Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan fisiologi

1. Asetilkolin

Saat acetylcholine keluar dari Basal Forebrain, asetilkolin mempunyai

fungsi untuk menginduksi Rapid Eye Movement pada saat tubuh sedang bangun

maupun tertidur, sedangkan penghambatan pelepasan asetilkolin di Basal

Forebrain oleh adenosin menyebabkan REM tidur lambat. Inti basalis adalah

neuromodulator utama Basal Forbrain dan memberikan proyeksi kolinergik yang

luas pada neokorteks. Inti basalis adalah bagian penting dari sistem

neuromodulator yang mengendalikan perilaku dengan mengatur gairah dan

perhatian . Inti basalis juga terlihat sebagai simpul kritis dalam sirkuit

memori.(Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)

2. Cholinergic

Cholinergic neurons terletak di luar basal forebrain, Cholinergic neuron ini

ditemukan di striatum, bagian medial dari hebenular nucleus, mesopontine

tegmentum, cranial nerve motor nuclei dan ventral horn of the spinal cord.

Cholinergic neuron berfungsi menghubungkan bagian septum dan caudal ke

amygdala di substansia innominata. Pada subtansia innominata terdapat dua

lokasi lagi yang kita sebut Subroocomisural yang berisi Globus Palidus dan

Striatum dan Sublenticular. (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)


3. Basal Forebrain

Basal Forebrain terletak pada otak depan dan di bawah striatum. Basal

Forebrain mengandung berbagai macam sel yang bekerja sebagai transmitter

neuron, morphology, dan pembuat pola. Contohnya ChAT (enzim yang sangat

diperlukan untuk sintesis Ach) dan Ach (neurons yang menyampakian

informasi ke cerebral korteks) .

Basal Forebrain ini penting dalam produksi asetilkolin, yang kemudian

didistribusikan secara luas ke seluruh otak.

4. Corona Radiata
Korona radiata adalah kelompok saraf yang penting karena perannya dalam

mengirim dan menerima pesan antar daerah di otak.1 Sel-sel saraf korona

radiata digambarkan sebagai aferen dan eferen. Ini berarti bahwa mereka

membawa pesan ke dan dari tubuh. Istilah 'aferen' mengacu pada input sensorik

dan input lain yang dikirim dari tubuh ke otak, sedangkan istilah 'eferen'

mengacu pada pesan yang dikirim dari otak ke tubuh untuk mengontrol fungsi
motorik. Corona radiata terdiri dari serat aferen dan eferen yang

menghubungkan korteks serebral dan batang otak.

5. Lobus insular
Korteks insular (juga insula dan lobus insular ) adalah bagian dari korteks

serebral yang terlipat jauh di dalam sulkus lateral (celah yang memisahkan

lobus temporal dari lobus parietal dan frontal ) di dalam setiap belahan

otak.Insula diyakini terlibat dalam kesadaran dan berperan dalam beragam

fungsi yang biasanya terkait dengan emosi atau pengaturan homeostasis tubuh.

Fungsi-fungsi ini termasuk kasih sayang dan empati, persepsi , kontrol motorik

, kesadaran diri , fungsi kognitif , dan pengalaman interpersonal . Sehubungan

dengan ini, ia terlibat dalam psikopatologi .Korteks insular dibagi menjadi dua

bagian: insula anterior yang lebih besar dan insula posterior yang lebih kecil di

mana lebih dari selusin bidang bidang telah diidentifikasi. Daerah kortikal yang

melapisi insula menuju lateral otak adalah operkulum (artinya tutup ). Operkula

dibentuk dari bagian lobus frontal, temporal, dan parietal.

6. Cortex Cerebri

Bagian fungsional korteks serebri adalah sebuah selaput tipis yang

mengandung neuron-neuron yang menutupi permukaan seluruh bagian

serebrum yang berbelit. Selaput ini memiliki tebal hanya 2-5 mm dimana

jumlah total daerah ini kira-kira seperempat meter persegi. Seluruh korteks

serebri mengandung kira-kira 100 miliar neuron.


Serebrum (Otak Besar) Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang

terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian

tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh

sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus

yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit

disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal,

lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).

a. Lobus parietal

Merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal

bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis

yang ditarik dari sulkus parieto- oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis

(Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf

sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan

mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2006).


b. Lobus frontal

Merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.

Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando.

Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot,

gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area

asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2006).

c. Lobus temporal

Berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis

yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus

temporal berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan

informasi dan bahasa dalam bentuk suara (Ellis, 2006).

d. Lobus oksipital

Berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini

berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia

mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina

mata (Grafft, 2018). Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa

dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti

terlihat pada gambar di bawah ini.(Grafft, 2018)


7. Asosiasi Area

Pada korteks serebri terdapat suatu area yang dinamakan area asosiasi

dimana area-area tersebut menerima dan menganalisis sinyal secara bersamaan

dari berbagai Lobus parietal Lobus oksipital Serebelum Medula spinalis Lobus

temporal Lobus frontal 9 macam region, baik dari korteks motorik, sensorik,

dan struktur subkortikal. Area asosiasi yang paling penting yaitu:

a. Area asosiasi parieto-oksipitotemporal

Analisis terhadap keserasian spasial tubuh, area yang terus- menerus

melakukan analisis keserasian seluruh tubuh secara spasial ini dimulai di

bagian porsterior korteks parietalis dan meluas ke korteks oksipitalis

superior.

b. Area pemahaman bahasa

Disebut dengan area Wernicke yang terletak di belakang korteks

auditorikprimer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis.


c. Area untuk melakukan proses membaca, yaitu girus angularis yang

mengartikan kata-kata yang diterima secara visual yang akan diteruskan ke

dalam area Wernicke.

d. Area penamaan objek, terletak di daerah paling lateral lobus oksipitaslis

anterior dan lobus temporalis posterior.

e. Area asosiasi prefrontal, yang fungsinya yaitu untuk merencanakan pola

yang kompleks dan berurutan dari gerakan motorik. Selain itu, area asosiasi

prefontal ini berfungsi penting untuk melakukan proses berpikir dalam

benak pikiran. Area ini penting dalam fungsi perluasan pikiran dan

dikatakan dapat menyimpan memori kerja.

f. Area asosiasi limbik, yaitu terletak di belahan anterior lobus temporalis,

bagian ventral lobus frontalis, dan di girus singulata di dalam fisura

longitudinalis di 10 permukaan tengah setiap hemisferium serebri. Korteks

limbik adalah bagian dari sistem limbik yang menghasilkan banyak sekali

pengaturan emosi untuk mengaktifkan area otak lain ke dalam suatu aksi,

dan bahkan menghasilkan pengaturan motivasi untuk proses belajar itu

sendiri.

B. Stroke

1. Definisi

Stroke adalah sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak

fokal maupun global dengan gejala – gejala yang berlangsung selama 24 jam

atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain yang jelas
selain kelainan vascular (WHO, 2006).

2. Pembagian Stroke

a. Stroke Non – Haemoragic

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan 88% dari seluruh

kasus stroke. Pada stroke iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau

penurunan aliran darah otak.

Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan menjadi :


1) TIA (Transient Ischemic Attack) Pada TIA gejala neurologis timbul dan

menghilang kurang dari 24 jam. Disebabkan oleh gangguan akut fungsi

fokal serebral, emboli maupun trombosis.

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) Gejala neurologis pada

RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang dari 21 hari.

3) Stroke in Evolution Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari

waktu ke waktu.

4) Completed Stroke Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak

berkembang lagi. Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah

ke sebagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada

daerah iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan

fungsi dan bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas

susunan sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron.

Stroke non hemoragik dibagi lagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu :

(1) Stroke Non Hemoragik Embolik

Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak, melainkan

di tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik. Embolisasi


kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt yang

menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.

Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan

gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark kordis akut dan

embolus yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan pada jantung ini

menyebabkan curah jantung berkurang dan serangan biasanya muncul

disaat penderita tengah beraktivitas fisik seperti berolahraga.

(2) Stroke Non Hemoragik Trombus

Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dapat

dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri

karotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik trombus dan stroke

pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).

Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang,

biasanya ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit

atherosklerosis.

b. Stroke Haemoragic

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur

sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke

dalam jaringan otak. Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum:

perdarahan intraserebrum hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada

ruptura aneurisma sakular (Berry), ruptura malformasi arteriovena, trauma;

penyalahgunaan kokain, amfetamin; perdarahan akibat tumor otak; infark


hemoragik; penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan

(Price, 2005).

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur

sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke

dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan

perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi

arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah

pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan

hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid.

Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering

terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah

satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak.

Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan 15 otak menyebabkan defisit

neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa

menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari

letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula

interna. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan

dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di

dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang

subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama

cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial, juga dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh
karena tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput

otak (Price, 2005)

3. Etiologi Stroke

Stroke pada anak-anak dan orang dewasa muda sering ditemukan jauh

lebih sedikit daripada hasil di usia tua, tetapi sebagian stroke pada kelompok

usia yang lebih muda bisa lebih buruk. Kondisi turun temurun 9 predisposisi

untuk stroke termasuk penyakit sel sabit, sifat sel sabit, penyakit hemoglobin

SC (sickle cell), homosistinuria, hiperlipidemia dan trombositosis. Namun

belum ada perawatan yang memadai untuk hemoglobinopati, tetapi

homosistinuria dapat diobati dengan diet dan hiperlipidemia akan merespon

untuk diet atau mengurangi lemak obat jika perlu. Identifikasi dan

pengobatanhiperlipidemia pada usia dini dapat memperlambat proses


aterosklerosis dan mengurangi risiko stroke atau infark miokard pada usia

dewasa (Gilroy, 1992).

4. Epidemiologi Stroke

Prevalensi stroke di dunia pada tahun 2010 adalah sebanyak 33 juta, dengan

16,9 juta orang terkena stroke serangan pertama. Dari data South East Asian

Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian

stroke terbesar di Asia Tenggara terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti

secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperlihatkan

bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang

dirawat di rumah sakit. Menurut Yayasan Stroke Indonesia, setiap tahun

diperkirakan 500.000 penduduk mengalami serangan stroke dan 25% di

antaranya (125.000 penduduk) meninggal, sisanya mengalami cacat ringan

maupun berat. Di Indonesia, kecenderungan prevalensi stroke per 1000 orang

mencapai 12,1 dan setiap 7 orang yang meninggal, 1 diantaranya terkena stroke

(Depkes, 2013).

Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular

mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain

kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.

prevalensi kanker naik dari 1,4 persen (Riskesdas 2013) menjadi 1,8 persen

di 2018, dan prevalensi stroke naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen.

Angka kejadian stroke yang terjadi di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional pada

tahun 2018 sebanyak 22.747 untuk kasus stroke iskhemik sebanyak 18.926 dan
untuk stroke haemoragik sebesar 3.821, sedangkan pada bulan Januari sampai

bulan Juni 2019 berjumlah 12.561 pasien yang terdiri dari stroke iskhemik dan

haemoragic. Untuk stroke iskhemik berjumlah 10.890 pasien dan stroke

haemoragic berjumlah 1.671 pasien.

5. Faktor Resiko

Seseorang menderita stroke karena memiliki perilaku yang dapat

meningkatkan faktor risiko stroke. Gaya hidup yang tidak sehat seperti

mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi kolesterol, kurang aktivitas

fisik, dan kurang olahraga, meningkatkan risiko terkena penyakit stroke. Gaya

hidup sering menjadi penyebab berbagai penyakit yang menyerang usia

produktif, karena generasi muda sering menerapkan pola makan yang tidak

sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol

tapi rendah serat. Selain banyak mengkonsumsi kolesterol, mereka

mengkonsumsi gula yang berlebihan sehingga akan menimbulkan kegemukan

yang berakibat terjadinya penumpukan energi dalam tubuh (Dourman, 2013).

Menurut hasil penelitian Bhat, et.al (2008), merokok merupakan faktor

risiko stroke pada wanita muda. Merokok berisiko 2,6 kali terhadap kejadian

stroke pada wanita muda. Merokok dapat meningkatkan kecenderungan sel-sel

darah menggumpal pada dinding arteri, menurunkan jumlah HDL, menurunkan

kemampuan HDL dalam menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan, serta

meningkatkan oksidasi lemak yang berperan dalam perkembangan

arterosklerosis. Mutmainna dkk (2013) dalam penelitiannya menyebutkan

bahwa faktor risiko kejadian stroke pada usia muda adalah perilaku merokok,
riwayat diabetes mellitus, riwayat hipertensi, riwayat hiperkolesterolemia.

Variabel jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko kejadian stroke pada

dewasa awal.

Sedangkan hasil penelitian Handayani (2013) menyebutkan bahwa insiden

stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Berdasarkan Guideline Pencegahan Stroke Primer oleh Goldstein (2009),

faktor risiko stroke dibagi menjadi dua yaitu, faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi :

a. Usia

Stroke dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia, termasuk

anak-anak. Kejadian penderita stroke iskemik biasanya berusia lanjut (60

tahun keatas) dan resiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia

dikarenakan mengalaminya degeneratif organ- organ dalam tubuh (Nurarif

et all, 2013). Status umur berpengaruh terhadap tingkat kecemasan ibu.

Semakin bertambah umur maka penalaran dan pengetahuan semakin

bertambah. Tingkat kematangan seseorang merupakan salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dimana individu yang matang mempunyai

daya adaptasi yang besar terhadap stresor yang muncul. Sebaliknya individu yang

berkepribadian tidak matang akan bergantung dan peka terhadap rangsangan

sehingga sangat mudah mengalami gangguan kecemasan (Maslim, 2004).

b. Jenis kelamin

Pria memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke pada usia

dewasa awal dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2:1. Insiden


stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rata-

rata 25%-30% Walaupun pada pria lebih rawan daripada wanita pada usia

yang lebih muda, tetapi para wanita akan menyusul setelah usia mereka

mencapai menopause. Hal ini, hormon merupakan 15 yang berperan dapat

melindungi wanita sampai mereka melewati masa melahirkan anak

(Burhanuddin, Wahidudin, Jumriani, 2012).

Usia dewasa awal (18-40 Tahun) perempuan memiliki peluang yang sama

juga dengan laki-laki untuk terserang stroke. Hal ini membuktikan bahwa

resiko laki-laki dan perempuan untuk terserang stroke pada usia dewasa

awal adalah sama. Pria memiliki risiko terkena stroke iskemik atau

perdarahan intra sereberal lebih tinggi sekitar 20% daripada wanita. Namun,

wanita memiliki resiko perdarahan subaraknoid sekitar 50%. Sehingga baik

jenis kelamin laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama

untuk

terkena stroke pada usia dewasa awal 18-40 Tahun (Handayani, 2013).

c. Genetik (herediter)

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat pengaruh genetik pada risiko

stroke. Namun, sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen mana yang

berperan dalam terjadinya stroke.

d. Ras dan etnis

Insiden stroke lebih tinggi pada orang berkulit hitam daripada berkulit

putih setelah dilakukan kontrol terhadap hipertensi, dan diabetes mellitus.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :


a. Hipertensi

Hipertensi mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak sehingga

timbul perdarahan otak. Hipertensi dapat mempengaruhi hampir seluruh

organ tubuh, terutama otak, jantung, ginjal, mata, dan pembuluh darah

perifer. Kemungkinan terjadinya komplikasi tergantung kepada seberapa 16

besar tekanan darah itu, seberapa lama dibiarkan, seberapa besar kenaikan

dari kondisi sebelumnya, dan kehadiran faktor risiko lain. Oleh karena itu,

hipertensi diklasifikasikan oleh AHA, 2017 sebagai berikut :

25
Insiden stroke dapat bertambah dengan meningkatnya tekanan darah dan

berkurang bila tekanan darah dapat dipertahankan di bawah 140/90 mmHg,

baik pada stroke iskemik, perdarahan intrakranial, maupun perdarahan

subaraknoid.

b. Hiperkolestrolemia

Secara alamiah tubuh kita lewat fungsi hati membentuk kolesterol sekitar

1000 mg setiap hari dari lemak jenuh. Selain itu, tubuh banyak dipenuhi

kolesterol jika mengkonsumsi makanan berbasis hewani, kolesterol inilah


yang menempel pada permukaan dinding pembuluh darah yang semakin

hari semakin menebal dan dapat menyebabkan penyempitan dinding

pembuluh darah yang disebut aterosklerosis. Bila di daerah pembuluh darah

menuju ke otot jantung terhalang karena penumpukan kolesterol maka akan

terjadi serangan jantung. Sementara bila yang tersumbat adalah pembuluh

darah pada bagian otak maka sering disebut stroke (Burhanuddin et all,

2012). Kolestrol merupakan zat di dalam aliran darah di mana semakin

tinggi kolestrol semakin besar kolestrol tertimbun pada dinding pembuluh

darah. Hal ini menyebabkan saluran pembuluh darah menjadi lebih sempit

sehingga mengganggu suplai darah ke otak. Hiperkolestrol akan

meningkatkanya LDL (lemak jahat) yang akan mengakibatkan terbentuknya

arterosklerosis yang kemudian diikuti dengan penurunan elastisitas

pembuluh darah yang akan menghambat aliran darah (Junaidi, 2011).

c. Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes melitus mempercepat terjadinya arteriskelorosis baik pada

pembuluh darah kecil maupun pembuluh darah besar atau pembuluh darah

otak dan jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menghambat aliran

darah dikarenakan pada kadar gula darah tinggi terjadinya pengentalan

darah sehingga menghamabat aliran darah ke otak. Hiperglikemia dapat

menurunkan sintesis prostasiklin yang berfungsi melebarkan saluran arteri,

meningkatkanya pembentukan trombosis dan menyebabkan glikolisis

protein pada dinding arteri. Diabetes melitus juga dapat menimbulkan

perubahan pada sistem vaskular (pembuluh darah dan jantung), diabetes


melitus mempercepat terjadinya arteriosklerosis yang lebih berat, lebih

tersebar sehingga risiko penderita stroke meninggal lebih besar. Pasien yang

memiliki riwayat diabetes melitus dan menderita stroke mungkin

diakibatkan karena riwayat diabetes melitus diturunkan secara genetik dari

keluarga dan diperparah dengan pola hidup yang kurang sehat seperti

banyak mengkonsumsi makanan yang manis dan makanan siap saji yang

tidak diimbangi dengan berolahraga teratur atau cenderung malas bergerak

(Burhanuddin et all, 2012).

d. Penyakit Jantung

Penyakit atau kelainan jantung dapat mengakibatkan iskemia pada otak.

Ini disebabkan karena denyut jantung yang tidak teratur dapat menurunkan

total curah jantung yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang

(iskemia). Selain itu terjadi pelepasan embolus yang kemudian dapat

menyumbat pembuluh darah otak. Ini disebut dengan stroke iskemik akibat

trombosis. Seseorang dengan penyakit atau kelainan jantung beresiko

terkena atroke 3 kali lipat dari yang tidak memiliki penyaki atau kelainan

jantung. (Hull, 1993)

e. Obesitas

Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan

stroke (Wahjoepramono, 2005). Jika seseorang memiliki berat badan yang

berlebihan, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke

seluruh tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Patel, 1995).

Obesitas dapat juga mempercepat terjadinya proses aterosklerosis pada


remaja dan dewasa muda (Madiyono, 2003). Oleh karena itu, penurunan

berat badan dapat mengurangi risiko terserang stroke. Penurunan berat

badan menjadi berat badan yang normal merupakan cerminan dari aktivitas

fisik dan pola makan yang baik.

f. Merokok

Merokok adalah penyebab nyata kejadian stroke yang lebih banyak

terjadi pada usia dewasa awal dibandingkan lebih tua. Risiko stroke akan

menurun setelah berhenti merokok dan terlihat jelas dalam periode 2-4

tahun setelah berhenti merokok.Perlu diketahui bahwa merokok memicu

produksi fibrinogen (faktor penggumpal darah) lebih banyak sehingga

merangsang timbulnya aterosklerosis (Pizon & Asanti, 2010). Arteriskle

rosis dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit dan aliran darah yang

lambat karena terjadi viskositas (kekentalan). Sehingga dapat menimbulkan

tekanan pembuluh darah atau pembekuaan darah pada bagian dimana aliran

melambat dan menyempit. Merokok meningkatkan juga oksidasi lemak

yang berperan pada perkembangan arteriskelorosis dan menurunkan jumlah

HDL (kolestrol baik) atau menurunkan kemampuan HDL dalam

menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan (Burhanuddin et all, 2012)

6. Patofisiologi

Hipertensi tidak terkontrol meningkatkan proses atherosklerosis yang dapat

menyebabkan pendarahan maupun infark otak. Selain itu hipertensi tidak

terkontrol menyebabkan gangguan autoregulasi pembuluh darah otak sehingga

pada tekanan darah yang sama aliran darah ke otak pada penderita hipertensi
sudah berkurang dibandingkan penderita normotensi (Junaidi, 2010).

Bertambahnya usia mulai 55 tahun akan diikuti dengan peningkatan tekanan

darah yang terus meningkat sampai usia 80 tahun yang kemudian akan

cenderung turun. Keadaan ini terjadi akibat perubahan structural jantung dan

pembuluh darah yang menua. Kekakuan dinding pembuluh darah aorta

menyebabkan berkurangnya kemampuan pembuluh darah dalam melaksanakan

fungsinya. Sehingga pada penderita stroke dengan usia > 60 tahun lebih

besar risiko untuk terjadinya stroke ulang (Gofir,

2009). Hipertensi tidak terkontrol menjadi predisposisi stroke melalui tiga cara,

yaitu (1) memperburuk aterosklerosis dalam arcus aorta dan arteri – arteri

servikoserebral, (2) menyebabkan ateriosklerosis dan lipohialinosis dalam

diameter kecil dan arteri serebral, (3) menyokong terjadinya penyakit jantung

(Friday, 2002).

Penyebab utama terjadinya Stroke Haemoragic adalah trombus dan emboli

yang mengalami perdarahan cerebral, lalu adanya gangguan aliran darah ke

otak yang menyebabkan kerusakan neuromotorik sehingga transmisi implus

UMN ke LMN terganggu yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot secara

progresif yang berakibat mobilitas fisik pasien terganggu untuk melakukan

kegiatan sehari-harinya.

7. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala stroke yang dialami oleh setiap orang berbeda dan

bervariasi, tergantung pada daerah otak mana yang terganggu. Beberapa tanda

dan gejala stroke akut berupa :


a. Terasa semutan/seperti terbakar

b. Lumpuh/kelemahan separuh badan kanan/kiri (Hemiparesis)

c. Kesulitan menelan, sering tersedak

d. Mulut mencong dan sulit untuk bicara

e. Suara pelo, cadel (Disartia)

f. Bicara tidak lancar, kurang ucapan atau kesulitan memahami (Afasia)

g. Kepala pusing atau sakit kepala secara mendadak tanpa diketahui

sebabnya

h. Gangguan penglihatan

i. Gerakan tidak terkontrol

j. Bingung/konfulsi, delirium, letargi, stupor atau koma

8. Prognosis

Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran saat

masuk RS, dan ukuran hematoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003) pada 1621

pasien stroke di Jepang memperlihatkan angka kematian pada perdarahan

serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark serebral sebesar 9%

(Ramadhini et al., 2011)

Ukuran perdarahan, lokasi perdarahan, dan Glasgow coma scale (GCS)

menentukan prognosis dari stroke hemorrhagik. Semakin besar volume darah

yang ditemukan, semakin rendah GCS, menunjukkan keluaran yang lebih

buruk sehingga meningkatkan mortalitas. Selain hal tersebut, lokasi perdarahan

di ventrikel juga berujung pada keluaran yang buruk. (dr. Rainey, 2018)

Menurut penelitian di Copenhagen Stroke Study pada tahun 1994, waktu


terbaik untuk optimalisasi berjalan setelah serangan stroke adalah minggu ke 4

untuk pasien yang mengalami paresis ringan dengan sisi afeksi pada tungkai

bawah, sedangkan perlu waktu 6 minggu pada pasien dengan paresis sedang

dan 11 minggu pada pasien dengan paresis berat (Jorgensen et al, 1995c).

Dua dari tiga seluruh pasien stroke di Copenhagen Stroke Study yang

mengalami stroke paresis ringan hingga sedang bisa kembali melakukan

aktivitas sehari-harinya secara mandiri.

C. Keseimbangan duduk

Keseimbangan duduk adalah kemampuan untuk mempertahankan

kesetimbangan tubuh ketika duduk dalam keadaan statis atau dinamis (Susanti

& Irfan, 2010). Keseimbangan duduk juga didefinisikan sebagai suatu

kemampuan duduk tidak jatuh tanpa dibantu atau menggunakan ekstremitas

atas (Halmu, 2016 ).

Penderita stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat

fungsional. Masalah-masalah yang ditimbulkan pasca stroke bagi kehidupan

manusia sangat kompleks seperti adanya gangguan kognitif, gangguan

psikiatrik atau emosional, gangguan koordinasi, gangguan kontrol postur,

gangguan sensasi, gangguan reflek gerak, dan gangguan keseimbangan

(Susanti & Irfan, 2010).

Gangguan keseimbangan duduk pada penderita post stroke berhubungan

dengan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga kesetimbangan tubuh

menurun. Pasien dengan stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol

postural, sehingga menghambat gerakan mereka.keseimbangan juga sebagai


parameter pada pasien stroke.

terhadap keberhasilan terapi mereka. Pada pasien stroke, mereka berusaha

membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka,

kompensasi ini tidak selalu menjadi hasil yang optimal (Irfan & Susanti, 2008).

Gangguan keseimbangan duduk pada penderita post stroke juga akan

mempengaruhi kemampuan untuk melakukan aktifitas fungsional dalam

kehidupan sehari-hari, karena setiap hari manusia selalu bergerak dan

beraktivitas. Pergerakan yang normal sangat diperlukan dalam melakukan

aktivitas seperti biasanya, dan keseimbangan merupakan salah satu yang

dibutuhkan untuk mendapat pergerakan yang normal. Jadi gangguan

keseimbangan duduk pada pasien stroke berpengaruh terhadap aktivitas

fungsional pasien stroke dalam kehidupan sehari-hari.

D. Teknologi Fisioterapi

Merupakan suatu metode fisioterapi dalam menangani permasalahan yang

ada pada pasien. Teknologi intervensi dapat berupa manual terapi, terapi latihan,

modalitas. Ada banyak metode yang saat ini digunakan dalam fisioterapi. Salah

satunya pada kasus ini metode Bobath digunakan untuk stimulasi dan fasilitasi

gerak ektremitas atas dan ektremitas bawah serta untuk peningkatan kegiatan

fungsional, sedangkan metode Transfer dan Ambulasi digunakan untuk pasien

mobilitas mandiri, mulai dari berpindah tempat hingga berpindah ruangan.

a. Bobath Metode

Bobath ini mempunyai tujuan yaitu optimalisasi fungsi dengan peningkatan

kontrol postural dan gerakan selektif melalui fasilitasi, sebagaimana yang


dinyatakan oleh IBITA tahun 1995. Dikutip dari Artha, n.d (2013)., Metode

Bobath adalah suatu metode terapi latihan pada stroke yang berasumsi bahwa

penderita seolah olah pasien stroke kembali pada usia bayi sehingga

pertumbuhan dan perkembangannya sesuai dengan pertumbuhan bayi normal.

Oleh karena itu stroke harus dilatih mulai dari posisi berbaring, miring,

tengkurap, merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan.

1) In Sitting:

(1) Duduk di permukaan datar yang kokoh, tangan diletakkan di atas

tempat tidur, kaki rata di lantai, sementara terapis menempatkan satu

tangan di atas siku dan lainnya di pergelangan tangan. Pergeseran berat

badan ke kedua sisi dilakukan.

(2) Menggenggam kedua tangan ke depan, memutar ke sisi unaffected

side. Sambil mengangkat kaki yang sakit dan menyilangkannya ke sisi

unaffected.

(3) Menggenggam kedua tangan ke depan, berbalik ke sisi yang sakit.

Sambil mengangkat kaki unaffected dan menyilangkannya di sisi yang

sakit.

(4) Duduk dengan kaki menyilang. Kaki yang affected yang menyilang

ke sisi kaki yang unaffected. Sementara kedua tangan ditempatkan di atas

lutut.

(5) Fleksi dan ekstensi lutut. Terapis menempatkan satu tangan di atas

kaki dan tangan lainnya di atas lutut.


E. Penatalaksanaan Fisioterapi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2015,

Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu

dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak

dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan

penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (physics,

elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. Fisioterapi

sebelum memberikan penatalaksanaan selalu dimulai dengan melaksanakan

berbagai pemeriksaan yang terdiri dari :

1. Identitas Pasien

Data yang terdapat dalam identitas pasien ini berupa nama, jenis kelamin,

tempat tanggal lahir, alamat, agama, pekerjaan, hobi, tanggal masuk,

diagnosa medis dan medika mentosa. Data tersebut harus diisis secara tepat

karena data tersebut dapat memudahkan fisioterapis mengenali karakteristik

dari pasien dan dapat juga digunakan untuk membantu dalam melakukan

penatalaksaan fisioterapi kepada pasien.

2. Asesmen/Pemeriksaan

Assesmen fisioterapi terdiri dari pemeriksaan dan evaluasi yang memuat

data anamnesa meliputi :

a. Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan

dengan mengadakan tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto

anamnesis) ataupun dengan mengadakan tanya jawab kepada keluarga


pasien secara langsung (hetero anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan

penyakit pasien. Anannesis yang dilakukan meliputi:

1) Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan alasan utama pasien untuk dating ke

fisoterapi. Keluhan utama pasien dijadikan sebagai acuan dalam

menggali informasi lebih dalam,melakukan pemeriksaan, dan

pemberian tindakan

2) Keluhan Penyerta

Keluhan yang menyertai keluhan utama yang dirasakan pasien di

area tubuh lain.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat penyakit sekarang merupakan kronologi perkembangan

penyakit dimulai saat pertama kali pihak pasien mengetahui

permasalahan sampai datang ke fisioterapi..

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit fisik maupun

psikologik yang pernah diderita pasien sebelumnya dan sebagai bahan

pertimbangan apakah ada pengaruh pada penyakit dahulu yang di

deritanya terhadap penyakit sekarang.

5) Riwayat Sosial

Data ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku dan beberapa

aktivitas pasien yang berhubungan dengan kegiatan dilingkunganya.

Fisioterapis perlu mengetahui untuk mengetahui apakah dari kegiatan


pasien mempengaruhi kesehatannya.

6) Kemampuan Sebelumnya

Kemampuan sebelumnya merupakan kemampuan yang dimiliki

pasien sebelum pasien terkena penyakit.

7) Goal/Harapan Pasien

Merupakan harapan yang diinginkan pasien setelah mendapatkan

intervensi dari fisioterapi.

b. Pemeriksaan Umum

1) Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang

terhadap rangsangan dari lingkungan. Penilaian kesadaran dapat

diukur menggunakan glasgow coma scale (GCS) dengan kriteria

penilaian sebagai berikut :

Fungsi Nilai Keterangan

Eye (respon membuka 4 Membuka mata secara spontan

mata) Membuka mata dengan rangsangan


3 suara

Membuka mata dengan rangsangan


2 nyeri

1 Tidak ada respon

Verbal (respon verbal) 5 Orientasi

4 Disorientasi/bingung
3 Kata-kata tidak jelas

2 Suara tanpa arti/tidak dimengerti

1 Tidak ada respon

Motorik (respon 6 Mengikuti perintah

gerakan) 5 Melokalisir nyeri

4 Menghindari nyeri

3 Fleksi abnormal

2 Ekstensi abnormal

1 Tidak ada respon

Interpretasi:

a) Compos mentis (skor 15-14) yaitu kesadaran normal, sadar

sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan

sekelilingnya.

b) Apatis (skor 13-12) yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk

berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

c) Delirium (skor 11-10) yaitu gelisah, disorientasi berupa orang,

tempat, waktu, memberintrak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang

berhayal.

d) Somnolen (skor 9-7) yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor

yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila

dirangsang atau mudah dibangunkan tetapi jatuh tertidur lagi, mampu

member jawaban verbal.


e) Stupor (skor 6-4) yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada

respon terhadap nyeri.

f) Coma (skor 3) yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak respon terhadap

rangsangan apapun atau tidak ada respon kornea maupun reflek.

2) Tekanan Darah

Tujuan mengetahui tekanan darah pasien untuk mengetahui kondis

dari pasien dalam menentukan dosis intervensi yang akan diberikan

fisioterapis kepada pasien.

3) Denyut Nadi

Tujuan mengetahui denyut nadi untuk melihat besarnya kerja yang

dilakukan oleh jantung dan digunakan juga untuk menentukan dosis

intervensi akan diberikan fisioterapis kepada pasien.

4) Pernafasan

Kecepatan pernafasan diukur pada saat satu kali inspirasi dan

ekspirasi. Apabila kecepatan pernafasan lebih dari 20 kali/menit maka

dikatakan bahwa pasien mengalami sesak nafas.

5) Kognisi dan Persepsi

Penilaian kognisi dan persepsi dapat dilakukan oleh fisioterapis

dengan melihat apakah pasien dapat menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang diberikan oleh fisioterapis.

c. Pemeriksaan Fisioterapi

1) Observasi

Inspeksi awal dari pengukuran.


2) Kemampuan Sensorik

Kemampuan sensorik dapat dilakukan dengan two point

descrimination, soft palpation, dan tajam tumpul, apabila kemampuan

sensorik pasien baik maka pasien dapat merasakan input yang

diberikan oleh fisioterapis.

3) Kondisi Keseimbangan

Kemampuan yang dimiliki untuk mempertahakan posisi tubuh.

4) Koordinasi

Kemampuan untuk melakukan gerakan dengan berbagai tingkat

kesukaran dengan cepat dan efisien dan penuh ketepatan, serta untuk

mengontrol pergerakan tubuh dalam kerjasama dengan fungsi sensorik

tubuh misalnya menangkap bola (bola, tangan, dan mata koordinasi)

5) Kemampuan Fungsional

Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas fungsionalnya sehari-

hari. Pengukuran kemampuan fungsional dapat diukur dengan Index

Barthel. Dengan kriteria penilaian sebagai berikut :


Interpretasi:

0-20 : ketergantungan penuh 21-61 : ketergantungan berat

62-90 : ketergantungan moderat 91-99 : ketergantungan ringan

100 : mandiri

6) Analisa Gerakan

a) General Postural Alignment

Gambaran bentuk postur pasien secara umum, dilakukan dalam

satu posisi misanya posisi tidur, posisi duduk, atau posisi berdiri.

b) Kualitas Gerakan

Kemampuan gerakan yang dilakukan oleh pasien, apakah kualitas

gerakan pasien baik atau buruk.

c) Kompensasi dan Asosiasi


Gerakan yang diluar dari gerakan fungsional yang semestinya.

d) Pola Gerakan

e) Gerakan Involunter

Suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak bertujuan dan

tidak dikendalikan.

7) Deformitas

Kelainan bentuk dari struktur anatomi tubuh.

8) Pemeriksaan Khusus dan Pengukuran

a) NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)

NIHSS merupakan pengukuran untuk melihat berat, sedang,

atau ringannya defisit stroke. Terdapat 13 item penilaian dengan

interpretasi nilai kurang dari 4 = stroke defisit ringan, 4-5 = stroke

defisit sedang, dan lebih dari 15= stroke defisit berat.

N Aktifitas Indikator skor Skor


o
1Level Kesadaran 0 : sadar
A 1 : rangsangan minimal 2 :
rangsangan nyeri
3 : koma
1Diberikan Pertanyaan 0 : Menjawab benar keduanya
B 1 : Menjawab benar satu saja 2 :
Tidak dapat menjawab
1Respon terhadap Tugas 0 : Mampu melakukan 1 : Hanya
C satu saja
2 : Tidak dapat melakukan
2Pandangan 0 : Normal
1 : Sebagian tidak
2 : Tidak sama sekali
3Penangkapan visual 0 : Tidak ada kerusakan
1 : Sebagian hemianopia (buta) 2 :
Komplet hemianopia (buta) 3 :
Keduanya hemianopia (buta)
4Gerakan wajah 0 : Normal
1 : Sedikit lemah
2 : Sebagian lemah
3 : Komplit, sebelah lemah
5Gerakan pada lengan 0 : Tidak meyimpang
kanan 1 : Menyimpang sebelum 5 detik
(mengangkat 90˚ tahan 2 : Jatuh sebelum 10 detik
selama 10 detik) 3 : Tidak dapat melawan grafitasi 4
:Tidak ada gerakan
6Gerakan pada 0 : Tidak meyimpang
lengan kiri (mengangkat 1 : Menyimpang sebelum 5 detik
90˚ tahan selama 10 detik) 2 : Jatuh sebelum 10 detik
3 : Tidak dapat melawan grafitasi 4
:Tidak ada gerakan
7Gerakan pada tungkai 0 : Tidak meyimpang
kanan 1 : Menyimpang sebelum 5 detik
(mengangkat 30˚, tahan 5 2 : Jatuh sebelum 5 detik
detik) 3 : Tidak dapat melawan grafitasi 4
:Tidak ada gerakan
8Gerakan pada tungkai kiri 0 : Tidak meyimpang
(mengangkat 30˚, tahan 5 1 : Menyimpang sebelum 5 detik
detik) 2 : Jatuh sebelum 5 detik
3 : Tidak dapat melawan grafitasi 4
:Tidak ada gerakan
9Ataxia (jari-hidung, tumit- 0 : Tidak ada kelainan
shin) 1 : Ada pada satu anggota tubuh 2 :
Ada pada dua anggota tubuh

1Sensori 0 : Normal
0 1 : Hilang sebagian 2 : Hilang
parah
1Pengabaian 0 : Tidak ada pengabaian 1 :
1 Pengabaian sedikit
2 : Pengabaian komplit
1Dysatria (kejelasan 0 : Artikulasi normal
2berbicara) 1 : Dysatria level ringan hingga
sedang 2 : Mendekati tidak ada
artikulasi atau
Lebih
1Bahasa (menyebutkan 0 : Tidak ada aphasia
3nama benda, menjelaskan 1 : Aphasia level ringan hingga
gambar) berat 2 : Aphasia level berat
Total

b) Index Barthel

Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas fungsionalnya

sehari-hari. Pengukuran kemampuan fungsional dapat diukur

dengan Index Barthel.

Interpretasi:

0-20 : ketergantungan penuh 21-61 : ketergantungan berat

62-90 : ketergantungan moderat 91-99 : ketergantungan ringan

100 : mandiri

d. Pemeriksaan Penunjang

Merupakan data-data yang dapat dijadikan referensi dalam

mengetahui kondisi pasien. Misalnya hasil dari CT Scan, Magnetic


Resonance Imaging (MRI), Rontgen, Pemeriksaan Radiologi dan

Pemeriksaan Laboratorium.

e. Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi merupakan kesimpulan dari hasil pengkajian

data dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Saat ini, dalam

menentukan diagnosa fisioterapi mengacu kepada International

Classification Functioning and Health (ICF), yaitu :

1) Problematika Fisioterapi

a) Body Function and Structure Impairment

Ketidaknormalan struktur anatomi dan fungsi dari tubuh pasien.

b) Activity Limitation

Keterbatasan atau ketidakmampuan pasien dalam melakukan

aktifitas fungsional.

c) Participation Restriction

Masalah yang berkaitan dengan kemampuan pasien terhadap

lingkungannya.

2) Diagnosa Fisioterapi Berdasarkan ICF


Suatu diagnosa yang dikeluarkan fisioterapi bedasarkan ICF

dengan menyimpulkan hasil dari body function and structure

impairment, activity limitation, dan participation restriction

f. Perencanaan Fisioterapi

Program intervensi yang diberikan fisioterapis untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Tujuan dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Tujuan jangka pendek merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam


waktu dekat, bisa dicapai dengan 1 kali intervensi.

2) Tujuan jangka panjang merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai.

Biasanya dapat dicapai dengan lebih dari 1 kali intervensi.

g. Intervensi Fisioterapi

Intervensi diberikan berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang telah

dilakukan. Selain hasil pemeriksaan, intervensi juga dilakukan

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dari fisiotreapis.

Prinsip intervensi fisioterapi dengan pendekatan problem solving.

h. Edukasi/ Home Program

Informasi yang diberikan fisioterapis berupa tindakan yang dapat

dilakukan oleh keluarga atau pasien dirumah untuk menunjang

pemulihan kemampuan gerak dan fungsi dari pasien.

i. Evaluasi
Hasil yang didapatkan setelah dilakukan intervensi. Penilain

evaluasi meliputi subjektif, objektif, assesmen, dan planning.

Anda mungkin juga menyukai