Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan subdural (subdural hematom) secara umum dibagi menjadi


bentuk akut dan bentuk kronis atau subakut. Stone dkk (Sone JL et al, 1983),
mendefenisikan sebagai akut untuk kasus – kasus perdarahan subdural yang
dioperasi dalam waktu 24 jam. Tetapi perdarahan subdural yang manifes dalam
waktu 48 – 72 jam oleh kelompok lain masih disebut sebagai perdarahan akut
(Rosenom et al, 1978).

Menentukan prognosis untuk penderita-penderita dengan cedera kepala


berat sering kali sulit, suatu upaya yang selalu menjadi beban bagi spesialis bedah
saraf. Sebuah prognosis yang akurat adalah sangat penting untuk membuat suatu
keputusan apakah informed consent diberikan atau tidak. Kenyataannya walau
dokter – dokter yang paling berpengalaman pun sulit untuk menentukan prognosis
akhir segera setelah cedera. Hal ini disebabkan karena keterbatasan penilaian
klinik (clinical assessment) awal, lamanya penyembuhan pada penderita cedera
berat, dan banyaknya faktor dan variabel yang mempengaruhi prognosa penderita
cedera kepala berat. Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk memperlihatkan
hubungan faktor-faktor prognosis tersebut dengan outcome yang dicapai hasil
yang bermacam-macam. Dengan adanya parameter-parameter prognosis yang
lebih baru dan berbagai tes-tes penunjang telah menolong menentukan potensi
untuk penyembuhan fungsional (Satrodiningrat, 2006).

Tekanan tinggi pada otak akibat subdural hematom yang terus dibiarkan
dapat menyebakan beberapa keluhan dan gejala yang timbul, salah satunya adalah
Hemiparese atau kelemahan pada satu sisi tubuh. Dalam kondisi subdural
hematoma yang mengakibatkan hemiparase, peran fisioterapi adalah
mengembalikan fungsi dan gerak dari sisi tubuh yang mengalami kelemahan atau
kelumpuhan dengan intervensi terapi latihan maupun penggunakan modalitas
fisioterapi.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat


1. Sistem Piramidalis

Traktus piramidalis di sebut juga sebagai traktus kortikospinalis, serabut


traktus piramidalis muncul sebagai sel-sel bezt yang terletak di lapisan kelima
korteks serebri. Sekitar sepertiga serabut ini berasal dari dari korteks motorik
primer (area 4), sepertiga dari korteks motorik sekunder (area 6), dan sepertiga
dari lobus parietalis (area 3, 1, dan 2). Serabut traktus piramidalis akan
meninggalkan korteks motorik menuju korona radiata substantia alba serebrum
ke arah ekstremitas posterior kapsular interna masuk ke diensefalon di teruskan ke
mesencephalon,pons varolli sampai medulla obloganta. Pada ujung akhir medulla
obloganta, 80-85% serabut-serabut ini akan menyebran kesisi yang berlawanan
menuju ke anterior horn cell (AHC) dari medulla spinalis yang kemudian menjadi
tarktus kortikospinalis lateralis, tempat menyilang ini di namakan descusstion
piramidalis (sistem pyramidal). Sedangkan yang 20% bagian serabut yang tidak
menyilangkan langsung menuju medulla spinalis pada AHC yang kelintasan
piramidalis ini akan memberikan pengaruh berupa eksitasi terhadap serabut
ekstrafusal yang berfungsi dalam gerakan volunter. Sehingga bila terjadi
3

gangguan pada lintasan piramida ini akan terjadi gangguan gerak volunter pada
otot rangka bagian kontralateral

a. Cortex cerebri
Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan menempati
fossa cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut dengan cerebral
cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang
membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan fisual. Kecerdasan intelektual atau IQ
manusia juga ditentukan oleh kualitas cerebrum. Cerebrum dibagi oleh suatu
celah yang dalam, fisura serebri longitudinal, menjadi hemisferkiri dan kanan,
dimana setiap hemisfer ini berisi satu ventrikel lateral. Di otak bagian dalam,
hemisfer dihubungkan oleh massa substansi albikan (serat saraf) yang disebut
korpus kalosum (corpus callosum).
Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan sel syaraf atau substansi
grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang terdiri atas
serat syaraf atau substansi albikan. Secara umum, belahan belahan otak kanan
mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan
otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesa yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat
daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
2) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura
parieto – oksipitalis. Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
4

verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan


perkembangan emosi.
3) Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.
4) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf
lain & memori.
5) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom.

b.

Spinal Cord
Medula spinalis (spinal cord) adalah jaringan saraf berbentuk seperti kabel
putih yang memanjang dari medula oblongata turun melalui tulang belakang
dan bercabang ke berbagai bagian tubuh. Medula spinalis merupakan bagian
utama dari sistem saraf pusat yang melakukan impuls saraf sensorik dan
motorik dari dan ke otak. Saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan
dari sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi
oleh tulang belakang. Fungsi utama sumsum tulang belakang adalah
transmisi pemasukan rangsangan antara periferi dan otak.
Pada potongan melintang, bentuk sumsum tulang belakang tampak terbagi
dua bagian, yaitu bagian tepi atau luar yang berwarna putih dan bagian
dalam berwarna abu-abu. Bagian tepi berwarna putih karena mengandung
dendrit dan akson, dan bentuknya seperti tiang.sedangkan bagian dalam
5

berwarna abu-abu dan bentuknya seperti sayap atau seperti huruf H. Sayap
(bentuk huruf H) yang letaknya mengarah ke perut disebut sayap
ventral. Sayap ventral banyak mengandung badan neuron motorik dan akson
yang menuju ke efektor. Selain itu terdapat vsayap yang mengarah ke
punggung disebutsayap dorsal. Sayap dorsal mengandung badan neuron
sensorik. Sumsum tulang belakang berfungsi sebagai pusat gerak refleks,
sebagai penghantar impuls dari kulit atau otot ke otak, dan membawa
impuls motorik dari otak ke otot tubuh.
Sumsum tulang belakang merupakan salah satu bagian dari
sistem saraf pusat manusia yang menghubungkan sistem saraf tepi dan
sistem saraf pusat di otak. Sumsum tulang belakang berfungsi
menghantarkan impuls menuju otak dan berperan dalam proses gerak
refleks. Sumsum tulang belakang pada laki-laki umumnya mempunyai
panjang sekitar 45 cm, sedangkan pada wanita adalah 43 cm. Sumsum
tulang belakang dilindungi oleh bagian-bagian tulang belakang, yaitu
tulang serviks, toraks, lumbar, dan sakral. Setiap bagian tulang tersebut
mempunyai dua fungsi jenis saraf dalam tubuh yang berlainan. Selain
berfungsi menghubungkan impuls ke otak, sumsum tulang belakang
berperan juga dalam mekanisme pergerakan refleks.
Ada 31 pasang saraf di tulang belakang yang tersebar mulai dari tengkorak
hingga tulang ekor. Sel saraf tulang belakang terdiri atas bagian akar ventral
dan akar dorsal. Sementara itu, sel saraf lainnya di tulang belakang hanya
berfungsi sebagai sel saraf penghubung (interneuron).

c. Sistem Saraf Tepi

Berdasarkan fungsinya, sistem saraf tepi dibagi menjadi dua, yaitu sistem
saraf aferen (sistem saraf sensoris) dan sistem saraf eferen (sistem saraf
motoris). Sistem saraf aferen tersusun atas neuron yang membawa implus
dari reseptor menuju sistem saraf pusat. Adapun sistem saraf eferen tersusun
atas neuron yang membawa impuls dari sistem saraf pusat menuju efektor.
Sistem saraf tepi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jalur rangsang
dan tanggapan pada sistem saraf pusat. Dari diagram sebelumnya, dapat
diketahui bahwa sistem saraf tepi dibangun oleh dua tipe sel saraf, yaitu sel
saraf somatik dan sel saraf otonom. Kedua jenis sel saraf ini, dibangun oleh
6

sistem saraf sensorik dan motorik sehingga menjadi perantara impuls


antartubuh dengan sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik membawa pesan
dari organ reseptor tubuh menuju sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik
terdiri atas 12 pasang saraf kranial di otak dan 31 pasang saraf spinal. Saraf
kranial keluar dari otak. Umumnya saraf ini terhubung dengan organ atau
jaringan di kepala dan muka. Adapun saraf spinal keluar dari sumsum tulang
belakang

2. Sistem Ektrapiramidalis

Traktus ektrapiramidalis adalah rangka neuron yang di putus secara sinapsi


pada basal ganglia subkorticolis dan retikularis, walaupun tingkat distribusinya
segmental dengan rangkain jalan syaraf yang berputar atau lingkaran, ( Chusid,
1993).

Sistem ektrspiramidalis berkaitan dengan pengaturan sikap tubuh dan


integrasi otonom, sehingga apabila terjadi lesi pada sistem ektrapiramidalis dapat
7

mengaburkan/menghilangkan gerakan di bawah sadar dan menggantikan gerakan


diluar sadar, (Chusid, 1993,).

Traktus ektrapiramidalis merupakan suatu system dari serebellum yang


mengontrol dan menyeimbangkan gerakan volunter, sehingga system ini
menambah system kortikal dari kerja volunter motoric dengan meningkatkan
fungsinya ke tingkat yang lebih tinggi sehingga setiap gerakan volunter
penampilannya lembut dan halus, (Duus, 1996,).

Traktus ektrapiramidalis terdiri dari korpus striatum, globus palidus, inti-


inti talamik, nukleus subtalamikus, substansia nigra, formasio retikularis, batang
otak, serebelum serta korteks motoric tambahan ( area 4, 6, 8). Komponen tadi
dihubungkan satu dengan yang lain oelng masing-masing akson, dengan demikian
terdapat lintasan yang melingkar dikenal sebagai sirkuit. Lintasan sirkuit ini
dibedakan dalam lintasan sirkuit utama dan tersusun oleh 3 mata rantai (1)
hubungan segenap neocorteks dengan corpus striatum serta globus palidus, (2)
hubungan corpus striatum atau globus palidus dengan thalamus, (3) hubungan
thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Dan 3 sirkuit penungjang yaitu (1)
asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungan striatum-globuspalidus-
thalamusstriatum, (2) asesorik ke -2 merupakan lintasan yang melingkar globus
paliduscorpus subtalamukus-globus palidus, (3) asesorik ke-3 dibantu oleh
hubungan yang melingkar striatum-striatum nigra. (Sidharta, 1999).

3. Sistem Sirkulasi Darah Di Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang
diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat
mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus
dipertahankan (Chusid, 1979). Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu
jalinan pembuluhpembuluh darah yang bercabang-cabang, behubungan erat
satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat
untuk sel (Wilson, 2002).

1) Peredaran Darah Arteri


8

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastosmosis membentuk circulus willisi (Wilson, 2002).
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri
karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan
arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari
pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang
bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri
anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior
(Chusid, 1979).
Arteri vertebralis kiri dan kanan bersal dari arteria
subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan
cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri
merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis
memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu
membentuk arteri basilaris (Wilson, 2002).
2) Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam
struktur duramater yang liat. Sinus-sinus dura mater tidak
mempunyai katub dan sebagian besar berbentuk triangular.
Sebagian besar vena cortex superfisial mengallir ke dalam
sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena
cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir
ke dalam sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva
yang mengalir ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri
profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson,
2002).

B. Patologi
1. Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental
dan temporal.Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami
9

pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi


pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering
terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein.
Hemiparese adalah kelumpuhan pada sebagian salah satu sisi tubuh
(Sue Hinchliff).Hemiparese dextra adalah kelemahan badan sebelah
kiri ditandai dengan adanya tonus yang abnormal.
.

Gambar 1.1 sumbatan pembuluh darah otak

2. Etiologi
Subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur
vena yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada
akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-
vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan
pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-
lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah
dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ
terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
Hematoma subdural biasanya terjadi penumpukan cairan extraaxial
dalam ruang subdural potensial, antara membran arakhnoid dan
duramater. Selain disebabkan oleh trauma berat dengan kortikal robek
bridging vein, mereka juga dapat terjadi dengan trauma tembus,
memar parenkim, dan pada pasien yang memiliki diatesis hemoragik.
10

Mereka mewakili sekitar 5% dari semua cedera kepala dan 65% dari
cedera kepala dengan kehilangan berkepanjangan kesadaran.
Adapun tanda-tanda dan gejala yang terdapat pada hemiparese
dextra disesuaikan dengan stadiumnya, yaitu:
a. Stadium akut
Pada stadium ini terjadi penurunan kesadaran yang
dinamakan opopletik fit. Serangan ini dapat didahului dengan
sakit kepala, pusing tapi kadang-kadang tanpa keluhan, maka
penderita menjadi pucat, nafas bersuara berat karena saluran nafas
terhalang oleh lidah yang paralisis, pupil mata melebar. Kadang
satu pupil lebih lebar dari yang lain disebabkan oleh paralysis dari
iris/otot mata, denyut jantung dan nadi tidak teratur biasanya
lambat. Anggota gerak yang terkena menjadi fleksid paralysis,
semua reflek hilang.
b. Stadium recovery
Stadium ini dimulai dengan tanda pulsa/denyut nadi
menjadi lebih cepat, temperatur/suhu tubuh naik, penderita
gelisah, mudah terkejut dan kadang sulit tidur. Sistem reflek
kembali seperti semula pada system sehat, otot yang mengalami
fleksid paralisis menjadi spastik. Kebanyakan otot yang terserang
berada dalam keadaan fleksid untuk beberapa hari sampai 2 atau 3
minggu, terutama pada daerah lengan dan jari tangan.
c. Stadiumspastisitas
Keadaan otot dan reflek sudah mulai kembali, tetapi
berlebihan, timbul ankle klonus dan reflek patologi (babinski
sign). Lengan masih dalam keadaan serangan yang lebih berat
dibanding dengan tungkai dan wajah. Biasanya lengan terfiksir
melekat pada badan dengan posisi adduksi shoulder, semi fleksi
elbow, lengan bawah pronasi, wrist dan finger fleksi ini
merupakan posisi karakteristik. Tungkai terfiksir pada ibu jari
oposisi, posisi lutut ekstensi, plantar fleksi, eksternal rotasi dan
mengalami drop foot. Bila wajah yang terkena serangan,
dampaknya lebih ringan dan yang terkena adalah wajah bagian
bawah. Lidah akan membelok ke samping bagian paralysis.
11

3. Patofisiologi
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.
Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan
yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang
menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa
terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi
abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Terdapat 2
teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori
yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

C. Intervensi Fisioterapi
1. Komunikasi Terapeutik
12

Metode ini pasien sebagai komunikan diarahkan begitu rupa


sehingga terjadi pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan
sosial yang bermanfaat. Penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan baik secara verbal dan non verbal,dengan mengunakan media
atau tidak. Dapat di simpulkan bahwa pesan yang digunakan bersifat
positif, di sesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga apa yang di
sampaikan tidak ada yang menganggu ketenangan pasien, karena secara
kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat hal – hal yang tidak
menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu,setiap pesan agar di usahakan
bermakna positif.
2. Infra Red
Infra merah ialah sinar elektromagnet yang panjang gelombangnya
lebih daripada cahaya tampak yaitu di antara 700 nm dan 1 mm. Sinar
infra merah merupakan cahaya yang tidak tampak. Jika dilihat dengan
spektroskop cahaya maka radiasi cahaya infra merah akan tampak pada
spectrum elektromagnet dengan panjang gelombang di atas panjang
gelombang cahaya merah. Dengan panjang gelombang ini maka cahaya
infra merah akan tidak tampak oleh mata namun radiasi panas yang
ditimbulkan masih terasa.
Lampu terapi infra merah tidak diperbolehkan untuk penderita
diabetes. Timbulnya luka bakar karena biasanya penderita diabetes yang
kadar gulanya sangat tinggi indra perasa panasnya berkurang, akibatnya
jika jaringan sudah terlalu panas, pasien tidak merasakannya dan
mengakibatkan luka bakar. Fisioterapi menggunakan infra merah juga bisa
diberikan pada pasien lumpuh untuk melancarkan peredaran darah dan
melemaskan otot.
3. Electrical Stimulation
Stimulasi elektris adalah suatu modalitas fisioterapi dengan
menggunakan arus listrik untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun
grup otot (Inverarity, 2005). Alat listrik yang bisa digunakan adalah
Interrupted Direct Current, Interfernsi dan TENS (Kuntoro, 2007). Sistem
saraf pusat mempunyai kempuan yang progress untuk penyembuhan dari
injury melalaui proses collateral sprouting dan synaptic reclamation.
13

Neuro plasiticity merupakan hal yang sangat penting untuk mengajarkan


kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi.
4. Positioning
Istirahat yang terlalu lama ditempat tidur juga akan menyebabkan
kelemahan otot dan kelelahan, karena tekanan terus menerus ke otot-otot
yang sama, sementara kelelahan menyebabkan spasme otot dan nyeri
punggung (Pollard, Munks, Wales & Crossman, 2003). Nyeri punggung
sering dilaporkan setelah kateterisasi jantung yang disebakan oleh istirahat
yang lama setelah tindakan dilakukan (Neishabory, Torab, & Majd, 2010).
Menurut Luetmer (1999) ambulasi dini memiliki dampak
menguntungkan untuk meningkatkan kenyamanan pasien, terutama dalam
hal mengurangi nyeri punggung. Durasi waktu istirahat yang lama juga
dapat meningkatkan nyeri punggung pasien setelah kateterisasi jantung
(Chair, Piliae, Lam & Chan, 2003). Fowlow et al., (1995) menyatakan
bahwa nyeri punggung sering terjadi pada pasien setelah kateterisasi
jantung dan berhubungan dengan imobilitas dan pembatasan posisi.
Mohammady et al., (2012) menyatakan bahwa pasien dapat
ambulasi 3-4 jam setelah pencabutan Sheat percutaneous coronary
Intevensi. Selanjutnya Mohammady menyatakan ambulasi dini tidak
beresiko komplikasi vascular, tetapi dapat mengurangi nyeri punggung.
5. Exercise Therapy
Adalah salah satu modalitas fisioterapi dalam pelaksanaannya
menggunakan gerak tubuh baik secara pasif maupun secara aktif untuk
pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan, dan kemampuan
kardiovaskuler, mobilitas, fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi,
keseimbangan, dan kemampuan fungsional (Kisner, 2007) terapi latihan
yang diberikan antara lain:
a. Gerak aktif
Gerak aktif adalah latihan yang dilakukan oleh otot-otot yang
bersangkutan dengan malawan gravitasi. Gerakan aktif dibagi menjadi 2,
yaitu gerak yang tidak disadari (involuntary movement) dan gerak yang
disadari (voluntary movement).
14

b. Gerak Pasif
Gerakan pasif adalah latihan yang tidak bersangkutan dengan melawan
grafitasi, dengan kata lain terapis menggerakan setiap persendian pasien tanpa
harus melawan grafitasi.
15

BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


Nama : Tn. JK
No . Rm : 40 44 79
Tempat/Tanggal Lahir : Rantepao, 3-5-1949
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : BTP Blok M No. 91
Agama : Kristen

Diagnosa medis : Subdural hematom et parietal sinistra GCS 15

B. Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama : kelemahan separuh badan
b. Lokasi keluhan : Sisi dextra (lengan dan tungkai)
c. Penyebab : Pasien Jatuh pada saat berdiri diatas kursi
d. RPP :
 Pasien menjalani operasi craniotomy pada tanggal 19-02-2019 di
Rumah Sakit Faisal.
 Kemudian dirujuk ke RSUP Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 27-
02-2019.
 Pada tanggal 28-02-2019 Pasien dipindahkan dari IGD Bedah Saraf
ke HCU Bedah Saraf.
e. Riwayat penyakit penyerta :
 Hipertensi
 Diabetes Melitus
f. Vital sign
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Denyut nadi : 88x/menit
 Pernapasan : 20x/menit
 Temperatur : 36,70C

C. Inspeksi/Observasi
a. Statis
 Posisi pasien tidur terlentang
 Tangan dalam keadaan terinfus
 Terpasang kateter
16

 Posisi tangan asimetris


 Posisi tungkai fleksi knee
b. Dinamis
Pasien hanya mampu melakukan gerakan terbatas pada ekstremitas atas
dan bawah sisi dextra.

D. Pemeriksaan spesifik dan pengukuran fisioterapi

a. Pengukuran MMT
NILA NILA
REGIO GERAKAN REGIO GERAKAN
I I
Shoulde Fleksor
1 2
r Shoulder Hip Fleksor Hip
Ektensor
1 2
Shoulder Ekstensor Hip
Abduktor
1 2
Shoulder Abduktor Hip
Adduktor
1 2
Shoulder Adduktor Hip
Elbow Fleksi Elbow 1 Knee Fleksor Knee 2
Ekstensi Elbow 1 Ekstensor Knee 2
Pronasi 1 Ankle Dorso Fleksi 2
Supinasi 1 Plantar Fleksi 2
Wrist Fleksi Wrist 1 Inversi 2
Ekstensi Wrist 1 Eversi 2
Radial Deviasi 1
Ulnar Deviasi 1
Hand Fleksi finger 1
Ekstensi finger 1
Abduksi finger 1

b. Pemeriksaan kogntif
Pasien diajak berkomunikasi untuk merespon beberapa pertanyaan.

Hasil : Kurang Baik

c. Tes Tonus Otot menggunakan skala ASWORTH

Grade Keterangan
17

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya


tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi
digerakkan fleksi atau ekstensi

2 (1+) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya


pemberhentian gerakan pada pertengan ROM dan adanya
tahanan minimal sepanjang sisa ROM

3 (2) Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar


ROM tapi sendi masih mudah digerakkan

4 (3) Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak


pasif sulit dilakukan

5(4) Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau


ekstensi

Hasil: Untuk ekstremitas atas dan bawah sisi dextra adalah 2 (+1)

d. Pemeriksaan Fungsional (Barthel Index)


Nilai
No Fungsi Skor Keterangan
Skor
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur 0
rangsang defekasi (perlu bantuan)
1 Kadang-kadang tak terkendali
(1x seminggu)
2 Terkendali teratur
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai 0
rangsang berkemih kateter
1 Kadang-kadang tak terkendali
(hanya 1x/ 24 jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan diri 0 Butuh pertolongan orang lain 0
(seka muka, sisir 1 Mandiri
rambut, sikat gigi)
4 Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang
masuk dan keluar lain
(melepaskan, memakai 1 Perlu pertolongan pada
18

beberapa kegiatan tetapi dapat


mengerjakan sendiri beberapa
celana, membersihkan, kegiatan yang lain
menyiram) 2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu 0
1 Perlu ditolong memotong
makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap dari 0 Tidak mampu 2
berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk
bisa duduk (2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
7 Berpindah / berjalan 0 Tidak mampu 0
1 Bisa (pindah) dengan kursi
roda
2 Berjalan dengan bantuan 1
orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain 0
1 Sebagian di bantu (misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri
9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu 0
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain 0
1 Mandiri
TOTAL SKOR 2

Keterangan : Skor BAI


20 : Mandiri
12 – 19 : Ketergantungan ringan
9 – 11 : Ketergantungan sedang
5–8 : Ketergantungan berat
0–4 : Ketergantungan total

e. Tes Koordinasi
1) Finger to finger
Pasien diminta untuk menyentuh dua ujung jari telunjuk
satu terhadap yang lain. Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat dilakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat dilakukan
2) Heel to knee
19

Pasien diminta untuk menempatkan salah satu tumitnya di atas


lutut tungkai yang lainnya. Kemudian minta pasien untuk
menggerakkan tumit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki
melalui tibia. Hasil:
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat dilakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat dilakukan

f. Tes Sensorik
Pasien diberikan sentuhan sensorik pada ekstremitas atas
dan bawah dextra yang mengalami kelemahan.
Hasil : Pasien Kurang merasakan sentuhan pada bagian
ekstremitas atas dan bawah sisi dextra, jika dibandingkan dengan
bagian ekstremitas atas dan bawah sisi sinistra.
g. Pemeriksaan Penunjang
Foto MRI Kepala

E. Algorhitma Assesmen Fisioterapi

History Taking :
Pasien terjatuh pada saat berdiri di atas kursi kemudian menjalani operasi craniotomy karena
adanya subdural hematom pada parietal sinistra kepala pasien.

Inspeksi :
Statis : Posisi pasien tidur terlentang, tangan
Pemeriksaan dalam keadaan terinfus, terpasang
fisik
kateter, posisi tangan asimetris, posisi tungkai fleksi knee.
Dinamis : Pasien hanya mampu melakukan gerakan terbatas pada ekstremitas
Jika tidak
atas dan bawah sisi dextra
20

Algoritma kondisi lain

Tes MMT sisi dextra Tes kognitif : Tes tonus otot :


extremitas atas 1 dan Komunikasi pasien Nilai 2 (+1)
extermitas bawah: 2.
Barthel Index kurang
Tes baik :
koordinasi Tes sensorik :
Skor 2 yaitu  Finger to finger : tidak Pasien kurang
ketergantungan total dapat dilakukan pasien merasakan sentuhan
 Heel to knee : pada extremitas atas dan
Pemeriksaan
tidak dapatpenunjang
dilakukan bawah sisi dextra
MRI Kepala : subdural
pasienhematom pada parietal sinisra

Diagnosis ICF
Kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom

F. Diagnosa Fisioterapi

“kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematomcraniotomy”

G. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF

Diagnosa ICF :
kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and function)  Kesulitan duduk, berdiri dan  Kesulitan bersosialisasi
 Keterbatasan gerak ke segala berjalan dengan masyarakat
arah  Kesulitan menggegam
 Gangguan tonus otot  Kesulitan meraih benda tinggi
 Gangguan koordinasi dan  Kesulitan untuk mandi dan
keseimbangan berpakaian secara mandiri
21

H. Tujuan Intervensi Fisioterapi


a) Jangka pendek :
 Mengatasi keterbatan gerak ke segala arah
 Menghilangkan atau mengurangi tonus otot
 Mengatasi gangguan koordinasi dan keseimbangan
b) Jangka pendek :
 Pasien dapat duduk, berdiri dan berjalan
 Pasien dapat menggenggam
 Pasoen daoat meraih benda tinggi
 Pasien dapat mandi dan berpakaian secara mandiri
 Pasien dapat bersosialisasi kembali dengan masyarakat

I. Program intervensi fisioterapi


1. Komunikasi Terapeutik
Tujuan : Untuk memberikan motivasi dan semangat serta
mengurangi beban pikiran pasien.
2. Infra Red
o Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah, mengurangi kekauan
sendi dan keterbatan gerak
o Persipan alat : Pastikan alat tersambung dengan listrik dan kabel
dalam keadaan baik. Kemudian nyalakan alat dan
arahkan pada daerah yang ingin obati.
o Posisi pasien : Posisi pasien supine lying.
o Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed.
o Teknik : Bebaskan area yang akan diterapi dari pakaian
yang menghalangi. Atur jarak IR 30-45 cm dari
area permukaan kulit. Arahkan IR pada leher,
tangan, tungkai. Rapikan alat.
o Time : 10 - 15 menit

3. Electrical Stimulation
o Tujuan : Untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun
grup otot.
o Persiapan alat : Lakukan kalibrasi awal alat sebelum digunakan,
meliputi: cek kabel, pad elektroda,intensitas dan
ES sendiri.
22

o Persiapan pasien : Pasien tidur terlentang dan posisikan senyaman


mungkin sesuai pasien.
o Teknik Pelaksanaan :
a) Lakukan tes sensoris tajam tumpul pada ektremitas atas dan bawah
sisi kanan untuk mengetahui apakah pasien masih bisa merasakan
tajam atau tumpul. Pada test ini pasien bisa membedakan tajam dan
tumpul disemua ektremitas yang dilakukan test.
b) Kemudian minta ke pasien untuk menanggalkan pakaian atas dan
menggulung celana panjang pasien (sisi kanan).
c) Lalu jelaskan pada pasien bahwa yang akan dirasakan adalah seperti
tertusuk ringan disertai kontraksi otot.
d) Pad elektroda diletakan oleh terapis pada lengan dan tungkai pada
grup otot ekstensor pada anggota gerak atas dan bawah.
e) Lalu nyalakan ES dan naikkan intensitas sedikit demi sedikit sampai
ada kontraksi otot pada grup otot ekstensor.
f) Setiap satu grup otot ekstensor dilakukan 15 kali kontraksi dengan
dilakukan 2 kali putaran.
g) Jika terapi selesai segera matikan ES dan tata kembali seperti semula
sebelum digunakan.
o Dosis : frequency 50 Hz, modulasi 1 second

4. Teknik Mengubah Posisi (Positioning)

a. Tujuan
Sebagai mobilisasi pasien selama berada di tempat tidur agar
memperoleh kesejajaran tubuh yang tepat. Hal ini karena pasien
mengalami kelemahan serta kekakuan pada lengan dan tungkai sisi kanan
disebabkan adanya gangguan pada fungsi saraf pusat. Serta memberikan
rasa nyaman pada pasien, mempertahankan atau menjaga postur tubuh
tetap baik, menghindari komplikasi yang mungkin timbul akibat tirah
baring. Posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam bila tidak ada kontra
indikasi.
b. Teknik
1) Posisi Semi Fowler
 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
 Dudukkan pasien
 Berikan sandaran atau bantal pada tempat tidur pasien atau
atur tempat tidur.
23

 Untuk posisi semi fowler (30-45 derajat)


 Anjurkan pasien untuk berbaring setengah duduk
2) Posisi Side Lying
 Atur posisi pasien dalam keadaan tidur menghadap ke arah
lateral.
 Fleksikan elbow dan knee pasien.
 Letakkan bantal di bawah elbow dan knee pasien

5. Pasif Exercise
a. Tujuan :
Untuk melatih dan menghindari terjadinya kekakuan otot pasien
yang mengalami kelemahan.
b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed
c. Posisi fisioterapi : Berdiri di samping asien
d. Teknik : Fisioterapis menggerakkan lengan dan tungkai
pasien.
e. Dosis : 8 kali pengulangan

6. Aktif Exercise
a. Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang
mengalami kelemahan
b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed
c. Posisi fisioterapi : Berdiri di samping pasein
d. Teknik :
Minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih memerlukan bantuan dari fisioterapis.
e. Dosis : 8 kali pengulangan

J. Evaluasi Fisioterapi
Setelah melakukan terapi, kekakuan sendi tungkai sisi kanan berkurang,
peningkatan nilai MMT dari nilai 2 menjadi 3 pada tungkai sisi kanan.
Sedangkan untuk lengan sisi kanan nilai MMT masih bernilai 1, pasien belum
mampu menggerakkan lengan sisi kanan, hanya saja terasa kontraksi pada
ototnya ketika diminta menggerakkan.
24

BAB IV
PENUTUP

Cedera pada otak akibat benturan keras , salah satunya adalah subdural
hematoma, sering juga disebut perdarahan otak subdural, di mana kondisi
perdarahan berkumpul di antara dua lapisan otak, yaitu lapisan arachnoidal dan
lapisan dura (meningeal). Perdarahan tersebut manjadi penyebab utama terjadinya
hemiparesis, di mana jika satu tangan atau satu kaki atau satu sisi wajah menjadi
lemah, namun tak sepenuhnya lumpuh. Terkadang hemiparese mempengaruhi satu
tangan dan satu kaki di sisi tubuh yang sama. Jika kepala sisi kiri terbentur dan
mengenai otak, maka akan mengakibatkan kelemahan atau kelumpuhan pada sisi
tubuh sebelah kanan.

Dengan melakukan terapi yang rutin, dapat mencegah kelumpuhan secara


permanen dan dapat menambah kekuatan otot yang melemah. Meskipun pasien
tidak dapat beraktivitas secara normal dalam artian mengalami keterbatasan
bergerak, fisioterapis mengharapkan dengan intervensi fisioterapi, pasien mampu
hidup dengan mandiri.

Saran bagi pasien supaya melakukan home program yang diberikan oleh
fisioterapis, Seperti berjemur di pagi hari, agar sirkulasi darah berjalan dengan
lancar dan rutin melaksanakan terapi latihan pada lengan dan tungkai sisi kanan
tubuh saat di rumah dengan dibantu oleh keluarga. Hal ini diupayakan agar pasien
terbiasa bergerak.
25

DAFTAR PUSTAKA

Aras, Djohan, dkk. 2016. Physical Therapist Test and Measurement. Makassar :
Physio Care Publishing.
Ashadi, Arjun Gholpa. 2014. Naskah Publikasi “Penatalaksanaan Stimulasi
Elektis dan Terapi Latihan pada Hemiparese Sinistra Post Stroke Non
Hemoragik di RSUA Ponorogo”. Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Dedi. 2016. Pengaruh Pengaturan Posisi Miring Kanan dan Miring Kiri
Terhadap Nyeri Punggung Pada Pasien Post Kateterisasi Jantung. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Hernawati, Ika Yussi. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Pasca
Stroke Hemorage Dextra Stadium Recovery. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Justin Q, Maj. 2006. Subdural Hematoma. Military Medicine, Vol. 171, Hal 1-
5.
Kurniasari, Yuniarsa. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Hemiparese
Sinistra Dengan Modalitas Infrared dan Terapi Latihan di RSUD Salatiga.
Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oktaria, Gina. 2017. Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Proses
Penyembuhan Pasien Psikosis di UPT Bina Laras Provinsi Riau. Jom FISIP
Vol.4 No.2.
T. Juwono. 1996. Pemeriksaan Sistem Koordinasi. Dalam: Pemeriksaan Klinik
Neurologilk Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kajian Pustaka Alat Terapi Infra Merah
http://repository.umy.ac.id/bitsream/handle/123456789/12232/BAB
%252011.pdf
Jenis-Jenis Pemberian Posisi Tubuh Pada Pasien
https://www.slideshare.net/mobile/subjay/jenis-jenis-pemberian-posisi-tubuh-
pada-pasien-80547667 dilansir pada 7 maret 2019, 12.07 Wita.
26

Pemeriksaan Indeks ADL Barthel Benar


https://dokumen.tips/download/link/pemeriksaan-indeks-adl-barthel-benar
dilansir pada 6 Maret 2019, 20.14 Wita.
Penyakit Subdural Hematoma. https://hellosehat.com/penyakit/subdural-
hematoma/ dilansir pada 7 Maret 2019, 08.10 Wita.
Kelumpuhan Hemiplegia dan Hemiparesis akibat stroke.
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/stroke-2/kelumpuhan-hemiplegia-dan-
hemiparesis-akibat-stroke dilansir pada 7 Maret 2019, 08.33 Wita.

Anda mungkin juga menyukai