Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENUNJANG RADIODIAGNOSIS I

“FIBROUS DYSPLASIA”
Tinjauan Klinis, Radiologis dan Histopatologis

Oleh
Fadhlil Ulum A.Rahman
NPM 160821180005

Dosen Pembimbing
drg. Silvi Kintawati, MS.

PPDGS RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan

hidayahNya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk dan isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat digunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk dan isi

makalah ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.

Makalah ini masih banyak kekurangan karena masih terbatasnya referensi

dan pengalaman penyusun. Oleh karena itu saya mengharapkan pembaca untuk

memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan

makalah ini.

Bandung, 1 Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………... i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Klinis Fibrous Dysplasia ………………...……………………

2.2 Tinjauan Radiografis Fibrous Dysplasia ......................... ……...….…. 5

2.3 Tinjauan Histopatologis Fibrous Dysplasia.................................................

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan ………………………..……………………………….............. 9

3.2 Saran ......................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………................ 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Displasia Fibrosa (Fibrous Dysplasia) adalah suatu keadaan atau kondisi

yang diklasifikasikan sebagai developmental tumorlike condition, yang berarti

kondisi ini mungkin secara klinis dapat terlihat sebagai tumor namun

patofisiologis penyakitnya bukan termasuk tumor. Disebut juga lesi fibro-osseus

intramedular awalnya dijelaskan oleh Lichtenstein pada tahun 1938 dan oleh

Lichtenstein dan Jaffe pada tahun 1942. Kondisi ini terjadi karena adanya proses

proliferasi atau pergantian dari tulang yang normal menjadi tulang abnormal yang

tersusun oleh jaringan ikat fibrosa dan trabekula tulang yang irreguler. Lesi ini

kemudian dikenal sebagai lesi fibro-osseus dan termasuk pada golongan benign

(jinak).1,2,3,4,5,6

Penelitian terbaru telah menemukan bahwa terjadinya fibrous dysplasia

ternyata bersifat genetik. Adanya mutasi gen pada GS alpha (GNAS1) pada

kromosom 20q13.32 terdeteksi pada 93% kasus fibrous dysplasia yang diuji.

Walaupun bersifat genetik, tetapi kasus fibrous dysplasia tidak bersifat diwariskan

(inheritage) tetapi bersifat somatik. Kondisi sporadis ini terjadi sebagai hasil dari

sejak fase pasca zigotik, dimana terjadi mutasi aktif pada gen GNAS1, yang

selanjutnya mengkode subunit alpha pada stimulator Protein G. Mutasi seperti ini

khas pada fibrous dysplasia, sebab tidak ditemukan pada ossifying fibroma dan

cemento-osseus dysplasia. Jika mutasi gen terjadi sangat dini maka akan banyak

sel anakan yang terkena dan akan bermanifestasi pada organ-organ tubuh seperti

yang terlihat pada kondisi McCune-Albright syndrome, sedangkan jika mutasi

1
terjadi beberapa waktu setelahnya maka mutasi gen akan menghasilkan hanya

sedikit sel anakan osteoblas dan penyakit akan muncul dalam bentuk poliostotik.

Mutasi yang terjadi belakangan ini hanya akan berefek pada osteoblas untuk satu

tulang saja.2,3,6

Insiden dan prevalensi yang tepat dari kejadian fibrous dysplasia ini sulit

untuk diperkirakan, tetapi lesi ini tidak jarang; mereka awalnya dilaporkan

mewakili sekitar 5% hingga 7% dari kondisi benign tumor-like pada tulang.

Displasia fibrosa dapat muncul hanya melibatkan satu tulang (monostotik) atau

banyak tulang (poliostotik) dan dapat dikaitkan dengan kondisi lain.1

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologis Fibrous Dysplasia

Postulat mengenai fibrous dysplasia dikemukakan terjadi sebagai akibat

dari kegagalan perkembangan remodelling dari tulang primitif menjadi tulang

lamellar yang dewasa dan kegagalan tulang untuk menyusun kembali strukturnya

sebagai respon terhadap tekanan mekanik. Kegagalan dalam maturasi

menghasilkan massa tulang yang belum matang dari trabekula tulang yang

terisolasi di dalam suatu jaringan ikat fibrosa yang mengalami displastik yang

terus berubah dengan sangat lambat tetapi tidak pernah menyelesaikan dengan

tuntas proses remodelling-nya. Selain itu, kondisi matriks tulang tidak

termineralisasi secara sempurna. Kombinasi dari kurangnya kemampuan untuk

remodelling serta tidak memadainya proses mineralisasi tulang menyebabkan

hilangnya suatu kekuatan mekanis yang besar dari tulang. Kondisi ini mengarah

kepada pengembangan rasa nyeri, kelainan bentuk, serta fraktur patologis.1

Kondisi ini dianggap timbul dari jaringan mesenkim spesifik pembentuk

tulang. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, penyakit ini secara genetis

merupakan kondisi yang sporadik yang dapat mempengaruhi satu atau banyak

tulang. Keterlibatan mutasi gen pasca fase zigotik pada gen GNAS1 (guanine

nucleotide-binding protein α-stimulating activity polypeptide1) telah dikonfirmasi

sebagai etiologi dari kejadian ini. Jika mutasi terjadi pada suatu sel induk yang

tidak berdiferensiasi pada masa awal embrio, maka osteoblas, melanosit, dan sel

endokrin yang bertindak sebagai progeni sel yang bermutasi, akan membawa dan

mengekpresikan gen yang bermutasi tersebut. Keadaan ini secara klinis akan

3
berpengaruh pada terjadinya lesi pada tulang, pigmentasi kulit (cafe au lait spots),

dan gangguan kelenjar endokrin (hiperfungsional). Sebaliknya jika mutasi

tersebut terjadi pada fase akhir dari masa embrional maka ketika sel-sel progenitor

skeletal yang seharusnya bermigrasi sebagai proses perkembangan skeletal yang

normal, justru sel-sel progeni yang bermutasi akan menyebar dan berkontribusi

dalam pembentukan skeleton yang menghasilkan suatu lesi ganda pada tulang

yang disebut fibrous dysplasia. Jika mutasi tersebut terjadi pada masa pasca

kelahiran maka sel progeni yang bermutasi hanya terbatas pada satu area hingga

secara klinis hanya akan mempengaruhi satu tulang saja.1,2,8

2.2 Tinjauan Klinis Fibrous Dysplasia

Mutasi pada gen GNAS1 akan menyebabkan terjadinya pergantian atau

displasia tulang trabekula yang seharusnya normal menjadi tulang abnormal

dengan jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat fibrosa ini akan mengalami kalsifikasi

yang bertahap tetapi tidak pernah mencapai maturasi tulang sehingga yang terjadi

adalah terbentuknya tulang-tulang woven bone yang abnormal. Berdasarkan

manifestasi klinis sesuai dengan jumlah jarigan tulang yang terkena maka kondisi

ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu bentuk lesi tunggal (monostotik) dan bentuk

lesi ganda/multiple (poliostotik). Sekitar 30% dari kondisi ini merupakan bentuk

poliostotik.4 Bentuk monostotik yang terjadi pada 70% dari semua kasus paling

sering ditemukan pada rahang dengan angka kejadian dua kali lebih sering pada

rahang atas (maxilla) daripada rahang bawah (mandibula) dan lebih banyak terjadi

pada area posterior. Secara garis besar, secara berurutan area yang paling sering

terkena adalah tulang iga, femur, tibia, maxilla, lalu mandibula. Lesi ini biasanya

4
unilateral, dan lesi bersifat statis ketika perkembangan skeletal juga telah berhenti

kecuali pada bentuk poliostotik yang biasanya tetap berproliferasi. Bentuk

poliostotik dari kasus ini sering ditemukan pada anak yang berusia kurang dari 10

tahun sedangkan bentuk monostotik pada pasien dengan umur yang lebih tua

(terbanyak pada dekade kedua hingga ketiga kehidupan) dengan tidak adanya

predileksi jenis kelamin terhadap munculnya penyakit ini. 2,3,5

Lesi ini dalam bentuk monostotik memberikan gambaran klinis berupa

peningkatan/pembengkakan pada area tulang yang disebabkan oleh terbatasnya

proliferasi pada fibrooseus. Biasanya lesi bentuk ini terjadi sejak masa kanak-

kanak dan akan mengalami penghentian dengan sendirinya memasuki masa

dewasa awal. Karena biasanya timbul secara klinis berupa pembengkakan

(swelling) pada wajah maka akan tampak asimetri dan jika lesi besar akan

berpengaruh pada saraf.5,

Gambar 1

Lesi Fibrous Dysplasia bentuk monostotik pada maxilla

Lesi dalam bentuk poliostotik muncul pada sebagian kecil pasien dengan

kerterlibatan dua atau lebih tulang. Sering ditemukan pada kanak-kanak dengan

5
lebih banyak terjadi pada pasien perempuan. Jumlah tulang yang terlibat

bervariasi dari 75% hingga keterlibatan keseluruhan skeleton. Pasien dengan lesi

poliostotik sering muncul sebagai lesi Jaffe tanpa adanya gangguan endokrin dan

lesi pada McCune-Albright syndrome dengan adanya gangguan endokrin dan

pigmentasi kulit.2

2.2 Tinjauan Radiografi Fibrous Dysplasia

Secara pemeriksaan radiologis ditemukan bahwa fibrous dysplasia lebih

banyak ditemukan pada maxilla daripada mandibula sesuai dengan teori yang

sebelumnya dikemukakan. Lesi ini umumnya unilateral tetapi pada kasus yang

jarang terjadi lesi ini meluas hingga mengenai kedua sisi rahang (bilateral).

Sturktur internal dari lesi ini biasanya menyesuaikan dengan sejauh mana tingkat

perkembangan penyakit. Secara garis besar terdapat tiga pola berbeda yang dapat

tampak pada area maxillofacial yaitu:2,5,7,8

a. Fase awal berupa fase osteolitik dengan struktur internal berupa radiolusen

total. Hal ini terjadi karena berkurangnya mineralisasi pada tulang

sehingga tepi perifer lesi tampak ill-defined. Secara radiografis tampakan

ini menjadi mirip dengan lesi periapikal jika lesi ini berhubungan dengan

gigi. Walaupun masih dalam tahap awal, sudah tampak adanya obliterasi

antara batas tulang kanselus dengan kortikal.

b. Fase intermedia, dengan struktur internal masih dominan radiolusen, tetapi

sudah tampak adanya area yang mengalami osifikasi atau kalsifikasi.

Sudah mulai terjadi peningkatan jumlah dan ukuran trabekula tulang yang

displastik yang secara radiografis memunculkan tampakan berkabut, pola

6
campuran antara radiolusen-radiopak yang sedikit buram dan kabur, yang

disebabkan oleh adanya sekelompok spikula tulang yang masih tidak

terdefinisi dengan baik yang menyebar ke area lesi.

c. Fase maturasi. Ketika lesi ini mencapai tahap maturasi, maka telah terjadi

pergantian keseluruahan tulang dengan jaringan fibrosa yang ukurannya

kira-kira sama dengan ukuran lesi. Trabekula abnormal ini berjumlah

banyak, lebih pendek dan tampak tidak mampu merespon tekanan pada

tulang, sehingga berorientasi dalam arah yang acak, menghasilkan suatu

gambaran pola radiopak yang bermacam-macam seperti misalnya bentuk

ground-glass appearance, peau d’orange, cotton wool, fingerprint, dan

amorf.

Efek ke jaringan sekitar biasanya jika lesi displasia fibrosa berukuran kecil,

lesi tersebut tidak akan memberikan efek apapun pada jaringan sekitarnya. Efek

pada tulang dapat timbul jika terjadi ekspansi ke areah korteks yang tipis.

Gambar 2 Fibrous Dysplasia unilateral yang melibatkan maxilla dan manibula kiri.

Gambar 3 Perluasan ke lateral dari maxilla dan peningkatan densitas tulang akibat

peningkatan jumlah trabekula

7
Gambar 4
Fase awal perkembangan fibrous dyslplasia yang memberikan gambaran radiolusen

Gambar 5 Pola kulit jeruk (peau d’orange) pada fibrous dysplasia

Gambar 6

Fibrous dysplasia dengan margin anterior yang ill defined dan menyatu dengan pola tulang

normal

8
2.3 Tinjauan Histopatologis Fibrous Dysplasia

Pemeriksaan mikroskopis pada lesi fibrous dysplasia menunjukkan adanya

tampakan histologis berupa banyak sekali tulang trabekula yang abnormal dalam

ukuran dan jumlah, pendek dan tidak beraturan yang biasa disebut immature

woven bone pada stroma sel fibrosa. Pada bagian perfier, lesi tampak menyatu

dengan tulang normal tanpa adanya kapsulisasi atau garis demarkasi yang jelas.

Pada tahap lanjut dari lesi ini yaitu pada fase inactive jenis tulang immature tadi

telah digantikan oleh suatu struktur tulang lamelar yang memiliki trabekula yang

sejajar. Biopsi sebenarnya digunakan untuk mengonfirmasi adanya lesi fibro-

osseus, tetapi tidak dapat membedakan fibrous dysplasia dari lesi fibro-osseus

lainnya dengan pasti sehingga dibutuhkan identifikasi mutasi GNAS1 oleh

DNA.3,6

Gambar 7

Hasil pemerisaan histopatologis Fibrous Dysplasia

9
2.4 Penatalaksanaan, Diagnosis Banding, dan Prognosis

Karakteristik radiografis biasanya dapat memberi kepastian diagnosis sebelum

biopsi pada sebagian besar kasus. Kondisi ini cenderung menjadi stabil pada

setelah perkembangan skeletal berhenti dan pemulihan spontan bahkan telah

dilaporkan pada bebera kasus, sehingga manajemen konservatif lebih banyak

dilakukan. Tidak dianjurkan terapi invasif/bedah pada pasien muda, kecuali

perluasannya luas dan besar disarankan surgical contouring, shaving, debulking.

Pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dianjurkan. Terapi radiasi tidak disarankan.

Pertimbangan penatalaksanaan ortodontik dan kosmetik menunggu sampai

pertumbuhan tulang berakhir. Pembedahan sempurna (complete surgical removal)

dipertimbangkan untuk kasus regrowth pada lesi monostotic yang agresif

walaupun telah dilakukan debulking sebelumnya.2,3,6

Beberapa penyakit kemudian didiagnosis bandingkan dengan kondisi

fibrous dysplasia yaitu :

• Sarkoma osteogenik dapat menghasilkan pola yang serupa tetapi lebih

menunjukkan gambaran maligna radiologis

• Paget’s Disease dapat memberikan gambaran pola tulang yang sama,

tetapi penyakit ini terjadi pada kelompok usia yang lebih lanjut, dan ketika

mandibula terlibat maka hampir seluruh area mandibula akan terpengaruh,

berbeda dengan kecenderungan unilateral pada Fibrous Dysplasia.

• Periapical Cemental Dysplasia juga memberikan gambaran pola tulang

yang sama, tetapi distribusi sering bilateral dan berpusat pada periapikal,

juga terjadi pada kelompok usia tua.

10
• Osteomyelitis dapat menyebabkan pembesaran rahang yang serupa tetapi

tulang baru dihasilkan oleh periosteum sehingga terletak pada permukaan

luar korteks sedangkan pada Fibrous Dysplasia terjadi perluasan ke aspek

internal tulang dan justru menipiskan korteks tulang. Identifikasi adanya

sequester pada Osteomyelitis membantu membedakan dengan Fibrous

Dysplasia.

• Penyakit metabolik tulang seperti Hyperparathyroidism dapat

memberikan pola tulang yang sama; namun penyakit ini selalu polyostotic

bilateral dan berbeda dengan Fibrous Dysplasia terkait perluasan ke

tulang.

Prognosis dari lesi ini biasanya berupa transformasi Fibrous

Dysplasia menjadi keganasan dilaporkan terjadi pada kurang dari 1%

pasien, biasanya berupa Osteosarcoma. Risiko terbesar transformasi ke

kondisi Sarkomatosa adalah pasien dengan riwayat terapi radiasi, penderita

McCune-Albright syndrome, dan penderita Mazabraud syndrome.

Pertumbuhan lesi cepat, onset rasa sakit mendadak, perubahan

neurosensori, atau perubahan yang ditandai dalam penampilan khas

radiografis harus memperingatkan dokter untuk menyingkirkan

transformasi malignansi.2,3,6

11
BAB III

SIMPULAN

 Fibrous dysplasia terjadi karena adanya proses proliferasi atau pergantian


dari tulang yang normal menjadi tulang abnormal yang tersusun oleh
jaringan ikat fibrosa dan trabekula tulang yang irreguler.

 Adanya mutasi gen pada GS alpha (GNAS1) pada kromosom 20q13.32


telah dikonfirmasi sebagai etiologi keadaan ini.

 Pemeriksaan klinis dan radiologis yang tepat dapat mengantarkan pada


diagnosis ini, dan jika dibutuhkan perlu pula dilakukan pemeriksaaan
histopatologis.

 Penatalaksanaan bergantung pada kondisi lesi dan umur pasien, terapi


bedah dipertimbangkan.

 Prognosis bisa menjadi keganasan tetapi cenderung jarang terjadi.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. DiCaprio MR, Enneking WF. Current Concepts Review Fibrous Dysplasia

Phatophysiology, Evaluation, and Treatment. J Bone Joint Surg Am. 87:1848-

1864, 2005. doi:10.2106/JBJS.D.02942

2. White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology Principles and Interpretation 7th

Edition. Canada: Elsevier Mosby, 2014

3. Neville BW, Allen CM, Damm DD, Chi AC. Oral and Maxillofacial

Pathology 4th Edition. Canada: Elsevier, 2016.

4. Coulthard P, Horner K, Sloan P, Theaker E. Oral and Maxillofacial Surgery,

Radiology, Pathology and Oral Medicine 3rd Edition. Churcill Livingstone:

Elsevier, 2013.

5. Koong B. Atlas of Oral And Maxillofacial Radiology. Iowa: John Wiley &

Sons Inc., 2017.

6. Cawson RA, Odell EW. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine 8th

Edition. Chuchill Livingstone: Elsevier, 2008.

7. Whaites E. Essential of Dental Radiography and Radiology 5th Edition.

Chuchill Livingstone, 2013.

8. Pillai KG. Oral and Maxillofacial Radiology Basic Principles and

Interpretation. India: Jaypee, 2015

13

Anda mungkin juga menyukai