BAB I
PENDAHULUAN
Tekanan tinggi pada otak akibat subdural hematom yang terus dibiarkan
dapat menyebakan beberapa keluhan dan gejala yang timbul, salah satunya adalah
Hemiparese atau kelemahan pada satu sisi tubuh. Dalam kondisi subdural
hematoma yang mengakibatkan hemiparase, peran fisioterapi adalah
mengembalikan fungsi dan gerak dari sisi tubuh yang mengalami kelemahan atau
kelumpuhan dengan intervensi terapi latihan maupun penggunakan modalitas
fisioterapi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
gangguan pada lintasan piramida ini akan terjadi gangguan gerak volunter pada
otot rangka bagian kontralateral
a. Cortex cerebri
Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan menempati
fossa cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut dengan cerebral
cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang
membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan fisual. Kecerdasan intelektual atau IQ
manusia juga ditentukan oleh kualitas cerebrum. Cerebrum dibagi oleh suatu
celah yang dalam, fisura serebri longitudinal, menjadi hemisferkiri dan kanan,
dimana setiap hemisfer ini berisi satu ventrikel lateral. Di otak bagian dalam,
hemisfer dihubungkan oleh massa substansi albikan (serat saraf) yang disebut
korpus kalosum (corpus callosum).
Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan sel syaraf atau substansi
grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang terdiri atas
serat syaraf atau substansi albikan. Secara umum, belahan belahan otak kanan
mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan
otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesa yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat
daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
2) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura
parieto – oksipitalis. Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
4
b.
Spinal Cord
Medula spinalis (spinal cord) adalah jaringan saraf berbentuk seperti kabel
putih yang memanjang dari medula oblongata turun melalui tulang belakang
dan bercabang ke berbagai bagian tubuh. Medula spinalis merupakan bagian
utama dari sistem saraf pusat yang melakukan impuls saraf sensorik dan
motorik dari dan ke otak. Saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan
dari sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi
oleh tulang belakang. Fungsi utama sumsum tulang belakang adalah
transmisi pemasukan rangsangan antara periferi dan otak.
Pada potongan melintang, bentuk sumsum tulang belakang tampak terbagi
dua bagian, yaitu bagian tepi atau luar yang berwarna putih dan bagian
dalam berwarna abu-abu. Bagian tepi berwarna putih karena mengandung
dendrit dan akson, dan bentuknya seperti tiang.sedangkan bagian dalam
5
berwarna abu-abu dan bentuknya seperti sayap atau seperti huruf H. Sayap
(bentuk huruf H) yang letaknya mengarah ke perut disebut sayap
ventral. Sayap ventral banyak mengandung badan neuron motorik dan akson
yang menuju ke efektor. Selain itu terdapat vsayap yang mengarah ke
punggung disebutsayap dorsal. Sayap dorsal mengandung badan neuron
sensorik. Sumsum tulang belakang berfungsi sebagai pusat gerak refleks,
sebagai penghantar impuls dari kulit atau otot ke otak, dan membawa
impuls motorik dari otak ke otot tubuh.
Sumsum tulang belakang merupakan salah satu bagian dari
sistem saraf pusat manusia yang menghubungkan sistem saraf tepi dan
sistem saraf pusat di otak. Sumsum tulang belakang berfungsi
menghantarkan impuls menuju otak dan berperan dalam proses gerak
refleks. Sumsum tulang belakang pada laki-laki umumnya mempunyai
panjang sekitar 45 cm, sedangkan pada wanita adalah 43 cm. Sumsum
tulang belakang dilindungi oleh bagian-bagian tulang belakang, yaitu
tulang serviks, toraks, lumbar, dan sakral. Setiap bagian tulang tersebut
mempunyai dua fungsi jenis saraf dalam tubuh yang berlainan. Selain
berfungsi menghubungkan impuls ke otak, sumsum tulang belakang
berperan juga dalam mekanisme pergerakan refleks.
Ada 31 pasang saraf di tulang belakang yang tersebar mulai dari tengkorak
hingga tulang ekor. Sel saraf tulang belakang terdiri atas bagian akar ventral
dan akar dorsal. Sementara itu, sel saraf lainnya di tulang belakang hanya
berfungsi sebagai sel saraf penghubung (interneuron).
Berdasarkan fungsinya, sistem saraf tepi dibagi menjadi dua, yaitu sistem
saraf aferen (sistem saraf sensoris) dan sistem saraf eferen (sistem saraf
motoris). Sistem saraf aferen tersusun atas neuron yang membawa implus
dari reseptor menuju sistem saraf pusat. Adapun sistem saraf eferen tersusun
atas neuron yang membawa impuls dari sistem saraf pusat menuju efektor.
Sistem saraf tepi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jalur rangsang
dan tanggapan pada sistem saraf pusat. Dari diagram sebelumnya, dapat
diketahui bahwa sistem saraf tepi dibangun oleh dua tipe sel saraf, yaitu sel
saraf somatik dan sel saraf otonom. Kedua jenis sel saraf ini, dibangun oleh
6
2. Sistem Ektrapiramidalis
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastosmosis membentuk circulus willisi (Wilson, 2002).
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri
karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan
arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari
pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang
bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri
anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior
(Chusid, 1979).
Arteri vertebralis kiri dan kanan bersal dari arteria
subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan
cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri
merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis
memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu
membentuk arteri basilaris (Wilson, 2002).
2) Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam
struktur duramater yang liat. Sinus-sinus dura mater tidak
mempunyai katub dan sebagian besar berbentuk triangular.
Sebagian besar vena cortex superfisial mengallir ke dalam
sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena
cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir
ke dalam sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva
yang mengalir ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri
profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson,
2002).
B. Patologi
1. Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental
dan temporal.Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami
9
2. Etiologi
Subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur
vena yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada
akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-
vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan
pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-
lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah
dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ
terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
Hematoma subdural biasanya terjadi penumpukan cairan extraaxial
dalam ruang subdural potensial, antara membran arakhnoid dan
duramater. Selain disebabkan oleh trauma berat dengan kortikal robek
bridging vein, mereka juga dapat terjadi dengan trauma tembus,
memar parenkim, dan pada pasien yang memiliki diatesis hemoragik.
10
Mereka mewakili sekitar 5% dari semua cedera kepala dan 65% dari
cedera kepala dengan kehilangan berkepanjangan kesadaran.
Adapun tanda-tanda dan gejala yang terdapat pada hemiparese
dextra disesuaikan dengan stadiumnya, yaitu:
a. Stadium akut
Pada stadium ini terjadi penurunan kesadaran yang
dinamakan opopletik fit. Serangan ini dapat didahului dengan
sakit kepala, pusing tapi kadang-kadang tanpa keluhan, maka
penderita menjadi pucat, nafas bersuara berat karena saluran nafas
terhalang oleh lidah yang paralisis, pupil mata melebar. Kadang
satu pupil lebih lebar dari yang lain disebabkan oleh paralysis dari
iris/otot mata, denyut jantung dan nadi tidak teratur biasanya
lambat. Anggota gerak yang terkena menjadi fleksid paralysis,
semua reflek hilang.
b. Stadium recovery
Stadium ini dimulai dengan tanda pulsa/denyut nadi
menjadi lebih cepat, temperatur/suhu tubuh naik, penderita
gelisah, mudah terkejut dan kadang sulit tidur. Sistem reflek
kembali seperti semula pada system sehat, otot yang mengalami
fleksid paralisis menjadi spastik. Kebanyakan otot yang terserang
berada dalam keadaan fleksid untuk beberapa hari sampai 2 atau 3
minggu, terutama pada daerah lengan dan jari tangan.
c. Stadiumspastisitas
Keadaan otot dan reflek sudah mulai kembali, tetapi
berlebihan, timbul ankle klonus dan reflek patologi (babinski
sign). Lengan masih dalam keadaan serangan yang lebih berat
dibanding dengan tungkai dan wajah. Biasanya lengan terfiksir
melekat pada badan dengan posisi adduksi shoulder, semi fleksi
elbow, lengan bawah pronasi, wrist dan finger fleksi ini
merupakan posisi karakteristik. Tungkai terfiksir pada ibu jari
oposisi, posisi lutut ekstensi, plantar fleksi, eksternal rotasi dan
mengalami drop foot. Bila wajah yang terkena serangan,
dampaknya lebih ringan dan yang terkena adalah wajah bagian
bawah. Lidah akan membelok ke samping bagian paralysis.
11
3. Patofisiologi
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.
Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan
yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang
menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa
terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi
abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Terdapat 2
teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori
yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
C. Intervensi Fisioterapi
1. Komunikasi Terapeutik
12
b. Gerak Pasif
Gerakan pasif adalah latihan yang tidak bersangkutan dengan melawan
grafitasi, dengan kata lain terapis menggerakan setiap persendian pasien tanpa
harus melawan grafitasi.
15
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
B. Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama : kelemahan separuh badan
b. Lokasi keluhan : Sisi dextra (lengan dan tungkai)
c. Penyebab : Pasien Jatuh pada saat berdiri diatas kursi
d. RPP :
Pasien menjalani operasi craniotomy pada tanggal 19-02-2019 di
Rumah Sakit Faisal.
Kemudian dirujuk ke RSUP Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 27-
02-2019.
Pada tanggal 28-02-2019 Pasien dipindahkan dari IGD Bedah Saraf
ke HCU Bedah Saraf.
e. Riwayat penyakit penyerta :
Hipertensi
Diabetes Melitus
f. Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 88x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Temperatur : 36,70C
C. Inspeksi/Observasi
a. Statis
Posisi pasien tidur terlentang
Tangan dalam keadaan terinfus
Terpasang kateter
16
a. Pengukuran MMT
NILA NILA
REGIO GERAKAN REGIO GERAKAN
I I
Shoulde Fleksor
1 2
r Shoulder Hip Fleksor Hip
Ektensor
1 2
Shoulder Ekstensor Hip
Abduktor
1 2
Shoulder Abduktor Hip
Adduktor
1 2
Shoulder Adduktor Hip
Elbow Fleksi Elbow 1 Knee Fleksor Knee 2
Ekstensi Elbow 1 Ekstensor Knee 2
Pronasi 1 Ankle Dorso Fleksi 2
Supinasi 1 Plantar Fleksi 2
Wrist Fleksi Wrist 1 Inversi 2
Ekstensi Wrist 1 Eversi 2
Radial Deviasi 1
Ulnar Deviasi 1
Hand Fleksi finger 1
Ekstensi finger 1
Abduksi finger 1
b. Pemeriksaan kogntif
Pasien diajak berkomunikasi untuk merespon beberapa pertanyaan.
Grade Keterangan
17
Hasil: Untuk ekstremitas atas dan bawah sisi dextra adalah 2 (+1)
e. Tes Koordinasi
1) Finger to finger
Pasien diminta untuk menyentuh dua ujung jari telunjuk
satu terhadap yang lain. Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat dilakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat dilakukan
2) Heel to knee
19
f. Tes Sensorik
Pasien diberikan sentuhan sensorik pada ekstremitas atas
dan bawah dextra yang mengalami kelemahan.
Hasil : Pasien Kurang merasakan sentuhan pada bagian
ekstremitas atas dan bawah sisi dextra, jika dibandingkan dengan
bagian ekstremitas atas dan bawah sisi sinistra.
g. Pemeriksaan Penunjang
Foto MRI Kepala
History Taking :
Pasien terjatuh pada saat berdiri di atas kursi kemudian menjalani operasi craniotomy karena
adanya subdural hematom pada parietal sinistra kepala pasien.
Inspeksi :
Statis : Posisi pasien tidur terlentang, tangan
Pemeriksaan dalam keadaan terinfus, terpasang
fisik
kateter, posisi tangan asimetris, posisi tungkai fleksi knee.
Dinamis : Pasien hanya mampu melakukan gerakan terbatas pada ekstremitas
Jika tidak
atas dan bawah sisi dextra
20
Diagnosis ICF
Kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom
F. Diagnosa Fisioterapi
Diagnosa ICF :
kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom
3. Electrical Stimulation
o Tujuan : Untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun
grup otot.
o Persiapan alat : Lakukan kalibrasi awal alat sebelum digunakan,
meliputi: cek kabel, pad elektroda,intensitas dan
ES sendiri.
22
a. Tujuan
Sebagai mobilisasi pasien selama berada di tempat tidur agar
memperoleh kesejajaran tubuh yang tepat. Hal ini karena pasien
mengalami kelemahan serta kekakuan pada lengan dan tungkai sisi kanan
disebabkan adanya gangguan pada fungsi saraf pusat. Serta memberikan
rasa nyaman pada pasien, mempertahankan atau menjaga postur tubuh
tetap baik, menghindari komplikasi yang mungkin timbul akibat tirah
baring. Posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam bila tidak ada kontra
indikasi.
b. Teknik
1) Posisi Semi Fowler
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
Dudukkan pasien
Berikan sandaran atau bantal pada tempat tidur pasien atau
atur tempat tidur.
23
5. Pasif Exercise
a. Tujuan :
Untuk melatih dan menghindari terjadinya kekakuan otot pasien
yang mengalami kelemahan.
b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed
c. Posisi fisioterapi : Berdiri di samping asien
d. Teknik : Fisioterapis menggerakkan lengan dan tungkai
pasien.
e. Dosis : 8 kali pengulangan
6. Aktif Exercise
a. Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang
mengalami kelemahan
b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed
c. Posisi fisioterapi : Berdiri di samping pasein
d. Teknik :
Minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih memerlukan bantuan dari fisioterapis.
e. Dosis : 8 kali pengulangan
J. Evaluasi Fisioterapi
Setelah melakukan terapi, kekakuan sendi tungkai sisi kanan berkurang,
peningkatan nilai MMT dari nilai 2 menjadi 3 pada tungkai sisi kanan.
Sedangkan untuk lengan sisi kanan nilai MMT masih bernilai 1, pasien belum
mampu menggerakkan lengan sisi kanan, hanya saja terasa kontraksi pada
ototnya ketika diminta menggerakkan.
24
BAB IV
PENUTUP
Cedera pada otak akibat benturan keras , salah satunya adalah subdural
hematoma, sering juga disebut perdarahan otak subdural, di mana kondisi
perdarahan berkumpul di antara dua lapisan otak, yaitu lapisan arachnoidal dan
lapisan dura (meningeal). Perdarahan tersebut manjadi penyebab utama terjadinya
hemiparesis, di mana jika satu tangan atau satu kaki atau satu sisi wajah menjadi
lemah, namun tak sepenuhnya lumpuh. Terkadang hemiparese mempengaruhi satu
tangan dan satu kaki di sisi tubuh yang sama. Jika kepala sisi kiri terbentur dan
mengenai otak, maka akan mengakibatkan kelemahan atau kelumpuhan pada sisi
tubuh sebelah kanan.
Saran bagi pasien supaya melakukan home program yang diberikan oleh
fisioterapis, Seperti berjemur di pagi hari, agar sirkulasi darah berjalan dengan
lancar dan rutin melaksanakan terapi latihan pada lengan dan tungkai sisi kanan
tubuh saat di rumah dengan dibantu oleh keluarga. Hal ini diupayakan agar pasien
terbiasa bergerak.
25
DAFTAR PUSTAKA
Aras, Djohan, dkk. 2016. Physical Therapist Test and Measurement. Makassar :
Physio Care Publishing.
Ashadi, Arjun Gholpa. 2014. Naskah Publikasi “Penatalaksanaan Stimulasi
Elektis dan Terapi Latihan pada Hemiparese Sinistra Post Stroke Non
Hemoragik di RSUA Ponorogo”. Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Dedi. 2016. Pengaruh Pengaturan Posisi Miring Kanan dan Miring Kiri
Terhadap Nyeri Punggung Pada Pasien Post Kateterisasi Jantung. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Hernawati, Ika Yussi. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Pasca
Stroke Hemorage Dextra Stadium Recovery. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Justin Q, Maj. 2006. Subdural Hematoma. Military Medicine, Vol. 171, Hal 1-
5.
Kurniasari, Yuniarsa. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Hemiparese
Sinistra Dengan Modalitas Infrared dan Terapi Latihan di RSUD Salatiga.
Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oktaria, Gina. 2017. Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Proses
Penyembuhan Pasien Psikosis di UPT Bina Laras Provinsi Riau. Jom FISIP
Vol.4 No.2.
T. Juwono. 1996. Pemeriksaan Sistem Koordinasi. Dalam: Pemeriksaan Klinik
Neurologilk Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kajian Pustaka Alat Terapi Infra Merah
http://repository.umy.ac.id/bitsream/handle/123456789/12232/BAB
%252011.pdf
Jenis-Jenis Pemberian Posisi Tubuh Pada Pasien
https://www.slideshare.net/mobile/subjay/jenis-jenis-pemberian-posisi-tubuh-
pada-pasien-80547667 dilansir pada 7 maret 2019, 12.07 Wita.
26