Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SKULL DEFECT


DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi dan Fisiologi


a. Tengkorak
Tulang tengkorak merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak,
terdiri tulang cranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapiyan, yaitu lapisan
luar, etmoid, dan lapisan dalam. Lapisan luar dan lapisan dalam merupakan struktur yang
kuat, sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa (Evelyn C Pearce,
2008).

b. Meningen
Selaput pembungkus otak paling luar. Jaringan gelatinoasa otak dan medulla spinalis
dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang, dan oleh tiga lapisan jaringan
penyambung yaitu piameter, arknoid dan durameter.

Gambar 1. (b) Hubungan antara otak, tulang tengkorak, dan meningen dilihat dari sisi lateral
(Sumber: Simon dan Schuster, Fundamentalof Anatomy dan Physiology, edisi 4, New Jerdey:
Prentice Hall, Inc., 1998 dalam Muttaqin, 2008:6)

1
1) Durameter, merupakan selaput yang keras, terdiri dari jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Durameter tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, sehingga terdpat ruang yang disebut subdural.
2) Arachnoid, merupakan lapisan tipis dan tembus pandang. Selaput ini dipisahkan
dari durameter oleh ruang potensial, disebt spatium subdural dan dari piameter oleh
ruang potensial, disebut spayium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid disebebkan akibat edera kepala
3) Piameter, merupakan lapisan yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Membran ini membungkus syaraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

c. Otak

Gambar 2. (a) Ringkasan fungsional bagian-bagian sistem saraf pusat (Sumber: Simon dan
Schuster, Fundamental of Anatomy and physiology, edisi 4, Ney Jerdey: Prentice Hall, Inc., 1998
dalam Muttaqin, 2008:5)
1) Serebrum, merupakan bagian otak yang paling besar dan menonjol. Disini terletak
pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga
mengatur proses penalaran, memori dan intelegensi.

2
Gambar 3. Bagian-bagian dari Serebrum
a) Lobus frontalis, mengerndalikan keahlian motorik, misalnya menulis,
memainkan alat musik, atau mengikat tali septau. Lobus frontalis mengatur
ekspresi wajah dan isyarat tangan.
b) Lobus parietalis, menggabungkan pesan dari bentuk, tekstur, bberat badan ke
dalam persepsi umum. Sejumlah kacil kemampuan matematika dan bahasa
berasal dari lobus ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada
ruang di sekitarnya dan meraakan posisi dari bagian tubuhnya.
c) Lobus temporalis, mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mngingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
mengahsilkan jalur emosional.
d) Lobus oksipitalis, untuk visual center.
2) Serebelum
Serebelum atau otak kecil terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Ada dua fungsi utama serebelum, meliputi: (1) mengatur
otot-otot postural tubuh dan (2) melakukan program akan gerakan-gerakan pada
keadaan sadar maupun bawah sadar. Serebelum merupakan pusat reflek yang
mengordinasidan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus, dan kekuatan
kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh (Price, 1995 dalam
Muttaqin, 2008:11).

3
Gambar 4. (e) Serebelum; (b) Potongan melintang permukaan superior (Sumber: Simon dan
Schuster, Fundamentalof Anatomy dan Physiology, edisi 4, New Jerdey: Prentice Hall, Inc., 1998
dalam Muttaqin, 2008:11)
3) Batang Otak
Bagian-bagian batang otak terdiri dari atas ke bawah adalah pons dan medula
oblongata.

Gambar 5. (f) Pons, medula oblongata, dan hubungannya dengan formasi retikularis. (a) Nuklei
yang berada dalam pons; (b) Nuklei yang berada dalam medula oblongata. (Sumber: Simon dan
Schuster, Fundamentalof Anatomy dan Physiology, edisi 4, New Jerdey: Prentice Hall, Inc., 1998
dalam Muttaqin, 2008:12)
a) Pons, merupakan serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta
menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata di
bawah. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus
saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat disini.
b) Medulla Oblongata, merupakan pusat reflek yang penting untuk jantung,
vasokonstriktor, pernapasan, bersih, batuk, menelan, pengeluaran air liur, dan

4
muntah. Semua jaras asendens dan desendens medula spinalis dapat terlihat
disini. Jaras-jaras ini menghantarkan tekanan, proprioseptif otot-otot sadar,
sensasi getar, dan diskriminasi taktil dua titik.

d. Syaraf-syaraf Otak.
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal.
1) Saraf Kranial
Saraf kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal, foramen).
Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka
romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III),
troklearis (IV), trigeminus (V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis
(VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).

Gambat 6. (a) Gambaran 12 saraf kranial


Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial
SARAF KOMPONEN FUNGSI
KRANIAL
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas,
konstriksi pupil, sebagian besar gerakan
ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter ( menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang
Sensorik ke lateral
- kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala,

5
mukosa mata, mukosa hidung dan
rongga mulut, lidah dan gigi
- reflex kornea atau reflex mengedip,
komponen sensorik dibawa oleh saraf
kranial V, respons motoric melalui saraf
kranial VI
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral

VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot


dahi, sekeliling mata serta mulut,
lakrimasi dan salivasi.
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa
manis, asam, asin)
VII Cabang Sensorik Keseimbangan
Vestibularis
vetibulokokleraris Sensorik Pendengaran
Cabang koklearis
IX Motorik Faring : menelan, reflex muntah
Glossofaringeus Parotis : salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa
pahit
X Vagus Motorik Faring : mnelan, reflex muntah, fonasi;
visera abdomen
Sensorik Faring, laring: reflex muntah, visera
leher, thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian
atas dari otot trapezius: pergerakan
kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sumber : Muttaqin, 2008: 17
2) Saraf Spinal
Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki panjang sekitar 45 cm dan lebar 14
mm. Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan foramen intervertebral tempat
keluarnya saraf-saraf tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar di antara
tulang oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang
saraf servikal (dan hanya 7 vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigeal. Fungsi masing-
masing saraf sspinal bergantung pada area yang diinersia oleh saraf spinal.

6
1.2 Definisi Penyakit
Skull defect merupakan suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya tulang
cranium/tulang. Skull effect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang
disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial,
atau juga bisa berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano, 1997). Skull defect dapat
terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan
juga skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.

1.3 Epidemiologi
Kematian akibat cedera kepala dari tahun ke tahun semakin meningkat,
pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang
semakin bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan harapan kita.
Angka kejadian cedera kepala 58% laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini
diakibatkan karena mobiliktas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah, selain itu penanganan terhadap penderita yang
belum sesuai dan rujukan yang terlambat akan menyebabkan penderita meninggal dunia
(Savitri, 2012).

1.4 Etiologi
Penyebab terjadinya skull defect diantara lain yaitu:
a. Fraktur cranium
b. Tumor
c. Penipisan tulang
d. Kelainan kongenital (enchephalocele)
e. Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
f. Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
g. Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
h. Reseksi tumor tengkorak
i. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

7
1.5 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Cedera kepala dibedakan
berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologi.
a. Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala dibagi menjadi cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera kepala
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau tertekan pukulan
benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,
2009).
b. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas nilai GCS. GCS
terdiri dari 3 komponenm yaitu:
Eye Membuka mata spontan 1
Buka mata dengan rangsangan suara 2
Buka mata dengan rangsangan nyeri 3
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 4
Verbal Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 1
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan ruang 2
Keluar kata-kata dengan rangsangan nyeri 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 4
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 5
Motorik Mengikuti perintah 1
Melokalisir rangsangan nyeri 2
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 3
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 4
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 5
Tida ada gerakan dengan rangsangan nyeri 6

1) Cedera kepala ringan: nilai GCS 13- 15, kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo, dan tidak ada penyerta
seperti fraktur tengkorak, kontusio/ hematoma.
2) Cedera kepala sedang : nilai GCS 9- 12, kehilangan kesadaran antara 30 menit-24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).
3) Cedera kepala berat : nilai GCS 3-8, hilang kesadaran lebh dari 24 jam, terjadi
kontusio serebral, laserasi, hematoma, dn edema serebral.

8
c. Berdasarkan Morfologi
1) Fraktru kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula tertutup atau terbuka.
2) Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau kedua betuk
cedera sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada
kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.

1.6 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan

9
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf
kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

1.7 Manifestasi Klinis


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
a. Bentuk kepala asimetris
b. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
c. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala yaitu berupa:
a. Perubahan kesadaran merupakan indikator paling sensitive yang dapat dilihat dengan
GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8.
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah, papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus, muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.

1.8 Pemeriksaan Penunujang


a. CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien dnegan
skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:

10
Gambar 7. CT scan skull defect
b. Foto polos kepala (X-ray)
Indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.

Gambar 8. X-ray skull defect


c. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Gambar 9. MRI skull defect

11
d. EEG (Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis

Gambar 10. EEG skull defect

1.9 Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam (cek TTV)
b. Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai peningkatan tekanan dalam rongga
kranialis. Kranium dan kanalis vertebralis yang utuh, bersama-sama dengan
durameter membentuk suatu wadah atau yang biasa disebut ruang intrakranial yang
ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial adalah sebagai berikut:
1) Hipertensi
2) Bradikardi
3) Papiledema
4) Muntah proyektil
5) Nyeri kepala
c. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
d. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
e. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
f. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
g. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
h. Pemberian obat-obat analgetik.
i. Pembedahan bila ada indikasi.

12
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan operasi
trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma)
dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Cranioplasty
adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastic
atau metal plate. Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi
diantara tulang dang dan lapisan duramater, Subdural Hematoa (SDH) atau
pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan
araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien
1) Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai
faktor
2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi
3) Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor
kondisi umum dan neurologis pasien. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan
pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.

1.10 Cranioplasty
1. Definisi
Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk memperbaiki
atau membentuk kembali penyimpangan atau ketidaksempurnaan dalam tengkorak.
Untuk memperbaiki cacat atau celah dalam tengkorak, dapat digunakan cangkok
tulang dari tempat lain di dalam tubuh atau bahan sintesis.

2. Indikasi
Beberapa faktor yang dapat ditangani dengan tindakan cranioplasty adalah:
- Premature closing dari sutura tengkorak atau craniosynostosis
- Tengkorak yang tidak berkembang

13
- Faktor genetik yang mengakibatikan cacat lahir
- Trauma
- Cacat tengkorak lain yang mengakibatkan lubang atau daerah sensitif pada
tengkorak
- Kelainan tengkorak yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi
penampilan
Cranioplasty umumnya dilakukan terhadap pasien yang mengalami cedera
traumatis. Dengan anak berusia kurang dari 3 tahun, growing skull fractures dan
anomali kongenital adalah penyebab umum. Pada semua kelompok umur,
pengangkatan tumor atau craniectomies decompressive adalah penyebab cacat
tengkorak yang paling sering terjadi. Tujuan cranioplasty bukan hanya masalah
kosmetik tetapi juga perbaikan dari cacat tengkorak memberikan bantuan kepada
kelemahan psikologis dan meningkatkan kinerja sosial. Selain itu, kejadian epilepsi
terbukti menurun setelah cranioplasty.
Kontraindikasi untuk cranioplasty adalah adanya hidrosefalus, infeksi, dan
pembengkakan otak. Pada anak-anak di bawah usia 4 tahun, jika dura mater utuh,
tengkorak dapat menutup dengan sendirinya. Saat menunggu untuk melakukan
cranioplasty, penting untuk mencegah perkembangan autograft devitalizedatau
allograft infeksi. Biasanya operasi rekosntruktif dilakukan setelah 3 sampai 6 bulan.
Namun, jika ada daerah yang mengalami infeksi, masa tunggu ini bisa selama satu
tahun.
Beberapa alasan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan cranioplasty
antara lain :
a. Kosmetik : akibat terdapat lubang di kepala yang menggangu penampilan
b. Protection : Untuk melindungi otak yang terekspose sehingga mengurangi
kerusakan berlanjut pada bagian otak tersebut.
c. Nyeri Kepala : Nyeri kepala dapat timbul jika tulang tengkorak yang telah di angkat
tidak digantikan dengan tulang baru.
d. Fungsi Neurologis: Pada beberapa pasien dapat mengalami perbaikan yang nyata
dalam fungsi neurologis jika tulang di ganti.

14
3. Tehnik Operasi

a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di
bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik,
sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma
sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus
sampai dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.

15
e. Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan
fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT
scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling
dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi
dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari

16
tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut
kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari
bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber
perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan
dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla-
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian
bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat
dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut
tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai
pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi
yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh
darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak
ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang
direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter
bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak

17
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
a) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
b) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c) Pasang drain subgaleal.
d) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e) Jahit kulit dengan silk 3.0.
f) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f. Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang
yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan
untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan
sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah
berdekatan untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.

4. Komplikasi Post Operasi


a. Edema cerebral.
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
c. Hypovolemik syok.
d. Hydrocephalus.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
b. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
c. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh
darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini
d. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram

18
positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan
antiseptik

19
1.11 Clinical Pathway

Cedera otak primer Cedera otak skunder

Terputusnya kontinuitas atau pengikisan tulang kranium

SKULL DEFECT

Kerusakan kontinuitas, jaringan, kulit,


Risiko Perdarahan Nyeri Akut
otot, laserasi, dan pembuluh dara serebral

Perdarahan otam/ Gangguan


Penurunan asupan 02
hematom integritas kulit
jaringan otak

Perubahan sirkulasi Risiko Infeksi


CSS Kerusakan jaringan otak
Risiko
Ketidakefektifan Menurunnya fungsi Kerusakan
Peningkatan TIK Perfusi Jaringan fisiologis jaringan otak Memori
Otak
Hipoksia otak
Defisit pengetahuan
Risiko Cedera Ansietas

PROSEDUR PEMBEDAHAN

Pre-pembedahan Intra-pembedahan Post-pembedahan

Ansietas Risiko Syok Prosedur invasif

Diskontinuitas jaringan
pembuluh darah dan
syaraf

Jalan masuk
mikroorganisme/patogen Nyeri Akut

Risiko Infeksi

20
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
A. Identitas
1. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan,
golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis
medis.
2. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan rangkaian kejadian mulai dari terjadinya trauma sehingga
pasien masuk rumah sakit.
3. Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan.
4. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan
tingkat kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik,
kejang, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat
digunakan untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari
PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati
nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (regio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?

21
5. Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain.

B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB,
2) Kesadaran :Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS)
Eye Membuka mata spontan 1
Buka mata dengan rangsangan suara 2
Buka mata dengan rangsangan nyeri 3
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 4
Verbal Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 1
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan ruang 2
Keluar kata-kata dengan rangsangan nyeri 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 4
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 5
Motorik Mengikuti perintah 1
Melokalisir rangsangan nyeri 2
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 3
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 4
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 5
Tida ada gerakan dengan rangsangan nyeri 6

3) Pemeriksaan head to toe


a) Kepala dan rambut
Dikaji bentuk kepala, kesemetrisan, keadaan kulit kepala.
b) Wajah
Struktur wajah, warna kulit, ekspresi.
c) Mata
Bentuk bola mata,ada tidaknya gerakan kelainan pada bola mata.
d) Hidung
Kesemetrisan, kebersihan.
e) Telinga
Kesimetrisan, kebersihan dan tidaknya kelainan fungsi pendengaran.
f) Mulut dan bibir
Kesemetrisan bibir, kelembaban, mukosa, kebersihan mulut.

22
g) Gigi
Jumlah gigi lengkap atau tidak, kebersihan, ada tidaknya peradangan
pada gusi, ada tidaknya caries.
h) Leher
Posisi trakea (deviasi trachea), ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid
atau vena jugularis.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,
perubahan bentuk dan warna pada kulit.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing.
k) Abdomen
Ada tidaknya distensi abdomen, asites, nyeri tekan.
l) Ektremitas atas dan bawah
Kesemetrisannya, ada tidaknya oedema, pergerakan dan tonus otot,
serta kebersihan.

2.2 Diagnosa Keperawatan


Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan
Intra Operasi
1. Resiko perdarahan berhubungan dengan luka insisi pembedahan
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Kerusakan integritas jaringan

23
2.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria hasil Intervensi (NIC)
Pre-Operasi
1. Nyeri Akut berhubungan NOC : Perilaku Kriteria hasil : Manajemen Nyeri (1400):
dengan peningkatan TIK Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan 1. Kaji lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
mengalami nyeri atau minimalnya bukti- pencetus
nyeri menurun sampai bukti 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
tingkat yang dapat ketidaknyamanan ketidaknyamanan
diterima pasien b. TIK dalam batas 3. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam
a. Kontrol nyeri normal untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai
b. Tingkat nyeri c. Tidak menunjukkan dengan kebutuhan pasien
bukti-bukti 4. Ajarkan metode untuk emnurunkan nyeri
peningkatan TIK 5. Dukung tidur/istirahat yang adekua untuk
d. Belajar dan membantu penurunan nyeri
mengimplementasika 6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
n strategi koping pemberian analgesik
yang efektif. 7. Libatkan keluarga dalam modalitas penurunan
nyeri, jika memungkinkan
8. Monitor kepuasan pasien terhadap menajemen
nyeri
2. Resiko cedera NOC : Keamanan Sosial Kriteria hasil : Mencegah Jatuh:
berhubungan dengan Tujuan : Pasien tidak a. Bebas dari cedera 1. Tekankan pentingnya mematuhi program
perubahan fungsi mengalami cedera b. Pasien dan keluarga terapeutik
neurologis menyetujui aktivitas 2. Dampingi pasien selama aktivitas yang diijinkan
atau modifikasi 3. Jaga agar penghalang tempat tidur tetap terpasang
aktivitas yang tepat 4. Bantu ambulasi dan aktivitas hidup sehari-hari
dengan tepat

24
3. Ansietas berhubungan NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : Enhancement Coping:
dengan defisit Tujuan : Setelah a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi
pengetahuan dilakukan tindakan kecemasan diagnosis, treatment dan prognosis
keperawatan diharapkan b. Rencanakan strategi 2. Tetap dampingi kien untuk menjaga keselamatan
kecemasan hilang atau koping untuk pasien dan mengurangi
berkurang. mengurangi stress 3. Instruksikan pasien untuk melakukan ternik
c. Gunakan teknik relaksasi
relaksasi untuk 4. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang
mengurangi menimbulkan ansietas.
kecemasan
d. Kondisikan
lingkungan nyaman
Intra-operasi
4. Resiko perdarahan Setelah dilakukan Kriteria Hasil : Pencegahan Perdarahan (4010)
berhubungan luka insisi perawatan selama .... x a. Kehilangan darah 1. Monitor ketat tanda-tanda terjadinya
pembedahan 24 jam maka pasien yang terlihat perdarahan
menunjukkan indikator: b. Tekanan darah 2. Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum
a. Blood lose severity dalam batas normal dan sesudah terjadìnya perdarahan
b. Blood koagulation sistol dan diastol 3. Monitor nilai lab (koagulasi darah) yang meliputi
c. Tidak ada ditensi Protombin time, Parsial Tromboplastin Time,
abdominal trombosit
d. Hemoglobin dan
4. hematrokrit
Monitor TTV dalam
ortostatik,
batas normal
termasuk TD
Plasma, PT, PTT dalam 5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif
batas normal 6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah
(platelet atau fresh frozen plasma)
7. Lindungi pasien dari trauma yang
dapat menyebabkan perdarahan
8. Hindari mengukur suhu lewat rectal

25
9. Hindari pemberian aspirin dan anticoagulant
10. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake
makanan yang banyak mengandung vitamin K
11. Hindari terjadinya konstipasi dengan
menganjurkan untuk mempertahankan intake
cairan yang adekuat dan pelembut feses
Post-operasi
5. Nyeri Akut berhubungan NOC : Perilaku Kriteria hasil : Manajemen Nyeri (1400):
dengan agen cedera fisik Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan 1. Kaji lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
mengalami nyeri atau minimalnya bukti- pencetus
nyeri menurun sampai bukti 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
tingkat yang dapat ketidaknyamanan ketidaknyamanan
diterima pasien b. TIK dalam batas 3. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam
normal untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai
c. Tidak menunjukkan dengan kebutuhan pasien
bukti-bukti 4. Ajarkan metode untuk emnurunkan nyeri
peningkatan TIK 5. Dukung tidur/istirahat yang adekua untuk
d. Belajar dan membantu penurunan nyeri
mengimplementasika 6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
n strategi koping pemberian analgesik
yang efektif. 7. Libatkan keluarga dalam modalitas penurunan
nyeri, jika memungkinkan
8. Monitor kepuasan pasien terhadap menajemen
nyeri
6. Resiko Infeksi Setelah dilakukan Kontrol resiko proses Kontrol Infeksi
intervensi keperawatan infeksi (1924) : Kontrol Infeksi (6540):
selama 3x24 jam, maka 1. Mengidentifikasi 1. Batasi jumlah pengunjung

26
tingkat infeksi berkurang faktor resiko 2. Anjurka pengunjung untuk mencuci tanagn pada saat
dengan kriteria hasil: infeksi memasuki dan meninggalkan ruangan pasien
a. Tidak ada tanda-tanda 2. Mengetahui 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawtaan
infeski konsekuensi pasien
b. Suhu tubuh dalam batas terkait infeksi 4. Pertahankan teknik aseptik
normal 5. Tingkakan intake nutrisi
3. Mengidentifikasi
6. Dorong intake cairan yang sesuai
tanda dan gejala 7. Dorong untuk beristirahat berikan terapi antibiotik yang
infeksi sesuai
4. Memonitor faktor
lingkungan yang
berhubungan
dengan resiko
infeksi
7. Kerusakan integritas Setelah dilakukan Wound healing Wound care
jaringan berhubungan perawatan selama 1 x 24 a) Menunjukkan terjadi 1. Jaga kulit sekitar luka tetap bersih dan kering
dengan post operasi jam maka kerusakan proses penyembuhan 2. Lakukan perawatan luka secara steril
drainase integritas jaringan tidak luka 3. Observasi keadaan luka meliputi lokasi,
terjadi b) Perfusi jaringan kedalaman, ukuran, karakteristik, warna cairan,
sekitar luka normal nekrotik, epitelisasi, granulasi dan tanda-tanda
infeksi lokal
4. Berikan posisi yang mengurang tekanan pada
area luka
5. Gunakan dressing sesuai indikasi

27
2.4 Evaluasi
1. Tidak ada tanda peningkatan TIK
2. Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi,
perhatian dan orientasi baik
3. Peningkatan tingkat kesadaran (GCS 15, tidak ada gerakan involunter
4 . TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-

100x/mnt, Suhu 36,5-37,5oC)


5. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
6. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
7 . Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
8 . Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

2.5 Discharge Planning


Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informai yang harus disiapkan/ diberikan kepada pasien
dan keluarga adalah:
a. Pengertian dari penyakit skull defect
b. Penjelasan tentang penyebab skull defect
c. Tanda dan gejala tentang skull defect
d. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat
apabila ada keluhan
e. Keluarga harus mendorong pasien dalam menaati program pemulihan
kesehatan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.


Mosby: Elsevier.

Herdman, T. Heather. 2018. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2018-202. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3


volume 8. Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai