Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

“Defek Cranium ”
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
RUANG OK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

Oleh :

SITI NURPAISA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2018
A. Konsep Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi kepala

Gambar 2. Fungsi otak


1) Tengkorak
Tulang tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang
kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan
dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang
menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior di dalamnya
terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa
posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium


1. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah
dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil
benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada
sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater
dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus otak


Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan
dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal,
oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi
yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu.
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik
tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak,
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang
inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan
serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan
arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan
penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau
bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal
dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan
bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan
lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi
dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak tengah
midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak
tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga
antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-pusat
otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,
pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
3. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf
ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

B. Pengertian
Defek kranium merupakan kasus medis dimana tidak adanya jaringan
tulang pada bagian cranial dan facial (da Silva et al., 2014). Defek tersebut dapat
terjadi akibat trauma, nekrosis jaringan, penyakit infeksi dan degeneratif,
pertumbuhan tulang abnormal, atau tindakan medis yang disengaja seperti
craniectomy dan bedah kecantikan (Gabrielli et al., 2004; Lee et al., 2009; Szpalski
et al., 2010). Defek tersebut dapat menyebabkan berkurangnya fungsionalitas
tulang kranial dan perubahan anatomi (Szpalski et al., 2009). Perubahan anatomi
tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap kehidupan sosial pasien yaitu
kelemahan psikologis dan menurunnya kepercayaan diri dalam hubungan sosial
(Aydin et al., 2011).
C. Penyebab
Penyebab terjadinya defect cranium adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

D. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem
dalam tubuh.

Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal
diantaranya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi
pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah.
Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan
isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan
dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan
laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan
dalam mobilitas.

Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan
mobil atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu
luka tusuk dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan
mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat
gangguan jalan nafas, cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot
pernapasan, kolaps paru, dan pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul
akibat kehilangan cairan masif dari pembuluh besar, ruptur jantung, atau
hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade jantung yaitu kompresi pada
jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakus perikardial. Mekanisme
ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi yang mengarah pada
gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian (Smeltzer, 2001).

E. Tanda dan Gejala


Gejala yang nampak pada pasien defect cranium dapat berupa:
1) Bentuk kepala asimetris
2) Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3) Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan
atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:

1) Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang


dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera
kepala berat nilai GCS nya 3-8
2) Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
4) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adanya defect cranium yaitu dengan melakukan operasi
kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty adalah
memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastik atau
metal plate. Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial dengan menggunakan
plat logam atau plastik. Setelah dilakukan operasi cranioplasty perawatan
selanjutnya adalah dengan pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan
memonitor drain untuk membantu pengeluaran darah dan mencegah hematoma
hingga cairan atau darah berkurang 2 hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya
adalah tidak melakukan dan tidak memberikan tekanan pada area yang telah
dioperasi selama 3 sampai 4 minggu. Proses pembentukan dan penyambungan
tulang akan terjadi selama 6 hingga satu tahun (Ramamurthi, et al, 2007).
G. Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
1) CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:

Gambar 4. CT scan skull defect


2) Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih
dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas
kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, gangguan kesadaran. Hasil yag diperoleh pada foto kepala pasien
dengan skull defect adalah sebagai berikut:
Gambar 5. X-ray skull defect
3) MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 4)
EEG (Elektroensepalogram) digunakan untuk melihat perkembangan
gelombang yang patologis

H. Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
1) Edema serebral
2) Perdarahan
3) Syok hipovolemik
4) Hydrocephalus
5) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
6) Infeksi
7) Kerusakan integritas kulit

J. Data yang Perlu Dikaji


Anamnesis
1) Identitas pasien

2) Riwayat penyakit sekarang


Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir
(enchephalocele) tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect
akibat trauma, tumor atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan nyeri
bagian kepala hingga diikuti penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah
mengalami craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
4) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan tingkat
kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang, gangguan
sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan untuk
mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah:

P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan


memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
5) Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi yang
pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti kanker.
2) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik
yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya pasien tidak
sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri di bagian kepalanya.
2) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
a) Respon membuka mata (E)
1. Membuka mata dengan spontan (4)
2. Membuka mata dengan perintah (3)
3. Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
4. Tidak reaksi reaksi apapun (1)
b) Respon motorik (M)
1. Mengikuti perintah (6)
2. Melokalisir nyeri (5)
3. Menghindar nyeri (4)
4. Fleksi abnormal (3)
5. Ekstensi abnormal (2)
6. Tidak ada reaksi apapun (1)
c) Respon verbal (V)
1. Orientasi baik dan sesuai (5)
2. Disorienasi tempat dan waktu (4)
3. Bicara kacau (3)
4. Mengerang (2)
5. Tidak ada reaksi apapaun (1)

Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)

3) Pemeriksaan head to toe


a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh tulang
teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut bisa
berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/ cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan bisa
terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada papil,
rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
h) Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan
bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa
terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan
ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan
skull defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan jalan nafas oleh
sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar suara ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian perut,
biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect
K. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
suplai darah ke otak
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidak efektifan suplai
oksigen
c. Nyeri akut berhubungan dengan cidera fisik
d. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
e. Risiko syok berhubungan dengan perdarahan
f. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan proses pembedahan
g. Gangguan citra tubuh behubungan dengan penyakit
L. Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC Rasional

Risiko Setelah dilakukan tindakan NIC:


ketidakefektifan keperawatan, masalah Monitor Tekanan Intra Kanial (2590)
perfusi jaringan otak keperawatan risiko 1. Pantau tanda dan gejala peningkatan 1. Trias klasik meningkatan TIK yaitu
berhubungan ketidakefektifan perfsi jaringan TIK yaitu mengkaji GCS pasien, muntah, nyeri kepala, dan papil edema
dengan penurunan otak tidak menjadi aktual, tanda-tanda vital, respon pupil, dan 2. Fleksi / rotasi leher berlebihan, stimulasi
suplai darah ke otak dengan kriteia hasil: catat adanya muntah, sakit kepala, panas dingin, menahan nafas, mengejan,
Perfusi jaringan Cerebral perubahan tersebunyi (mis; letargi, perubahan posisi yang cepat, mengejan,
(0406): gelisah, perubahan mental) batuk dapat meningkatkan tekanan
1) Tidak ada tanda 2. Hindarkan situasi atau manuever intrakranial
peningkatan TIK yang dapat meningkatkan TIK 3. Panas merupakan reflek dari hipotalamus.
2) Pasien mampu bicara (fleksi / rotasi leher berlebihan, Peningkatan kebutuhan metabolisme
dengan jelas, menunjukkan stimulasi panas dingin, menahan dan O₂ akan menunjang peningkatan
konsentrasi, perhatian dan nafas, mengejan, perubahan posisi TIK
orientasi baik yang cepat) 4. Memberikan suasana yang tenang dapat
3) Peningkatan tingkat 3. Monitor lingkungan yang dapat mengurangi respon psikologis dan
kesadaran (GCS 15, tidak menstimulus peningkatan TIK memberikan istirahat untuk
ada gerakan involunter) mempertahankan TIK yang rendah
4) TTV dalam batas normal 4. Berikan lingkungan yang tenang 5. Steroid untuk mengurangi inflamasi dan
(TD: 120/80, RR 16- 5. Kolaborasi pemberian obat sesuai mengurangi edema.
20x/mnt, Nadi 80- indikasi seperti steroid dexametason
100x/mnt, Suhu 36,5-
37,5oC)
Ketidakefektifan Status Pernafasan Manajemen Jalan Nafas (3140)
pola napas
Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien untuk
berhubungan 1. Posisi semifowler akan mempermudah
keperawatan masalah memaksimalkan ventilasi (semifowler)
ketidak efektifan pengembangan paru
keperawatan ketidak efektifan 2. Auskultasi suara nafas, catat area yang
suplai oksigen 2. Mengkaji adanya secret pada jalan nafas
pola nafas teratasi dengan ventilasinya menurun atau tidak ada
3. Memberikan bantuan oksigen pada
kriteria hasil: dan adanya suara nafas tambahan
jaringan
3. Berikan O2 sebagai mana yang telah
1) Penggunaan otit bantu
dianjurkan
pernafasan dan retraksi
dinding dada (-)
Monitor Pernfasan (3350)
2) Frekuensi pernafasan dan
kedalaman inspirasi normal 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman 1. Mengkaji keparahan sesak nafas
3) Sianosis (-) dan kesulitan untuk bernafas 2. Penggunaan otot bantu pernafasan dan
4) penggunaan otot bantuan cuping hidung merupakan respon tubuh
pernafasan terhadap sesak nafas yang hebat
2. Catat pergerakan dada, ketidak
simestrisan, pengunaan otot bantu
pernafasan
Nyeri akut setelah dlakukan tindakan 1. Kaji ulang nyeri klien (PQRST) 1. Memantau dan memberikan gambaran
berhubungan keperawatan selama...x24 jam, 2. Usakan menciptakan lingkungan umum mengenai karakteristik nyeri klien
dengan iritasi nyer terkontrol dengan kriteria yang aman dan tenang. dan indikator dalam melakukn intervensi
meningen. hasil : 3. Lakukan metode penatalaksanaan selanjutnya.
nyeri : relaksasi progresif, distraksi, 2. Menurunkan reaksi terhadap rangsangan
a. Pasien melaporkan adanya
dan nafas dalam. eksternal atau kesensitifan terhadap
penurunan nyeri
4. Lakukan latihan gerak aktif dan cahaya dan menganjurkan klien untuk
b. Wajah pasien tampak rileks
pasif sesuai kondisi dengan lembut beristirahat.
c. Rentang TTV normal
dan hati-hati. 3. Membantu menurunkan stimulasi
5. Kolaborasi: berikan analgetik sesuai sensasi nyeri.
indikasi. 4. Membantu relaksasi otot-otot yang
tegang dan dapat menurunkan nyeri/ rasa
tidak nyaman.
5. Mungkin diperlukan untuk menurunkan
rasa sakit. Catatan: narkotika merupakan
kontraindikasi karena berdampak pada
status neurologis sehingga menyulitkan
pengkajian.
G. Evaluasi
a. Peningkatan perfusi serebral
5) Tidak ada tanda peningkatan TIK
6) Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian
dan orientasi baik
7) Peningkatan tingkat kesadaran (GCS 15, tidak ada gerakan involunter)
8) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-
100x/mnt, Suhu 36,5-37,5oC)
b. Keefektifan pola napas
1) Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
2) Irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (16-20x/menit)
3) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-
100x/mnt, Suhu 36,5-37,5oC)
c. Nyeri berkurang atu hilang
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-
100x/mnt, Suhu 36,5-37,5oC)

H. Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk
perawatan di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus
sudah dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
a. Pengertian dari penyakit skull defect
b. Penjelasan tentang penyebab skull defect
c. Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
d. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila
ada gejala yang memberatkan penyakitnya
e. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam
menaati program pemulihan kesehatan

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, dkk. 2015. Nursing Intervension Classification. Jakarta: EGC.

Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New
York: Thieme.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Heather, Herdman. 2015. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Moorhead, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta:
EGC.

Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi:


BI Publications.

Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai