4. Terjadi perubahan bentuk atau posisi (dislokasi) dari kondisi normal
5. Ada tidaknya luka pada daerah fraktur
6. Kehilangan sensasi pada bagian distal karena terjadi jepitan syaraf oleh
fragmen tulang
7. Krepitasi jika digerakkan
8. Pendarahan
9. Hematoma
10. Syok
11. Keterbtasan mobilisasi

E. Klasifikasi
Menurut Smeltzer (2013), fraktur dibagi menjadi beberapa tipe, antara lain:
a. Fraktur Komplet
Fraktur komplet merupakan patah diseluruh penampang lintang tulang
yang sering kali tergeser.
b. Inkomplet (Fraktur greenstick)
Fraktur Inkomplet merupakan patah yang terjadi hanya pada sebagain
dari penampang lintang tulang.

3
c. Fraktur Remuk (comminuted)
Fraktur Remuk merupakan patah dengan beberapa fragmen tulang.
d. Fraktur Tertutup
Fraktur Tertutup merupakan fraktur sederhana dan tidak menyebabkan
e. Fraktur Terbuka
Fraktur Terbuka atau fraktur campuran/kompleks merupakan patah
dengan luka pada kulit atau membran mukosa meluas ke tulang yang
fraktur. Fraktur terbuka dikelasifikasikan menjadi tiga derajat, yaitu:
1) Derajat I: Luka bersih, panjang < 1 cm
2) Derajat II: Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas
3) Derajat III: Luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas (tipe paling berat)

F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang untuk kasus fraktur femur menurut
(Humaryanto, 2019), antara lain:
1. X-Ray untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cidera
2. Bone scanes, Tomogram atau MRI scanes
3. Arteriogram, apabila terjadi kerusakan vascular
4. CCT jika terdapat kerusakan otot
5. Pemeriksaaan kreatinin, dikarenakan trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klien ginjal.

G. Penatalaksaan Medis
Berikut beberapa penatalaksanaan medis menurut (Humaryanto, 2019) untuk
kasus fraktur femur, diantaranya:
1. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Antrain
Dosis 500 mg melalui IV atau IM. Antrain merupakan obat nyeri atau anti
demam. Tidak digunakan untuk obat sakit otot atau flu. Jangan dinguakan
dalam jangka panjang dapat menimbulkan agranulositosis. Dapat
menimbulkan kulit ruam. Gangguan hati bila di gunakan jangka panjang.

4
b. Ketorolac
Dosis 10 mg melalui IV, biasa digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut
yang berat jangka pendek (<5 hari), kontra indikasinya : Hipersensitif
terhadap ketrolak tromethamine  dan pernah menunjukan reaksi alergi
terhadap aspirin atau obat AINS lainnya, Penderita gangguan ginjal berat
atau berisiko menderita gagal ginjal. Ibu menyusui. Dapat menyebabkan
Ulkus, perdarahan saluran cerna dan perforasi, hemoragis pasca bedah,
gagal ginjal akut, reaksi anafilaktoid, dan gagal hati.
c. Pranza Pantoprazole
Dosis 40 mg vial diinjeksikan via IV, Diindikasikan pada pengobatan ulkus
lambung, ulkus duodeni, refluks esofagitis derajat sedang dan  berat serta
kondisi hepersekresi patologis seperti pada sindrom Zollinger-Ellison atau
keganasan lainnya. Kontra indikasinya : Pada pasien yang diketahui
hipersensitif terhadap salah komponen. Efek sampingnya umum dan lokal
pada tempat pemberian ; sangat jarang: tromboflebitis, edama perifer.
Darah dan sitem limfatik: sangat jarang : leukopenia, trombositopenia.
gastrointestinal: nyeri perut bagian atas, diare, konstipasi, flulensi; jarang
mual, muntah, mulut kering.

d. Dexketoprofen
Dosis 2ml (25 mg) Amp injeksi via IV, digunakan untuk pengobatan nyeri
akut bila pemberian per oral tidak memungkinkan, seperti nyeri setelah
operasi, dan seperti nyeri akut muskulooskeletal, dismenoria, sakit gigi.
Jangan digunakan pada penderita yang pernah mengalami serangan asma,
brokospasme, rinitis akut, atau polip nasl, urtikaria atau edema
angioneurotik yang dicetuskan oleh obat lain dengan cara kerja yang serupa
( misalnya aspirin, atau NSAID lainnya ), Bisa terjadi : mual, muntah, nyeri
pada tempat injeksi, nyeri perut, diare, dispepsia.
e. Fosmicin
Dosis 1g vial injeksi via IV, digunakan untuk pencegahan infeksi pada
operasi abdomen, jangan digunakan pada klien hipersensitifitas terhadp

5
fosfomycin dapat menyebabkan sakit kepala, mual kering, vertigo, rasa
tidak nyaman pada dada.
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah.
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk
tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah:
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips ialah :
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan
klien
4) Jangan merusak / menekan gips
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
c. Penarikan (traksi) :
Traksi digunakan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri karena
spasme otot, memperbaiki dan mencegah deformitas, dan imobilisasi.
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada
keadaan darurat
2) Traksi mekanik, terdiri dari dua macam :

6
a. Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal
otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b. Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
d. Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk
fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan
terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat
untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan
radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di
antara ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan
stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat
penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah
sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi,
trauma bedah tambahan dan risiko infeksi. Closed nailing memungkinkan
mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling
sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture
paling baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan
panjang dan rotasi.
1) ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
ORIF merupakan suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. ORIF merupakan
suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah/fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak
asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup,
paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. ORIF adalah alat bantu jalan dan mobilisasi yaitu alat

7
yang di gunakan untuk membantu klien supaya dapat berjalan dan
bergerak.
2) OREF
OREF merupakan reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana
prinsipnya tulang ditransfiiksasikan diatas dan di bawah fraktur,
sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal
kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil
untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang
dijaga agar tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang.

8
H. Pathway

Trauma tidak
Trauma Langsung Trauma Patologis
Langsung

Fraktur

Kerusakan
Kerusakan Pergeseran Nyeri
integritas Laserasi Kulit Spasme otot
fragmen tulang fragmen tulang Akut
Kulit

Peningkatan tek. Tek. Sumsum tlg >


Putus vena/arteri kapiler Deformitas
kapiler

Perdarahan Pelepasan histamin Emboli Ggg fungsi

Protein plasma Ggg Perfusi Menyumbat Ggg. Mobilitas


Cairan turun
turun Jaringan pembuluh darah fisik

Penekanan
Syok hipovolemik Edema
pembuluh darah

9
KONSEP ASUHAN KEPRAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
1.1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

10
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

11
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
4. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena

12
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain
5. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
6. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
7. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
8. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
9. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
10. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

13
I. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
3. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
4. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
5. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
6. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
7. Mata

14
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan
8. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
9. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung
10. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
11. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
12. Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
13. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
14. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
15. Inguinal-Genetalia-Anus

15
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5
P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.


Capillary refill time Normal > 3 detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
b) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status

16
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.

B. Diagnosa
1. Pre-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Syok Hipovolemik b.d terputusnya vena/arteri
c. Gangguan perfusi jaringan b.d spasme otot
d. Kerusakan integritas kulit b.d trauma
e. Ansietas b.d persiapan operasi
2. Post-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Gangguan mobilitas fisik b.d imobilisasi area fraktur
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
d. Defisiensi pengetahuan b.d ketidaktahuan terkait perawatan post
operasi

17
C. Intervensi keperawatan
1. Pre Operasi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan perawatan diharapkan nyeri dapat NOC: Monitor Tanda – Tanda Vital
pergeseran fragmen berkurang dengan kriteria hasil: - Monitor tekanan darah, nadi,
tulang 1. NOC: status kenyamanan fisik suhu, dan status pernafasan
- Posisi yang nyaman dipertahankan di skala 2 dengan tepat
(banyak terganggu) ditingkatkan ke skala 4 - Identifikasi kemungkinan
(sedikit terganggu) penyebab perubahan tanda –
2. Status Neurologi tanda vital
- Kesadaran dipertahankan di skala 4 NIC: Manajemen Nyeri
ditingkatkan ke skala 5 - Lakukan pengkajian nyeri
- Tekanan darah dipertahankan di skala 4 komprehensif
(sedikit terganggu) ditingkatkan ke skala 5 - Berikan informasi mengenai
(tidak terganggu) nyeri
- Tekanan nadi dipertahankan di skala 4 - Ajarkan penggunaan teknik
ditingkatkan ke skala 5 non farmakologi untuk
- Laju pernafasan dipetahankan di skala 4 mengurangi nyeri
ditingkatkan ke skala 5 - Kolaborasikan pemberian
3. NOC: Pengetahuan: manajemen nyeri analgesik

18
- Strategi untuk mengontrol nyeri NIC: Pengaturan posisi
dipertahankan di skala 2 (terbatas) - Tempatkan pasien pada tempat
ditingkatkan ke skala 4 (banyak) tidur terapeutik
- Teknik relaksasi efektif dipertahankan di - Imobilisasi bagia yang terkena
skala 2 ditingkatkan ke skala 4 dampak

2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan diharapkan kerusakan NIC: Perindungan Infeksi
kulit b.d trauma integritas kulit pasien dapat menuru dengan kriteria - Periksa kondisi sayatan bedah
hasil : atau luka
NOC: Integritas Jaringan: Kulit & Membran - Ajarkan pasien dan keluarga
Mukosa bagaimana cara menghindari
1. Integritas kulit (5) infeksi
2. Lesi pada kulit (5) NIC: Pengecekan kulit
- Periksa kulit dan selaput lendir
terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan
ekstrirn, edema, atau drainase
- Amati warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada
ekstremitas
- Monitor kulit dan selaput

19
lendir terhadap area perubahan
warna, memar, dan pecah
- Monitor infeksi, terutarna dari
daerah edema
- Ajarkan anggota
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit, dengan tepat
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan perawatan diharapkan perfusi jaringan NIC: Monitor Cairan
perfusi jaringan perifer kembali adekuat dengan keriteria hasil: - Tentukan jumlah dan jenis
perifer b.d spasme otot 1. NOC : Perfusi jaringan perifer intake cairan serta kebiasaan
- Edema perifer dipertahankan di skala 3 eliminasi
(sedang) ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada) NIC:Manajemen Cairan
- Kram otot dipertahankan di skala 3 (sedang) - Kaji lokasi dan luasnya edema
ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada) - Atur kesediaan produk darah
- Kerusakan kulit dipertahankan di skala 3 untuk tranfusi
(sedang) ditingkatkan ke skala 4 (ringan) - Konsultasikan pada dokter jika
tanda dan gejala menetap
NIC: Pengecekan kulit
- Amati warna kemerahan,
kehangatan, bengkak, pulsasi,
tekstur edema dan ulserasi pada

20
ekstermitas
4. Ansietas b.d persiapan Setelah dilakukan perawatan diharapkan tingkat NIC: Teknik menenangkan
operasi kecemasan pasien dapat menurun dengan kriteria hasil: - Intruksikan klien menggunakan
1. NOC: Koping metode untuk mengurangi
- Mengidentifikasi pola koping yang efektif kecemasan (nafas dalam,
dipertahankan di skala 3 (kadang – kadang distraksi)
menunjukkan) ditingkatkan ke skala 5 - Kurangi stimuli yag
(konsisten) menciptakan perasaan takut
- Melaporkan penurunan stress dipertahankan dan cemas
di skala 3 ditingkatkan ke skala 5 NIC: Peningkatan Koping
- Melaporkan penurunan perasaan negatif - Bantu pasien mengidentifikasi
dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke tujuan jangka panjang dan
skala 5 jangka pendek
- Berikan suasana penerimaan
5. Resiko syok Setelah dilakukan perawatan diharapka syok NIC: Pengurangan Perdarahan
hipovolemik b.d hipovolemik dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Berikan penekanan langsung
terputusnya 1. NOC: Keparahan syok hipovolemik atau penekanan pada balutan
vena/arteri - Melambatnya waktu pengisian kapiler - Monitor jumlah dan sifat
dipertahankan di skala 3 (sedang) kehilangan darah
ditingkatkan ke skala 5 (tidak ada) - Intruksikan keluarga untuk
- Nadi lemah dan halus dipertahankan di skala memberitahu perawat jika
3 ditingkatkan ke skala 5 perdarahan berlanjut

21
- Pucat dipertahankan di skala 3 ditingkatkan - Monitor kepatenan IV
ke skala 5 NIC: Manajemen Hipovolemi
2. NOC: Keparahan cedera fisik - Berikan cairan IV isotonik
- Fraktur ekstremitas dipertahankan di skala 3 bolus yang diresepkan pada
ditingkatkan ke skala 5 aliran tetesan yang tepat untuk
- Perdarahan dipertahankan di skala 3 menjaga integritas hemdinamik
ditingkatkan ke skala 5

22
2. Post Operasi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan perawatan diharapkan nyeri dapat NOC: Monitor Tanda – Tanda Vital
pergeseran fragmen berkurang dengan kriteria hasil: 1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
tulang 1. NOC: status kenyamanan fisik status pernafasan dengan tepat
- Posisi yang nyaman dipertahankan di 2. Identifikasi kemungkinan penyebab
skala 2 (banyak terganggu) ditingkatkan perubahan tanda – tanda vital
ke skala 4 (sedikit terganggu) NIC: Manajemen Nyeri
2. Status Neurologi 3. Lakukan pengkajian nyeri
- Kesadaran dipertahankan di skala 4 komprehensif
ditingkatkan ke skala 5 4. Berikan informasi mengenai nyeri
- Tekanan darah dipertahankan di skala 4 5. Ajarkan penggunaan teknik non
(sedikit terganggu) ditingkatkan ke skala farmakologi untuk mengurangi nyeri
5 (tidak terganggu) 6. Kolaborasikan pemberian analgesik
- Tekanan nadi dipertahankan di skala 4 NIC: Pengaturan posisi
ditingkatkan ke skala 5 7. Tempatkan pasien pada tempat tidur
- Laju pernafasan dipetahankan di skala 4 terapeutik
ditingkatkan ke skala 5 8. Imobilisasi bagia yang terkena dampak
3. NOC: Pengetahuan: manajemen nyeri
- Strategi untuk mengontrol nyeri
dipertahankan di skala 2 (terbatas)
ditingkatkan ke skala 4 (banyak)

23
- Teknik relaksasi efektif dipertahankan di
skala 2 ditingkatkan ke skala 4
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan perawatan diharapkan gangguan NIC: Pengaturan Posisi Kursi Roda
fisik b.d imobilisasi mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Gunakan prinsip penggunaan
area fraktur 1. NOC: Ambulasi kursi roda mekanik tubuh yang tepat ketika
- Perpindahan ke dan dari kursi roda memposisikan pasien
dipertahankan di skala 3 (cukup - Intruksikan pasien bagaimana cara
terganggu) ditingkatkan ke skala 5 (tidak berpindah dari tempat tidur ke kursi
terganggu) roda
- Menjalankan kursi roda dengan aman - Intruksikan pasien bagaiaman cara
dipertahankan di skala 3 (cukup mengoperasikan kursi roda
terganggu) ditingkatkan ke skala 5 (tidak NIC: Perawatan Traksi/Imobilisasi
terganggu). - Posisikan kesejajaran tubuh yang
2. NOC : reaksi terhadap sisi yang terkena sesuai
dampak - Yakinkan bahwa tali dan katrol
- Melindungi sisi yang terkena dampak terhgantung bebas
ketika ambulasi dipertahankan di skala 3 - Monitor tonjolan tulang dan kulit
(kadang menunjukkan) ditingkatkan ke terkait tanda – tanda terkelupasnya
skala 5 (konsisten) menunjukkan kulit
- Melkukan perawatan sehari – hari untuk - Monitor sirkulasi, gerakan dan
sisi yang terkena dipertahankan di skala 3 sensasi ekstermitas yang sakit
(kadang) ditingkatkan ke skala 5 NIC: Pembidaian

24
(konsisten) - Monitor perdarahan pada area
cedera
- Pasang bidai pada ekstermitas
terdampak, topang area yang tauma
dengan tangan, minta bantuan nakes
lain bila memugkinkan
3. Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan perawatan diharapkan gangguan NIC: Peningkatan koping
b.d perubahan fungsi citra tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Bantu pasien mengidentifikasi
tubuh 1. NOC: Adaptasi terhadap disabilitas fisik tujuan jangka panjang dan jangka
- Beradaptasi terhadap keterbatasan secara pendek
fungsional dipertahankan di skala 3 - Berikan suasana penerimaan
(kadang) ditingkatkan ke skala 5 NIC: Dukungan Emosional
(konsisten). - Dorong pasien untuk
- Mengidentifikasi resiko komplikasi yang mengekspresikan perasaannya
berhubungan dengan disabilitas - Buat pernyataan yang mendukung
dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke dan berempati
skala 5.
- Mengidentifikasi rencana untuk
memenuhi ADL instrumental
dipertahankan di skala 3 ditingkatkan ke
skala 5
2. Pemulihan pembedahan: penyembuhan

25
- Integritas jaringan dipertahankan di skala
3 (sedang) ditingkatkan ke skala 5 (tidak
ada deviasi)
-
4. Defisiensi Setelah dilakukan perawatan diharapkan pasien dapat NIC: Pengajaran prosedur/perawatan
pengetahuan b.d memiliki pengetahuan terkait penyakit dan - Kaji pengalaman pasien sebelumnya
ketidaktahuan terkait pemulihannya dengan kriteria hasil: dan tingkat pengetahuan pasien
perawatan post 1. NOC: Pengetahuan: prosedur perawatan terkait tindakan yang akan
operasi - Pengetahuan terkait prosedur, tujuan dilakukan
prosedur dan langkah – langkah prosedur - Jelaskan beberapa peralatan beserta
diperahankan di skala 3 (sedang) fungsinya
ditingkatkan ke skala 5 (sangat banyak). - Informasikan agar pasien iut terlibat
dalam proses penyembuhannya

26
DAFTAR PUSTAKA

Arafah, M. dan Martiana. 2019. Fraktur Tibial Plateau Posterior ; Klaifikasi Three Column
Concept dan Tantangan Approach Operasi. Jurnal Saintika Medika. 15(1): 41 – 49.

Desiartama, A., I.G.N.W.Aryana. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika. 6(5): 1 – 4.

Humaryanto., O, Firmansyah. 2019. Pengaruh Faktor Status Sosioekonomi Terhadap Pemilihan


Penanganan Pasien Patah Tulang Tertutup Komplit di RSUD Raden Matteher Jambi.
JMJ . 7(2): 215 – 224.

Hastriati, A.Y. 2019. Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Cara Perawatan Pasien Fraktur Di
RSUD Arifin Achmad. Jurnal Keperawatan Abdurrab. 3(1): 25 – 33.

Ramadhani, R.P., N. Romadhona., M.A. Djojosugito., Dyana., D. Rukanta. 2019. Jurnal


Integrasi Kesehatan dan Sains. 1(1): 32 – 35.

Sembiring, S. 2018. Diagnosis Diferensial Nyeri Otot. Medan : Samuel Karta

Smeltzer., dan Bare. 2013. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Bruner dan Suddarth
Edisi 8. Jakarta : EGC.

Wahyuningsih, S. P., dan Kusmiyati Y. 2017. Buku ajar Kebidanan Anatomi Fisiologi. Jakarta :
BPPSDM Kemenkes RI

27

Anda mungkin juga menyukai