B. Definisi Penyakit
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A. 2011).
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Cedera
tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status
kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional
(Judha & Rahil, 2011).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012)
C. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Center for Injury Prevention and Control,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat
sekitar 1,7 juta penduduk mengalami cedera kepala dan merupakan penyebab
tersering ketiga (30,5%) dari kematian terkait cedera di Amerika, dengan
52.000 kasus di antaranya meninggal, 275.000 kasus menjalani perawatan di
rumah sakit (CDC, 2010). Di Inggris, cedera kepala merupakan diagnosis
primer pada 77.239 pasien yang datang ke rumah sakit pada periode 2013-
2014 (Hazeldine dkk., 2015).
Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala di Indonesia sebanyak
4 per 100.000 penduduk, dan di Bali dengan angka kejadian yang lebih tinggi
yaitu 6 per 100.000 penduduk. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013). Di RSUP Sanglah, penyebab kematian
terbanyak oleh karena kecelakaan adalah multiple cedera (16%), cedera
kepala (4%), cedera abdomen (1%) dan cedera thorak (1%) (Yuniarti, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin dari tahun
2008-2010 didapatkan cedera kepala sebanyak 3578 kasus, kejadian pada
lelaki (79,8%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%), dengan
kelompok umur tertinggi 18-45 tahun (Zamzami dkk, 2013). Data cedera
kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada tahun 2005
berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817 kasus, dan tahun 2007
mengalami peningkatan yaitu berjumlah 1.078 kasus (Rawis dkk,2016).
D. Etiologi
Menurut Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver (2013) penyebab terjadinya
cedera kepala ada 3 yaitu :
1. Cedera Tumpul
Cedera tumpul adalah pukulan atau benturan langsung yang
menyebabkan cedera yang berat. Permukaan tubuh dan penyebabnya
(yang melukai) melakukan kontak langsung. Kasus yang sering terjadi dan
menimbulkan cedera yang berat adalah akselerasi/deselarasi cedera kepala
dan leher.
2. Cedera Penetrasi
Cedera penetrasi disebabkan oleh benda asing seperti pisau, kaca,
dan benda tajam yang masuk dan menembus organ dan jaringan sehingga
menimbulkan kerusakan dalam tubuh
3. Cedera perforasi
Cedera yang disebabkan karena benda asing (yang mencederai)
menembus hingga keluar tubuh sehingga menyebabkan kerusakan bagian
dalam yang berat, seperti peluru dan pisau.
F. Manifestasi klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
1) Skull Fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani,
periobital ecimos (brill haematoma), memar didaerah mastoid (battle
sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.
2) Concussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5
menit, amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah.
Contusins dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam
contusion. Tanda yang terdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan
atau cepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai
batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalan pupil
G. Klasifikasi
Cedera diklasifikasikan sebagai cedera primer dan sekunder (Cynthia Lee
Terry & Aurora Weaver, 2013) :
1. Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan akibat pada saat itu
juga, seperti kontusio, memar, luka gores, luka robek, perdarahan.
Cedera seperti ini biasanya ringan dengan kerusakan saraf yang minimal
atau tidak ada kerusakan organ utama yang berat dan kerusakan
neurologi
2. Cedera sekunder adalah cedera setelah cedera primer seperti
infeksi/sepsis yang menyebabkan peningkatan kerusakan organ dan
jaringan, bahkan dapat meningkatkan tekanan intracranial. Kematian
dapat terjadi secara cepat sehingga membutuhkan observasi dan monitor
keperawatan yang ketat.
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat.
Tabel. cedera kepala berdasarkan nilai GCS
Nilai GCS Tanda/keadaan pasien
Pasien sadar, menuruti perintah
tapi disorientasi.
Tidak ada kehilangan kesadaran
Cedera kepala ringan dengan nilai Pasien dapat mengeluh nyeri
GCS 14 – 15 kepala dan pusing
Pasien dapat menderita laserasi,
hematoma kulit kepala
Tidak adanya criteria cedera
kepala sedang-berat
Pasien bisa atau tidak bisa
menuruti perintah, namun tidak
Cedera kepala sedang dengan nilai memberi respon yang sesuai
GCS 9 – 13 dengan pernyataan yang di
berikan.
Amnesia paska cedera
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur
cranium (tanda Battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro
spinal)
Kejang
Penurunan kesadaran secara
progresif
Cedera kepala berat dengan nilai Tanda neorologis fokal
GCS sama atau kurang dari 8 Cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi kranium
H. Gejala klinis
Tanda dan gejala yang umumnya terjadi pada pasien dengan cedera
kepala adalah sebagai berikut (Keperawatan medikal bedah, Mary DiGiulio,
2007) :
1. Sakit kepala karena cedera langsung dan/atau meningkatnya tekanan
intrakranial
2. Disorientasi atau perubahan kognitif
3. Perubahan dalam berbicara
4. Perubahan dalam gerakan motorik
5. Mual dan muntah karena meningkatnya tekanan intracranial
6. Ukuran pupil tidak sama
7. Berkurangnya atau tidak adanya reaksi pupil terkait dengan kompresi
neurologis
8. Menurunnya tingkat kesadaran atau hilang kesadaran
9. Hilang ingatan (amnesia)
I. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang terjadi pada cedera kepala adalah
(Keperawatan kritis,Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver, 2013) :
1. Edema serebral dan Herniasi. Edema serebral adalah penyebab paling
umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat
cedera kepala, puncak pembengkakan yang mengikuti cedera kepala
terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. Tekanan intracranial meningkat
karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari cedera.
2. Deficit neurologic dan psikologik. Pasien cedera kepala dapat mengalami
paralilis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau
abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologic seperti afasia, defek
memori, dan kejang poscederatik atau epilepsy. Pasien mengalami sisa
penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil atau tidak punya
malu, prilaku agresif)
3. Komplikasi lain setelah cederatic berupa cedera kepala meliputi infeksi
sistemik ( pneumonia, infeksi saluran kemih, septikimia), infeksi bedah
neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak).
J. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang diperlukan pada pasien dengan cedera
kepala meliputi (Keperawatan medikal bedah, Mary DiGiulio, 2007):
1. Sinar X di kepalamendeteksi perubahan struktur tulang kepala (fraktur)
2. MRI Headmenunjukan edema dan perdarahan
3. CT scanHead menunjukan pendarahan, edema otak, pergerakan struktur
tengah.
4. EEG mengindikasikan aktivitas serangan fokal.
K. Penatalaksaan klinis
Penatalaksanaan yang diberikan pada cedera/cedera kepala yaitu
(Keperawatan kritis, Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver, 2013):
1. Stabilisasi pra rumah sakit
Saat kejadian cedera, tindakan ABC (airway, Breathing, Circulation) di
implementasikan untuk memastikan dan mempertahankan keefektifan
saluran penggumpalan darah, patahan gigi, kotoran, dan kerikil.
2. Resusitasi Rumah sakit
Ketika pasien sampai di ruang gawat darurat, pendekatan sistematis dan
terorganisir diimplementasikan untuk menyelamatkan pasien terancam
jiwanya. Dua survey penangangan pasien dilakukan bersama dengan tim
kesehatan lain dan proses penanganan pasien selanjutnya tidak dilakukan
hingga kondisi pasien stabil. Survey pertama disebut sebagai survey
primer.
3. Survei Primer
Ada 5 tahap dalam penataklasanaan survei primer yaitu :
a. Airway (saluran pernapasan), pemeriksaan lanjutan untuk
membersihkan dan menghilangkan sumbatan pada saluran pernapasan
pasien.
b. Breathing (Pernapasan), keseimbangan antara suplai dan pengeluaran
oksigen harus diperhatikan
c. Circulation (sirkulasi), status sirkulasi dinilai melalui warna kulit,
suhu, status mental, serta tanda hipotermia dan hipovolemia
d. Disabilities (Kecacatan), pemeriksaan neurologi mini dilakukan untuk
menentukan tingkat kesadaran. Penilaian tingkat kesadaran secara
kuanitatif dan kualitatif
Penilaian secara kuantitatif :
1) Compos mentis : sadar penuh
2) Apatis : pasien acuh tak acuh terhadap lingkungan
3) Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus bangun yang terganggu
4) Somnolen : pasien dalam keadaan mengantuk yang masih dapat
pulih bila ada rangsangan, tetapi bila rangsangan berhenti pasien
akan tertidur kembali.
5) Sopor : pasien mengalami keadaan mengantuk yang dalam,
pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat
(rangsang nyeri) tetapi pasien tidak terbangung sempurna dan
tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
6) Semi koma/sopor koma : penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi reflek pupil dan kornea masih
baik.
7) Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada
gerakan spontan dan tidak ada respon rangsang nyeri.
Penilaian secara kualitatif menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel Nilai kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Respon Pasien Skor
Spontan 4
Respon Buka mata (Eye) Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Menuruti perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik diri 4
Respon Motorik (Motorik) Fleksi 3
Ekstensi 2
Tidak ada 1
Orientasi baik 5
Bicara kacau 4
Kata- kata tidak sesuai 3
Respon verbal (Verbal) Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
4. Survei Sekunder
Pengamatan yang detail dimulai dari kepala hingga kaki pasien.
Diperlukan riwayat kesehatan pasien yang detail yang diperoleh dari
informasi keluarga dan dilakukan pemeriksaan diagnostic (rontgen, CT
scan, EKG, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan).
5. Perawatan definitive, cedera spesifik perlu ditangani seperti penjahitan
luka, pemasangan gips, pemasangan kawat di dagu, pengurangan fraktur,
operasi.
6. Intervensi pembedahan mungkin perlu dilakukan (craniotomy&
Craniectomy)
a. Pengangkatan hematoma
b. Litigasi pendarahan pembuluh darah
c. Lubang Burr (pembuatan lubang) untuk dekompresi
d. Pemotongan jaringan dari benda asing dan sel mati
7. Perawatan kritis, perawatan lanjutan yang dilakukan bila pasien
mengalami masalah yang serius setelah operasi, perlu dipindahkan ke
ruang ICU untuk observasi atau tindakan kolaborasi yang dilakukan di
ICU adalah sebagai berikut
a. Monitoringtekanan intracranial (tekanan didalam tempurung kepala)
yang diakibatakan dari edema otak, darah, dan cairan cerebrospinal
(CSS). TIK diukur dengan sebuah monitor ventrikel, parenkim otak,
atau ruang subarachnoid. TIK normal adalah 5 – 15 mmHg. Tekanan
yang lebih besar dari 20 mmHg dianggap sebagai peningkatan
tekanan intracranial (TIK).
b. Monitoring Tekanan perfusi serebral adalah jumlah aliran darah dari
sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk menyediakan oksigen dan
glukosa yang cukup untuk metabolisme otak. Tekanan arteri rata-rata
(MAP) merupakan tekanan rata-rata selama siklus jantung. MAP
dihitung dengan menambahkan tekanan sistolik dengan dua kali
tekanan diastolic dan kemudian dibagi tiga. Rumus untuk menghitung
CPP adalah sebagai berikut : CPP = MAP – TIK. Nilai normal
tekanan perfusi serebral adalah 70 – 90 mmHg.
c. Hiiperventilasi telah direkomendasikan sebagai pengobatan utama
untuk pasien cedera kepala kerena peningkatan Co2
akanmenyebabkan pembuluh darah otak membesar (Vasodilatasi),
dengan melakukan hiperventilasi secara manual atau meningkatkan
pengaturan frekeuensi pernafasan ventilator hingga menimbulkan
hiperventilasi, maka terjadilah kadar darah hipokarbik (karbon
dioksida rendah) kadar Co2 antara 30 dan 35 mmHg menimbulkan
vosokontriksi pembuluh darah cerebral dan diharapkan edema otak
berkurang.
d. Pertahankan kontrol glikemik (glukosa darah) 80 – 110 mg/dl dengan
insulin intra vena (IV) atau subcutan (SC)
e. Kontrol suhu tubuh. Hipertermia meningkatkan TIK karena
meningkatkan kebutuhan metabolisme. Observasi adanya mengigil
karena fenomena ini juga meningkatkan metabolisme dan TIK, beri
antipiretik sesuai indikasi.
f. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi
g. Bantuan pernapasan seperti intubasi dan ventilasi mekanik
h. Pemberian opioid dosis rendah untuk kegelisahan, agitasi, dan sakit
pada pasien yang bergantung pada ventilator
i. Pemberian diuretic osmotic untuk mengurangi edema otak
j. Pemberian diuretic loop untuk mengurangi edema dan sirkulasi
volume darah (Furosemide)
k. Pemberian analgesic (acetaminophen)
l. Diet tinggi kalori, protein, tinggi vitamin
m. Transfusi darah jika jumlah darah menunjukan perlunya untuk di
tranfusi.
1. Anamnesa
Identitas pasien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.
Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat cedera yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan cedera langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(CGS <15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi secret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan koma.Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga yang
mengantar pasien (bila pasien tidak sadar) tentang penggunaan obat-
obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa
pasien yang suka ngebut-ngebutan/balap liar.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obatan adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien untuk
menilai respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
pasien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan pasien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per
sistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien.
Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera kepala
sedang GCS 9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS
kurang atau samadengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat cedera kepala. Pada beberapa keadaan
hasil dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
Inspeksi, didapatkan pasien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektaksis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakheostomi yang kurang tepat. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: retraksi dari otot-otot
interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jka otot-
otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan cedera pada rongga thoraks.
Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
cedera pada thoraks/hematothoraks.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada pasien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada pasien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada pasien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, pasien biasanya terpasang endotracheal tube (ETT) dengan
ventilator dan biasanya pasien dirawat di ruang perawatan intensiv
sampai kondisi pasien menjadi stabil. Pengkajian pasien cedera otak
berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan
jalur keperawatan kritis.
B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada pasien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular pasien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari cedera kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam
dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektrolit meningkat sehingga memberikan risiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskular.
B3 (BRAIN)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
pendarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
pasien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma.
a. Pemeriksaan fungsi serebral
1) Status mental: observasi penampilan pasien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara pasien dan observasi ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik pada pasien cedera kepala tahap lanjut
biasanya status mental mengalami perubahan.
2) Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan pasien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
3) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila cedera kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan
pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Masalah psikologis lain juga umum terjadi
dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
4) Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi
yang berlawanan tersebut. cedera kepala pada hemisfer kiri,
mengalami hemiparese kanan, pelaku lambat dan sangat hati-
hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
b. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini pasien akan mengalami
kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
2) Saraf II. Hematoma palpebral pada pasien cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu fungsi dari
nervus optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama
hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan di
retina. Anomali pembuluh darah di dalam otak dapat
bermanifestasi juga di fundus. Tetapi dari segala macam kelainan
di dalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus.
3) Saraf II, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada pasien dengan cedera yang merusak rongga orbital.
Pada kasus-kasus cedera kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala
ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak
bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah
midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot-otot
okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada cedera
kepala terdapat anisokoria di mana bukannya midriasis yang
ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil
yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis
ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu
berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak
berdilatasi melainkan berkonstriksi.
4) Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada pasien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila cedera yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
8) Saraf XI. Bila tidak melibatkan cedera pada leher, mobilitas
pasien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
c. Sistem motorik
1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
2) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade 0.
4) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
Tabel derajat kekuatan otot
Derajat Kekuatan otot
Derajat 0 Paralisis total/tidak ditemukan adanya
kontraksi pada otot
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa
Derajat 1 perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui
dengan palpasi dan tidak menggerakan sendi
Otot hanya mampu menggerakan persendian
Derajat 2 tetapi kekuatannya tidak dapat melawan
gravitasi
Di samping dapat menggerakan sendi, otot
Derajat 3 juga dapat melawan gravitasi tetapi tidak kuat
terhadap tahanan yang yang diberikan oleh
pemeriksa
Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai
Derajat 4 dengan kemampuan otot terhadap tahanan
yang ringan
Derajat 5 Kekuatan otot normal
d. Pemeriksaan refleks
1) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
2) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis
sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
e. Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan
hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimulu visual, taktil, dan auditorius.
B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala pasien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
B5 (BOWEL)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
B6 (BONE)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor
kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan
membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau syok. Pucat
dan sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi
akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah
portal akibat dari penggunaan packed red cells (PRC) dalam jangka
waktu lama. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi dalam masalah
cedera/cedera kepala adalah sebagai berikut:
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan Kerusakan
transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan
sirkulasi ke otak
5. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, program penggobatan
dan tindakan preventif berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi
C. Intervensi keperawatan
Intervensi yang dilakukan sesuai diagnosa keperawatan adalah :
1 Perfusi jaringan serebral tidak NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …X 1. Management Sensasi Perifer
efektif berhubungan dengan 24jam pasien mampu untuk mencapai skor 4 dalam - Monitor adanya parastesi mati rasa dan tengling
Kerusakan transport oksigen 1. Status neurology - Monitor status cairan termasuk intake dan output
melalui alveolar dan atau membran Fungsi neurologis : kesadaran - Monitor fungsi bicara
kapiler Fungsi neurologis : sensori spinal / fungsi motorik - Upayakan suhu dalam batas normal
Fungsi neurologis : otonom - Monitor GCS secara teratur
Ukuran pupil - Catat perubahan dalam penglihatan
Pola pergerakan mata 2. Monitor Tekanan Intra Kranial (TIK)
Pola pernafasan - Monitor TIK pasien dan neurologi, bandingkan dengan
Vital sign pada batas normal keadaan normal
Pola istirahat-tidur - Monitor tekanan perfusi serebral
Tidak didapatkan kejang - Posisikan kepala agak tinggi dan dalam posisi anatomis
Fungsi neurologis : sentral motor kontrol - Pertahankan keadaan tirah baring
Tekanan intra kranial pada batas normal - Pantau tanda-tanda vital
Tidak didapatkan sakit kepala Skala : - Kolaborasi pemberian oksigen, obat antikoagulasi, obat
1 : Extremely compromized antifibrolitik, antihipertensi, vasodilatasi perifer, pelunak
2 : Substantially compromized 3 : Moderately feses sesuai indikasi
compromized 4 : Mildly compromized 3. Monitoring vital sign
5 : Not compromized Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor jumlah dan irama jantung
Monitor bunyi jantung
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
2. Nyeri akut berhubungan dengan NOC : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Manajemen nyeri
agen injuri fisik selama …x24 jam pasien mampu untuk 1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri (lokasi, karakteristik
1. Mengontrol nyeri dengan indikator dan onset, durasi, frekuensi, kualitas)
- Mengenal faktor-faktor penyebab nyeri 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal klien terhadap
- Mengenal onset nyeri ketidaknyamanan.
- Melakukan tindakan pertolongan non analgetik 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran.
- Menggunakan analgetik 4. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat
- Melaporkan gejala-gejala kepada tim kesehatan mengekspresikan nyeri.
- Mengontrol nyeri 5. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
Keterangan : hidup : pola tidur, nafsu makan, mood, pekerjaan, tanggung
1 = tidak pernah dilakukan 2 = jawab, relationship.
jarang dilakukan 6. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri
3 = kadang-kadang dilakukan 4 = 7. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol
sering dilakukan nyeri yang telah digunakan.
8. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga.
9. Berikan informasi tentang nyeri, seperti : penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan.
10. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan.
11. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis.
12. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup.
13. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri.
2. Pemberian Analgetik
1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas dan keparahan
sebelum pengobatan.
2. Berikan obat dengan prinsip 5 benar.
3. Cek riwayat alergi obat.
4. Libatkan pasien dalam pemilihan analgetik yang akan
digunakan.
5. Pilih analgetik secara tepat/kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan.
6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
7. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat.
8. Dokumentasikan respon setelah pemberian analgetik dan
efek sampingnya.
9. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik.
3. NOC: NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …X24 jam 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan 2. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
kriteria hasil : 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam.
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.
ada pursed lips) 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa 8. Berikan bronkodilator :
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam ..................
rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) ..................
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang 9. Monitor status hemodinamik
penyebab. 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
4. Saturasi O2 dalam batas normal 11. Berikan antibiotik :
5. Foto thorak dalam batas normal ....................
....................
12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status O2
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan secret
15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
4. Kerusakan NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC :
komunikasi verbal selama …X 24jam pasien mampu untuk Pengaturan komunikasi
berhubungan dengan mencapai skor 4 dalam Identifikasi metode yang dapat dipahami oleh pasien untuk
penurunan sirkulasi ke 1. Communication ability Indikator: memenuhi kebutuhan dasar
otak Berkomunikasi secara tertulis Sediakan metode komunikasi alternatif
Berkomunikasi secara verbal - berikan pensil dan kertas jika pasien mempu
Berkomunikasi menggunakan foto atau gambar - gunakan bahasa isyarat
Menggunakan bahasa isyarat - konsultasi dengan speec terapy
Menggunakan bahasa non-verbal Tulis metode yang digunakan pasien untuk rencana
Mengerti tentang pesan yang disampaikan perawatan
Dapat menagkap pesan secara langsung Libatkan keluarga dan diskusika masalah untuk
Bertukar pesan dengan orang lain meningkatkan komunikasi psien
Keterangan: Berikan suport sistem untuk mengatasi ketidakmampuan
1 : Extremely compromized Membantu keluarga dalam memahami pembicaraan
2 : Substantially compromized pasien
3 : Moderately compromized Berbicara kepada pasien dengan lambat dan dengan suara
4 : Mildly compromized yang jelas
5 : Not compromized Mendengarkan pasien dengan baik
Menggunakan kata dan kalimat yang singkat
Berdiri dihadapan pasien saat berbicara
Menggunakan papan tulis bila perlu
Instruksikan pasien dan keluarga untuk menggunakan
bntuan berbicara
Memberikan reinforcement (pujian) positif kepada
pasien
Anjurkan pasien untuk mengulangi pembicaraannya
jika belum jelas
Gunakan interpreter jika perlu
2. Mendengar aktif
Ajak pasien berbicara sesuai kemampuan
Rangsang timbal balik dari pasien
Dengarkan pasien dengan penuh perhatian
Berikan reinforcement terhadap keberhasilan
pencapaian tujuan
5. Kurang pengetahuan NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Pembelajaran : proses penyakit
tentang proses selama …X 24jam pasien mampu meningkatkan: - Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakit
penyakit, program 1. Pengetahuan : proses penyakit - Jelaskan patofisiologi penyakit dan bagaimana kaitannya
penggobatan dan - Mengenal nama penyakit dengan anatomi dan fisiologi tubuh
tindakan preventif - Deskripsi proses penyakit - Deskripsikan tanda dan gejala umum penyakit
berhubungan dengan - Deskripsi faktor penyebab atau faktor pencetus - Berikan informasi tentang hasil pemeriksaan diagnostik
kurangnya sumber - Deskripsi tanda dan gejala - Diskusikan tentang pilihan terapi
informasi. - Deskripsi cara meminimalkan perkembangan penyakit - Instruksikan klien untuk melaporkan tanda dan gejala
- Deskripsi komplikasi penyakit kepada petugas
- Deskripsi tanda dan gejala komplikasi penyakit 2. Pembelajaran : prosedur/perawatan
- Deskripsi cara mencegah komplikasi Skala : - Informasikan klien waktu pelaksanaan prosedur/perawatan
1 : tidak ada - Informasikan klien lama waktu pelaksanaan
2 : sedikit prosedur/perawatan
3 : sedang - Kaji pengalaman klien dan tingkat pengetahuan klien tentang
4 : luas prosedur yang akan dilakukan
5 : lengkap - Jelaskan tujuan prosedur/perawatan
2. Pengetahuan : prosedur perawatan - Instruksikan klien utnuk berpartisipasi selama
- Deskripsi prosedur perawatan prosedur/perawatan
- Penjelasan tujuan perawatan - Jelaskan hal-hal yang perlu dilakukan setelah
- Deskripsi langkah-langkah prosedur prosedur/perawatan
- Deskripsi adanya pembatasan sehubungan dengan - Instruksikan klien menggunakan tehnik
prosedur koping untuk mengontrol beberapa aspek selama
- Deskripsi alat-alat perawatan Skala : prosedur/perawatan (relaksasi da imagery)
1 : tidak ada 5 : lengkap
2 : sedikit
3 : sedang
4 : luas
D. Evaluasi
Perumusan evaluasi dengan komponen SOAP
DAFTAR PUSTAKA
Black dan Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing. Edisi 8 vol 2. Singapore :
Elseivier.
Jones, Janice dan Brenda Fix. 2009. Perawatan Kritis. Jakarta : Erlangga
Rosjidi, Cholik Harun & Saiful Nurhidayat. 2014. Buku Ajar Peningkatan
Tekanan Intrakranial & Gangguan Peredaran Darah Otak. Yogyakarta :
Gosyen Publishing.
Terry, Cynthia Lee dan Aurora Weaver. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta :
Rapha Publishing.