Anda di halaman 1dari 39

SKENARIO 2

BLOK EMERGENCY
SASARAN BELAJAR :
1. Memahami & menjelaskan Cranium dan cerebrum
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Klasifikasi
1.4 Patofisiologi
1.5 Manifestasi klinis
1.6 Diagnosis & Diagnosis banding
1.7 Tatalaksana
1.8 Komplikasi
1.9 Prognosis

2. Memahami & menjelaskan perdarahan Intrakranial


2.1 Subdural
2.2 Epidural
2.3 Cerebral
3. Memahami & menjelaskan fraktur bassis Cranium
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Manifestasi klinis
3.4 Tatalaksana

4. Memahami & menjelaskan Sindrom Cushing

SASARAN BELAJAR :

NAMA : CHOIRUL AKBAR


NPM : 1102010056
KELOMPOK : A-3

1. Memahami & menjelaskan Cranium dan cerebrum


1.1 Cranium
A. Tulang Kepala (Os. Cranium)
1. Gubah tengkorak yang terdiri atas tulang-tulang seperti :
a. Os frontal (tulang dahi)
b. Os parietal (tulang ubun-ubun)
c. Os Occipital (tulang kepala bagian belakang)
2. Dasar tengkorak, yang terdiri dari tulang-tulang seperti :
a. Os Sfenoidalis (tulang baji), tulang yang terdapat ditengah-tengah dasar
tengkorak dan berbentuk seperti kupu-kupu, dengan tiga pasang sayap.
b. Os Ethimoidalis (tulang tapis), terletak disebelah depan dari os sfenoidal
diantara lekuk mata.
Selain kedua tulang tersebut diatas dasar tengkorak dibentuk pula oleh tulangtulang lain seperti : tulang kepala belakang, tulang dahi dan tulang pelipis.
3. Samping tengkorak, dibentuk oleh tulang-tulang seperti :
a. Tulang pelipis ( os Temporal )
b. Sebagian tulang dahi
c. Tulang ubun-ubun
d. Tulang baji.
anterior view

lateral view

*Os. Cranium tersusun atas:


1 tulang dahi (os.frontale)
2 tulang ubun-ubun (os.parietale)
1 tulang kepala belakang (os.occipitale)
2 tulang baji (os.sphenoidale)
2 tulang pelipis (os.temporale)
2 tulang tapis (os.ethmoidale)
*Sutura
Tulang-tulang tengkorak kepala dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi
yang disebut sutura. Sutura-sutura tersebut adalah :
1) Sutura coronalis yang menghubungkan antara os frontal dan os parietal.
2) Sutura sagitalis yang menghubungkan antara os parietal kiri dan kanan.
3) Sutura lambdoidea/ lambdoidalis yang menghubungkan antara os parietal dan
os occipital.
.

tulang wajah

*Bagian muka/wajah
2 tulang rahang atas (os.maxilla)
2 tulang rahang bawah (os.mandibula)
2 tulang pipi (os.zygomaticum)
2 tulang langit-langit (os.pallatum)
2 tulang hidung (os.nasale)
2 tulang mata (os.laximale)
1 tulang lidah (os.hyoideum)
2 tulang air mata (os.lacrimale)
2 tulang rongga mata (os.orbitale)

(os.splanchocranium)

4. Tengkorak wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tengkorak wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).
Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:

Bagian hidung terdiri atas :


1) Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di
sudut mata.
2) Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas
3) Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung danj
bentuknya berlipat-lipat.
Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang
tegak.
Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
1) Os Maksilaris (tulang rahang atas)
2) Os Zigomaticum, tulangpipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan.
3) Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua bua tulang kiri dan
kanan
4) Os Mandibularis atau tulang rahang bawah , terdiri dari dua bagian yaitu bagian
kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.

1.2 Cerebrum

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
2. Cerebellum (Otak Kecil)

3. Brainstem (Batang Otak)


4. Limbic System (Sistem Limbik)
Cerebrum adalah
a. Cerebrum (otak besar) adalah bagian otak yang mengontrol pikiran, nalar, dan indera.
b. Sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada
juga beberapa gerakan refleks otak.
c. Struktur sistem saraf yang terbesar dan paling rumit
d. Anterior bagian otak yang terdiri dari dua hemispheres;
dominan bagian otak pada manusia.
e. Salah 1 organ penyusun SSP (Sistem Saraf Pusat).
f. Bagian terbesar dari otak kita. Ia menempati 85 persen dari otak keseluruhan dan menjadi
pusat terjadinya proses berpikirnya manusia. Contohnya saat kita menyelesaikan PR
matematika, bermain game atau apapun yang membutuhkan pemikiran berlangsung di dalam
bagian otak ini. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang karena bagian otak ini
menempati sebagian kecil saja di dalam otak binatang.
g. Otak merupakan bagian dari sistem saraf pusat dan terletak di dalam rongga tengkorak dan
merupakan massa paling besar pada jaringan saraf dalam tubuh yang berisi milyaran sel-sel
saraf.

C. Bagian - Bagian Cerebrum


Berupa :
a. Kortex cerebri : berupa substansia grisea (kelabu : banyaknya sel bodi, vaskularisasi & tak
mengandung neurit bermyelin)
b. Substansia medularis / substansia alba .
Cerebrum terdiri dari :
a) Cortex (permukaan luar) :
Gyri (gyrus): lembah/puncak
Sulci (sulcus): parit/dataran rendah
Fissure: sulcus yg sgt dalam
Tanda yang sgt jelas: fissura longitudinal, fissura lateralis, fissura centralis
b) Dua bagian hemisfer cerebri

Dibagi oleh fissura longitudinalis


Dihubungkan oleh corpus callosum (sistem serabut saraf)
Dibagi 4 lobus :
1. Frontalis
2. Parietalis
3. Temporalis
4. Occipitalis

LOBUS FRONTALIS
Lobus frontalis: Fungsi motorik
anterior sulcus sentralis
Gyrus precentralis: kortteks motor primer:
mengantur sisi contralateral
organisasi somatotopik; motor homunculus
mnegatur gerakan yang disadari & trampil
ke arah lebih anterior / rostral:
Korteks premotor & supplementary motor area:
Bilateral representation, gerakan kurang trampil , mengatur postur
berhubungan dg korteks motor primer via serabut assosiasi
Area Brocas area: area bicara motorik co-ordination dg pengucapan
Paling anterior / rostral part: korteks prefrontal
Kaya koneksi dg lobus lain
Tingkat fungsi kognitif / intellektual yang tinggi
Korteks frontalis merupakan area motorik primer yaitu area 4 Broddman yang bertanggung
jawab untuk gerakan-gerakan voluntar. Area matorik primer ini terletak sepanjang garis
presentalis (didepan siklus sentralis).korteks premotorik, area 6, bertanggung jawab atas
garakan terlatih (menulis, mengemudi, mengetik). Area 8 Broddman dinamakan lapang
pandang frontal dan bersama area 6, bertanggung jawab atas gerakan-gerakan menyidik

voluntar dan deviasi konjugat dari mata dan kepala. Gerakan mara voluntar mendapat input
dari area 4, 6, 8, 9, dan 46.
Area 44 dan 45 (Area bicara motorik Brocca)bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik
berbicara.Area preprontalis ( area 9-12) merupakan area yang berkaitan dengan kepribadian,
mengontrol emosi, penilaian, penaksiran, tingkah laku yang dipelajari dan pengembangan
pikiran.
Control the movement on the opposite side of the body predominantly via the pre-central
gyrus. In the dominant hemisphere the lower region of the frontal lobe immediately in front
of the pre-central gyrus controls the expression of speech. Damage to both frontal lobes may
produce an alteration in personality, a loss of normal inhibitions and incontinence.

LOBUS PARIETALIS
Gyrus postcentral : korteks somatosensori primer
Sentuhan lembut propriocepsi, tekanan, nyeri, dan suhu,sensai umum di kepala
sensory homunculus (disproportionasi representation)
posterior: korteks assosiasi cortex:
interpretasi infoemasi sensoris umum
Kesadaran pada sebagian kontralateral
lesi menyebabkan sensory neglect.
Mempunyai peranan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang
lebih tinggi tinggatannya.
(1). Area somestetik primer (area 1-3) terletak pada girus post sentralis, area ini menerima
input sensasi mayor seperti rasa nyeri, suhu, sentuhan dan vibrasi serta posisi dari sisi
kontralateral tubuh.
(2). Area yang berhubungan dengan sensori/asosiasi (area 5-7)terletak pada lobus pariental
superior dan meluas sampai permukaan medial hemisfer, fungsi utama dari area ini adalah
mengintegrasikan informasi sensorik,misalny ukuran, bentuk, dan tekstur objek
LOBUS TEMPORALIS
Lobus Temporal : Fungsi Auditory & memory
Gyrys temporalis Superior : korteks auditory primer
representasi suara
persepsi sadar akan suara (bilateral)

input: thalamus (nukleus geniculatum medial )


Posterior: corteks asosiasi auditory (proses auditory lebih lanjut) dan area Wernicke (
pemahaman akan bahasa ).
Lobus temporalis media :bagian dari sistem limbic
Area sensoris reseptif untuk impuls pendengaran. Korteks pendengaran primer (area 41 dan
42) berfungsi sebagai penerima suara, sedangkan korteks asosiasi berfungsi untuk memahami
bahasa ucapan dan diperlukan untuk proses pemahaman yang dikenal dengan area wernicke
(area 22) lobus temporal juga mempunyai peran dalam proses ingatan tertentu atau memori.
LOBUS OCCIPITALIS
Lobus Occipitalis : Visual
Permukaan medial : corteks visual primer (corteks striata)
input: thalamus (nucleus geniculatum laterale)
representasi kontralateral
sisanya : corteks asosiasi visual : interpretasi thd rangsang
Lobus oksipital mengandung korteks penglihatan primer (area 17) yang menerima informasi
penglihatan dan menyadari sensasi warna. Korteks visual primer dikelilingi oleh korteks
asosiasi visual (area 18 dan 19), dimana informasi-informasi penglihatan menjadi berarti dan
memegang peranan dalam refleks gerakan mata, apabila sedang memandang atau mengikuti
suatu objek.
Di samping keempat lobus, kadang-kadang disebutkan dua lobus lainnya, yaitu insula (lobus
sentral) dan diencephalon yang berperan dalam penciuman, emosi, perilaku dan respon
seksual serta beberapa reflek viseral. Pada setiap hemisfer cerebrum terdapat ganglia basalis
berperan dalam mempengaruhi tonus dan sikap tubuh dan menyatukan gerakan-gerakan otototot sadar utama.

Sulcus yang penting :


1. Sulcus centralis, memisahkan lobus frontalis dari lobus parietalis.
2. Sulcus cerebri lateralis, memisahkan lobus frontalis dari lobus temporalis.
3. Sulcus parieto-occipital, memisahkan lobus parietalis dari lobus occipitalis.

Pertumbuhan cerebrum :

1. Pertumbuhan gray matter lebih cepat dari pada white matter, sehingga regio cortek
menggulung dan melipat. Lipatan ini disebut gyri atau convulotion.
2. Celah yang paling dalam, diantara lipatan disebut fissure, celah yang lebih dangkal
diantara lipatan-lipatan disebut sulci.

D. Fungsi Cerebrum :
Funsi dari cerebrum adalah :
Mempunyai kedudukan penting dalam intelligensi, memberikan kemampuan untuk :
a. Membaca, menulis dan berbicara,
b. Membuat kalkulasi.
c. Mengarang musik
d. Kemampuan untuk mengingat masa lalu, rencana kedepan dan imaginasi barang-barang
yang belum pernah ada.
Mengatur kerjasama untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan.
Cerebrum sebelah kanan berfungsi untuk mengontrol bagian badan sebelah kiri dan
membantu dalam hal berpikir abstrak, contohnya musik, warna, bentuk. Sedangkan bagian
sebelah kiri cerebrum berfungsi untuk mengontrol bagian badan sebelah kanan dan
membantu berpikir analisis seperti matematika, logika, dan berbicara.
Cerebrum memiliki beberapa fungsi. Salah satu fungsinya adalah menyimpan pesan.
Biasanya fungsi ini disebut memori. Cerebrum menerima pesan dari seluruh
alat indera, misalnya bunyi yang mungkin diinterpretasikan sebagai musik, ketawa, atau
bunyi peluit. Penglihatan mungkin diinterpretasikan sebagai warna bunga yang cerah atau
awan yang gelap.
Cerebrum juga merupakan pusat kontrol otot. Pesan untuk gerakan tangan dan kaki dimulai
dari cerebrum. Pesan tentang sakit atau sentuhan berakhir pada cerebrum.
Cerebrum juga mengontrol kepribadian beberapa fungsi cerebrum bersifat sadar.
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas mental, yaitu yang berkaitan
dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan.
Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area
sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar
atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor
dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat
kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang

mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat
proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan
terdapat di bagian belakang.
2. Diensefalon( Diencephalon, Interbrain )
Diensefalon satu ini terdiri dari :
Mid-diencephalic Territory
Hipotalamus, yaitu pusat pengendalian waktu biologis, suhu tubuh dan sekresi hormon.
Epitalamus
Pretektum

3. Otak Tengah ( Mesencephalon )


Otak tengah terdiri dari :
Tektum, yang memiliki syaraf pengatur proses pendengaran dan proses penglihatan.
Cerebral Peduncle, yang terlibat dalam system homeostasis dan lintasan refleks.

4. Otak Belakang ( Myelencephalon, Metencephalon, Rhombencephalon )


Otak belakang terdiri dari jembatan varol, sumsum lanjutan dan otak kecil yang membentuk
sebuah brainstem atau disebut juga batang otak. Jembatan varol adalah syaraf penghubung
lobus kiri dan kanan otak kecil serta penghubung otak kecil dan otak besar. Sumsum lanjutan
otak kecil berfungsi untuk mengontrol saluran pernafasan, mengatur laju denyut jantung,
pusat refleks fisiologi, tekanan udara, suhu tubuh dan sebagainya.

5. Otak Kecil ( Cerebellum )


Cerebellum adalah bagian terbesar dari otak belakang. Cerebellum otak ini terdiri dari dua
belahan dengan permukaan yang berlekuk. Fungsi cerebellum antara lain mengatur sikap dan
posisi tubuh, keseimbangan dan koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar.
2.Memahami & menjelaskan perdarahan Intrakranial
2.1 Subdural

Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan
subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus
venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Gambar CT SCAN Subdural hematom


Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
1. Diskrasia darah.
2. Terapi antikoagulan
Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera
kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural

sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih
tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural,
gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma
ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada
yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea.
Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan
volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens
Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecah dan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral
dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam
exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan
kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang
riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana

biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami
atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan
burr-hole saja).
Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
2.2 Epidural
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari
perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai
dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.(1,3,5)

Gambar CT SCAN Epidural hematom


Etiologi
1.
2.
3.
4.

Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi : (5)


Trauma kepala
Sobekan a/v meningea mediana
Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak
yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh
regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara.(1,3)

Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya
disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
(1,3)
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial

linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati
lekukan minengeal pada squama temporal.
Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan
yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak
ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam
cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma
dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari
interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal
dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa
pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma
yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom

- Kraniotomi-evakuasi hematom
Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan
ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada
kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
2. Kompresi batang otak meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
1.
2.
3.
4.

Mortalitas 20% -30%


Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
Sembuh tanpa defisit neurologik
Hidup dalam kondisi status vegetatif
3.3 Intracerebral

INTRASEREBRAL HEMATOM
Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik
merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan
rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa
centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi
otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

Gambar CT SCAN Intraserebral hematom


Etiologi

Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :


1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia
basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom
ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca
cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak
diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial

nyeri kepala mendadak


penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
Nyeri kepala akut.
Penurunan kesadaran.
Ataksia

Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.


Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
Penurunan kesadaran koma.
Tetraparesa
Respirasi irreguler
Pupil pint point
Pireksia
Gerakan mata diskonjugat.

Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus
diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas
dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan
intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi
tekanan intrakranial karena terapi medis

Konservatif
Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
Bila perdarahan pons batang otak.

Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
Komplikasi Dan Outcome
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;
1. Oedem serebri, pembengkakan otak
2. Kompresi batang otak, meninggal
Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :
1. Mortalitas 20%-30%
2. Sembuh tanpa defisit neurologis
1. Sembuh denga defisit neurologis
2. Hidup dalam kondisi status vegetatif.
IV. PEMERIKSAAN KLINIS CEDERA KEPALA
Pemeriksaan klinis merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi
diagnostik penderita-penderita cedera kepala, dimana dengan
pemeriksaan=pemeriksaan serial yang cepat tepa dan noninvasif diharapkan dapat
nenunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan
tersebut. Sehubungan tinnginya insidensi kelainan / cedera sistemik penyerta (lebih

dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka perlu diperhatikan hal hal
sebagai berikut ;

1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan skala Glasgow (GCS Glasgow coma Scale). Skala
ini merupakan gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsionil korteks
serebral berdasarkan respon verbal, motorik dan mata penderita.
Respon motor terbaik
6
5
4
3
2
1

Mengikuti perintah
Terlokalisasi pada rasa sakit
Terjadi efek penarikan dari rasa sakit
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada pergerakan

Respon verbal terbaik


5
4
3
2

Terorientasi dan tepat


Percakapan yang membingungkan
Tidak tepat
Suara yang tidak dapat dimengerti

Tidak

Pembukaan mata
4
3
2
1

Spontan
Terhadap pembicaraan
Terhadap rasa sakit
Tidak ada pembukaan mata

2. Gerakan bola mata


Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang
otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola
mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan
kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai
gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
1. Pupil
Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah
pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan
perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi
saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.
Perubahan pupil pada hematom epidural dapat dilihat dari
tabel

1. Fungsi motorik
Biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit mendapatkan
penilaian akurat dari penderita dengan penurunan kesadaran. Masing-masing
ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai berikut:
Normal : 5
Menurun moderat : 4
Menurun berat (dapat melawan gravitasi) : 3
Tidak dapat melawan gravirasi : 2
Sedikit bergerak : 1
Tidak ada pergerakan : 0

Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak.

1.

2.

3.

4.

Cedera kepala di area intrakranial


Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera
otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi:
Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH)
adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut Perdarahan subdural
akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan
otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada
perdarahan epidural.
Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom kronik adalah
terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural
hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di
ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan
darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks)
dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi
atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi
membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar
membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala,
bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan
otorik dan kejang.
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) Intra cerebral
hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam
parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara
parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan
deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak
lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma
yang dialami.
5. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) Perdarahan subarahnoit diakibatkan
oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah
tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai
perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan
pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan
memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas
dengan manifestasi edema cerebri.
Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011):
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah
terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan
deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari
permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh darah
dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya
sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan
karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.

Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera
kepala difus dikelompokkan menjadi.
1. Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI Difus axonal injury adalah
keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak
dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan
inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti
permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini
lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
2. Kontsuio cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang
disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi
penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal
tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak
yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan
dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
3. Edema cerebri Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma
kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun
terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral

lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya


renjatan hipovolemik.
4. Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak
berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif)
dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
3. Memahami & menjelaskan fraktur bassis Cranium
3.1 Definisi
fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. Fraktur basis cranii
dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

3.2 Patofisiologi
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari
tulang
tengkorak
fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini
dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya
melalui
sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya
disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari
basis
cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari
fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os
temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat
berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di
fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.

Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan.
Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak
dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi
ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis
ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi
fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera
ligamentum yakni
:
1. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur
kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
2. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi
fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih
utuhnya
ligamentum alae
dan
membran
tectorial.
3. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya
menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki
prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe
ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII. 2

3.3 Etiologi
Cedera Kepala Berdasarkan Mekanismenya
Cedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI, 2004).

Cedera Kepala Berdasarkan Morfologinya


Berdasarkan morfologi cedera kepala, dibedakan menjadi (Cedera kepala menurut
Tandian, 2011):
Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp
terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan
perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan
perdarahan yang cukup banyak.
Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup
besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen
fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid
dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula
eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang
sehat.
Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan
letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan
tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria

dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah
kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan
klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan batles sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini
juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan
saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan
peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,
mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar
lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT)
pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala
miring ke posisi yang sehat.
3.4 Manifestasi klinis & pemeriksaan penunjang

Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon
eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat
diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis
(nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan
pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan
radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur
pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CTscan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan
tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur
depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau
osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya
fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada
cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan

rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi tidak diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang
tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada
tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan
jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu halo
atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar
glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion
Fe.
3.5 Tatalaksana
Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose
secara radiologis oleh karena:

Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya
tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada
cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan gangguan
pernafasan
Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah
penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:

Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,


mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrheapenderita tidur
dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.
Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis
masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan
antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan
diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian
kami batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.
Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi:

Mengingoensefalitis
abses serebri.
Lesi nervii cranialis permanen

Liquorrhea.
CCF (Carotis cavernous fistula).
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:

Airway
Breathing
Circulasi
Disability
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :

Kepla miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal
antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28
35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang
berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri
Oksigen masker 8 liter/ menit.
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :

Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.


Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak
pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka
kematian 2 X
Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:

Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale


Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun konsensual./tidak langsung
Periksa adanya hemiparese/plegi
Periksa adanya reflek patologis kanan kiri

Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

Indikasi CT Scan
Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia/ anti muntah

Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapatnya lesi


intrakranial dibandingkan dengan kejang general

Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor-faktor ekstracranial telah disingkirkan


(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll)

Adanya lateralisasi

Adanya Fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS

Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X/menit)


Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)

Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15)

Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri)

Adanya gangguan fokal neurologis (Hemiparese/plegi, kejang-kejang, pupil


anisokor)

Nyeri kepala, mual-mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan
telah diberikan obat anlgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan

Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemeriksaan foto kepala

Klinis adanya tanda-tanda patah tulang dasar tengkorak.

Luka tusuk atau luka tembak

Adanya benda asing (corpus alienum)

Penderita disertai mabuk

Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan
faal pembekuan.

Indikasi sosial: (a) Tidak ada yang mengawasi di rumah jika dipulangkan, (b)
Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan
menyulitkan penderita.

Pada saat penderita dipulangkan harus diberi advice (lembar penjelasan) apabila terdapat
gejala seperti ini harus segera dipulangkan :

Mual-muntah serta sakit kepala yang menetap


Terjadinya penurunan kesadaran
Penderita mengalami kejang-kejang
Gelisah
Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selam kurang lebih 2 X 24 jam dengan
cara membangunkan tiap 2 jam

Perawatan di rumah sakit


1. GCS 13 15

Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS
Dr Soetomo Surabaya digunakan D5% 1/2 salin kira-kira 1500 2000 cc/24 jam untuk
orang dewasa

Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika penderita tetap muntah harus


dipuasakan selama 6 jam, jika tidak muntah dicoba minum sedikit-sedikit (Pada
penderita yang tetap sadar)

Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6


jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian kemudian duduk penuh dan
dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15)

Jika memungkinkan dapat diberikan obat neurotropik,seperti : Citicholine, dengan


dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari

Minimal penderita MRS selam 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur-angsur berkurang sampai
48 jam pertama
2. GCS < 13
Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 300) hal ini
untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
Beri masker Oksigen 6 8 liter/menit
Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat
diberikan vasopressor.
Pasang infus D5% 1/2 saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30 CC/KgBB /24 jam
Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih
lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan,
yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 CC Dextrose 5% gunanya pemberian
sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung
yang biasanya sangat tinggi pH nya (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan
sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung
ini akan ditingkatkan secara perlahan-lahan samai didapatkan volume 2000 CC/ 24 jam
dengan kalori 2000 Kkal., keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada
penderita tidak sadar antara laian : (a) Mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus
dan usus besar, (b) Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal
Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2 jam
Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan
obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap
kesadarannya dan terjadinya depresi pernafasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena:
(a) Nyeri OK : ( fraktur, kandung seni yang penuh, tempat tidur yang kotor ), (b) Penderita
mulai sadar, (c) Penurunan kesadaran, (d) Shock, (e) Febris

Obat penenang hanya diberikan bila tidak didapatkan adanya hematom intrakranial yang
diketahui dari pemeriksaaan CT Scan.
Pada penderita dengan gelisah yang tidak disertai adanya lesi fokal intrakranial oleh penulis
dapat diberikan obat Chlorpromazine 12,5 mg (1/4 ampul) diberikan IM pemberian dapat
diulang 4 jam kemudian, pemberian obat ini harus hati-hati karena dapat menyebabkan
terjadinya orthostatik hipotensi
Obat-obatan yang lain:

Antibiotika jika terdapat luka, atas indikasi yang lain biasanya golongan penisillin
misal ampicillin dengan dosis 50 mg/Kg BB/ hari dosis dibagi 4
Analgesik biasanya, metamizol (dewasa 3 X 1 ampul /IV)
Antimuntah, metocloperamide (dewasa 3X 1 ampul /IV)
Neurotropik seperti Citi cholin dengan dosis 3 X 250 mg/hari minimal 5 hari dan
jika masih terdapat gejala sisa diteruskan sampai 8 minggu
Pada penderita kejang :
Hentikan kejang dengan pemberian diazepam dosis 0,1 0,2 mg/kg sampai kejang berhenti,
tetapi jangan memberikan diazepam jika kejang sudah berhenti sedangkan untuk mencegah
kejang dapat diberikan diphenyl hidantoin dengan dosis 5 8 mg/Kg BB/ hari dibagi 2 3,
setelahnya harus dicari apa penyebab kejang tersebut apakah faktor intrakranial atau faktor
ekstrakranial
Pada penderita yang febris: febris dapat dibedakan oleh karena faktor intrakranial akibat
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (central) atau akibat faktor ekstrakranial misal
hipotensi, infeksi sehingga sebelum diberikan antipiretika harus dicari penyeabnya lebih
dahulu karena obat anti piretika kadang dapat menyebabkan hipotensi,
Observasi
Observasi pada kasus cidera kepala adalah kemauan dari paramedis/medis untuk mencari
komplikasi dini/lanjut dari cidera kepala tersebut seperti adanya intrakranial hematom. Jadi
hal-hal yang perlu di observasi meliputi faktor-faktor ekstrakranial serta adanya tanda-tanda
dari adanya lesi massa intrakranial.
DR. dr. Agus Turchan, Sp.BS (K)
4. Memahami & menjelaskan Sindrom Cushing
DEFINISI
Sindrom Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap (Price, 2005).
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat
terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik senyawa-senyawa
glukokortikoid (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, hal. 1088).
PENYEBAB

1. Sindrom cushing disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang berlebihan,
kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anal ginjal berupa adenoma
maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH juga mengakibatkan sindrom cushing.
Demikian juga hiperaktivitas hipofisis, atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom
cuhsing yang disebabkan tumor hipofisis disebut penyakit cusing.

2. Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang dalam
dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada gangguan aksis
hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom cusing spontan, hiperfungsi korteks
adrenal terjadi akibat ransangan belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang
mengakibatkan produksi kortisol abnormal.
C. TANDA DAN GEJALA
1.

Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :

a.

Obesitas yang sentrifetal dan moon face.

b.

Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.

c.

Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.

d.

Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.

e. Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.


f.

Diabetes melitus.

g. Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia

2.

Gejala hipersekresi ketosteroid :

a.

Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki )

b.

Suara dalam.

c.

Timbul akne.

d. Amenore atau impotensi


e.

Pembesaran klitoris.

f.

Otot-otot bertambah (maskuli nisasi)

3.

Gejala hipersekresi aldosteron.

a.

Hipertensi.

b.

Hipokalemia.

c.

Hipernatremia.

d.

Diabetes insipidus nefrogenik.

e.

Edema (jarang)

klasifikasinya adalah sebagai berikut :


1.

Hiperplasia Adrenal

a. Sekunder terhadap kelebihan produksi ACTH hipofisis, yaitu berupa disfungsi


hipothalamik-hipofisa dan mikro dan makroadenoma yang menghasilkan ACTH hipofisis.
b. Sekunder terhadap Tumor non endokrin yang menghasilkan ACTH atau CRH, yaitu
karsinoma Bronkhogenik, karsinoid Thymus, karsinoma pankreas, dan adenoma bronkhus.
2. Hiperplasia noduler adrenal, yaitu neoplasia adrenal berupa adenoma dan karsinoma
3. Penyebab eksogen atau iatrogenik yang disebabkan penggunaan glukokortikoid jangka
lama penggunaan ACTH jangka lama
Tanpa mempertimbangkan etiologi semua kasus cushing sindrom endogen disebabkan oleh
peningkatan sekresi hormon kortisol oleh adrenal. Pada kebanyakan kasus penyebabnya ialah
:
1.

Hiperplasia adrenal bilateral oleh karena hipersekresi ACTH hipofisis

2.

Produksi ACTH oleh tumor non-endokrin

3.

20-25% pasien sindrom Cushing menderita neoplasma adrenal

4.

Penyebab terbanyak adalah iatrogenik

C.

Epidemiologi

Pada sindroma Cushing berupa sindroma ektopik ACTH lebih sering pada laki-laki dengan
rasio 3:1, pada insiden hiperplasia hipofisis adrenal adalah lebih besar pada wanita daripada
laki-laki, kebanyakan muncul pada usia dekade ketiga atau keempat.
D.

Patofisiologi

Penyebab terjadinya hipersekresi ACTH hipofisis masih diperdebatkan. Beberapa peneliti


berpendapat bahwa defek adalah adenoma hipofisis, pada beberapa laporan dijumpai tumortumor pada lebih 90% pasien dengan hiperplasia adrenal tergantung hipofisis. Disamping itu,
defek bisa berada pada hipothalamus atau pada pusat-pusat saraf yang lebih tinggi,
menyebabkan pelepasan CRH (Corticotropin Relasing Hormone) yang tidak sesuai dengan
keadaan kortisol yang beredar. Konsekuensinya akan membutuhkan kadar kortisol yang lebih
tinggi untuk menekan sekresi ACTH ke rentang normal. Defek primer ini menyebabkan

hiperstimulasi hipofisis, menyebabkan hiperplasia atau pembentukan tumor. Pada waktu ini
tumor hipofisis menjadi independen dari pengaruh pengaturan sistem saraf pusat dan/atau
kadar kortisol yang beredar. Pada serangkaian pembedahan, kebanyakan individu yang
hipersekresi ACTH hipofisis menderita adenoma (diameter <10mm;50% adalah 5mm atau
kurang), tetapi bisa dijumpai makroadenoma (>10mm) atau hiperplasia difusa sel-sel
kortikotropik.
Tumor nonendokrin bisa mensekresi polipeptida yang secara biologik, kimiawi, dan
immunologik takk dapat dibedakan dari ACTH dan CRHdan menyebabkan hiperplasia
bilateral. Kebanyakan dari kasus ini berkaitan denganprimitive small cell (Oat Cell) tipe dari
karsinoma bronkogenik atau tumor timus, pankreas, ovarium, Ca. Medulla tiroid, atau
adenoma Bronkus. Timbulnya sindrom Cushing bisa mendadak, terutama pada pasien dengan
Ca. Paru, pasien tidak memperilahtkan gambaran klinis. Sebaliknya pasien dengan tumor
karsinoid atau feokromositoma mempunyai perjalanan klinis yang lama dan menunjukkan
gambaran Cushingoid yang tipikal Hiperpigmentasi pada penderita sindrom Cushing hampir
selalu menunjukkan tumor ekstra adrenal, di luar kranium atau dalam kranium.
Tumor atau neoplasma adrenal unilateral dan kira-kira setengahnya adalah ganas (maligna).
Pasien kadang-kadang mempunyai gambaran biokimia hipersekresi ACTH hipofisis, individu
ini biasanya mempunyai mikro atau makronudular kedua kelenjar nodular mengakibatkan
hiperplasi nodular. Penyebabnya adalah penyakit autoimun familial pada anak-anak atau
dewasa muda (disebut displasia korteks multinodular berpigmen) dan hipersensitivitas
terhadapgastric inhibitory polypeptide, mungkin sekunder terhadap peningkatan ekspresi
reseptor untuk peptida di korteks adrenal. Penyebab terbanyak sindrom Cushing adalah
iatrogenik pemberian steroid eksogen dengan berbagai alasan.
E.

Gejala klinis

Mobilisasi jaringan ikat suportif perifer menyebabkan kelemaha otot dan kelelahanm
osteoporosis, striae kulit, dan mudah berdarah di bawah kulit. Peningkatan glukoneogenesis
hati dan resistensi insulin dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Hiperkortisolisme
mendorong penumpukan jaringan adiposa di tempat-tempat tertentu khususnya wajah bagian
atas (Moon face), daerah antara tulang belikat (Bufallo Hump) dan mesentrik (Obesitas
Badan). Jarang, tumor episternal dan pelebaran mediastinum sekunder terhadap penumpukan
lemak. Alasan untuk distribusi yang aneh dari jaringan adiposa ini belum diketahui, tetapi
berhubungan dengan resistensi insulin dan/atau peningkatan kadar insulin. Wajah tampak
pletorik, tanpa disertai peningkatan sel darah merah. Hipertensi sering terjadi dan bisa
dijumopai perubahan emosional, mudah tersinggung, emosi labil, depresi berat, bingung atau
psikosis. Pada wanita peningkatan kadar androgen adrenal menyebabkan acne, hirsutisme,
dan oligomenorrea atau amenorrea, simtom yang lain seperti obesitas, hipertensi,
osteoporosis, dan DM kurang membantu diagnosis. Sebaliknya tanda-tanda mudah berdarah,
striae, miopati, dan virilisasi adalah lebih sugestif pada sindrom Cushing. Kecuali pada
sindrom Cushing iatrogenik, kadar kortisol plasma dan urin meningkat. Kadang-kadang
hipokalemia, dan alkalosis metabolik dijumpai, terutama dengan produksi ACTH ektopik.
F.

Diagnosis

Diagnosis sindrom Cushing bergantung pada kadar produksi kortisol dan kegagalan
menekan produksi kortisol secara normal bila diberikan deksametason.
Untuk skrining awal dilakukan ters supresi deksametason tengah malam. Pada kasus sulit
(Obesitas), pengukuran kortisol bebas urin 24 jam juga bisa digunakan sebagai tes skrining
awal. Bila kadar kortisol bebas urin lebih tinggi dari 275 nmol/dl (100 mikrogram/dL),
diagnosis defenitif ditetapkan bila gagal menurunkan kortisol urin menuju ke <80nmol atau
kortisol plasma turun ke <140nmol setelah tes supresi deksametason dosis-rendah standar
(0,5 mg setiap 6 jam selama 48 jam). Langkah yang digunakan untuk membedakan pasien
dengan ACTHsecreting pituitary microadenoma atau hypothalamic pituitary
disfunctiondengan bentuk sindrom Cushing yang lain adalah dengan menentukan respon
pengeluaran kortisol terhadap pemberian deksametason dosis tinggi (2 mg setiap 6 jam
selama 2 hari).
Kadar ACTH plasma digunakan untuk membedakan berbagai penyebab sindrom Cushing,
terutama memisahkan penyebab tergantung-ACTH dari tak tergantung-ACTH. Pada sindrom
ACTH ektopik , kadar ACTH bisa meningkat diatas 100 pmol/L (500pg/mL), dan
kebanyakan pasien kadar ACTH berada di atas 40pmol/L (200pg/mL). Pada sindrom Cushing
sebagai akibat mikroadenoma atau disfungsi hipothalamik pituitari, kadar ACTH berkisar
dari 6-30pmol/L (30-150pg/mL)[normal <14pmol/L(<60pg/mL)]
Beberapa pemeriksaan tambahan seperti tes infus metirapon dan CRH, sedangkan pasien
dengan tumor yang memproduksi ACTH ektopik tidak. Penggunaan tes infus CRH tidak
memastikan karena jumlah penelitian yang telah dilakukan terbatas dan CRH tidak tersedia.
Diagnosis adenoma adrenal yang menghasilkan kortisol disangkatkan dengan peningkatan
tidak proporsional kadar kortisol bebas basal urin dengan hanya perubahan sedang pada 17ketosteroid urin atau DHEA sulfat plasma. Sekresi estrogen adrenal pada pasien ini biasanya
menurun sehubungan dengan supresi ACTH yang diinduksi-kortisol dan involusi zona
retikularis yang menghasilkan andrgogen.
Diagnosis karsinoma adrenal disangkatkan dengan massa abdomen yang teraba dan
peningkatan nilai basal 17-ketosteroid urin dan DHEA sulfat plasma.
Evaluasi radiologik berupa CT scan bernilai untuk menemukan lokalisasi tumor adrenal dan
untuk mendiagnosis hiperplasia bilateral. Semua pasien hipersekresi ACTH hipofisis harus
mengalami pemeriksaan pencitraan MRI scan hipofisis dengan bahan kontras gadolinium.
G.
a.

Pengobatan & pemeriksaan penunjang


Neoplasma Adrenal

Obat utama untuk pengobatan karsinoma kortikoadrenal adalah mitotan, isomer dari
insektisida DDT. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol plasma
dan urin. Meskipun kerja sitotoksiknya relatif selektif untuk daerah korteks adrenal yang
memproduksi glukokortikoid, zona glomerulosa bisa terganggu. Obat ini biasanya diberikan
dengan dosis terbagi tiga sampai empat kali sehari, dengan dosis ditingkatkan secara bertahap

menjadi 8 sampai 10g perhari. Semua pasien yang diobati dengan mitotan harus menjalani
terapi pemulihan jangka lama.
b.

Hiperplasia Bilateral

Terapi yang harus ditujukan untuk mengurangi kadar ACTH, pengobatan ideal adalah
pengangkatan dengan menjalani eksplorasi bedah hipofisis via trans-sfenoidal dengan
harapan menemukan adenoma. Pada banyak keadaan dianjurkan selective petrosal sinus
venous sampling dan adrenalektomi total. Penghambatan steroidogenesis juga bisa
diindikasikan pada subjek cushingoid berat sebelum intervensi pembedahan. Adrenalektomi
kimiawi mungkin lebih unggul dengan pemberian penghambat steroidogenesis ketokonazol
(600-1200mg/hari). Mitotan (2-3mg/hari) dan/atau penghambatan sintesis sterooid
aminoglutetimid (1g/hari) dan metiraponi (2-3g/hari). Mifeperistone, suatu inhibitor
kompetitif ikatan glukokortikoid terhadap reseptornya, bisa menjadi pilihan pengobatan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

Uji supresi deksametason.

Mungkin diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis peyebab sindrom cushing


tersebut, apakah hipopisis atau adrenal.
2.

Pengambilan sampele darah.

Untuk menentukan adanya varyasi diurnal yang normal pada kadar kortisol, plasma.
3.

Pengumpulan urine 24 jam.

Untuk memerikasa kadar 17 hiroksikotikorsteroid serta 17 ketostoroid yang merupakan


metabolik kortisol dan androgen dalam urine.
4.

Stimulasi CRF.

Untuk membedakan tumor hipofisis dengan tempat tempat tropi.


5.

Pemeriksaan radioimmunoassay

Mengendalikan penyebab sindrom cushing


6.

Pemindai CT, USG atau MRI.

Untuk menentukan lokasi jaringan adrenal dan mendeteksi tumor pada kelenjar adrenal.
H.

Prognosis

Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis baik dan
tidak mungkin kekambuhan terjadi. Prognosis tergantung pada efek jangka lama dari
kelebihan kortisol sebelum pengobatan, terutama aterosklerosis dan osteoporosis. Prognosis
karsinoma Adrenal adalah amat jelek, disamping pembedahan.

Daftar kepustakaan
Bajamal AH, Darmadipura, HM, Kasan HU: Pedoman penanganan cidera kepala dan cidera
tulang belakang. IKABSI, Surabaya 1993.
Genarelli TA, Meaney DF: Mechanism of primary head injury in Wilkins RH Rengachary SS
(eds) Neurosurgery 2nd edition, Vol II; 1996: 2611 - 22.
Levin LS, Barwick WJ. Scalp injury. In Wilkin RH & Rengachary SS (eds) 2nd, Vol II, 1996:
2727 - 38.
Turner DA: Neurological evaluation of patient with head trauma: Coma scale. In Wilkin RH,
Rengachary SS (eds) Neurosurgery 2nd edition, Vol II; 1996: 2267 - 74
Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Susanne C. Smeltzer; Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddart; EGC; Jakarta; 1999.
Sylvia A. Price. 1994.Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta: EGC.
Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC
Bajamal, A. 1999. Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. Surabaya.
Umar, K. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Surabaya :
Airlangga Univ. Press.
Umar, K. 2000. Penanganan Cidera Kepala Simposium. Tretes : IKABI.

Anda mungkin juga menyukai