Anda di halaman 1dari 37

BASIS CRANII

Makalah Tutor Forensik

Chrisna Ardhya Medika

160821170001

Universitas Padjadjaran

Fakultas Kedokteran Gigi

Bandung

2018
BASIS CRANII

Struktur Kepala

Tengkorak dibentuk oleh gabungan beberapa tulang. Masing – masing tulang (kecuali
mandibula) disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci
pinggiran tulang yang bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap
tengkorak, permukaan dalam dan luar dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan spongiosa yang
disebut diploe terletak di antaranya. Terdapat variasi yang cukup besar pada ketebalan tulang
tengkorak antar – individu. Tengkorak paling tebal pada tempat yang tidak dilindungi oleh otot.1

Fungsi tengkorak adalah

a. Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran


b. Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala
c. Sebagai tempat penyangga gigi1

Tulang tengkorak dilihat dari atas (Gambar 3) menunjukkan :

a. Os frontale di depan
b. Os parietale kiri dan kanan
c. Os occipital di belakang1

Gambar 3. Tengkorak dilihat dari atas1

Tengkorak dilihat dari belakang (Gambar 4) menunjukkan :

a. Os parietale kiri dan kanan


b. Os occipitale di belakang
c. Processus mastoideus os temporal1

Gambar 4. Tengkorak dilihat dari belakang1

Tengkorak dilihat dari samping (Gambar 5) menunjukkan :

a. Kubah  dibentuk oleh os frontale, parietale, temporal, dan occipital


b. Wajah  dibentuk oleh os frontale, nasale, zygomaticum, maxilla, dan mandibula1

Gambar 5. Tengkorak dilihat dari samping1

Tengkorak dilihat dari bawah (dengan menyingkirkan mandibula) (Gambar 6) menunjukkan :

a. Gigi rahang atas  cekungan palatum durum, yang dibentuk oleh processus palatines maxilla
di bagian depan dan sebagian os palatines di bagian belakang
b. Arcus zygomaticus  dibentuk terutama oleh os zygomaticus, dengan penonjolan maxilla di
bagian depan dan os temporal di bagian yang lain di belakang
c. Fossa infratemporalis  ruang di antara arcus zygomaticus dan kubah tengkorak
d. Bagian dari os sphenoidale
e. Bagian os temporal  mencakup processus mastoideus, processus styloideus, dan canalis
caroticus (yang dilalui arteria carotis internus)
f. Os occipital  mengelilingi foramen magnum
g. Foramen magnum  yang dilalui oleh medulla spinalis, dan arteria vertebralis
h. Condylus occypitalis  di setiap sisi foramen magnum untuk articulatio atlantoocipitalis
(vertebra cervicalis I)
i. Beberapa foramen untuk pembuluh darah dan saraf1

Gambar 6. Tengkorak dilihat dari bawah1

Tengkorak dilihat dari dalam, dengan menyingkirkan kubah tengkorak menunjukkan :

a. 3 serambi pada tiap sisi


 Fossa cranii anterior
 Fossa cranii media
 Fossa cranii inferior1

Fossa cranii anterior dibentuk oleh :

a. Lamina orbitalis os frontale yang membentuk atap orbita


b. Crista galli dan lamina cribriformis os ethmoidale yang terletak di antara dua lamina orbitalis
c. Ala minor os sphenoidale1
Foramen opticum adalah sebuah lubang pada os sphenoidale yang dilalui oleh nervus opticus
di setiap sisi dari orbita menuju otak

Fossa cranii media dibentuk oleh :

a. Os sphenoidale di bagian depan


b. Os temporal di bagian tengah
c. Bagian depan pars petrosa os temporal di bagian belakang1

Fossa hypophysialis adalah cekungan di bagian tengah os sphenoidale yang merupakan


bagian yang melindungi kelenjar hipofisis. Processus clinoideus anterior dan posterior
merupakan penonjolan tulang yang sangat kecil, dua di depan dan dua di belakang fossa
hypophysialis. Arteria carotis internus memasuki tengkorak melalui lubang di bagian
posterolateral fossa.1

Fossa cranii posterior merupakan fossa yang terbesar dan terdalam dibentuk dari :

a. Bagian belakang pars petrosa os temporal


b. Os occipital1

Fossa ini menunjukkan :

a. Cekungan dalam pada tiap sisi tempat dari cerebellum


b. Foramen magnum
c. Alur tempat sinus venosus1
Gambar 7.1. Basis cranii terdiri dari tiga rongga: fossa cranii anterior, fossa cranii media
dan fossa cranii posterior
Gambar 7.2. Gambaran CT Axial Basis cranii dari inferior ke superior

Struktur Otak

Otak

Otak adalah massa besar jaringan saraf yang terletak di dalam cranium (tengkorak). Otak
terdiri atas neuron serta sel neuroglia penyokong. Otak adalah tempat reflex berintegrasi untuk
mempertahankan lingkungan internal. Otak juga merupakan sumber beberapa hormone dan tempat
integrasi semua informasi sensorik. Otak menerima sekitar 15% curah jantung. Sel otak memerlukan
glukosa untuk metabolism energy dan produksi ATP. Sistem saraf pusat dalam otak dibagi menjadi
otak depan (forebrain), otak tengah (midbrain) , dan otak belakang (hindbrain), dan medulla spinalis.
Otak tengah dan otak belakang membentuk batang otak.2

Otak depan
Otak depan mencakup diensefalon, yang terletak di pusat otak, dengan hemisfer serebri kiri
dan kanan. Bagian luar hemisfer serebri disebut korteks serebri. Hemisfer serebri dihubungkan
melalui fisura longitudinalis oleh berkas akson, yang salah satunya adalah korpus kalosum.
Diensefalon mencakup epitalamus, thalamus, subtalamus, dan hipotalamus.2

Korteks Serebri

Korteks serebri diatur secara horizontal berdasarkan fungsi dan secara vertical menjadi
lapisan – lapisan. Lapisan vertical secara jelas digambarkan dan diulang di seluruh korteks. Korteks
serebri adalah bagian otak yang paling maju dan bertanggung jawab untuk memahami lingkungan
dan memulai pikiran dan perilaku yang berorientasi tujuan. Korteks disebut substansia grisea (gray
matter) karena lebih banyaknya badan sel saraf dibandingkan dengan akson neuron, yang cenderung
tampak putih. Bagian lain dari korteks serebri, yang disebut lobus, melaksanakan fungsi yang
berbeda. Beberapa bagian korteks serebri berfungsi sebagai area sensorik primer dan secara langsung
menerima stimulus sensorik yang datang. Area ini dibatasi oleh area sensorik sekunder yang
membantu menginterpretasikan stimulus sensorik. Area asosiasi lainnya menerima informasi dari
area sensorik primer dan sekunder, dan dari tempat lain di otak korteks dan subkorteks. Area asosiasi
memungkinkan gerakan yang kompleks, interpretasi dan pembentukan bahasa, serta respons yang
tepat terhadap teman, musuh, dan orang asing. Lobus korteks diperlihatkan pada gambar 7 dan fungsi
lobus pada tabel 1.2

1. Lobus frontalis  mencakup bagian korteks serebri di depan sulkus sentralis (fisura atau
lekukan) dan di atas sulkus lateralis. Bagian ini mengandung area motorik dan premotorik.
Area broca terletak di lobus frontalis kiri dan mengontrol pembentukan (atau artikulasi)
bicara. Banyak area asosiasi di lobus frontalis menerima informasi dari seluruh otak dan
menggabungkan informasi tersebut menjadi pikiran, rencana, dan perilaku. Lobus frontalis
bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, pembuatan keputusan moral, dan pemikiran
yang kompleks. Lobus frontalis juga memodifikasi (membatasi) dorongan emotional yang
dihasilkan pada sistem limbil dan refleks vegetative batang otak.
Batang sel di area motorik primer lobus frontalis mengirimkan tonjolan akson ke medulla
spinalis yang sebagian besar berjalan dalam jalur yang disebut sebagai traktus kortikospinalis.
Pada traktus kortikospinalis, neuron motorik menyebrang ke sisi yang berlawanan, informasi
motorik dari sisi kiri korteks serebri disalurkan ke sisi kanan medulla spinalis dan mengontrol
gerakan motorik sisi kanan tubuh dan sebaliknya. Akson lain dari area motorik berjalan di
jaras ekstrapiramidal. Serabut ini mengontrol gerakan motorik halus dan berjalan di luar jaras
kortikospinal ke medulla spinalis.
2. Lobis parietal  area korteks yang terletak di belakang sulkus sentralis, di atas fisura
lateralis, dan meluas ke belakang sampai fisura parieto oksipitalis. Lobus parietalis menerima
input sensorik untuk sentuhan dan nyeri. Sel lobus parietalis bekerja sebagai area asosiasi
sekunder untuk menginterpretasikan stimulus yang datang. Lobus parietalis mengirim
informasi sensorik ke banyak area lain di otak, termaksud area asosiasi motorik dan visual di
sebelahnya.
3. Lobus oksipitalis  lobus posterior korteks serebri. Lobus ini terletak di sebelah posterior
lobus parietalis dan di atas fisura parieto oksipitalis, yang memisahkan serebelum. Lobus ini
berisi korteks visual dan area asosiasi visual. Lobus oksipitalis menerima informasi yang
berasal sebagai signal di retina.
4. Lobus temporalis  mencakup bagian korteks serebri yang meluas ke bawah dari fisura
latelalis dan ke belakang sampai fisura parieto oksipitali. Lobus temporalis adalah area
asosiasi primer untuk informasi pendengaran dan mencakup area Wernicke, tempat bahasa
diinterpretasikan. Lobus ini juga terlibat dalam interpretasi baud an penting untuk
pembentukan dan penyimpanan memori. Hipokampus adalah sebagian dari lobus
temporalis.2

Gambar 8. Lobus otak2

Tabel 1. Fungsi lobus otak2


Diensefalon

Struktur diensefalon terletak dalam di antara hemisfer serebri. Diensefalon mencakup :

1. Talamus  menerima semua informasi sensorik yang datang (kecuali bau) dan secara
berturut – turut menyampaikan informasi tersebut melalui berbagai traktur aferen ke bagian
lain korteks serebri. Serabut desenden dari korteks serebri juga berjalan ke bawah menuju
thalamus. Fungsi korteks serebri bergantung pada penyampaian thalamus. Thalamus juga
merupakan bagian dari sistem aktivasi reticular (reticular activating system, RAS), suatu
kelompok neuron yang luas yang penting dalam membuat individu terjaga. Thalamus
menerima informasi nyeri dan menyampaikannya ke korteks serebri.
2. Hopothalamus  membentuk dasar diensefalon. Hipothalamus merupakan organ saraf dan
endokrin penting yang bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis (kestabilan
lingkungan internal). Hipothalamus mengintegrasikan dan mengarahkan informasi mengenai
suhu, rasa lapar, aktivitas sistem saraf otonom, dan status emosi. Hipothalamus juga mengatur
kadar beberapa hormone termasuk hormone hopofisis.
3. Ganglia basalis  pulau substansia grisera yang terletak dalam di diensefalon pada kedua
sisi thalamus dan otak tengah bagian atas yang memproses dan memengaruhi informasi di
jaras saraf ekstrapiramidal. Ganglia basalis penting untuk mengontrol gerakan yang sangat
terampil yang memerlukan pola dan kecepatan respons tanpa pemikiran yang disengaja.
Kecepatan gerakan seorang pemain baseball dan keanggunan seorang ballerina memerlukan
kontrol ganglia basalis yang signifikan.2

Sistem Limbik

Sistem limbic adalah kelompok difus neuron dari area yang berbeda di otak. Neuron di sistem
limbik meliputi serabut dari semua lobus otak depan dan hubungan yang luas dari hypothalamus dan
thalamus. Area otak tengah dan otak belakang juga mengirimkan proyeksi yang membentuk sistem
limbic. Hipokampus dianggap sebagai bagian sistem limbic dan berperan penting dalam memberi
kode dan mengonsolidasi memori. Amigdala, yang juga dianggap sebagai bagian sistem limbic,
terlibat dalam pembentukan emosi, agresi, dan perilaku seksual. Belajar dan perilaku juga
dipengaruhi oleh beberapa struktur sistem limbic dan hubungan.2

Batang Otak

Batang otak tersusun dari pons, medulla oblongata, dan mesensefalon (otak tengah). Di
batang otak terdapat sel yang mengontrol fungsi sistem kardiovaskular dan pernafasan. Neuron
berjalan melalui batang otak dan membawa informasi motorik ked an dari korteks serebri sehingga
mengontrol keseimbangan. 10 dari 12 saraf cranial yang mengontrol fungsi motorik dan sensorik
mata, wajah, lidah, dan leher, keluar dari batang otak. Fungsi sekresi dan motorik saluran
gastrointestinal dan fungsi sensorik pendengaran dan pengecapan juga dikontrok oleh saraf cranial. 2

Formasio Retikularis

Berjalan melalui batang otak adalah jaringan yang terdiri atas banyak neuron kecil bercabang,
yang disebut formasio retikularis. Neuron ini mencakup jaras asenden dan desenden, yang beberapa
di antaranya berkumpul membentuk pusat yang mengontril refleks menelan, muntah, serta refleks
pernafasan dan kardiovaskular. Formasio retikularis juga sangat penting untuk keadaan terjaga dan
diperlukan untuk memfokuskan perhatian. Fungsi formasio retikularis sangat penting untuk
kehidupan.2

1. Keadaan terjaga  Berbagai neuron di formasio retikularis mengirim informasi ke area


otak yang lebih tinggi untuk mempertahankan keadaan terjaga dan siaga. Neuron ini serta
proyeksinya adalah bagian dari kelompok fungsional sel, bukan kelompok anatomis sel,
yang disebut sistem aktivasi reticular (reticular activating sistem, RAS). RAS
mempertahankan keadaan terjaga, perhatian, dan konsentrasi. RAS distimulasi oleh
semua input sensorik, termaksud stimulus nyeri.
2. Tidur  proses tidur juga berada di bawah kontrol formasio retikularis. Seperti keadaan
terjaga, tidur adalah proses aktif. Proses tidur terjadi apabila pusat tertentu di batang otak
mengirim signal inhibisi ke neuron di sepanjang RAS. Sinyal inhibisi ini tampak
disebabkan oleh pelepasan neurotransmitter serotonin oleh sel formasio retikularis.
Serotonin menghambat stimulasi RAS, yang secara temporer mengakhiri prilaku individu
tersebut bangun. Tidur dan terjaga biasanya mengikuti pola siklik kecuali pola tersebut
dihambat, diubah, atau diinterupsi.2

Serebelum

Serebelum berada di otak belakang sebelah posterior batang otak. Serebelum membantu
mempertahankan keseimbangan dan bertanggung jawab untuk respon otot rangka halus sehingga
menghasilkan gerakkan voluntter yang baik dan terarah. Serebelum mengontrol gerakan cepat dan
berulang yang diperlukan untuk aktivitas seperti mengetik, bermain piano, dan mengendarai sepeda.2
Saraf Kranial

Kranial terdiri dari 12 saraf, yaitu :

1. N. Olfaktorius (Sensorik)  untuk penciuman


2. N. Optikus (Sensorik)  penglihatan dan lapang pandang
3. N. Okulomotorius (Motorik)  gerakan mata ekstraokular (EOM), gerakan sfingter pupil, dan
gerakan otot siliaris lensa
4. N. Troklearis (Motorik)  EOM, khususnya menggerakkan bola mata ke bawah dan lateral
5. N. Trigeminus
a. Cabang oftalmik (Sensorik)  sensasi kornea, kulit wajah, dan mukosa nasal
b. Cabang maksilaris (Sensorik)  sensasi kulit wajah dan rongga oral anterior (lidah dan
gigi)
c. Cabang mandibula (Motorik dan Sensorik)  otot mengunyah dan sensasi kulit wajah
6. N. Abdusens (Motorik)  EOM, menggerakan bola mata ke samping
7. N. Fasialis (Motorik dan Sensorik)  ekspresi wajah, indra perasa ( 2/3 lidah anterior)
8. N. Auditorius
a. Cabang vestibular (Sensorik)  keseimbangan
b. Cabang koklear (Sensorik)  pendengaran
9. N. Glossofaringe (Motorik dan Sensorik)  kemampuan menelan, gerakan lidah dan indra
perasa (lidah posterior)
10. N. Vagus (Motorik dan Sensorik)  Sensasi pada faring dan laring, menelan, dan gerakan pita
suara
11. N. Aksesoris (Motorik)  gerakan kepala, dan mengangkat bahu
12. N. Hipoglosalum (Motorik)  penjuluran lidah, menggerakkan lidah ke atas dan ke bawah lalu
dari sisi ke sisi3
Gambar 9. Saraf Kranial

FRAFKTUR CRANIUM

Langkah 1:
- Nilai SCALP  Tampak/tidak kelainan
S  Skin
C  Connective Tissue
A Aponeurosis sub galeal
L  Loose of aerolar tissue
P Pericranium
- Nilai tulang tengkorak
Tab eksterna – Diploe – Tabule Interna (perdarahan biasanya terjadi pada tab eksterna  cepal
hematoma)
- Lihatlah apakah ada fraktur atau tidak
 Fraktur Linier
o Tampak terlihat garis radiolusen linear di daerah parietal
o Jika fragmen fraktur overlap bisa terlihat suatu garis dengan densitas tinggi
o Fraktur tampak lebih lusen pada vasa dan sutura, arah tidak teratur
Gambar 10. Fraktur Cranium Linear

 Fraktur Impresi
o Tampak satu atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang cranium disertai
kerusakan jaringan di bawahnya

Gambar 11 Fraktur Cranium Impressif

 Fraktur Stellata
o Tampak fraktur radier, menyebar dan berpusat pada satu titik
Gambar 12 Fraktur Cranium Stellata

 Fraktur Diastasis
o Tampak pelebaran atau pembukaan sutura

Gambar 13 Fraktur Cranium Diastasis

 Fraktur Basis Cranii


o Tampak air fluid level dalam sinus spenoidalis jika garis fraktur melewatinya sehingga
darah berkumpul dalam sinus
- Lihat juga kelainan lain seperti sklerotik, destruksi (gambaran tulang hilang), dan litik (struktur
tulang tidak tampak)
Langkah 2
- Nilai sutura dan vascular groove (lekukan pembuluh darah), lihatlah tempat pembuluh darah
berada (arteri dan vena media, anterior serta posterior

Gambar 14 Sutura Cranium


Langkah 3:
- Lihatlah otak, apakah ada kalsifikasi patologis (menggunakan CT Scan/MRI)
- Gunakan juga digital printing dengan CT Scan untuk memperlihatkan gambaran seperti finger
like apperance
- Nilai juga apakah ada peningkatan tekanan intracranial atau pendesakan dari penggunaan CT
Scan

Gambar 15 CT Scan-Perdarahan Intracerebral

Langkah 4:
- Nilailah sella turcica
- Lihat apakah ada pelebaran, destruksi (jika ada kemungkinan itu adalah tanda metastase tumor),
pendalaman dan juga klassifikasi
Gambar 16 Sella Turcica

Langkah 5:
- Lihat air fluid level di sinus (sinus sphenoid dan frontalis)
- Biasanya dilakukan untuk menilai apakah terjadi fraktur basis cranii dimana ada gambaran air
fluid level terutama pada sinus sphenoid

AFL Sinus
Sphenoid

Gambar 17 Air Fluid Level Sinus Sphenoid


Langkah 6:
- Nilai foto tulang wajah seperti orbita, maksila, mandibula, nasal, zygomaticum, dll

Gambar 18 Os Cranium

PATOFISIOLOGI

Cedera pada basis cranii dapat dibedakan menjadi burst fracture dan bending fracture
o Fraktur bending disebabkan trauma langsungdan tepat kearah tengkorak. Yang
akan menghasilkan depresi tulang pada sisi yang terkena impact dengan ciri
fraktur kominutif atau perforasi.
o Fraktur burst disebabkan oleh benda yang permukaannya luas dan trauma tidak
langsung ke tulang tengkorak. Kekuatan yang dihasilkan diteransmisikan dan
di daerah yang tulangnya tipis, karena ealstisitas yang minimal menyebabkan
kerusakan.
Gambar . (a)fokus trauma menyebabkan
pembentukan fisura primer pada sisi tulang yang
berlawanan (b)dampak diarea yang luas pada
tulang menyebabkan kompresi dan akhirnya terjadi
burst fraktur

Pukulan pada tengkorak menyebabkan fraktur jika toleransi elastik dari


tulang terlampui. Lesi intrakranial bermakna yang menyertai dua pertiga fraktur
tengkorak, dan adanya fraktur tengkorak meningkat berkali-kali lipat kesempatan
hematom subdural atau epidural. Akibatnya, fraktur dianggap mempunyai
kepentingan primer sebagai penanda dari tempat dan keparahan cedera. Fraktur
juga dapat menyebabkan cedera saraf kranialis berat dan menimbulkan jalan masuk
kedalam cairan serebrospinal untuk bakteri dan udara atau kebocoran CSF. Fraktur
diklasifikasikan sebagai linear, basilaris, gabungan atau depresi.
Fraktur tulang tengkorak terjadi karena benturan kecelakaan, kompresi atau
tembakan. fraktur dapat terjadi ditempat benturan maupun tempat yang jauh dari
benturan,termasuk pada dasar tengkorak.

DIAGNOSA

Fraktur tulang dasar tengkorak biasanya berdiri sendiri, kadang saja


merupakan lanjutan dari fraktur kalvarium. Pada umunya terjadi pada os petrosum,
atap orbbita, atau pada basis, atau pada basis oksiput. Diagnosis berdasarkan
anamnesis dan gejala klinis sperti pendarahan dari hidung atau telinga serta
hematom disekitar mastoid atau orbita. Fraktur yang menyilang fosa media dapat
menimbulkan gangguan kelenjar hipofisis berupa diabetes insipidus.
Robekan duramater dapat menimbulkan rinorea atau otorea. Likuorea dapat
terjadi beberapa saat setelah trauma.

Gejala klinis

Eyelid hematoma (hematoma keloopak mata)

Hematoma pada kelopak mata dapat itmbul akibat cedera pada cedera
kraniofasial atau pada atap orbita. Kelainan ini dapat timbul unlateral atau bilateral
dan juga berwarna biru pada tahap awal. Pembengkakan dapat mengnggu
pembukaan kelopak mata.
Kelopak mata dibagi oleh septum orbita, yang memungkinkan lokalisasi
cedera diwilayah orbita. Cedera kraniofasial mengakibat terlihatnya hematoma
ventral yang hanya terdapat pada septum orbita, yang mana dapat dilihat segera
setelah trauma.
Cedera dari basis cranii memperlihatkan hematoma pada dorsal dan ventral
ke esptum orbita, karena semakin panjang jarak kekelopak mata, hematoma ini
dapat diamati segera setelah cedera terjadi.
Jika udara masuk ke apparatus kelopak mata dari hidung dan sinus paranasal
(misalnya pada cedera atap sinus ethmoid, yang meluas ke orbita roof), dapat
menyebabkan emfisema pada kelopak mata. Hal ini dapat didentifikasi dengan
adanya krepitasi.
Seiferth Sign

Seiferth sign adalah hematoma submucosal yang terlihat pada atap faring
yang dapat terjadi dengan fraktur yang melibatkan sinus sphenoid atau ethmoid
posterior. Fleksibel endoskopi digunakan untuk mengevaluasinya.

Gangguan Penciuman

Gangguan penciuman dapat disebabkan oleh cedera langsung (avulsi nervus


olfaktori pada plate cribriform) atau trauma tidak langsung pada nervus olfaktori.
Berbagai metode dapat digunakan untuk menguji kemampuan penciuman.
Bau memiliki ambang deteksi dan pengenalan bau. Pengujian zat dapat
dibagi menjadi:
o Bau murni yang hanya dapat merangsang saraf penciuman (kopi, vanili,
kayu manis)
o Bau yang juga merangsang saraf trigeminal (mentol, formalin, amoniak,
cuka)
o Bau yang juga merangsang indra perasa (chloroform, piridin)

Disfungsi penciuman , hanya mempengaruhi saraf trigeminal dan sensasi rasa


yang dirasa. Bensin adalh salah satu contoh zat yang cocok untuk melakukan uji
sederhana kemampuan penciuman (tes uji kemampuan penciuman subjektif).
Sebuah kapas yang dicelupkan kedalam bensin diletakkan didepan satu lubang
hidung (dengan lubang hidung lainnyta ditutup). Jika penciuman pasien intak maka
dia dapat mencium bau bensin tersebut.
Uji simulasi dengan menempatkan aroma murni (misalnya peppermint atau
kayu manis) dilidah. Jika pasien anosmia, ia akan mengalami sensasi manis atau
dingin. Jika pasien memiliki ageusia, maka ai akan mengakami sensasi sejuk.

CSF Rhinorea
Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi sebagai trauma cedera primer
maupun sekunder (beberapa minggu hingga bulan setelah trauma). Rinorea cairan
serebrospinal dapat terjadi hanya jika ada fistula cairan serebrospinal (terdapat
hubungan antara ruang intrakranial dan ruang udara di tulang wajah.
Kebocoran cairan serebrospinal dapat didiagnosis dengan menggunakan
endoskopi, tes imunologi, contras radiografi atau dengan metode dye.

CSF otore

CSF otore disebabkan oleh hancurnya pertahanan yang memisahkan telinga


tengah dengan CSF diotak. Ketika itu terjadi maka CSF akan keluar dari telinga.
CSF otore yang terjadi setelah trauma seringkali akan berhenti dengan
spontan dalam 1-2 minggu. Jika tidak maka diperlukan tindakan operasi.

Pneumocephalus
Pneumochepalus yaitu adanya udara diintrakranial. Penigkatan tekanan
dihidung dan sinus paranasal meyebabkan udara bocor melalui defect pada basis
cranii yang akan mengakibatkan adanya udara di epidural,subdural/subarachnoid
maupun intracerebral.

Meningitis

Meningitis terjadi dalam hitungan jam atau hari setelah cedera. Hal ini
disebabkan oleh infeksi keventrikel. Tanda-tanda khas dari meningitis adalah
mengantuk, leher kaku, kernig atau lasgue sign positif.

Laboratorium

Evaluasi rinorea cairan serebrospinal

Dasar metode untuk mendeteksi adanya basilar skull injuri disertai dengan
kebocoran CSF yaitu sebagai berikut:

Glukosa/Protein Analisis

Kosentrasi glukosa dan protein lebih tinggi pada cairan cerebrospinal


dibandingkan dengan discharge pada hidung. Salah satu metode untuk mendeteksi
kebocoran cairan serebrospinal yaitu dengan menentukan kandungan glukosa dan
protein sekresi pada hidung. Nilai diagnostik dari tes ini terbatas, karena
kemungkinan kontaminasi dengan darah, sekresi lakrimal atau air liur. Pengujian
harus dilakukan dengan menggunakan strip test standar.

Diagnosis Immunologi kebocoran CSF

Deteksi beat-2 transferin dianggap sebagai standar untuk mengevaluasi


ketika kita mensuspek adanya kebocoran CSF. Pengujian sangat penting dan
dilakkukan untuk menyingkirkan cedera basis cranii.
Sebuah sampel uji dikumpulkan dalam botol kecil atau spons kecil yang
ditempatkan disalah satu lubang hidung atau telinga untuk beberapa saat. Cairan ini
kemudian diuji untuk beta-2 transferin menggunakan elektroforesis gel yang sudah
dimodifikasi. Positif bila beta-2 transferin ditemukan dalam serum pasien.

Metode Dye
Metode dye menggunakan pewarna intratekal untuk mengamati
ekstravasasi kedalam hidung dan sinus paranasal sebagai bukti adanya kebocoran
CSF. Metode yang sering digunakan meliputi pewarnaan sodium fluorescein dan
CSF skintigrafi, yang keduanya digunakan terutama unutk medteksi kebocoran
CSF.

Diagnostik Imaging Fraktur Basis Cranii Anterior

Standar saat ini dalam mendiagnosis fraktur yang dicurigai sebagai fraktur
basis cranii anterior adalah dengan menggunakan computer tomography (CT).
Gambar diambil di axial (sinus frontal dan dinding lateral sinus sphenoid) dan
koronal (plate cribriform dan atap ethmoid).
Radiografi konvensional harus dibatasi penggunaannya sebagai alat
skreening untuk fraktur. Untuk CT imaging dan evaluasi fraktur basis cranii
anterior akibat pergeseran osseous, kenaikan antara setidaknya 2mm untuk
memastikan visualisasi; untuk pencitraan sinus sphenoid, kenaikan antara irisan
haru 4 mm.

Gambar. (a)fraktu disisi kanan basis kranii (b)fraktur disisi kiri basis cranii
(c)terlihat kebocoran iotrolan disinus paranasal

Adanya udara diintraserebral merupakan tanda pasti dari fistula (walaupun


tanpa disertai pergeseran osseous). Lokalisasi dari pneumocephalus bisa di
subdural, subarachnoid atau epidural. 8
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya


cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu
tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf. Radiologi,
anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan
dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalana dari tempat kejadian
sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai keruang
operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat
aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.

Pengelolaan Pra Rumah Sakit

Pengelolahan pasien dewasa dengan trauma kepala harus


berdasarkan pemeriksaan klinis dan Glasgow Coma Scale dan Galsgow
Coma Scale Score. Kru ambulans juga harus sepuhnya terlatih dalam
penggunaan Glasgow Coma Scale untuk dewasa dan pediatrik, serta dalam
mendeteksi cedera walaupun tanpa kecelakaan dan harus
menyampaikannya ke UGD ketika tanda dan gejala-gejala tersebut muncul.
Prioritas kerja mereka yakni mengobati ancaman terbesar terlebih dahulu
dan menghindari kerusakan lebih lanjut. Prioritas pengelolaan semua pasien
gawat darurat adalah stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi (ABC)
sebelum memperhatikan cedera lainnya. Diagnosis penurunan kesadaran
akibat keracunan hanya dapat ditegaakan setelah kemungkinan cedera otak
telah disingkirkan.

Pasien yang menderita cedera kepala dan memiliki resiko berikut harus
dilakukan immobilisasi leher, seperti:
o GCS < 15 pada penilaian awal oleh tenaga kesehatan profesional

o Nyeri atau kaku pada leher

o Defisit neurologis fokal

o Parestesia di ekstremitas

o Kecurigaan klinis lainnya mengenai cedera tulang leher


Immobilisasi leher harus dipertahankan sampai semua pemeriksaan klinis
dan pencitraan (jika perlu) menunjukkan hasil yang aman untuk melepas
immobilisasi.
Glasgow Coma Scale dan turunannya Glasgow Coma Scale Score
digunakan secara luas untuk menilai pasien, baik sebelum mupun setelah tiba
di Rumah Sakit. GCS menyediakan kerangka kerja untk menggambarkan
keadaan pasien melalui tiga aspek respon membuka mata, verbal, dan motorik,
masing-masing bertingkat sesuai dengan tingkat keparahan. Skor GCS
merupakan indeks yang dibuat dengan menambahkan ketiga respon tersebut.
Skor ini dapat memberikan ringkasan yang berguna dan dasar untuk sistem
klasifikasi, namun memiliki informasi yang kurang dari deskrimpsi secara
terpisah dari ketiga respon tersebut.
Pemeriksaan nervus kranial, reaksi pupil, dan pemeriksaan neurologis pada
ekstremitas, pola dan kekuatan gerakan, dapat memberikan informasi tambahan
mengenai penyakit dan tingkat keparahan kerusakan otak. Informasi mengenai
mekanisme cedera, luka, dan komplikasi lainnya juga harus diperhatikan.15
Pasien dengan cedera kepala dapat dinilai dengan mengunakan bantuan
GCS atau skor GCS.
Mencegah atau meminimalkan penyebab cedera otak sekunder, seperti
hioksemia dan hipotensi, merupakan komponen penting dari perawatan pra
Rumah Sakit. Episode hipoksemia dan hipotensi dapat memberikan prognosis
yang buruk. Sebuah studi menemukan bahwa pasien cedera otak yang disertai
hipoksemia pra Rumah Sakit (didefinisikan sebagai sianosis atau apneu)
prognosisnya lebih buruk. Hipoksemia dan hipotensi juga tidak jarang dijumpai
pada trauma pediatrik. Intubasi endotrakeal pasien anak sering berhasil jika
dilakuakn oleh tenaga yang berpengalaman, namun tidak selalu tersedia dalam
pengelolaan pra Rumah Sakit. Intubasi nasotrakeal harus dihindari jika terdapat
kemungkinan adanya fraktur basis kranii atau facial karena komplikasinya
yakni beralihnya selang nasotrakeal ke otak. Tulang belakang leher harus selalu
distabilkan karena sebagian besar cedera tulang belakang pada pasien pediatrik
adalah pada regio leher akibat kepala anak- anak yang relatif besar, otot-otot
dan ligamen leher yang masih lemah, dan ossifikasi tulang leher yang belum
lengkap. Pedoman-pedoman saat ini sangat menyarankan bahwa pasien trauma
kepala pediatrik harus langsung diabawa ke pusat trauma pediatrik.

Pengelolaan Rumah Sakit

Pasien yang telah didiagnosis menderita cedera kepala harus langsung


diangkut ke fasilitas yang telah diidentifikasi memiliki sumber daya yang
diperlukan untuk keperluan resusitasi, investigasi, dan pengelolaan awal setiap
pasien dengan multipel trauma. Diharapkan setiap Rumah Sakit dan semua unit
neurologiyang menerima pasien langsung dari tempat trauma memiliki sumber
daya yang sesuai untuk usia pasien.
Pasien yang masuk ke gawat darurat dengan penurunan kesadaran (GCS <

15) harus dinilai segera, dan pasien dengan GCS kurang dari atau sama dengan
8 harus lebih awal ditangani untuk segera dirawat oleh tenaga profesional
dalam memberikan pengelolaan jalan napas dan membantu resusitasi serta
dilakukan pemeriksaan radiologi.
Fokus utama dari penilaian gawat darurat pada pasien dengan cedera kepala
adalah adanya resiko cedera otak dan fraktur cervikal .
Semua pasien dengan cedera kepala harus segera dinilai oleh tenaga terlatih
maksimal dalam 15 menit setelah tiba di Rumah Sakit. Selanjutnya dilakukan
dengan menetapkan apakah pasien tersebut memiliki resiko tinggi atau rendah
cedera otak dan atau fraktur servikal dengan menggunakan pemeriksaan klinis
dan pencitraan (kepala dan servikal).
Pada pasien yang dianggap berisiko tinggi untuk cedera otak dan atau
fraktur servikal, pemeriksaan harus diperluas keseluruh pemeriksaan klinis dan
permintaan CT-scan kepala dan atau servikal.
Pasien yang telah menjalani pemeriksaan awal, dan dianggap memiliki
resiko rendah untuk menderita cedera otak dan atau fraktur servikal, harus
diperiksa kembali dalam waktu 1 jam setelahnya.
Nyeri harus dikelola secara efektif karena dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial. Bidai anggota badan yang fraktur sangat membantu,
kateterisasi juga akan mengurangi iritabilitas. Analgetik hanya boleh diberikan
di bawah pengawasan dokter.

Rujukan ke Unit Bedah Saraf


Rujuk ke Unit Bedah Saraf
Semua pasien baru dengan kelainan radiologi harus didiskusikan oleh ahli
bedah saraf.
Seorang pasien, baik dewasa maupun anak-anak, dengan trauma kepala
harus dirujuk ke hali bedah saraf jika:
o Hasil CT scan di Rumah Sakit menunjukkan adanya lesi intrakranial

o Ketika pasien memenuhi kriteria untuk CT scan namun fasilitas tidak


memadai
o Ketika pasien memiliki gejala klinis yang membutuhkan pemeriksaan,
monitoring, ataupun menejemen yang sesuai dari ahli bedah saraf, terlepas
dari hasil CT scan
o Tanpa memperhatikan hasil CT scan, alasan lainnya pasien haeus dirujuk
ke bedah saraf termasuk coma yang menetap (GCS kurang dari sama dengan
8) setelah resusitasi awal, kebingungan yang dialami lebih dari 4 jam,
pemburukan GCS, tanda neurologis fokal progresif, kejang tanpa
perbaikan, dicurigai atau ditemukan luka tembus, ditemukannya cairan
serebrospinal.
Semua pasien dengan cedera kepala berat (skor GCS 8/15 atau kurang)
harus di transfer dan di rawat sistem 24 jam di ICU.
Dalam merujuk pasien, harus ditetapkan konsultan yang ditunjuk sebagai
penanggung jawab messkipun proses transfer pasien sangat mendesak,
resusitasi dan stabilisasi awal pada pasien harus selesai dimonitoring
menyeluruh sebelum pasien dikirim untuk mecegah komplikasi selama
perjalanan. Seorang pasien yang hipotensi persisten meskipun telah diresusitasi,
tidak boleh di bawa sampai penyebab hipotensi telah diidentifikasi dan pasien
telah stabil. Semua pasien dengan GCS kurang dari sama dengan 8 yang
membutuhkan rujukan ke unit bedah saraf, harus diintubasi dan diventilasi.
Intubasi dan ventilasi harus dilakukan segera pada keadaan-keadaan berikut:

o Coma-tidak mengerjakan perintah, tidak bicara, tidak membuka mata


(yakni GCS ≤ 8)
o Hilangnya refleks laring

o Insufisiensi ventilasi yang dinilai dari analisa gas darah: hipoksemia (PaO2

< 13 kPa) atau hiperkarbia (PaCO2 > 6kPa)

o Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2 < 4 kPa

o Respirasi irreguler

Langkah pertama dalam pengobatan setiap pasien adalah untuk


mengevaluasi dan mengelola serius cedera yang mengancam jiwa. Pengelolaan
definitif fraktur basis cranii yang mengancam jiwa dengan kebocoran CSF harus
ditunda hingga kondisi pasien stabil dan optimal untuk hasil bedah yang baik.
Pasien yang tidak memerlukan perawatan operasi diamati selama 48 jam hingga
terjadi kebocoran CSF berhenti spontan. Bedah intervensi dilakukan segera
mungkin pada pasien dengan cedera otak terbuka, terdapat benda asing, fratur
depresi atau kerusakan tengkorak yang luas. Kebocoran CSF yang disertai
komplikasi intrakranial seperti meningitis, abses intrdural atau subdural dan
empiema, merupakan indikasi lain untuk dura repair.
Tidak adanya fistula CSF, patah tulang temporal, kelumpuhan wajah,
gangguan pendengaran atau kebutaan maka pengelolaan fraktur basis kranii yaitu
nonoperatif. Pengobatan konservatif meliputi pemberian antibiotik intravena
selama 5 hari hingga terjadi penyembuhan dura.
Penanganan operatif diindikasikan untuk fistula CSF pasca trauma dengan
meningitis, fraktur tulang petrosa yang melintang dengan keterlibatan kapsul optik,
patah tulang temporal dengan kelumpuhan kelumpuhan wajah lengkap. Pengobatan
termasuk subtotal petrosectomi. Operasi terdiri dari exenteration traktus sel udara
tulang temporal dan obliterasi tuba eustacius. Setelah struktur terluka diperbaiki
(misalnya nervus fasialis atau arteri karotis) atau terexenterasi (misalnya kapsul
optik), rongga yang dihasilkan dengan graft lemak endogen dan flap otot
temporalis.

Pengobatan medika mentosa

Pendekatan perawatan intensif cedera kepala berat berhasil menurunkan


mortalitas dari sekitar 50% pada tahun 1970 menjadi 36% pada saat ini. Tujuan
utama protokol perawatan intensif adalah mencegah kerusakan sekunder terhadap
otak yang sudah mengalami kerusakan primer. Prinsip utama ialah bagaimana
memberikan lingkungan yang optimal terhadap neuron yang cedera sehingga terjadi
perbaikan yang mengarah pada proses normal. Sebagai tambahan bagi tindakan
fisiologis yang dapat memberikan lingkungan optimal terhadap sel otak, banyak
obat-obat baru yang secara klinis telah diuji pada cedera kepala berat. Namun
demikian pemakaian obat-obat tertentu memerlukan konsultasi dengan ahli bedah
saraf.

Cairan intravena

Cairan intravena diberikan untuk resusitasi dan menjaga agar penderita tetap
normovolemia. Konsep dehidrasi yang diperkenalkan pada masa lalu, sekarang jauh
lebih merugikan dibanding faedahnya terhadap penderita. Walaupun demikian,
jangan memberikan cairan yang berlebihan. Secara khusus ditekankan, jangan
memberikan cairan hipotonis. Pemberian cairan glukose dapat menyebabkan
hiperglisemia, yang sudah diketahui berbahaya bagi otak yang mengalami cedera.
Oleh karena itu cairan yang dianjurkan adalah garam normal
atau ringer laktat untuk resusitasi pemeriksaan kadara sodium harus dilakukan
dengan hati-hati. Hiponatremia berhubungan dengan edema otak, harus dicegah
atau diterapi dengan agresif.

Hiperventilasi

Hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati. Hiperventilasi berfungsi


menurunkan Pco2 dan menyebabkan kontriksi pembuluh darah otak. Penurunan
volume intrakranial menolong untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia otak
karena vasokonstriksi yang berat yang justru menyebabkan iskemia otak karena
vasokonstriksi yang berat menyebabkan penurunan perfusi otak. Pada masa kini
hiperventilasi digunakan secara moderat dan jangka waktu terbatas yang
dimungkinkan. Secara umum, dijaga agar Pco2 berada pada level 30mmhg atau
lebih. Level antara 25 dan 30 mmhg masih dapat diterima bila terjadi peninggian
tekanan intrakranial. Namun demikian, segala cara harus dilakukan untuk
mencegah hiperventilasi penderita dengan Pco2 dibawah 25mmHg.

Manitol

Manitol 20% digunakan secara luas untuk menurunkan tekanan


intrakranial. Dosis yang secara luas diterima adalah 1g/kg berat badan secara
bolus intravena. Dosis besar manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi kat pemberian manitol
adalh penderita komatous yang sebenarnya normal, normal pupil yang kemudian
menjadi dilatasi tanpa atau dengan hemiparesis. Pada kasus ini diberikan dosis
besar (1g/kg) bolus intravena, cepat (5menit) dan penderita segera dibwa untuk
CT-Scan ataupun langsung kekamar operasi. Manitol juga diindikasikan pada
penderita dengan dilatasi pupil bilateral tanpa reaksi yang tidak hipotensif.9

Furosemida
Obat ini digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Diuresis dapat
ditingkatkan dengan kjombinasi kedua onat ini. Dosis yang diberikan antara 0,3-
0,5 mg/kg berat badan intravena.
Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% dari semua penderita yang masuk rumah
sakit dengan cidera kepala tertutup dan 15% pada cidera kepala berat. Tiga faktor
utama yang berhubungan dengan terjadinya epilepsi. 9
o Kejang yang timbul pada minggu pertama

o Pendarahan intraserebral

o Fraktur depresi

Penelitian terdahulu menunjukan adanya keuntungan yang bermakna pada


pemberian antikonvulsan untuk pencegahan, namun demikian, penelitian yang
lebih baru menunjukan bahwa phenytoin menurunkan insiden kejang pada minggu
pertama trauma, tetapi tidak setelahnya. Studi tersebut nampak menyarankan
menghentikan pemberian antikonvulsan pencegahan setelah minggu pertama.
Diazepam atau lorazepam dapat digunakan untuk mengontrol kejang secara cepat.

Operatif

1. Basis cranii anterior

a. Pertimbangan umum

Craniotomi basal bifrontal setelah insisi koronal memungkinkan ispeksi


ke seluruh basis cranii anterior termasuk kedua lateral serta bagian
sentral. Namuan diperlukan perhatian khusus untuk melakukan
kraniotomi basal sejauh mungkin, bahkan jika sinus frontal harus
dibuka. Manajemen sinus frontal yang benar sangat dianjurkan untuk
menghindari kemplikasi operasi, seperti mucocels. Hal ini dapat dicapai
dengan dua cara:
I. Kranialisasi lengkap sinus frontal diikuti dengan pemisahan
yang cermat terhadap sinus paranasal dan rongga hidung dari
fosa kranial.
II. Rekronstruksi sinus frontal dapat dipertimbangkan pada kasus
tertentu. Tindakan ini mengharuskan ductus nasofrontal dapat
mengalir.
b. Perbaikan frontobasal dengan menggunakan periosteal flap

1) Melokalisasi defek dura, lalu memisahkan dura dari dasar


tengkorak anterior. Ini dilakukan untuk mengurangi penarikan
kembali oleh lobus frontal. Setelah itu menggunakan dissector
untuk membebaskan dura dari dasar tengkorak anterior.
2) Melokalisasi arteri ethmoid anterior dan posterior saat keluar
dari tulang. Membedah dura disekeliling plate cribriform untuk
memisahkan saraf olfactori.
3) Jumlah diseksi posterior tergantung sejauh mana fraktur. Elevasi
dura subfrontal dari planum sphenoidale dapat mencapai sejauh
tuberculum sella dan punggung sphenoid medial. Hal ini
memungkinkan untuk menarik kembali lobus frontal jauh
kedalam basis kranial anterior dengan menggunakan retraktor
penahan disetiap sisi.
4) Melokalisasi segmen fraktur dan/atau defek dura dan
menghilangkan fragmen tulang yang bergeser.
5) Dalam beberapa kasus, untuk kelancaran dan ketajaman sudut
mungkin cukup dengan burr.
6) Flap perikranium dimasukkan dan harus reline dengan defek
fraktur basis kranial.
7) Bila mungkin, flap pericranial harus dijahit ke dura.

8) Menyambung dura ke flap tulang sangat dianjurkan untuk


menghindari epidural hematom pasca operasi.
9) Penggantian bone flap menggunakan internal fixation dengan
tekhnik fiksasi tiga titik.
10) Rekonstruksi defek tulang. Dengan menggunakan tulang
pengganti untuk mengisi defek tulang agar menghindari
deformitas kosmetik.
c. Endoscopi repair untuk kebocoran CSF

1) Rinore CSF trauma yang terjadi fosa kranial anterior dan/atau


menengah dapat diobati dengan tekhnik endoscopi dengan
intratekal lumbal fluorescein.
2) Injeksi lumbar intratekal fluorescein. Pasien dapat diposisikan
terlentang dimeja operasi dengan tubuh diangkat hingga sudut
antara 10-45 derajat. Kepala dapat diputar keahli bedah jika
perlu. Endoskopi dimasukkan kedalam lubang hidung
(kanan,kiri atau keduanya) dan penanda anatomi
divisualisasikan. Penggunaan alat seperti set data fusion, CT dan
MRI sangat membantu.
3) Identifikasi defek. Dengan menggunakan fluorescein blue light
filter system dan fluorescein barrier filter yang dipasang pada
lensa endoskopi sehingga dapat membantu untuk
memvisualisasikan lokalisasi defek dura. CSF fistula dapat
terlihat dengan cahaya hijau yang khas.
4) Perbaikan defek. Beberapa tekhnik yang ada untuk perbaikan
defek dan graft dapat digunakan termasuk autolongus nsal, extra
nasal dan graft heterolongus. Defek tulang dapat diperbaiki
dengan menggunakan tulang rawan septum, bagian dari
turbinate hidung tengah, vomer dan lainya. Graft autolongus
ekstranasal yang paling sering adalah lemak perut atau fascia
lata. Pada defek yang lebih besar , flap vaskularisasi nasoseptal
dapat digunakan.
5) Setelah defek tertutup, efektivitas dan kehandalan diperiksa
dengan menggunakan manuver valsava dan dalam kasus-kasus
khusus, tes fluorescein intraoperatif.
d. Post-operatif

o Perawatan intensif 24 jam

o Rawat inap 5-8 hari (untuk mencegah kebocoran CSF berulang)


o Penggunaan antibiotik spektrum luas
o Dan setelah 5-7 hari direkomendasikan radiologi kontrol secara
rutin hari berikutnya setelah keluar dari ICU

2. Basis kranii media

a. Perhatian umum

Kraniotomi lateralis setelah insisi kulit memberikan kemungkina untuk


inspeksi seluruh lateral basis kranii termasuk bagian atas tulang petrous.
Perhatian khusus harus dilakukan untuk melakukan kraniotomi sejauh
mungkin setelah pengangkatan temporari dari arkus zygoma.
Salah satu perhatian bahwa rekronstruksi basis kranii lateral setelah
trauma hanya diperlukan pada sejumlah kecil kasus. Biasanya, setelah
fraktur kejadian rinore dapat diselesaikan dengan konservatif.
b. Perbaikan ekstradural fossa media menggunakan fascia flap

1) Setelah trepanasi subtemporal dilakukan, elevasi secara hati-hati


lobus temporal dilokasi fraktur basis kranii dilakukan.
2) Melokalisasi segmen-segmen fraktur dan/atau dura defek dan
menghilangkan fragmen tulang
3) Dalam beberapa kasus, mungkin cukup dengan burr.

4) Memotong flap fascia pedikel temporal dari tulang yang


mendasarinya
5) Flap fascia pedikel temporal dibawa kedalam ruang intrakranial dan
disitu fossa kranial media ditutup.
6) Tergantung dari ukuran laserasi dura, flap fasci dura temporal yang
harus dijahit kedura. Untuk mencapai penutupan yang sempurna,
penggunaan tekhnik sealant sangat dianjurkan.
7) Memposisikan dura ke margin tulang dengan 4-5 jahitan

8) Ganti flap tulang menggunakan internal fiksasi dengan tekhnik


fiksasi tiga titik. Suspensi jahitan dura dan flap tulang sangat
dianjurkan untuk menghindari kemungkinan epidural hematom
pasca operasi.
c. Post-operatif

o Perawatan intensif 24 jam

o Rawat inap 5-8 hari (untuk menyingkirkan kebocoran CSF


berulang)
o Penggunaan antibiotikk spektrum luas selama dan setelah prosedur
untuk 5-7 hari berikutnya dianjurkan
o Kontrol radiologi secara rutin pada hari berikutnya setelah
meninggalkan ICU.

3. Basis kranii posterior

a. Modalitas pengobatan

Fraktur dasar tengkorak posterior jarang dan terjadi hanya 5% dari


semua fraktur dasar tengkorak. Namun, mereka memerlukan perhatian
khusus karena tingkat kematiannya yang tinggi. Tiga komplikasi yang
paling penting yang terkait dengan patah tulang basis kranii posterior
adalah:
o Kompresi otak akibat efek massa (epidural hematom atau
intracerebellar hematom)
o Hidrosefalus akut akibat oklusi ventrikel ke-4

o Ketidakstabilan kranioservikal akibat fraktur occipital codylar.

b. Modalitas penganan dalam kasus lesi massa fossa posterior

1) Fraktur fossa posterior berhubungan dengan epidural hematom


membutuhkan kraniotomi yang cukup luas untuk melihat
seluruh area yang berdarah. Menggunakan tipikal burr
holes(kadang hanya perlu satu lubang)
2) Lesi massa epidural dieksplorasi dan dihapus dengan
menggunakan perangkat hisap dan dissector. Dalam kasus
pembengkakan otak yang signifikan, flap tulang tidak diganti
pada saat ini, namun flap tulang disimpan dalam frezer (-72 °C)
dan diganti pada saat operasi kedua, biasanya 3-6 bulan setelah
operasi pertama. Ketika tidak ada pembengkakan, bone flap
diganti dan diperbaiki saat operasi primer.
3) Dalam kasus subdural hematom fossa posterior, dura langsung
dibuka tepat diatas hematoma dengan menggunakan insisi
bentuk-X.
4) Subdural hematom dievakuasi dengan menggunakan suction dan
dissector untuk menghindari cedera korteks serebral. Ketika
pembengkakan menjadi parah, extended duraplsty dilakukan dan
flap tulang tidak diganti pada saat ini.
c. Post-operatif

o Perawatan intensif 24 jam

o Rawat inap 5-8 hari (untuk menyingkirkan terlangnya CSF)

o Penggunaan antibiotik spektrum luas selama dan setelah prosedur


untuk 5-7 hari berikutnya dianjurkan.
o Kontrol radiologi dilakukan secara rutin pada hari berikutnya
setelah pasien meninggalkan ICU

Kesimpulan

Otak adalah bagian tubuh yang tepenting dalam tubuh, oleh karena itu otak dilapisi oleh
tengkorak yang sangat kuat untuk melindunginya. Otak memiliki fungsi – fungsi yang sangat
penting dalam tubuh, salah satunya adalah dalam mengkoordinasikan seluruh bagian tubuh.
Reticular Activating System (RAS) adalah bagian dari sistem otak yang mengontrol kesadaran
dari tubuh kita. Adanya fraktur pada basis cranii yang dialami oleh pengemudi dalam khasus yang
mengakibatkan pengemudi tersebut tidak sadarkan diri bisa disebabkan oleh adanya gangguan
pada RAS sehingga pengemudi tersebut tidak sadarkan diri.

36
Daftar Pustaka

1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2003.h.97-100


2. Corwin EJ. Patofisiologi. Edisi ke – 3. Jakarta: EGC; 2009
3. Berman A. Buku ajar praktik keperawatan klinis kozier dan erb. Edisi ke – 5. Jakarta: EGC;
2009.h.151-2
4. Gibson J. Fisiologi dan anatomi modern untuk perawat. Edisi ke – 2. Jakarta: EGC;
2002.h.113-6
5. Saryanegara. Ilmu bedah saraf. Edisi ke – 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
2010.h.15-6

37

Anda mungkin juga menyukai