“FIBROUS DYSPLASIA”
Tinjauan Klinis, Radiologis dan Histopatologis
Oleh
Fadhlil Ulum A.Rahman
NPM 160821180005
Dosen Pembimbing
drg. Silvi Kintawati, MS.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
bentuk dan isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat digunakan
pengalaman bagi pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk dan isi
dan pengalaman penyusun. Oleh karena itu saya mengharapkan pembaca untuk
makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
kondisi ini mungkin secara klinis dapat terlihat sebagai tumor namun
intramedular awalnya dijelaskan oleh Lichtenstein pada tahun 1938 dan oleh
Lichtenstein dan Jaffe pada tahun 1942. Kondisi ini terjadi karena adanya proses
proliferasi atau pergantian dari tulang yang normal menjadi tulang abnormal yang
tersusun oleh jaringan ikat fibrosa dan trabekula tulang yang irreguler. Lesi ini
kemudian dikenal sebagai lesi fibro-osseus dan termasuk pada golongan benign
(jinak).1,2,3,4,5,6
ternyata bersifat genetik. Adanya mutasi gen pada GS alpha (GNAS1) pada
kromosom 20q13.32 terdeteksi pada 93% kasus fibrous dysplasia yang diuji.
Walaupun bersifat genetik, tetapi kasus fibrous dysplasia tidak bersifat diwariskan
(inheritage) tetapi bersifat somatik. Kondisi sporadis ini terjadi sebagai hasil dari
sejak fase pasca zigotik, dimana terjadi mutasi aktif pada gen GNAS1, yang
selanjutnya mengkode subunit alpha pada stimulator Protein G. Mutasi seperti ini
khas pada fibrous dysplasia, sebab tidak ditemukan pada ossifying fibroma dan
cemento-osseus dysplasia. Jika mutasi gen terjadi sangat dini maka akan banyak
sel anakan yang terkena dan akan bermanifestasi pada organ-organ tubuh seperti
1
terjadi beberapa waktu setelahnya maka mutasi gen akan menghasilkan hanya
sedikit sel anakan osteoblas dan penyakit akan muncul dalam bentuk poliostotik.
Mutasi yang terjadi belakangan ini hanya akan berefek pada osteoblas untuk satu
tulang saja.2,3,6
Insiden dan prevalensi yang tepat dari kejadian fibrous dysplasia ini sulit
untuk diperkirakan, tetapi lesi ini tidak jarang; mereka awalnya dilaporkan
Displasia fibrosa dapat muncul hanya melibatkan satu tulang (monostotik) atau
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
lamellar yang dewasa dan kegagalan tulang untuk menyusun kembali strukturnya
menghasilkan massa tulang yang belum matang dari trabekula tulang yang
terisolasi di dalam suatu jaringan ikat fibrosa yang mengalami displastik yang
terus berubah dengan sangat lambat tetapi tidak pernah menyelesaikan dengan
hilangnya suatu kekuatan mekanis yang besar dari tulang. Kondisi ini mengarah
merupakan kondisi yang sporadik yang dapat mempengaruhi satu atau banyak
tulang. Keterlibatan mutasi gen pasca fase zigotik pada gen GNAS1 (guanine
sebagai etiologi dari kejadian ini. Jika mutasi terjadi pada suatu sel induk yang
tidak berdiferensiasi pada masa awal embrio, maka osteoblas, melanosit, dan sel
endokrin yang bertindak sebagai progeni sel yang bermutasi, akan membawa dan
mengekpresikan gen yang bermutasi tersebut. Keadaan ini secara klinis akan
3
berpengaruh pada terjadinya lesi pada tulang, pigmentasi kulit (cafe au lait spots),
tersebut terjadi pada fase akhir dari masa embrional maka ketika sel-sel progenitor
normal, justru sel-sel progeni yang bermutasi akan menyebar dan berkontribusi
dalam pembentukan skeleton yang menghasilkan suatu lesi ganda pada tulang
yang disebut fibrous dysplasia. Jika mutasi tersebut terjadi pada masa pasca
kelahiran maka sel progeni yang bermutasi hanya terbatas pada satu area hingga
dengan jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat fibrosa ini akan mengalami kalsifikasi
yang bertahap tetapi tidak pernah mencapai maturasi tulang sehingga yang terjadi
manifestasi klinis sesuai dengan jumlah jarigan tulang yang terkena maka kondisi
ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu bentuk lesi tunggal (monostotik) dan bentuk
lesi ganda/multiple (poliostotik). Sekitar 30% dari kondisi ini merupakan bentuk
poliostotik.4 Bentuk monostotik yang terjadi pada 70% dari semua kasus paling
sering ditemukan pada rahang dengan angka kejadian dua kali lebih sering pada
rahang atas (maxilla) daripada rahang bawah (mandibula) dan lebih banyak terjadi
pada area posterior. Secara garis besar, secara berurutan area yang paling sering
terkena adalah tulang iga, femur, tibia, maxilla, lalu mandibula. Lesi ini biasanya
4
unilateral, dan lesi bersifat statis ketika perkembangan skeletal juga telah berhenti
poliostotik dari kasus ini sering ditemukan pada anak yang berusia kurang dari 10
tahun sedangkan bentuk monostotik pada pasien dengan umur yang lebih tua
(terbanyak pada dekade kedua hingga ketiga kehidupan) dengan tidak adanya
proliferasi pada fibrooseus. Biasanya lesi bentuk ini terjadi sejak masa kanak-
(swelling) pada wajah maka akan tampak asimetri dan jika lesi besar akan
Gambar 1
Lesi dalam bentuk poliostotik muncul pada sebagian kecil pasien dengan
kerterlibatan dua atau lebih tulang. Sering ditemukan pada kanak-kanak dengan
5
lebih banyak terjadi pada pasien perempuan. Jumlah tulang yang terlibat
bervariasi dari 75% hingga keterlibatan keseluruhan skeleton. Pasien dengan lesi
poliostotik sering muncul sebagai lesi Jaffe tanpa adanya gangguan endokrin dan
pigmentasi kulit.2
banyak ditemukan pada maxilla daripada mandibula sesuai dengan teori yang
sebelumnya dikemukakan. Lesi ini umumnya unilateral tetapi pada kasus yang
jarang terjadi lesi ini meluas hingga mengenai kedua sisi rahang (bilateral).
Sturktur internal dari lesi ini biasanya menyesuaikan dengan sejauh mana tingkat
perkembangan penyakit. Secara garis besar terdapat tiga pola berbeda yang dapat
a. Fase awal berupa fase osteolitik dengan struktur internal berupa radiolusen
ini menjadi mirip dengan lesi periapikal jika lesi ini berhubungan dengan
gigi. Walaupun masih dalam tahap awal, sudah tampak adanya obliterasi
Sudah mulai terjadi peningkatan jumlah dan ukuran trabekula tulang yang
6
campuran antara radiolusen-radiopak yang sedikit buram dan kabur, yang
c. Fase maturasi. Ketika lesi ini mencapai tahap maturasi, maka telah terjadi
banyak, lebih pendek dan tampak tidak mampu merespon tekanan pada
amorf.
Efek ke jaringan sekitar biasanya jika lesi displasia fibrosa berukuran kecil,
lesi tersebut tidak akan memberikan efek apapun pada jaringan sekitarnya. Efek
pada tulang dapat timbul jika terjadi ekspansi ke areah korteks yang tipis.
Gambar 2 Fibrous Dysplasia unilateral yang melibatkan maxilla dan manibula kiri.
Gambar 3 Perluasan ke lateral dari maxilla dan peningkatan densitas tulang akibat
7
Gambar 4
Fase awal perkembangan fibrous dyslplasia yang memberikan gambaran radiolusen
Gambar 6
Fibrous dysplasia dengan margin anterior yang ill defined dan menyatu dengan pola tulang
normal
8
2.3 Tinjauan Histopatologis Fibrous Dysplasia
tampakan histologis berupa banyak sekali tulang trabekula yang abnormal dalam
ukuran dan jumlah, pendek dan tidak beraturan yang biasa disebut immature
woven bone pada stroma sel fibrosa. Pada bagian perfier, lesi tampak menyatu
dengan tulang normal tanpa adanya kapsulisasi atau garis demarkasi yang jelas.
Pada tahap lanjut dari lesi ini yaitu pada fase inactive jenis tulang immature tadi
telah digantikan oleh suatu struktur tulang lamelar yang memiliki trabekula yang
osseus, tetapi tidak dapat membedakan fibrous dysplasia dari lesi fibro-osseus
DNA.3,6
Gambar 7
9
2.4 Penatalaksanaan, Diagnosis Banding, dan Prognosis
biopsi pada sebagian besar kasus. Kondisi ini cenderung menjadi stabil pada
tetapi penyakit ini terjadi pada kelompok usia yang lebih lanjut, dan ketika
yang sama, tetapi distribusi sering bilateral dan berpusat pada periapikal,
10
• Osteomyelitis dapat menyebabkan pembesaran rahang yang serupa tetapi
Dysplasia.
memberikan pola tulang yang sama; namun penyakit ini selalu polyostotic
tulang.
transformasi malignansi.2,3,6
11
BAB III
SIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
2. White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology Principles and Interpretation 7th
3. Neville BW, Allen CM, Damm DD, Chi AC. Oral and Maxillofacial
Elsevier, 2013.
5. Koong B. Atlas of Oral And Maxillofacial Radiology. Iowa: John Wiley &
6. Cawson RA, Odell EW. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine 8th
13