Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ENCHEPALOPATY


UREMICUM DI RUANG ADENUM RSUD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH :

Ajeng Dian Sandika, S.Kepp


NIM 222311101055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2022
BAB 1. KONSEP PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi


1. Kepala
Tulang tengkorak adalah sebuah tulang yang melindungi otak yang terdiri dari tulang
cranium dan tulang muka. Tengkorak terdari dari 2 bagian yaitu cranium yang terdiri
atas 8 tulang yang terbagi menjadi 2 yaitu tulang calvarium (skullcap) dan tulang
lantai. Tulang kerangka wajah yang terdiri dar 14 tulang. Rongga tengkorak memiliki
permukaan atas yang licin, dan permukaan dalam yag ditandai dengan adanya sebuah
lekukan untuk menyesuaikan bentuk otak dan pembuluh darah (Pearce, 2016).

Gambar 1. Bagian Dalam Rongga Tengkorak


Tulang oksipital berada di again belakang bawah tulang cranium. Tulang ini dilewatu
oleh foramen magnum atau lubang kepala belakang yang dilewati oleh medulla
oblongata untuk bertemu dengan medulla spinalis (Pearce, 2016).

Gambar 2. Tulang Oksipital


Bagian atap dan sisi tengkorak dibentuk oleh 2 tulang parietal dengan bagian luarnya
halus, namun bagian dalam ditandai dengan kerutan-kerutan yang terdiri dari arteri-
arteri cranium. Sebuah kerutan yang sanggat besar berada di sebelah tengah tulang
berisi arteri meningealis medialis.
Tulang frontal akan membentuk dahi dan bagian atas dari rongga mata. Bagian tepi
supra orbital ditandai dengan takik ditengah sebelah dalam. Melalui ini pembuluh
supra orbital dan syaraf orbital lewat.
Bagian bawah sisi kanan dan kiri tengkorak dibentuk oleh 2 tulang temporal. Setiap
tulang terdiri dari 2 bagian yaitu bagian squama atau bagian pipih yang menunjang
keatas dan memungkinkan otot-otot temporal berkait padanya. Dari porsesus
zygomaticus yang menjulang kedepan akan bertemy dengan os zygomaticus.
Dibelakang dan dibawah prosesus ini terdapat meatus akustiikus eksternus atau liang
telinga luar. Bagian petrosum dari tulang temporal terjepit dalam dasar tengkorak
dan terdapat alat-alat pendengaran.

Gambar 3. Tulang Frontal


Tulang spenoid adalah tulang yang membentang dari sisi fronto-parieto-temporal
dari satu sisi ke sisi yang lain. Etnoid merupakan tulang yang ringan, berebntuk
kubus, terletak pada atap hidung dan berada di antara kedua rongga mata. Terdiri atas
dua labirin yang terdiri atas rongga etmoid atau sinus. Etmoid juga terdiri dari sebuah
lempeng tegak lurus dan lempeng kribriformis (berbentuk tapis).

Gambar 4. 8 Tulang Kranial

2. Meningen
Merupakan sebuah selaput atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang
berfungsi dalam melapisi dan melindungi otak (Lumongga, 2007). Meningen terdiri
dari 3 bagian yaitu :
Gambar 5. Meningen
a. Durameter (lapisan luar)
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvesional durameter ini
terdiri dari dua lapis yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal (Lumongga,
2007). Durameter merupakan selaput keras pembungkus otak yang berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat, pada bagian tengkorak terdiri atas selaput tulang
tengkorak (perios) dan durameter tropia bagian dalam yang berfungsi dalam
mengalirkan darah dari vena pada otak (sinus vena) dan meningen ke vena jugularis
interna di bagian leher Pemisah durameter yang berbentuk sabit (falx serebri) terletak
di vertical antara hemishperium serebri dan lembarang horizontal yaitu tentorium
serebelli yang memiliki fungsi dalam membatasi ppergerakan otak secara berlebih
didalam cranium (Rios, 2015). Pada durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf
sensorik yang pela terhadap regangan ketika terjadi stimulasi sehingga hal ini dapat
menyebabkan sakit kepala yang hebat (Lumongga, 2007)
b. Arachnoid (lapisan tengah)
Lapisan ini adalah membrane yang impermeable halus dimana menutupi otak dan
terletak antara piameter dan durameter (Lumongga, 2007). Selaput ini memiliki
bentuk seperti balon dan memiliki ruang sub arachnoid di bagian serebelum bagian
bawah dan berukuran agak besar yang disebut sistermagma (Rios, 2015).
c. Piameter (lapisan dalam)
Selaput tipis yang terdapat di ppermukaan jaringan otak dan berhubungan dengan
arachnoid melalui struktur jaringan ikat (Rios, 2015). Lapisan ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung halus serta
dilalui pembuluh darah yang memberikan nutrisi pada jaringan saraf (Lumongga,
2007).
3. Otak
Otak bertanggung jawab terhadap pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi
atau rangsnagan terhadap kemampuan manusia dalam melakukan gerakan-gerakan
(Untari, 2012). Otak terdiri dari 4 bagian utama yaitu : otak besar (serebrum), otak
kecil (serebelum (cerebellum)), diensefalon, dan batang otak (brainstem) (Chaik,
2017).
a) Cerebrum (otak besar)
Berfungsi dalam kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual (Chaik, 2017). Terbagi menjadi 4 lobus
yaitu (Piete dan Nair, 2017) :
- Lobus oksipitalis yang berfungsi sebagai pusat penglihatan
- Lobus temporalis berfungsi sebagai pusat pendengaran
- Lobus parietalis berfungsi dalam menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur
dan berat badan kedalam sebuah presepsi
- Lobus frontalis berfungsi dalam mengendalikan keahlian motoric misalnya
menulis, selain itu juga pengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan (Peate dan
Nair, 2017)
b) Cerebellum
Terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas (Peate dan
Nair, 2017). Otak kecil berfungsi dalam mengontrol gerakan otut dan tonus,
mengatur keseimbangan dan postur yang tepat, mengatur tingkat gerakan yang
disengaja, berfungsi dalam keterampilan pembelajaran motorik (Chaik, 2017).
c) Brainstem (batang otak)
Berada di dalam tulang tengkorak bagian dasar memanjang sampai ke tulang
punggung atau sumsum tulang belakang (Peate dan Nair, 2017). Menghubungkan
antara sumsum tulang belakang ke otak besar, terdiri dari medulla oblongata, pons,
dan otak tengah, dengan posisi reticular tersebar di ketiga daerah tersebut. Berfungsi
dalam mengatur fungsi dasar manusia termasuk denyut jantung, pernafasan, shu
tubuh, mengatur proses pencernaan dan merupakan sumber insting dasar manusia
ketika adanya bahaya (Chaik, 2017).
d) Sistem limbik
Sistem ini terdiri dari hipotalamus, thalamus, amigdala, hippocampus dan korteks
limbik. Sistem ini berfungsi dalam menimbulkan perasaan, mentarur produksi
hormone, menjaga homeostatis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang (Peate dan Nair, 2017).
e) Sistem syaraf tepi
Terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf kranial merupakan saraf yang
langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak melalui lubang-
lubang pada tulang yang disebut foramina. Ada 12 pasang saraf kranial dengan nama
atau angka romawi (Peate dan Nair, 2017).
4. Syaraf otak
Terdapat 12 syaraf kranialis yaitu (Peate dan Nair, 2017) :
a) Nervus olfaktorius (nervus kranilais I) : syaraf pembau
b) Nervus optikus (nervus kranialis II) : syaraf bola mata, penglihatan ke otak.
c) Nervus okulomotorius (nervus kranialis III) : mmensarafi otot-otot orbital speerti
otor penggerak bola mata
d) Nervus trokhlearis (nervus kranialis IV) : syaraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelaang pusat penggerak mata
e) Nervus trigeminus (nervus kranialis V) fungsinya sebagai saraf otak besar yaitu
- Nervus oftalmikus : mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata aras
- Nervus maksilaris : mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung,
rongga hidung dan sinus maksilaris
- Nervus mandibula : mensarafi otot-otot pengunyah, gigi bawah, kulit daerah
temporal dan dagu.
f) Nervus abducens (nervus kranialis VI) : mensarafi otot-otot orbital, penggoyang
sisi mata
g) Nervus fasialis (nervus kranialis VII) : mensarafi otot-otot lidah dan selaput
lender rongga mulut, berfungsi dalam mengatur ekspresi wajah
h) Nervus akustikus (nervus kranialis VIII) : mensarafi alat pendengar, emmbawa
rangsangan dari pendengaran
i) Nervus glosofaringeus (nervus kranialis IX) : mensarafi faring, tonsil dan lidah
j) Nervus vagus (nervus kranialis X) : mensarafi faring, laring, paru-paru,
esofadus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen.
k) Nervus aksesorius (nervus kranialis XI : mensarafi muskulus
sternokleidomastodi dan pada muskulus trapezium, yang berfungsi dalam saraf
tambahan
l) Nervus hipoglosus (Nervus kranialis XII) : mensarafi otot-otot lidah
1.2 Definisi

Ensefalopati merupakan istilah yang digunakan dalam menjelaskan


kelainan pada fungsi otak menyeluruh dapat secara akut atau kronik,
progresif/statis. Ensefalopati yang terjadi sejak kecil dapat menyebabkan
gangguan perkembangan neurologis (WHO, 2006). Uremic encephalopathy
merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati metabolik. Ensefalopati
metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan
kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak. Uremic
encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun subakut
yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya
dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15
mL/mnt. Sebutan “uremic encephalopathy sendiri memiliki arti gejala
neurologis non spesifik pada uremia (Brunner & Suddart, 2017).
1.3 Epidemiologi

Prevalensi secara internasional terkait UE masih belum diketahui. Di


Amerika Serikat, prevalensi UE sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien
manapun dengan end-stage renal disease (ESRD),dan secara langsung
tergantung pada jumlah pasien tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang
diobati untuk ESRD. Pada tahun 1970an, jumlahnya 40,000. Dengan
bertambahnya jumlah pasien dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE
juga bertambah (Strait dan Sari, 2017).
1.4 Etiologi
Ensefalopati uremikum adalah kelainan pada fungsi otak yang disebabkan karena
gagal ginjal akut. Penyakit ini dapat disembuhkan secara sebagian dengan terapi
penggantian ginjal (Meyer, 2007). Senyawa yang terlibat dalam ensefalopati
uremikum adalah urea. Suatu kondisi dimana kadar urea dalam tubuh sangat tinggi,
sehingga menjadi racun sendiri atau biasa disebut dengan toksik uremic (Betches,
2020). Kondisi ini biasanya ditandai dengan angka laju filtrasi glomerulus (eGFR)
menurun dan tetap di bawah 15 mL/menit. Seseorang berisiko terkena ensefalopati
uremikum adalah penderita diabetes dan tekanan darah tinggi. Diabetes menyebabkan
kerusakan pada banyak organ di tubuh, termasuk ginjal, jantung, pembuluh darah,
saraf, dan mata (Claudia, 2020).
1.5 Klasifikasi
Ensefalopati dibedakan menurut penyebabnya adalah sebagai berikut (Fitri, F, 2009) :
a. Ensefalopati mitokondria : gangguan metabolic yang disebabkan oleh adanya
disfungsi dari DNA mitokondria
b. Glycine ensefalopati : gangguan metabolisme genetic yang disebabkan oleh
kelebihan produksi glisin
c. Hipoksia iskemik ensefalopati : ensefalopati permanen atau sementara yang
disebabkan kurangnya suplai oksigen ke otak
d. Uremik ensefalopati : disebabkan karena adanya gagal ginjal sehingga berbagai
racun secara bertahap membangun dan menyebabkan fungsi otak menurun
e. Hipertensi ensefalopati : disebabkan adanya peningkatan tekanan darah di
intracranial
f. Neonatal ensefalopati : disebabkan kurangnya oksigen dari aliran darah ke otak
jaringan janin selama persalinan
g. Salmonella ensefalopati : adalah suatu bentuk ensefalopati yang disebabkan oleh
keracunan makanan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan otak permanen dan
gangguan syaraf.
1.6 Patofisiologi
Penyebab pasti dari ensefalopati uremic masih belum diketahui secara jelas. Adanya
kumpulan dari metabolisme protein dan asam amino dapat mempengaruhi
keseluruhan neuraxis. Kadar dari beberapa guandinine campuran, termasuk asam
guanidinosuccinic, methylguandine, guanidine, dan creatinine akan meningkat pada
pasien dengan uremua baik yang dengan hemodialisa atau tidak. Komponen
guanidino juga dikenal karena bersifat neurotoxic. Pasien dengan gagal ginjal kronis
telah menunjukan peningkatan guanidinosuccinic acid dan guandine lebih dari 100
kali lipat, adanya peningkatan methylguandine 20 kali lipat, dan peningkatan
creatinine 5 kali lipat dalam berbagai daerah di otak. Adanya gangguan pada jalur
kynurenic, dimana tryptophan dirubah menjadi neuroactive kyureines. Dimana zat ini
dapat menyebabkan konvulsi sehingga dapat diangkat masalah keparwatan konvulsi
akut. Kelainan lain yang mungkin berhubungan dengan ensefalopati uremic meliputi
asidosis, hyponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hypermagnesemia,
overhydration dan dehidrasi hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kadar
glicyne, asam organic dan tryptophan bebas, penurunan kadar gamma-aminobutryic
acid (GABA) dalam CSF. Ensefalopati uremic melibatkan banyak hormone, beberapa
hormone kadarnya meningkat seperti parathyroid hormone (PTH), insulin, hormone
pertumbuhan, glucagon, thyrotropin, prolactin, luteinizing hormone, dan gastrin. PTH
dapat menyebabkan masuknya kalsium kedalam neuron sehingga terjadinya
perubahan saraf pusat. Kombinasi dari beberapa faktor, termasuk peningkatan
kalsium dan penurunan aktivitas GABA dan glycine akan mengakibatkan gangguan
keseimbangan efek eksitasi dan inhibisi yang memiliki fungsi terhadap perubahan
sistemik sehingga pasien dapat mengalami penurunan kesadaran (Fitri, F, 2009).
1.7 Manifestasi klinis

Gejala dini yang dapat disebabkan adalah Apatis, fatig, iritabilitas.


Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan
stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam
hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini
dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual
ringan dan gangguan konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu
(Strait dan Sari, 2017). Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu
disertai berbagai gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal
ensefalopati. Pasien mulai kedutan, jerk dan dapat kejang (Pralisa, K, 2020).
Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh otot, atau ekstremitas,aritmik,
asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun ataupun tidur. Pada beberapa
waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis,
atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik yang tidak terklasifikasi,
yang disebut uremic twitch- convulsive syndrome. Jika keadaan uremia
memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma. Jika asidosis metabolik
yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan Kussmaul yang
berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes (Strait dan
Sari, 2017).
Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum
Ringan Sedang Berat
Anoreksia Muntah Gatal
Mual Lamban Gangguan
orientasi
Insomnia Mudah lelah Kebingungan
“restlessness” Mengantuk Tingkah laku
aneh
Kurang atensi Perubahan pola Bicara pelo
tidur
Tidak mampu Emosional Hipotermia
menyalurkan ide
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan Asterixis
kognitif
Penurunan Kejang
abstraksi
Penurunan Stupor
kemampuan Koma
seksual

1.8 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis ensefalopati dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut
(Webster dkk, 2017) :
a. Pemeriksaan darah
1. Pemeriksaan darah lengkap
Hb menurun pada anemia, Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
2. Sel darah merah menurun pada defisien eritropoetin seperti azotemia
3. Pemeriksaan GDA
PH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hidrogen dan amoniak
atau hasil akhir katabolisme protein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun
4. Pemeriksaan kadar kalium
Kalium meningkat berkaitan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan
5. Magnesium fosfat meningkat
6. Kalsium menurun
7. Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
b. Pemeriksaan sumsum tulang belakang
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan infeksi. Pada
ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan pleositosis ringan
(biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).
c. CT Scan atau MRI
Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk menyingkirkan adanya
hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya menunjukkan atrofi serebri dan
pelebaran ventrikel pada pasien dengan chronic kidney disease.
d. Electroencephalograms
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan gejala klinis.
Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain dari konfusi seperti
infeksi dan abnormalitas struktural. Gambaran EEG yang sering ditemukan adalah
perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal yang intermiten dan paroksisimal,
bilateral, high voltage gelombang delta juga sering ditemukan. Kadangkala kompleks
spike- wave bilateral atau gelombang trifasik pada regio frontal dapat terlihat
1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi


sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis
buruk tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan
hemodialisis atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1
sampai 2 hari dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan
kognitif dapat menetap meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah
sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan komponen
esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan (Fitri, F, 2009).
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan
pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan
toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau
probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting
untuk eliminasi toksin uremik (Winarni dkk, 2019).
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine
untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau
absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk
status epileptikus konvulsif. Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk
kejang myoklonik pada end stage renal disease. Benzodiazepin (BZD) dan
Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas GABA dengan berikatan pada
kompleks reseptor GABA A, sehingga memfasilitasi GABA untuk berikatan
dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya BZD menyebabkan peningkatan
frekuensi terbukanya channel klorida, menghasilkan hiperpolarisasi membran
yang menghambat eksitasi selular. Koreksi anemia dengan eritropoetin
rekombinan pada pasien dialisis dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat
berhubungan dengan meningkatnya fungsi kognitif dan menurunkan
perlambatan pada EEG (Fitri, F, 2009).
1.10 Pathway

Infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensi, Faktor predisposisi : usia >60 tahun, jenis kelamin laki-
DM, gangguan herediter dan kongenital, gangguan laki, gaya hidup tidak sehat (merokok, konsumsi
metabolic, nefropati toksik dan nefropati obstruksi minuman berenergi)

Kerusakan/ kegagalan tubulus dan glomerulus

Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi

Peningkatan kompensasi kebutuhan nefron yang hilang

Sklerosis pada nefron

Glomerulosklerosis dan inflamasi interstisial

Jumlah nefron menurun secara kontinu

Total laju filtrasi glomerulus (GFR) dan klirens menurun,


BUN dan kreatinin meningkat
Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit

Gagal Ginjal Kronik

Sekresi protein Retensi natrium Sekresi


terganggu eritropoeitin
turun
Total CES naik
Sindrom uremia Produksi Hb
turun
Peningkatan Tekanan kapiler
Gangguan meningkat
glisin dan
keseimbangan Suplai oksigen
asam basa glutamin
Volume interstitial
GABA meningkat
Anemia
menurun
Asam lambung naik
Edema
Clouded Keletihan
Penuruan Kesadaran (D.0057)
sensorium Preload meningkat
Mual dan muntah

Gelisah Risiko Perfusi Serebral


Tidak Efektif (D.0017)
Nausea (D.0076)

Halusinasi Konfusi Akut


Penurunan COP Hipertrofi ventrikel
kiri

Suplai darah ke Suplai O2 Suplai O2 Jantung kiri lelah


ginjal turun jaringan turun jaringan turun
Risiko Penurunan
Bendungan atrium Curah Jantung
kiri meningkat (D.0011)
RAA turun Metabolisme Syncop
anaerob (kehilangan
kesadaran)
Retensi Na dan Tekanan vena
H2O Asam laktat pulmonalis
meningkat Risiko Perfusi
Serebral Tekanan kapiler paru
Hipervolemia Edema Tidak Efektif
meningkat
(D.0022) Fatigue/ nyeri (D.0017)
ekstremita
s
Cheyne-stokes
Nyeri
Kronis
(D.0076) Pola Nafas Tidak
Efektif (D.005)
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
e. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, suku bangsa,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor registrasi, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
f. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien datang dengan keluhan kejang-kejang dan dapat
disertai penurunan kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan ensefalopati terjadi kelemahan/gangguan
mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, dan adanya respon
cheynes-stokes.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien pernah menderita penyakit yang
disebabkan virus, infeksi bakteri kelainan dalam
struktur anatomi listrik fungsi kimia, keracunan
jaringan otak dan sel-sel (ex : keracunan
alcohol/penyalahgunaan narkoba, keracunan karbon
monok obat-obatan, zat beracun), adanya riwayat
penyakit gagal ginjal kronik.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya klien adanya kemungkinan cacat lahir
(kelainan genetic meyebabkan struktur otak yang
abnormal/aktivitas kimia den gejala yang di temukan
pada saat lahir).
g. Pengkajian Keperawatan
1) Presepsi kesehatan dan pemeliharan kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga dalam melanjutkan
perawatan di rumah
2) Pola nutrisi
Adanya penurunan BB dan malnutrisi umum. Keinginan makan
pasien terganggu oleh ketidaksadaran klien.
3) Pola eliminasi
Adanya retensi urin maupun inkontensia urin karena klien
mengalami gagal ginjal kronis.
4) Pola aktivitas dan latihan
Terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas dan latihan akibat
penurunan kesadaran.
5) Pola tidur dan istirahat
Terdapat gangguan dan tidak dapat dikaji karena mengalami
penurunan kesadaran
6) Pola kognitif dan presepsi
Menjelaskan terkait fungsi penglihatan, pendengatan, penciuman,
ingatan masa lalu dan kognitif dalam menjawab pertanyaan. Pada
pola ini mengalami penurunan kognitif karena adanya ensefalopati
atau keracunan pada otak klien.
7) Pola persepsi diri
Menjelaskan konsep diri dan presepsi diri misalnya body image.
Adanya gangguan pada peran diri akibat penyakit yang diderita dan
penurunan kesadaran yang dialami
8) Pola peran dan hubungan
Ada gangguan karena adanya penurunan kesadaran, dan gangguan
kognitif
9) Pola manajemen koping dan stress
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan.
10) Sistem nilai dan keyakinan
Ada gangguan pada cara beribadah klien dikarenakan
ketidakmampuan dalam melaksanakan ibadah akibat penurunan
kesdaran.
h. Pengkajian fisik
1. Keadan umum (TTV)
Mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun, tekanan darah
cenderung rendah atau tinggi, adanya peningkatan RR karena
sesak, adanya peningkatan suhu. Stupor dapat terjadi pada pasien
dengan Enchelopaty uremicum.
2. Kepala
I : bentuk kepala simetris, persebaran rambut merata, warna
rambut hitam, tidak berbau, tidak ada ketombe atau kutu.
P : tidak ada penonjolan tulang kepala, tidak ada nyeri tekan
3. Mata
I : terdaoat gangguan seperti kedutan, sklera putih, konjungtiva
anemis
P : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
4. Telinga
I : telinga simetris kanan dan kiri, tidak ada lesi, tidak ada cairan
keluar seperti nanah
P : tidak ada nyeri tekan pada area telinga
5. Hidung
I : hidung kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, menggunakan
pernafasan cuping hidung, terdapat mucus, memakai bantuan
terapi O2, terdapat gangguan pada indra penciuman
6. Mulut
I: mukosa bibir kering, warna bibir pucat, lidah terlihat kotor
P: tidak ada nyeri tekan pada area mulut
7. Dada
I : bentuk simetris, tidak ada lesi, ada otot bantu pernafasan
P:tidak ada nyeri tekan, traktil fremitus seimbang.
P : sonor dari ICS 1-6 dekstra, suara sonor dari ICS 1-4 sinistra
A : ada suara nafas tambahan , ronki, wheezing Jantung
I: ictus cordis tidak terlihat, tidak ada jejas, warna kulit sama
dengan kulit sekitarnya
P: ictus cordis teraba di ICS 5
P: pekak
A : terdengar bunyi S1 dan S2 tungga
8. Ekstremitas
Kekuatan otot menurun, akral teraba dingin, crt>3 detik.
2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul dalam kasus Ensefalopati
uremicum adalah sebagai berikut :
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017) b.d gangguan
metabolisme
2. Hipervolemia (D.0022) b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema
anasarka dan/ atau edema perifer, berat badan meningkat dalam
waktu singkat, oliguria, intake lebih banyak dari output, dipsnea,
kadar Hb/ Ht turun
3. Pola nafas tidak efektif (D.0005) b.d gangguan neurologis d.d klien
mengeluh dispnea, penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas
abnormal
4. Konfusi akut (D.0064) b.d delirium d.d gelisah, fluktasi kognitif,
fluktasi tingkat kesadaran, fluktasi psikomotorik
5. Nyeri kronis (D.0078) b.d gangguan fungsi metabolik d.d mengeluh
nyeri, merasa depresi, tampak meringis, gelisah
6. Nausea (D.0076) b.d gangguan biokomiawi (uremia) d.d mengeluh
mual, merasa ingin muntah, tidak berminat makan, pucat
7. Keletihan (D.0057) b.d kondisi fisiologis d.d merasa kurang tenaga,
mengeluh lelah, tampak lesu

8. Risiko penurunan curah jantung (D.0011) b.d perubahan afterload,


perubahan frekuensi jantung
2.3 Intervensi keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama


Keperawatan &
Paraf
1. Risiko perfusi serebral Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial Ajd
tidak efektif (D.0017) b.d selama 2 x 24 Jam, maka risiko perfusi (1.06194)
gangguan metabolisme serebral tidak efektif menurun dengan Observasi
kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab peningkatan tekanan
Perfusi Serebral (L.02014) intracranial
2. Monitor tanda dan gejala peningkatan tekanan
Indikator Skor Skor intracranial
awal ahkir 3. Monitor MAP
4. Monitor CVP
5. Monitor ICP
6. Monitor CPP
Tingkat 1 4 7. Monitor status pernapasan
kesadaran
Kognitif 1 4 Terapuetik

Tekanan 1 4 8. Meminimalkan stimulus dengan menyediakan


intrakranial lingkungan yang tenang
Kesadaran 1 4 9. Berikan posisi semi-fowler
10. Cegah terjadinya kejang
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvusulan
12. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
2. Hipervolemia (D.0022) Tujuan : Manajemen Hipervolemia (I.03114)
b.d gangguan Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi Ajd
mekanisme regulasi d.d keperawatan selama 3x24 jam 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis.
edema anasarka dan/ atau diharapkan hipervolemia dapat ortopnea, dipsnea, edema, JVP/CVP meningkat,
edema perifer, berat diatasi dengan kriteria hasil : refleks hepatojugular positif, suara napas tambahan)
badan meningkat dalam Keseimbangan Cairan (L.05020) 2. Identifikasi penyebab hipervolemia
waktu singkat, oliguria, Indikator Skor Skor 3. Monitor status hemodinamik (mis. frekuensi jantung,
intake lebih banyak dari awal yang tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI)
output, dipsnea, kadar Hb/ ingin 4. Monitor intake dan output cairan
Ht turun dicapai 5. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. kadar
natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
Asupan 3 5
6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik
cairan
plasma (mis. kadar protein dan albumin
meningkat)
Keluaran 2 5
urin
Keterangan : 7. Monitor kecepatan infus secara ketat
1 = menurun 8. Monitor efek samping diuretik (mis. hipotensi
2 = cukup menurun ortortastik, hipovolemia, hipokalemia,
3 = sedang hiponatremia)
4 = cukup Terapeutik
meningkat 5 = 1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu
meningkat yang sama
Indikator Skor Skor 2. Batasi asupan cairan dan garam
awal yang 3. Tinggikan tempat kepala tempat tidur 30-40 °C
ingin
Edukasi
dicapai
Edema 3 5 1. Anjurkan melapor jika haluaran urine <0,5
Asites 3 5 mL/kg/jam selama 6 jam
Keterangan : 2. Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg
1 = meningkat dalam sehari
2 = cukup 3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan
meningkat 3 = dan haluaran urine
sedang 4. Ajarkan cara membatasi cairan
4 = cukup menurun Kolaborasi
5 = menurun 1. Kolaborasi pemberian diuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat diuretik
3. Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy (CRRT)

Pemantauan Cairan (I.03121)


Observasi
1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
2. Monitor frekuensi napas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor kulit
7. Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
osmolaritas serum, hematokrit, natrium,
kalium, BUN)
10. Monitor intake dan output cairan
11. Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis.
dispnea, edema perifer, edema anasarka, JVP
meningkat, CVP meningkat, refleks
hepatojugular positif, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
12. Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan
cairan (mis. prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
2. Informasikan hasil pemantauan
Edukasi Hemodialisis
Observasi
1. Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga
menerima informasi
Terapeutik
1. Persiapkan materi dan alat peraga hemodialisis
2. Buat media dan format evaluasi hemodialisis
3. Jadwalkan waktu yang tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
dengan pasien dan keluarga
4. Lakukan modifikasi proses pendidikan
kesehatan sesaui kebutuhan
5. Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk
bertanya dan mengguanakan perasaannya
Edukasi
1. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, dampak,
hal-hal yang harus diperhatikan pasien gagal
ginjal
2. Jelaskan pengertian, kelebihan dan kekurangan
terapi hemodialisis serta prosedur hemodialisis
3. Jelaskan manfaat memonitor intake dan output
cairan
4. Ajarkan cara memantau kelebihan volume
cairan (mis. pitting edema, kenaikan berat
badan 1 kg = 1 L air, sesak napas)
5. Jelaskan pentingnya dukungan keluarga
3. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pengaturan Posisi (1.01019) Ajd
selama 3 x 24 jam , pola napas membaik
(D.0005) b.d gangguan dengan kriteria hasil: Observasi
neurologis d.d klien 1. Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah
Pola napas (L.01004)
mengeluh dispnea, mengubah posisi
Skala Skala
Kriteria hasil
penggunaan otot bantu awal akhir Terapuetik
pernafasan, pola nafas Dyspnea 2 5 1. Tempatkan pada posisi terapuetik
Penggunaan otot 2 5 2. Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam
abnormal bantu napas jangkauan
Pernapasan 2 5 3. Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak ada
pursed-lip kontraindikasi
Pernapasan cuping 2 5 4. Atur posisi untuk mengurangi sesak
hidung
5. Tinggikan tempat tidur bagian kepala

Edukasi
1. Informasikan saat dilakukan perubahan posisi
2. Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan
mekanika tubuh yang baik selama melakukan
perubahan posisi

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian pramedikasi sebelum


mengubah posisi, jika perlu
4. Konfusi akut (D.0064) Tujuan : Manajemen Elektrosenfalografi (1.06191) Ajd
Setelah dilakukan tindakan asuhan
b.d delirium d.d Observasi
keperawatan selama 3x24 jam
gelisah, fluktasi diharapkan konfusi akut dapat 1. Identifikasi indikasi diagnostik EEG
2. Periksa riwayat pengobatan yang dapat
kognitif, fluktasi diatasi dengan kriteria hasil :
mengganggu hasil tes
tingkat kesadaran, Tingkat Konfusi (L.06054)
Terapuetik
fluktasi psikomotorik Indikator Skor Skor
awal ahkir 1. Posisikan berbaring bersandar di kursi atau tempat
tidur
2. Tempelkan elektroda pada kulit kepala
3. Lakukan prosedur pemeriksaan
Fungsi 1 4
Edukasi
kognitif
Tingkat 1 4 1. Jelaskan tujuan dan prosedur EEG
kesadaran 2. Informasikan pelaksana, waktu dan tempat
Memori 1 4 pelaksanaan prosedur
jangka 3. Informasikan elektroda tidak akan menyebabkan
pendek sengatan listrik
4. Anjurkan rileks dengan mata tertutup
5. Anjurkan tetap diam selama prosedur

5. Nyeri kronis (D.0078) Tujuan : Manajemen nyeri (I.08238) Ajd


Setelah dilakukan tindakan asuhan
b.d gangguan fungsi Observasi
keperawatan selama 3x24 jam
metabolik d.d diharapkan nyeri kronis dapat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri
mengeluh nyeri, merasa diatasi dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi respon nyeri non verbal
depresi, tampak Tingkat nyeri (L.08066) 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
meringis, gelisah Skala Skala memperingan nyeri
Kriteria hasil 4. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
awal akhir
Keluhan nyeri 1 5 5. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
Meringis 1 5
6. Monitor efek samping penggunaan analgetic
Sikap protektif 1 5 Terapeutik
Gelisah 1 5
Susah tidur 2 4 7. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi
music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingi, terapi
bermain)
8. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
9. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
10. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
11. Jelaskan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
6. Nausea (D.0076) b.d Tujuan : Manajemen Mual (I.03117)
gangguan biokomiawi Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
Ajd
(uremia) d.d mengeluh keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi pengalaman mual
mual, merasa ingin diharapkan masalah nausea dapat 2. Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan
muntah, tidak berminat diatasi dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi dampak mual terhadap kualitas
makan, pucat Tingkat Nausea (L.12111) hidup (mis. nafsu makan, aktivitas, kinerja,
Indikator Skor Skor tanggung jawab, peran dan tidur)
awal yang 4. Identifikasi faktor penyebab mual
ingin
5. Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual
dicapai
Keluhan 3 5 6. Monitor mual (mis. frekuensi, durasi, dan
mual tingkat keparahan)
7. Monitor asupan nutrisi dan kalori
Perasaan 3 5 Terapeutik
ingin 1. Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual
muntah 2. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual
Keterangan : (mis. kecemasan, ketakutan, kelelahan)
1 = meningkat 3. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan
2 = cukup meningkat menarik
3 = sedang Edukasi
4 = cukup menurun 1. Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
5 = menurun 2. Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali
jika merangsang mual
Indikator Skor Skor
3. Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan
awal yang
ingin rendah lemak
dicapai 4. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
Pucat 3 5 untuk mengatasi mual (mis. relaksasi, hipnosis,
Takikardia 4 5 terapi musik, akupressur)
Keterangan : Kolaborasi
1 = memburuk 1. Kolaborasi pemberian antiemetik
2 = cukup memburuk
3 = sedang
4 = cukup membaik
5 = membaik
7. Keletihan (D.0057) b.d Tujuan : Edukasi Aktivitas/ Istirahat (I.01011)
kondisi fisiologis Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
Ajd
(penyakit kronis), keperawatan selama 2x24 jam 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
program perawatan/ diharapkan masalah keletihan dapat informasi
pengobatan jangka diatasi dengan kriteria hasil : Terapeutik
panjang d.d merasa Tingkat Keletihan (L.05046) 1. Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas
kurang tenaga, Indikator Skor Skor dan istirahat
mengeluh lelah, tidak awal yang 2. Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan
ingin
mampu sesuai kesepakatan
dicapai
mempertahankan Verbalisasi 3 5 3. Berikan kesempatan kepada pasien dan
aktivitas rutin, tampak kepulihan keluarga untuk bertanya
lesu, kebutuhan istirahat energi Edukasi
meningkat Tenaga 3 5 1. Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan
Keterangan : istirahat (mis. kelelahan, sesak napas saat
1 = menurun istirahat)
2 = cukup menurun 2. Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis
aktivitas sesuai kemampuan
3 = sedang Manajemen Energi (I.05178)
4 = cukup Observasi
meningkat 5 = 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
meningkat mengakibatkan kelelahan
Indikator Skor Skor 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
awal yang 3. Monitor pola dan jam tidur
ingin
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
dicapai
Verbalisasi 3 5 melakukan aktivitas
lelah Terapeutik
Lesu 3 5 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
Frekuensi 3 5 stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan)
napas 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif
Keterangan : 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
1 = meningkat 4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
2 = cukup dapat berpindah atau berjalan
meningkat 3 = Edukasi
sedang 1. Anjurkan tirah baring
4 = cukup menurun 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
5 = menurun 3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
8. Risiko penurunan curah Tujuan : Pearwatan Jantung (I.02075)
Ajd
jantung (D.0011) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
perubahan afterload, keperawatan selama 2x24 jam 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
perubahan frekuensi diharapkan risiko penurunan curah curah jantung (dispnea, ortopnea, kelelahan,
jantung jantung dapat teratasi dengan kriteria edema, paroxymal nocturnal dyspnea,
hasil : peningkatan CVP)
Curah Jantung (L.02008) 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
Indikator Skor Skor curah jantung
awal yang 3. Monitor tekanan darah
ingin
4. Monitor intake dan output cairan
dicapai
Lelah 3 5 5. Monitor berat badan setiap hari pada waktu
Edema 3 5 yang sama
6. Monitor saturasi oksigen
Dipsnea 3 5 7. Monitor keluhan nyeri dada
Oliguria 3 5 8. Monitor EKG 12 sadapan
Pucat 3 5 9. Monitor aritmia
Keterangan : 10. Monitor nilai laboratorium jantung
1 = meningkat 11. Monitor tekanan darah sebelum dan sesudah
2 = cukup meningkat aktivitas
3 = sedang 12. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi
4 = cukup menurun sebelum pemberian obat
5 = menurun Terapeutik
1. Posisikan pasien semi fowler, fowler dengan
kaki di bawah atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung yang sesuai
3. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi
gaya hidup sehat
4. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres
5. Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
3. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur berat
badan harian
4. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur intake
dan output cairan harian
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
2. Rujuk ke program rehabilitasi jantung
5. Risiko gangguan Tujuan : Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
integritas kulit (D.0139) Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
Ƥ
b.d kelebihan volume keperawatan selama 2x24 jam 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit Ns.P
cairan, penurunan diharapkan risiko gangguan (mis. perubahan sirkulasi, perubahan status
mobilitas, perubahan integritas kulit dapat teratasi dengan nutrisi, perubahan kelembaban, suhu lingkungan
sirkulasi, perubahan kriteria hasil : ekstrem, penurunan mobilitas)
pigmentasi Terapeutik
1. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
2. Gunakan produk berbahan petrolium atau
minyak pada kulit kering
3. Gunakan produk berbagan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
Integritas Kulit dan Jaringan 4. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
(L.141257) kulit kering
Indikator Skor Skor Edukasi
awal yang 1. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
ingin 2. Anjurkan mengindari paparan suhu ekstrem
dicapai 3. Anjurkan mandi menggunakan sabun
Kerusakan 4 5 secukupnya
lapisan kulit
Pigmentasi 4 4
abnormal
Nyeri 4 5
Keterangan :
1 = meningkat
2 = cukup
meningkat 3 =
sedang
4 = cukup menurun
5 = menurun
6. Risiko perfusi serebral
tidak efektif (D.0017) b.d
Setelah dilakukan intervensi Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
keperawatan selama 2 x 24 Jam, maka (1.06194)
Ƥ
infeksi cedera otak Ns.P
risiko perfusi serebral tidak efektif Observasi
menurun dengan kriteria hasil : 13. Identifikasi penyebab peningkatan tekanan
Perfusi Serebral (L.02014) intracranial
14. Monitor tanda dan gejala peningkatan tekanan
Indikator Skor Skor
awal ahkir intracranial
15. Monitor MAP
16. Monitor CVP
Tingkat 1 4
kesadaran 17. Monitor ICP
Kognitif 1 4 18. Monitor CPP
Tekanan 1 4 19. Monitor status pernapasan
intrakranial
Kesadaran 1 4 Terapuetik

20. Meminimalkan stimulus dengan menyediakan


lingkungan yang tenang
21. Berikan posisi semi-fowler
22. Cegah terjadinya kejang
Kolaborasi

23. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti


konvusulan
24. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
DAFTAR PUSTAKA

Bayhakki, 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik,


Jakarta, EGC.
Brunner & Suddart. (2017). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddart, Ed.12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
CW, S. A., & Fauzan, S. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga dengan
Penerimaan Diri Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis di RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Tanjungpura
Journal of Nursing Practice and Education, 2(2).
Dila, R. R., & Panma, Y. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Gagal Ginjal Kronik RSUD Kota Bekasi. Buletin
Kesehatan: Publikasi Ilmiah Bidang kesehatan, 3(1), 41-61.
Hutagaol, E. F. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui
Psychological Intervention di Unit Hemodialisa RS Royal Prima
Medan Tahun 2016. Jumantik (Jurnal Ilmiah Penelitian Kesehatan),
2(1), 42-59.
Masi, G. N., & Kundre, R. (2018). Perbandingan Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronik Dengan Comorbid Faktor Diabetes Melitus dan
Hipertensi di Ruangan Hemodialisa RSUP. Prof. Dr. RD Kandou
Manado. Jurnal Keperawatan, 5(2).Dewita, G., A. W. Barus, A. I.
Yusuf, dan A. Tjiptaningrum. 2016. Pendekatan Diagnostik dan
Penatalaksanaan pada Pasien HIV-AIDS Secara Umum. Jurnal
Medula Unila. 6 (1) : 56 – 61.
Pearce, E. C. (2016). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Pralisa, K., & Dewi, D. A. K. (2020). Gambaran Etiologi Penyakit Ginjal
Kronik Stadium V pada Pasien Rawat Inap di RSUD Dokter
Soedarso Pontianak Tahun 2017-2018. Jurnal Cerebellum, 6(3), 59-
65.
Purwati, S. (2018). Analisa Faktor Risiko Penyebab Kejadian Penyakit
Gagal Ginjal Kronik (GGK) Di Ruang Hemodialisa RS Dr.
Moewardi. (JKG) Jurnal Keperawatan Global, 3(1).
Rahmawati, F. H., & Mokodompit, N. A. (2019). Latihan ROM pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas.
Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar, 10(2).
Sri Irtawaty, A. (2017). Klasifikasi Penyakit Ginjal dengan Metode K-
Means. JTT (Jurnal Teknologi Terpadu), 5(1), 49-53.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (1st ed. Cetakan III). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia(Ist ed. Cetakan II). Jakarta. Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed. Cetakan
II). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017).
Chronic Kidney Disease. The lancet, 389(10075), 1238-1252.
Winarni, T., Sujanaa, T., & Gasonga, D. N. (2019). Manajemen Discharge
Planning pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Kota Salatiga.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 10(1), 65-72.
Yaniescha Ayundita PVS, Y. A. P. (2021). Asuhan Keperawatan Pasien
Gagal Ginjal Kronik (GGK) Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Fisiologis Istirahat Dan Tidur (Doctoral Dissertation, Universitas
Kusuma Husada Surakarta).
Yulianto, A., Wahyudi, Y., & Marlinda, M. (2020). Mekanisme Koping
dengan tingkat Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Pre
Hemodialisa. Jurnal Wacana Kesehatan, 4(2), 436-444.

Anda mungkin juga menyukai