Anda di halaman 1dari 37

I.

KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Anatomi Fisiologi
Adapun anatomi fisiologi kepala adalah (Arif Muttaqin 2008) :
1. Tulang kepala/tengkorak
Tengkorak dibentuk oleh oleh beberapa tulang picak yang bentuknya
melengkung. Satu sama lain berhubungan sangat erat sekali, terdiri atas dua
bagian yaitu tengkorak otak dan tengkorak wajah.
a. Tengkorak otak
Tengkorak otak terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain
oleh tulang bergerigi yang disebut sutura, banyaknya delapan buah dan
terdiri dari 3 bagian yaitu :
1) Kubah tengkorak, yang terdiri dari tulang-tulang :
a) Os frontal : tulang dahi terletak dibagian depan kepala
b) Os padetal : tulang ubun-ubun terletak di tengah kepala
c) Os oksipital : tulang kepala belakang terletak dibelakang kepala
pada os oksipita, terdapat sebuah lubang cocok sekali dengan
lubang yang terdapat dalam ruas tulang belakang yang disebut
foramen magnum
2) Dasar tengkorak, terdiri dari tulang-tulang :
a) Os sfenoidal (tulang baji) tulang ini terdapat ditengah dasar
tengkorak, bentuknya seperti kupu-kupu yang mempunyai 3
pasang sayap, dibagian depat terdapat sebuah rongga yang disebut
kavum sfenoidalis yang berhubungan dengan rongga hidung.
Dibagian atasnya agak meninggi dan berbentuk seperti pelana yang
disebut sela tursika yaitu tempatnya kelenjar buntu (hipofise)
b) Os etmoidal (tulang tapis) terletak disebelah depan dari os
sfenoidal, diantara lekuk mata, terdiri dari tulang tipis yang tegak
dan mendatar. Bagian yang mendatar mempunyai lubang-lubang
kecil (lempeng tapis) yaitu tempat lalunya saraf pencium ke hidung
sedangkan bagian yang tegak disebelah depannya membentuk
sekat rongga hidung. Di samping dua tulang di atas dasar
tengkorak ini juga dibentuk oleh bagian tulang-tulang lain di
antaranya tulang-tulang kepala belakang, tulang dahi, dan tulang
pelipis. Adapun bentuk dari dasar tengkorak ini tidak rata tetapi
mempunyai lekukan yang terdiri dari lekukan depan tengah dan
belakang.
3) Samping tengkorak dibentuk oleh tulang pelipis (os temporal) dan
sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun dan tulang baji. Tulang
pelipis terdapat di bagian kiri dan kanan samping kepala dan terbagi
atas 3 bagian yaitu:
a) Bagian tulang karang (skuamosa), yang membentuk rongga-rongga
yaitu rongga telinga tengah dan rongga telinga dalam.
b) Bagian tulang keras (os petrosum) yang menjorok ke bagian tulang
pipi dan mempunyai taju yang disebut prosesus styloid.
c) Bagian mastoid, terdiri dari tulang yang mempunyai lubang-lubang
halus berisi udara dan mempunyai taju, bentuknya seperti putting
susu yang disebut prosesus mastoid.
2. Tengkorak wajah
Bagian ini pada manusia bentuknya lebih kecil daripada
tengkorak otak, di dalamnya terdapat ronggga-rongga yang membentuk
rongga mulut (kavum oris), rongga hidung (kavum nasi) dan rongga
mata (kavum orbital).Dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
a. Bagian hidung
1) Os lakrimal: tulang mata, terletak di sebalah kiri/kanan
pangkal hidung di sudut mata.
2) Os nasal: tulang hidung yang membentuk batang hidung
sebelah atas.
3) Os konka nasal: tulang karang hidung letaknya di dalam
rongga hidung bentuknya berlipat-lipat.
4) Septum nasi: sekat rongga hidung adalah sambungan tulang
tapis yang tegak.
b. Bagian rahang
a) Os maksilaris (tulang rahang atas), terdiri dari tulang bagian
kiri dan kanan menjadi satu di dalamnya terdapat lubang-
lubang besar yang berisi udara yang disebut sinus maksilaris
(antrum higmori) yang berhubungan dengan rongga hidung.
b) Di bawah os maksilaris terdapat suatu taju tempat melekatnya
urat gigi yang disebut prosesus alveolaris.
c) Os zigomatikum, tulang pipi, terdiri dari dua tulang kiri/kanan.
d) Os palatum, tulang langit-langit, terdiri dari dua buah tulang
kiri/kanan, di bagian tulang muka ini yang keras disebut
palatum mole.
e) Os mandibularis, tulang rahang bawah. Dua buah kiri/kanan
dan menjadi satu dipertengahan dagu. Bentuknya seperti
logam kuda, bagian muka membentuk taju yang disebut
prosesus korakoid yaitu tempat melekatnya otot-otot kunyah
dan kondilus yang membentuk persendian tulang pipi. Pada
tulang rahang atas dan tulang rahang bawah banyak
mempunyai lubang-lubang yaitu tempat saraf dan pembuluh
darah.
f) Os hioid tulang lidah letaknya agak terpisah dari tulang-tulang
wajah yang lain yaitu terdapat di pangkal leher di antara otot-
otot leher.
3. Otak
Otak manusia berisi hampir 98 % jaringan saraf tubuh atau
sekitar 10 miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan
fungsional, kisaran berat otak sekitar 1.4 kg dan mempunyai volume
sekitar 1200 cc. otak menerima 15 % dari curah jantung, memerlukan
sekitar 20 % pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori
energy setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak
memakai energy dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal
dari proses metabolism oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan
dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah adalah
konstan. Metabolism otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa
ada masa istrirahat. Bila aliran darah terhenti selama 10 menit saja
kemungkinan dapat terjadi kehilangan kesadaran.
4. Pelindung otak
Jaringan otak dan medulla spinalis dilindungi oleh tulang
tengkorak dan tulang belakang, serta 3 lapisan jaringan penyambung
atau meningen yaitu :
a. Durameter, Lapisan paling luar yang jaringan liat, tidak elastis,
yang terdiri atas 2 lapisan bagian luar yang disebut duraendosteal
dan bagian dalam disebut durameningeal. Lapisan endosteal
membentuk bagian dalam periosteum tengkorak dan berlanjut
sebagai periosteum yang membatasi kanalis vertebralis medulla
spinalis
b. Arakhnoid : Membran jaringan ikat, tipis, tansparan, avaskuler
terpisah dari durameter diatasnya hanya oleh sedikit cairan yang
fungsinya sebagai pembasah. Di permukaan basal otak dan
sekitar batang otak, piameter dan arakhnoid terpisah agak jauh
sehingga terbentuk ruang sisterna subarakhnoid.
c. Piameter :Lapisan meningen paling dalam berfungsi sebagai
pelindung masuknya bahan toksis atau mikroorganisme. Piameter
melekat pada parenkim otak / spinal, sehingga mengikuti bentuk
sulkus-sulkus. Piameter mengandung pembuluh darah kecil yang
memberi makan pada struktur otak dibawahnya. Bersama dengan
lapisan arakhnoid disebut Leptomeningen.
5. Bagian-bagian otak dari otak manusia
a. Serebrum
Serebrum adalah area atau wilayah terbesar dari otak manusia.
Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan
sensorik, motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan
intelejensi. Serebrum mempunyai 4 lobus:
1) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling
depan otak besar. Lobus ini berhubungan dengan
kemampuan gerak, kognitif, pemecahan masalah, kontrol
perasaan, kontrol prilaku seksual dan kemampuan bahasa
secara umum.
2) Lobus Parietal berada ditengah, berhubungan dengan proses
sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan rasa sakit.
3) Lobus Temporal berada dibagian bawah berhubungan
denngan kemampuan pendengaran, bahasa dan bentuk suara.
Lobus Occipital berada dibagian belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina.

Gambar. tulang tengkorak kepala manusia lapisan pelindung otak

Gambar bagian-bagian otak manusia


b. Serebellum
Serebelum terletak didalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh
durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang
memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utama
serebelum adalah mengatur otot-otot postural tubuh (keseimbangan
tubuh) dan melakukan program akan gerakan-gerakan pada
keadaan sadar dan dibawah sadar.
c. Brainstem (batang otak)
Brainstem atau batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau
rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang
punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur
fungsi dasar manusia termasuk pernafasan, denyut jantung,
mengukur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan. Batang otak
terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1) Mesencephalos atau otak tengah atau mid brain adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan otak besar
dengan otak kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengkontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri tubuh menuju bagian kanan tubuh, segitu juga
sebaliknya. Medulla oblongata berfungsi mengontrol fungsi
denyut jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke
pusat otak bersama dengan formasi retikular.
6. Sirkulasi darah otak
Aliran darah otak dipertahankan oleh mekanisme aoutoregulasi
serebral. Mekanisme ini menjamin kecukupan aliran darah tetap
konstan melalui pembuluh darah serebral di atas rentang tekanan
perfusi serebral dengan cara mengubah diameter pembuluh darah
berespons terhadap tekanan perfusi serebral. Mekanisme autoregulasi
dapat rusak pada keadaan iskemia, hipoksia, hiperkapnea, dan cedera
kepala.
Otak menerima sekitar 15% curah jantung. Tingginya
kecepatan aliran darah ini diperlukan untuk memenuh kebutuhan otak
yang terus menerus tinggi akan glukosa dan oksigen.
Otak bersifat unik karena otak biasanya hanya menggunakan
glukosa sebagai sumber untuk fosforikasi oksidatif dan produksi
adenosin trifospat (ATP). Sel otak tidak menyimpan glukosa sebagai
glikogen, dengan demikian otak harus secara terus menerus menerima
oksigen dan glukosa melalui aliran darah otak. Arteri karotis adalah
arteri yang memperdarahi daerah leher, kepala dan otak. Arteri
vetebralis adalah arteri yang memperdarahi bagian batang otak.
Sedangkan vena yang mengalirkan darah dari otak adalah vena
jugular interna melalui sinus-sinus venoses dalam tengkorak, kepala
serta leher. Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke
otak ialah 50-60 ml per 100 gram otak permenit. Jadi untuk berat otak
dewasa 1200-1400 gram diperlukan aliran darah 700-840 ml/menit.
Di dalam substansia otak terdapat suatu sistem komunikasi yang
terdiri atas 4 buah rongga (ventrikel) yang terisi cairan serebrospinalis
(CSF). Volume total CSF di seluruh rongga serebrospinalis sekitar
125ml.

Gambar aliran darah otak manusia

7. Sistem Syaraf Perifer


a. Sistem syaraf Somatik : Susunan syaraf yang mempunyai peranan
spesifik untuk mengatur aktivitas otot sadar / serat lintang.
b. Sistem syaraf Otonom : Susunan syaraf yang mempunyai peranan
penting, mempengaruhi pekerjaan otot tak sadar (otot polos),
terdiri dari saraf simpatis dan parasimpatis seperti: otot jantung,
hati, pancreas, saluran pencernaan, kelenjar, dll.

Tabel jumlah susunan 12 saraf pada manusia


SARAF OTAK
Urutan saraf Nama saraf Sifat saraf Berfungsi pada
daerah
I N. Olfaktorius Sensorik Hidung, sebagai
alat penciuman
II N. Optikus Sensorik Bola mata untuk
penglihatan

III N.Okulomotoris Motorik Penggerak bola


mata dan
mengangkat
kelopak mata

IV N. Troklearis Motorik Memutar bola


mata

V N. Trigeminus Motorik dan Kulit kepala dan


N. Oftalmikus sensorik kelopak mata atas

N. Maxilaris Sensorik Rahang atas,


pallatum
danhidung

N. Mandibularis Motorik dan Rahang bawah


sensorik dan lidah

VI N. Abdusen Motorik Penggoyang sisi


mata

VII N. Fasialis Motorik dan Menggerakkan


sensorik lidah

VIII N. Auditorius Sensorik Telingah,


rangsangan
pendengaran

IX N. Sensorik dan Faring, tonsil dan


Glossopharyngeus motorik lidah, rangsangan
cita rasa
X N. Vagus Motorik dan Faring, laring,
sensorik paru-paru,
esophagus
XI N. Asesorius
Motorik Leher, otot leher
XII N. Hypoglosus
Motorik Lidah, otot lidah
dan cita rasa

Gambar. jumlah 12 saraf pada manusia

8. Cairan Serebrospinal (CSS)


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat
pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
9. Fungsi Sistem Persyarafan
a. Menerima informasi (stimulus) internal maupun eksternal,
melalui syarat sensori.
b. Mengkomunikasikan antara syarat pusat sampai syarat tepi.
c. Mengolah informasi yang diterima di medula spinalis dan atau
di otak, yaitu menentukan respon.
d. Mengatur jawaban (respon) secara cepat melalui syaraf motorik
(efferent motorik palway), ke organ-organ tubuh sebagai kontrol
/ modifikasi tindakan.

B. Definisi Penyakit
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A. 2011).
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Cedera
tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status
kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional
(Judha & Rahil, 2011).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012)

C. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Center for Injury Prevention and Control,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat
sekitar 1,7 juta penduduk mengalami cedera kepala dan merupakan penyebab
tersering ketiga (30,5%) dari kematian terkait cedera di Amerika, dengan
52.000 kasus di antaranya meninggal, 275.000 kasus menjalani perawatan di
rumah sakit (CDC, 2010). Di Inggris, cedera kepala merupakan diagnosis
primer pada 77.239 pasien yang datang ke rumah sakit pada periode 2013-
2014 (Hazeldine dkk., 2015).
Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala di Indonesia sebanyak
4 per 100.000 penduduk, dan di Bali dengan angka kejadian yang lebih tinggi
yaitu 6 per 100.000 penduduk. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013). Di RSUP Sanglah, penyebab kematian
terbanyak oleh karena kecelakaan adalah multiple cedera (16%), cedera
kepala (4%), cedera abdomen (1%) dan cedera thorak (1%) (Yuniarti, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin dari tahun
2008-2010 didapatkan cedera kepala sebanyak 3578 kasus, kejadian pada
lelaki (79,8%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%), dengan
kelompok umur tertinggi 18-45 tahun (Zamzami dkk, 2013). Data cedera
kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada tahun 2005
berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817 kasus, dan tahun 2007
mengalami peningkatan yaitu berjumlah 1.078 kasus (Rawis dkk,2016).

D. Etiologi
Menurut Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver (2013) penyebab terjadinya
cedera kepala ada 3 yaitu :
1. Cedera Tumpul
Cedera tumpul adalah pukulan atau benturan langsung yang
menyebabkan cedera yang berat. Permukaan tubuh dan penyebabnya
(yang melukai) melakukan kontak langsung. Kasus yang sering terjadi dan
menimbulkan cedera yang berat adalah akselerasi/deselarasi cedera kepala
dan leher.
2. Cedera Penetrasi
Cedera penetrasi disebabkan oleh benda asing seperti pisau, kaca,
dan benda tajam yang masuk dan menembus organ dan jaringan sehingga
menimbulkan kerusakan dalam tubuh
3. Cedera perforasi
Cedera yang disebabkan karena benda asing (yang mencederai)
menembus hingga keluar tubuh sehingga menyebabkan kerusakan bagian
dalam yang berat, seperti peluru dan pisau.

E. Patofisiologi dan pathway


Cedera kepala atau cedera kapitis lebih sering terjadi daripada cedera
tulang belakang. Cedera dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non
mekanik. Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang
keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut
dinamakan dampak atau impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2)
fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya
edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur
linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh cedera kapitis
karena (1) cedera langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3)
traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau(4)
kompresi serebral cederatik akut yang secara sekunder menekan pada batang
otak. Pada cedera kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan
atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologik apapun
tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang
terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran
tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system. Lintasan
tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang
irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat
dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi.
Peregangan menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade
reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak
tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai
derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Cedera kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan
oleh(1) kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4)
perdarahan epidural, atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut
terjadi karena berbagai gaya destruktif cedera. Pada mekanisme terjadinya
cedera kapitis, seperti telah disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat
yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat penghentian akselerasi secara
mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi
akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif,
yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan
kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi
kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact disebut lesi kontusio
countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).
Gambar beberapa mekanisme cedera kepala. A, Cedera tembus dapat
menimbulkan fraktur tengkorak. B, Cedera menyebar seperti benturan pada
tengkorak tidak mengakibatkan fraktur, cedera ini dapat menyebabkan otak
bergerak cukup keras hingga merobek beberapa vena melintas dari permukaan
kortikal ke dura. Subdural hematoma kemudian dapat terjadi. Perhatikan
kontusi serebral (warna kehitaman pada otak). C, Pantulan isi tengkorak dapat
menyebabkan cedera pada sisi yang berlawanan dengan titik benturan . cedera
ini disebut cedera coup/contrecoup. Selain kerusakan langsung yang terjadi
akibat ketiga cedera yang diatas, kerusakan otak tambahan juga dapat terjadi
Pathway

F. Manifestasi klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
1) Skull Fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani,
periobital ecimos (brill haematoma), memar didaerah mastoid (battle
sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.
2) Concussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5
menit, amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah.
Contusins dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam
contusion. Tanda yang terdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan
atau cepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai
batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalan pupil

G. Klasifikasi
Cedera diklasifikasikan sebagai cedera primer dan sekunder (Cynthia Lee
Terry & Aurora Weaver, 2013) :
1. Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan akibat pada saat itu
juga, seperti kontusio, memar, luka gores, luka robek, perdarahan.
Cedera seperti ini biasanya ringan dengan kerusakan saraf yang minimal
atau tidak ada kerusakan organ utama yang berat dan kerusakan
neurologi
2. Cedera sekunder adalah cedera setelah cedera primer seperti
infeksi/sepsis yang menyebabkan peningkatan kerusakan organ dan
jaringan, bahkan dapat meningkatkan tekanan intracranial. Kematian
dapat terjadi secara cepat sehingga membutuhkan observasi dan monitor
keperawatan yang ketat.
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat.
Tabel. cedera kepala berdasarkan nilai GCS
Nilai GCS Tanda/keadaan pasien
 Pasien sadar, menuruti perintah
tapi disorientasi.
 Tidak ada kehilangan kesadaran
Cedera kepala ringan dengan nilai  Pasien dapat mengeluh nyeri
GCS 14 – 15 kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita laserasi,
hematoma kulit kepala
 Tidak adanya criteria cedera
kepala sedang-berat
 Pasien bisa atau tidak bisa
menuruti perintah, namun tidak
Cedera kepala sedang dengan nilai memberi respon yang sesuai
GCS 9 – 13 dengan pernyataan yang di
berikan.
 Amnesia paska cedera
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur
cranium (tanda Battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro
spinal)
 Kejang
 Penurunan kesadaran secara
progresif
Cedera kepala berat dengan nilai  Tanda neorologis fokal
GCS sama atau kurang dari 8  Cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi kranium

H. Gejala klinis
Tanda dan gejala yang umumnya terjadi pada pasien dengan cedera
kepala adalah sebagai berikut (Keperawatan medikal bedah, Mary DiGiulio,
2007) :
1. Sakit kepala karena cedera langsung dan/atau meningkatnya tekanan
intrakranial
2. Disorientasi atau perubahan kognitif
3. Perubahan dalam berbicara
4. Perubahan dalam gerakan motorik
5. Mual dan muntah karena meningkatnya tekanan intracranial
6. Ukuran pupil tidak sama
7. Berkurangnya atau tidak adanya reaksi pupil terkait dengan kompresi
neurologis
8. Menurunnya tingkat kesadaran atau hilang kesadaran
9. Hilang ingatan (amnesia)

I. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang terjadi pada cedera kepala adalah
(Keperawatan kritis,Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver, 2013) :
1. Edema serebral dan Herniasi. Edema serebral adalah penyebab paling
umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat
cedera kepala, puncak pembengkakan yang mengikuti cedera kepala
terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. Tekanan intracranial meningkat
karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari cedera.
2. Deficit neurologic dan psikologik. Pasien cedera kepala dapat mengalami
paralilis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau
abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologic seperti afasia, defek
memori, dan kejang poscederatik atau epilepsy. Pasien mengalami sisa
penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil atau tidak punya
malu, prilaku agresif)
3. Komplikasi lain setelah cederatic berupa cedera kepala meliputi infeksi
sistemik ( pneumonia, infeksi saluran kemih, septikimia), infeksi bedah
neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak).

J. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang diperlukan pada pasien dengan cedera
kepala meliputi (Keperawatan medikal bedah, Mary DiGiulio, 2007):
1. Sinar X di kepalamendeteksi perubahan struktur tulang kepala (fraktur)
2. MRI Headmenunjukan edema dan perdarahan
3. CT scanHead menunjukan pendarahan, edema otak, pergerakan struktur
tengah.
4. EEG mengindikasikan aktivitas serangan fokal.

K. Penatalaksaan klinis
Penatalaksanaan yang diberikan pada cedera/cedera kepala yaitu
(Keperawatan kritis, Cynthia Lee Terry & Aurora Weaver, 2013):
1. Stabilisasi pra rumah sakit
Saat kejadian cedera, tindakan ABC (airway, Breathing, Circulation) di
implementasikan untuk memastikan dan mempertahankan keefektifan
saluran penggumpalan darah, patahan gigi, kotoran, dan kerikil.
2. Resusitasi Rumah sakit
Ketika pasien sampai di ruang gawat darurat, pendekatan sistematis dan
terorganisir diimplementasikan untuk menyelamatkan pasien terancam
jiwanya. Dua survey penangangan pasien dilakukan bersama dengan tim
kesehatan lain dan proses penanganan pasien selanjutnya tidak dilakukan
hingga kondisi pasien stabil. Survey pertama disebut sebagai survey
primer.
3. Survei Primer
Ada 5 tahap dalam penataklasanaan survei primer yaitu :
a. Airway (saluran pernapasan), pemeriksaan lanjutan untuk
membersihkan dan menghilangkan sumbatan pada saluran pernapasan
pasien.
b. Breathing (Pernapasan), keseimbangan antara suplai dan pengeluaran
oksigen harus diperhatikan
c. Circulation (sirkulasi), status sirkulasi dinilai melalui warna kulit,
suhu, status mental, serta tanda hipotermia dan hipovolemia
d. Disabilities (Kecacatan), pemeriksaan neurologi mini dilakukan untuk
menentukan tingkat kesadaran. Penilaian tingkat kesadaran secara
kuanitatif dan kualitatif
Penilaian secara kuantitatif :
1) Compos mentis : sadar penuh
2) Apatis : pasien acuh tak acuh terhadap lingkungan
3) Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus bangun yang terganggu
4) Somnolen : pasien dalam keadaan mengantuk yang masih dapat
pulih bila ada rangsangan, tetapi bila rangsangan berhenti pasien
akan tertidur kembali.
5) Sopor : pasien mengalami keadaan mengantuk yang dalam,
pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat
(rangsang nyeri) tetapi pasien tidak terbangung sempurna dan
tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
6) Semi koma/sopor koma : penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi reflek pupil dan kornea masih
baik.
7) Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada
gerakan spontan dan tidak ada respon rangsang nyeri.
Penilaian secara kualitatif menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel Nilai kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Respon Pasien Skor
Spontan 4
Respon Buka mata (Eye) Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Menuruti perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik diri 4
Respon Motorik (Motorik) Fleksi 3
Ekstensi 2
Tidak ada 1
Orientasi baik 5
Bicara kacau 4
Kata- kata tidak sesuai 3
Respon verbal (Verbal) Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1

e. Exposure (paparan), Pasien dibuka bajunya dan diperiksa tiap bagian


tubuhnya untuk mengetahui cedera tambahan. Kehormatan dan privasi
pasien harus dipertahankan, dan penting juga untuk menjaga
kehangatan tubuh pasien dengan jaket/selimut jika tersedia. Bukti
legal perlu diperiksa seperti peluru, obat, atau senjata (berusahalah
untuk tidak menghilangkan barang bukti)

4. Survei Sekunder
Pengamatan yang detail dimulai dari kepala hingga kaki pasien.
Diperlukan riwayat kesehatan pasien yang detail yang diperoleh dari
informasi keluarga dan dilakukan pemeriksaan diagnostic (rontgen, CT
scan, EKG, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan).
5. Perawatan definitive, cedera spesifik perlu ditangani seperti penjahitan
luka, pemasangan gips, pemasangan kawat di dagu, pengurangan fraktur,
operasi.
6. Intervensi pembedahan mungkin perlu dilakukan (craniotomy&
Craniectomy)
a. Pengangkatan hematoma
b. Litigasi pendarahan pembuluh darah
c. Lubang Burr (pembuatan lubang) untuk dekompresi
d. Pemotongan jaringan dari benda asing dan sel mati
7. Perawatan kritis, perawatan lanjutan yang dilakukan bila pasien
mengalami masalah yang serius setelah operasi, perlu dipindahkan ke
ruang ICU untuk observasi atau tindakan kolaborasi yang dilakukan di
ICU adalah sebagai berikut
a. Monitoringtekanan intracranial (tekanan didalam tempurung kepala)
yang diakibatakan dari edema otak, darah, dan cairan cerebrospinal
(CSS). TIK diukur dengan sebuah monitor ventrikel, parenkim otak,
atau ruang subarachnoid. TIK normal adalah 5 – 15 mmHg. Tekanan
yang lebih besar dari 20 mmHg dianggap sebagai peningkatan
tekanan intracranial (TIK).
b. Monitoring Tekanan perfusi serebral adalah jumlah aliran darah dari
sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk menyediakan oksigen dan
glukosa yang cukup untuk metabolisme otak. Tekanan arteri rata-rata
(MAP) merupakan tekanan rata-rata selama siklus jantung. MAP
dihitung dengan menambahkan tekanan sistolik dengan dua kali
tekanan diastolic dan kemudian dibagi tiga. Rumus untuk menghitung
CPP adalah sebagai berikut : CPP = MAP – TIK. Nilai normal
tekanan perfusi serebral adalah 70 – 90 mmHg.
c. Hiiperventilasi telah direkomendasikan sebagai pengobatan utama
untuk pasien cedera kepala kerena peningkatan Co2
akanmenyebabkan pembuluh darah otak membesar (Vasodilatasi),
dengan melakukan hiperventilasi secara manual atau meningkatkan
pengaturan frekeuensi pernafasan ventilator hingga menimbulkan
hiperventilasi, maka terjadilah kadar darah hipokarbik (karbon
dioksida rendah) kadar Co2 antara 30 dan 35 mmHg menimbulkan
vosokontriksi pembuluh darah cerebral dan diharapkan edema otak
berkurang.
d. Pertahankan kontrol glikemik (glukosa darah) 80 – 110 mg/dl dengan
insulin intra vena (IV) atau subcutan (SC)
e. Kontrol suhu tubuh. Hipertermia meningkatkan TIK karena
meningkatkan kebutuhan metabolisme. Observasi adanya mengigil
karena fenomena ini juga meningkatkan metabolisme dan TIK, beri
antipiretik sesuai indikasi.
f. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi
g. Bantuan pernapasan seperti intubasi dan ventilasi mekanik
h. Pemberian opioid dosis rendah untuk kegelisahan, agitasi, dan sakit
pada pasien yang bergantung pada ventilator
i. Pemberian diuretic osmotic untuk mengurangi edema otak
j. Pemberian diuretic loop untuk mengurangi edema dan sirkulasi
volume darah (Furosemide)
k. Pemberian analgesic (acetaminophen)
l. Diet tinggi kalori, protein, tinggi vitamin
m. Transfusi darah jika jumlah darah menunjukan perlunya untuk di
tranfusi.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Konsep dasar keperawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut (Arif
Muttaqin, 2008) :
A. Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subjektif maupun objektif pada
gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala
tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada
organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik,
dan pengkajian psikososial.

1. Anamnesa
Identitas pasien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosis medis.
Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat cedera yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan cedera langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(CGS <15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi secret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan koma.Perlu ditanyakan pada pasien atau keluarga yang
mengantar pasien (bila pasien tidak sadar) tentang penggunaan obat-
obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa
pasien yang suka ngebut-ngebutan/balap liar.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obatan adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien untuk
menilai respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
pasien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan pasien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per
sistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien.
Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera kepala
sedang GCS 9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS
kurang atau samadengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat cedera kepala. Pada beberapa keadaan
hasil dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
Inspeksi, didapatkan pasien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektaksis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakheostomi yang kurang tepat. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: retraksi dari otot-otot
interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jka otot-
otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan cedera pada rongga thoraks.
Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
cedera pada thoraks/hematothoraks.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada pasien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk
yang menurun sering didapatkan pada pasien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada pasien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, pasien biasanya terpasang endotracheal tube (ETT) dengan
ventilator dan biasanya pasien dirawat di ruang perawatan intensiv
sampai kondisi pasien menjadi stabil. Pengkajian pasien cedera otak
berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan
jalur keperawatan kritis.
B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada pasien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular pasien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari cedera kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam
dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektrolit meningkat sehingga memberikan risiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskular.
B3 (BRAIN)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
pendarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
pasien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma.
a. Pemeriksaan fungsi serebral
1) Status mental: observasi penampilan pasien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara pasien dan observasi ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik pada pasien cedera kepala tahap lanjut
biasanya status mental mengalami perubahan.
2) Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan pasien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
3) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila cedera kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan
pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Masalah psikologis lain juga umum terjadi
dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
4) Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi
yang berlawanan tersebut. cedera kepala pada hemisfer kiri,
mengalami hemiparese kanan, pelaku lambat dan sangat hati-
hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
b. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini pasien akan mengalami
kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
2) Saraf II. Hematoma palpebral pada pasien cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu fungsi dari
nervus optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama
hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan di
retina. Anomali pembuluh darah di dalam otak dapat
bermanifestasi juga di fundus. Tetapi dari segala macam kelainan
di dalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus.
3) Saraf II, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada pasien dengan cedera yang merusak rongga orbital.
Pada kasus-kasus cedera kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala
ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak
bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah
midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot-otot
okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada cedera
kepala terdapat anisokoria di mana bukannya midriasis yang
ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil
yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis
ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu
berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak
berdilatasi melainkan berkonstriksi.
4) Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada pasien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila cedera yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
8) Saraf XI. Bila tidak melibatkan cedera pada leher, mobilitas
pasien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
c. Sistem motorik
1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
2) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade 0.
4) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
Tabel derajat kekuatan otot
Derajat Kekuatan otot
Derajat 0 Paralisis total/tidak ditemukan adanya
kontraksi pada otot
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa
Derajat 1 perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui
dengan palpasi dan tidak menggerakan sendi
Otot hanya mampu menggerakan persendian
Derajat 2 tetapi kekuatannya tidak dapat melawan
gravitasi
Di samping dapat menggerakan sendi, otot
Derajat 3 juga dapat melawan gravitasi tetapi tidak kuat
terhadap tahanan yang yang diberikan oleh
pemeriksa
Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai
Derajat 4 dengan kemampuan otot terhadap tahanan
yang ringan
Derajat 5 Kekuatan otot normal

d. Pemeriksaan refleks
1) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
2) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis
sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
e. Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan
hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimulu visual, taktil, dan auditorius.
B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala pasien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
B5 (BOWEL)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
B6 (BONE)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor
kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan
membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau syok. Pucat
dan sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi
akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah
portal akibat dari penggunaan packed red cells (PRC) dalam jangka
waktu lama. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi dalam masalah
cedera/cedera kepala adalah sebagai berikut:
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan Kerusakan
transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan
sirkulasi ke otak
5. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, program penggobatan
dan tindakan preventif berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi
C. Intervensi keperawatan
Intervensi yang dilakukan sesuai diagnosa keperawatan adalah :

1 Perfusi jaringan serebral tidak NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …X 1. Management Sensasi Perifer
efektif berhubungan dengan 24jam pasien mampu untuk mencapai skor 4 dalam - Monitor adanya parastesi mati rasa dan tengling
Kerusakan transport oksigen 1. Status neurology - Monitor status cairan termasuk intake dan output
melalui alveolar dan atau membran  Fungsi neurologis : kesadaran - Monitor fungsi bicara
kapiler  Fungsi neurologis : sensori spinal / fungsi motorik - Upayakan suhu dalam batas normal
 Fungsi neurologis : otonom - Monitor GCS secara teratur
 Ukuran pupil - Catat perubahan dalam penglihatan
 Pola pergerakan mata 2. Monitor Tekanan Intra Kranial (TIK)
 Pola pernafasan - Monitor TIK pasien dan neurologi, bandingkan dengan
 Vital sign pada batas normal keadaan normal
 Pola istirahat-tidur - Monitor tekanan perfusi serebral
 Tidak didapatkan kejang - Posisikan kepala agak tinggi dan dalam posisi anatomis
 Fungsi neurologis : sentral motor kontrol - Pertahankan keadaan tirah baring
 Tekanan intra kranial pada batas normal - Pantau tanda-tanda vital
 Tidak didapatkan sakit kepala Skala : - Kolaborasi pemberian oksigen, obat antikoagulasi, obat
1 : Extremely compromized antifibrolitik, antihipertensi, vasodilatasi perifer, pelunak
2 : Substantially compromized 3 : Moderately feses sesuai indikasi
compromized 4 : Mildly compromized 3. Monitoring vital sign
5 : Not compromized  Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
 Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
 Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
 Monitor kualitas dari nadi
 Monitor jumlah dan irama jantung
 Monitor bunyi jantung
 Monitor frekuensi dan irama pernapasan
 Monitor suara paru
 Monitor pola pernapasan abnormal
 Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
2. Nyeri akut berhubungan dengan NOC : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Manajemen nyeri
agen injuri fisik selama …x24 jam pasien mampu untuk 1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri (lokasi, karakteristik
1. Mengontrol nyeri dengan indikator dan onset, durasi, frekuensi, kualitas)
- Mengenal faktor-faktor penyebab nyeri 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal klien terhadap
- Mengenal onset nyeri ketidaknyamanan.
- Melakukan tindakan pertolongan non analgetik 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran.
- Menggunakan analgetik 4. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat
- Melaporkan gejala-gejala kepada tim kesehatan mengekspresikan nyeri.
- Mengontrol nyeri 5. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
Keterangan : hidup : pola tidur, nafsu makan, mood, pekerjaan, tanggung
1 = tidak pernah dilakukan 2 = jawab, relationship.
jarang dilakukan 6. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri
3 = kadang-kadang dilakukan 4 = 7. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol
sering dilakukan nyeri yang telah digunakan.
8. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga.
9. Berikan informasi tentang nyeri, seperti : penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan.
10. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan.
11. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis.
12. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup.
13. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri.
2. Pemberian Analgetik
1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas dan keparahan
sebelum pengobatan.
2. Berikan obat dengan prinsip 5 benar.
3. Cek riwayat alergi obat.
4. Libatkan pasien dalam pemilihan analgetik yang akan
digunakan.
5. Pilih analgetik secara tepat/kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan.
6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
7. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat.
8. Dokumentasikan respon setelah pemberian analgetik dan
efek sampingnya.
9. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik.
3. NOC: NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …X24 jam 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan 2. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
kriteria hasil : 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam.
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.
ada pursed lips) 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa 8. Berikan bronkodilator :
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam  ..................
rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)  ..................
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang 9. Monitor status hemodinamik
penyebab. 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
4. Saturasi O2 dalam batas normal 11. Berikan antibiotik :
5. Foto thorak dalam batas normal  ....................
 ....................
12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status O2
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan secret
15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
4. Kerusakan NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC :
komunikasi verbal selama …X 24jam pasien mampu untuk Pengaturan komunikasi
berhubungan dengan mencapai skor 4 dalam  Identifikasi metode yang dapat dipahami oleh pasien untuk
penurunan sirkulasi ke 1. Communication ability Indikator: memenuhi kebutuhan dasar
otak  Berkomunikasi secara tertulis  Sediakan metode komunikasi alternatif
 Berkomunikasi secara verbal - berikan pensil dan kertas jika pasien mempu
 Berkomunikasi menggunakan foto atau gambar - gunakan bahasa isyarat
 Menggunakan bahasa isyarat - konsultasi dengan speec terapy
 Menggunakan bahasa non-verbal  Tulis metode yang digunakan pasien untuk rencana
 Mengerti tentang pesan yang disampaikan perawatan
 Dapat menagkap pesan secara langsung  Libatkan keluarga dan diskusika masalah untuk
 Bertukar pesan dengan orang lain meningkatkan komunikasi psien
Keterangan:  Berikan suport sistem untuk mengatasi ketidakmampuan
1 : Extremely compromized  Membantu keluarga dalam memahami pembicaraan
2 : Substantially compromized pasien
3 : Moderately compromized  Berbicara kepada pasien dengan lambat dan dengan suara
4 : Mildly compromized yang jelas
5 : Not compromized  Mendengarkan pasien dengan baik
 Menggunakan kata dan kalimat yang singkat
 Berdiri dihadapan pasien saat berbicara
 Menggunakan papan tulis bila perlu
 Instruksikan pasien dan keluarga untuk menggunakan
bntuan berbicara
 Memberikan reinforcement (pujian) positif kepada
pasien
 Anjurkan pasien untuk mengulangi pembicaraannya
jika belum jelas
 Gunakan interpreter jika perlu
2. Mendengar aktif
 Ajak pasien berbicara sesuai kemampuan
 Rangsang timbal balik dari pasien
 Dengarkan pasien dengan penuh perhatian
 Berikan reinforcement terhadap keberhasilan
pencapaian tujuan
5. Kurang pengetahuan NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Pembelajaran : proses penyakit
tentang proses selama …X 24jam pasien mampu meningkatkan: - Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakit
penyakit, program 1. Pengetahuan : proses penyakit - Jelaskan patofisiologi penyakit dan bagaimana kaitannya
penggobatan dan - Mengenal nama penyakit dengan anatomi dan fisiologi tubuh
tindakan preventif - Deskripsi proses penyakit - Deskripsikan tanda dan gejala umum penyakit
berhubungan dengan - Deskripsi faktor penyebab atau faktor pencetus - Berikan informasi tentang hasil pemeriksaan diagnostik
kurangnya sumber - Deskripsi tanda dan gejala - Diskusikan tentang pilihan terapi
informasi. - Deskripsi cara meminimalkan perkembangan penyakit - Instruksikan klien untuk melaporkan tanda dan gejala
- Deskripsi komplikasi penyakit kepada petugas
- Deskripsi tanda dan gejala komplikasi penyakit 2. Pembelajaran : prosedur/perawatan
- Deskripsi cara mencegah komplikasi Skala : - Informasikan klien waktu pelaksanaan prosedur/perawatan
1 : tidak ada - Informasikan klien lama waktu pelaksanaan
2 : sedikit prosedur/perawatan
3 : sedang - Kaji pengalaman klien dan tingkat pengetahuan klien tentang
4 : luas prosedur yang akan dilakukan
5 : lengkap - Jelaskan tujuan prosedur/perawatan
2. Pengetahuan : prosedur perawatan - Instruksikan klien utnuk berpartisipasi selama
- Deskripsi prosedur perawatan prosedur/perawatan
- Penjelasan tujuan perawatan - Jelaskan hal-hal yang perlu dilakukan setelah
- Deskripsi langkah-langkah prosedur prosedur/perawatan
- Deskripsi adanya pembatasan sehubungan dengan - Instruksikan klien menggunakan tehnik
prosedur koping untuk mengontrol beberapa aspek selama
- Deskripsi alat-alat perawatan Skala : prosedur/perawatan (relaksasi da imagery)
1 : tidak ada 5 : lengkap
2 : sedikit
3 : sedang
4 : luas

D. Evaluasi
Perumusan evaluasi dengan komponen SOAP
DAFTAR PUSTAKA

Black dan Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing. Edisi 8 vol 2. Singapore :
Elseivier.

DiGiulio, Mary, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Rapha


Publishing.

Jones, Janice dan Brenda Fix. 2009. Perawatan Kritis. Jakarta : Erlangga

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta


: Salemba Medika.

Rosjidi, Cholik Harun & Saiful Nurhidayat. 2014. Buku Ajar Peningkatan
Tekanan Intrakranial & Gangguan Peredaran Darah Otak. Yogyakarta :
Gosyen Publishing.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta :


EGC.

Terry, Cynthia Lee dan Aurora Weaver. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta :
Rapha Publishing.

Anda mungkin juga menyukai