Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN SUBDURAL HEMATOMA (SDH)

DI RUANG ICU RSD dr. SOEBANDI JEMBER


PERIODE 12-17 DESEMBER 2022

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di


Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:

Achmad Riansyah Sanda Pratama, S.Kep


NIM. 2201031033

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Desember, 2022
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN SUBDURAL HEMATOMA (SDH)

1.1 Anatomi Fisiologi


1. Tengkorak
Tulang tengkorak merupakan struktur tulang yang menutupi dan
melindungi otak, yang terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan luar, etmoid dan
lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat
sedangkan etmoid memiliki struktur seperti busa (Pearce, E., C., 2008).
Lapisan luar merupakan struktur yang kuat, lapisan diploe merupakan
lapisan yang menyerupai busa dan lapisan dalam membentuk rongga atau
fosa (fosaanterior, tengah dan posterior) (Peate dan Nair, 2017).

Gambar 1. Bagian Dalam Rongga Tengkorak


2. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen yang
melindungi struktur syaraf yang halus, dan membawa pembuluh darah
dengan sekresi cairan, yaitu cairan serebrospinal untuk memperkecil
benturan (Rios, 2015).

3
Gambar 2. Struktur Meningen dari Luar
Meningen terdiri dari durameter (lapisan luar), arachnoid (lapisan
tengah) dan piameter (lapisan dalam).
a) Duramater, yaitu selaput keras pembungkus otak yang berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat, pada bagian tengkorak terdiri dari selaput
tulang kengkorak (perios) dan duramater tropia bagian dalam yang
mengalirkan darah dari vena otak (sinus vena) dan meningen ke vena
jugularis interna dileher. Pemisisah duramater berbentu sabit (falx
serebri) yang terletak vertikal antara hemispherium serebri dan
lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli yang berfungsi
membatasi pergerakan otak secara berlebih didalam kranium.
Padapersarafan duramater sendiri berasal dari cabang nervus
trigeminus, tiga saraf servikal bagian atas, servikal trunkus simpatikus
dan nervus vagus. Pada perdarahan duramater sendiri banyak terdapat
arteri yang menyuplai duramater, yaitu arteri karitos interna,
maxillaris, paringeal asenden, occipitalis, dan veterbralis. Dari
beberapa banyak arteri penyuplai namun ada satu arteri yang memiliki
peran klinis peling penting yaitu arteri meningeamedia, arteri ini
berada diantara lapisan meningeal dan endosteal duramater.
b) Arachnoidea mater, yaitu selaput tipis yang berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis.
Selaput ini memiliki bentuk seperti balon dan memiliki ruang sub
arachnoid di serebelum bagian bawah dan berukuran agak besar yang

4
disebut sistermagna. Arachnoidea mater merupakan membran tidak
permeabel, halus, menutupi otak dan terletak diantara pia mater di
interna dan duramater di ekterna yang dipisahkan olah ruang
subarachniodea dengan cairan serebrospinal. Cairan ini merupakan
bahan mengapung otak dan berfungsi melindungi jaringan saraf dari
benturan mekanis yang mengenai kepala.
c) Pia meter, yaitu selaput tipis yang terdapat di permukaan jaringan otak
dan berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.
Selain itu piameter merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi
oleh sel-sel mesthelial gepeng dan menyokong otak, menutupi gyri
serta turun ke sulki bagian dalam. Pia meter meluas keluar pada saraf-
saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Secara klinis pia mater
disebut sebagai leptomeninges.
3. Otak
Otak manusia terdiri dari tiga bagian utama, antara lain cerebrum,
cerebellum, dan brainstem (Peate dan Nair, 2017)
a) Cerebrum (otak besar)
Cerebrum memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa,
kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Cerebrum
terbagi menjadi empat bagian lobus yakni:
1) Lobus frontalis, berfungsi untuk mengendalikan keahlian motorik
misalnya menulis, selain itu juga sebagai pengatur ekspresi wajah
danisyarat tangan.
2) Lobus parietalis, menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan kedalam sebuah persepsi. Kerusakan kecil papa daerah
ini menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh, kerusakan agak luas
menyebabkan hilangnya kemampuan dalam bekerja (ataksia), dan
kerusakan yang luas bisa mempengaruhi penderita dalam
mengenali bagian tubunya atau ruangan disekitarnya dan juga
ingatannya.

5
3) Lobus temporalis, berfungsi dalam mengolah kejadian yang baru
saja terjadi dan mengingatnya sebagai ingatan untuk jangka
panjang, serta berfungsi dalam memamahami suara dan gambaran,
menyimpan memori dan mengingatnya untuk menghasilkan jalur
emosional.
4) Lobus oksipital, berfungsi sebagai visual center, kerusakan pada
daerah ini bisa menyebabkan kehilangan penglihatan.
b) Cerebellum (otak kecil)
Cerebellum terletak di belakang kepala, dekat dengan ujung leher
bagian atas. Cerebellum mengontrol fungsi otomatis otak, antara lain
mengatur sikap atauposisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Jika terjadi cedera, dapat
mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasigerak otot. (Peate
dan Nair, 2017)
c) Brainstrem (batang otak)
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau
sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar
manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar
manusia yaitu fight or flight saat datangnya bahaya. (Peate dan Nair,
2017). Brainstem terdiri dari otak tengah, pons, dan medula oblomata.
Otak tengah (midbrain/ensefalon) menghubungkan pons dan sereblum
dengan hemisfer sereblum. Jalur ini berisi jalur sensorik dan motorik
yang berfungsi sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan.
Pons sebagai jembatan antara dua bagian sereblum dan juga antara
medula dan sereblum. Sedangkan pada medula oblomata berfungsi
dalam pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor,
reflek batuk dan bersin.
d) Sistem limbik

6
Terdiri dari hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks
limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur
produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar,
dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori
jangka panjang. (Peate dan Nair, 2017).
e) Sistem saraf tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf
kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan
nama atau dengan angka romawi. (Peate dan Nair, 2017).
4. Syaraf Otak
Nervus kranialis dapat terganggu bila terjadi trauma yang luas
dikepala hingga ke batang otak atau pendarahan otak (Essobiring &
Definisi, 2012). Terdapat beberapa kerusan nervus yakni:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I), yaitu: Saraf pembau yang
keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-
bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II), yaitu: mensarafi bola mata,
membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III), yaitu: bersifat motoris,
mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan
serabutserabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot
iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV), yaitu: bersifat motoris,
mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak
dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V), yaitu: sifatnya majemuk
(sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya
sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:

7
f) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian
depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
g) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
h) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
i) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI), yaitu: sifatnya motoris,
mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi
mata.
j) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII), yaitu: sifatnya majemuk
(sensori dan motorik) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot
lidah dan selaput lendir ronga mulut, berfungsi dalam mengatur mimik
wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
k) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII), yaitu: sifatnya sensori,
mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan
dari telinga keotak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
l) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX), yaitu: sifatnya
majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
m)Nervus Vagus (Nervus Kranialis X), yaitu: sifatnya majemuk
(sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan
parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
n) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI), yaitu: saraf ini mensarafi
muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya
sebagai saraf tambahan.
o) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII), yaitu: saraf ini mensarafi
otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di
dalam sumsum penyambung.

8
1.2 Definisi

Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural


(di antara duramater dan arakhnoid). Terjadinnya akibat pecahnya pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat di antara dura meter,
pendarahan lambat dan sedikit. Hematoma yang terletak di bawah lapisan
dura meter dengan sumber pendarahan dapat berasal dari Bridging Vein
(paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis. Perdarahan subdural
paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisfer dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Hematoma subdural dibagi
menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang
dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3
minggu lebih setelah trauma (Heller, dkk., 2012 di dalam Trisnawati, 2015).
1.3 Epidemiologi
Di Eropa dan Amerika Serikat sebagai negara maju tercacat kejadian
sekitar 1 – 1,5 juta jiwa yang mengalami kejadian cedera kepala di setiap
tahunnya. Sedangkan untuk negara berkembang yakni Indonesia memiliki
jumlah kasus cedera kepala yang cukup tinggi sebesar 19,6% yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Apriawanti dkk., 2019). Pada periode
01 januari sampai dengan 30 Desember 2018 tercatat jumlah kecelakaan

9
lalulitas sebanyak 108.873, sebanyak 25.511 jiwa dengan kasus kecelakaan
dengan jumlah korban jiwa yang mengalami mortalitas (Korlantas Polri,
2019). Sejalan dengan penelitian Setioputro dkk (2020), jumlah pasien di
RSD dr.Soebandi yang mengalami kejadian cedera kepala selama periode
bulan Januari 2018 s.d bulan Desember 2018 terdapat cedera kepala sebesar
143 responden (57,2%) dari 250 responden.
Penelitian yang dilakukan oleh Neifert, S.N., dkk., (2020) menunjukkan
hasil bahwa dari tahun 2003 - 2016, insiden SDH secara keseluruhan
meningkat dari 26,4 per 100.000 menjadi 58.6 per 100.000 di Amerika
Serikat. Peningkatan SDH didominasi oleh mereka yang berusia >65 tahun.
Peningkatan yang lebih kecil akan terlihat pada kelompok usia 45 – 64 tahun,
sedangkan kelompok usia <25 tahun dan 25 – 44 tahun terlihat jumlah yang
relatif stabil. Menurut Mufti dkk (2016), SDH sekitar 11% dari cedera otak
traumatis ringan sampai sedang (TBI) yang membutuhkan rawat inap, dan
sekitar 20% dari TBI parah menyebabkan terjadinya EDH.
1.4 Etiologi
SDH dapat timbul setalah mengalami cedera kepala hebat yang dapat
menyebabkan perdarahan kontusio sehingga menimbulkan ruptur vena pada
bagian ruangan subdural. Umumnya SDH dapat disebabkan oleh (Trisnawati,
2015; Dharmajaya, 2018) :
1. Trauma
a) Trauma kapitis: penyebab dari trauma ini yakni karena adanya benda
tumpul yang terjadi secara mendadak mengenai pada otak. Salah satu
penyebab terjadinya trauma kapitis yakni kecelakaan kendaraan
bermotor.
b) Trauma ini dapat terjadi di tempat lain pada badan yang berakibat
pada pergeseran serta terjadinya suatu putaran otak terhadap
durameter, seperti saat terdapat seseorang yang mengalami jatuh
dengan posisi duduk.

10
c) Trauma pada leher yang disebabkan oleh guncangan pada badan. Hal
ini mudah terjadi pada ruangan subdura lebar akibat karena atrofi otak,
misalnya pada orang tua dan anak-anak.
2. Non trauma
a) Pecahnya aneurisma atau terjadinya malformasi pada pembuluh darah
pada bagian ruang subdural.
b) Terjadi gangguan pada pembekuan darah yang berhubungan dengan
perdarahan subdural yang spontan dan keganasan atau bisa disebabkan
karena perdarahan dari tumor intrakranial.
c) Pada orang tua yang mengkonsumsi alkohol dan mengalami gangguan
hati serta penggunaan antikoagulan.
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi Subdural Hematoma menurut (Trisnawati, 2015) dan
(Dharmajaya,2018) :
1. Perdarahan akut
Disebut sebagai perdarahan akut jika terdapat gejala yang muncul dengan
kurun waktu kurang dari 72 jam setelah trauma. Perdarahan ini terjadi
biasanya pada seseorang dengan cedera kepala yang cukup berat serta
dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang
dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT-scan,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Perdarahan sub akut biasanya terjadi dalam kurun waktu beberapa hari
sekitar 4-21 hari sesudah trauma. Pada awal kejadian seseorang akan
mengalami suatu periode tidak sadarkan diri lalu disusul dengan
seseorang akan mengalami perbaikan status neurologi secara bertahap.
Namun, selanjutnya dengan jangka waktu tertentu penderita akan terlihat
tanda-tanda status neurologis yang dikatakan memburuk. Bersamaan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, penderita akan menjadi sulit
untuk dibangunkan serta saat dilakukan respon nyeri penderita tidak

11
menunjukkan adanya respon verbal. Tahapan selanjutnya yakni dapat
terjadi sindrom herniasi dan dapat menekan batang otak. Pada gambaran
CT-scan akan terlihat lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens terlihat
karena terjadi lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Pendarahan ini terjadi setelah 21 hari setelah trauma berlangsung bahkan
bisa lebih. Gejala perdarahan yang muncul pada subdural kronik muncul
dalam kurung waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma
yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terdapat benturan
ringan saja dapat mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik ini harus lebuh berhati hati karena hematoma
ini lama kelamaan akan menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
1.6 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan
otak dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid.
Pada perdarahan subdural yang pecah adalah bridging veins, yaitu vena yang
menyebrang dari durameter ke jaringan otak. Karena otak yang diselimuti
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut menembus
duramater. Pecahnya vena otak ini disebabkan oleh karena trauma. Karena
pendarahan vena, maka antara trauma dan timbulnya gejala ada waktu
selangnya, yang lamanya beberapa jam, hari dan minggu (Bachrudin, 2019).

12
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Kapiler cortical yang telah robek akibat dari akselerasi oleh otak
dalam cranium yang di sebabkan benturan merupakan salah satu penyebab
terjadinya subdural hematoma akut. Subdural hematoma akut terjadi ketika
kepala terjadi benturan dengan benda yang cukup keras dan mengakibatkan
timbulnya energi yang memiliki akibat otak berakselerasi dalam cranium.
Saat akselerasi berjalan dalam waktu yang sesaat maka kerusakan yang
terjadi hanya pada sekitar permukaan otak serta pembuluh darah yang
termasuk bridging veins. Sedangkang saat akselerasi berjalan dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka regangan dapat masuk lebih dalam dan
menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural
hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang
berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx
dan permukaan medial hemisfer cerebral. (Dharmajaya, 2018).
Hematoma subdural akut akan menimbulkan gejala neurologic yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan juga mempunyai mortalitas yang
tinggi. Hematoma subdural akut sering terjadi pada pasien yang meminum
obat antikoagulan terus – menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cedera ini seringkali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor.

13
Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal yang mengalir ke
sinus sagitalis superior. Vena ini mengalirkan bagian medial, lateral dan
superior cerebral. Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1 6 vena), area
rolandic (1-3 vena), dan retrorolandic (1-3 vena). Jika ada robekan bridging
vein maka darah akan masuk ke lapisan dural border cells sehingga terjadi
SDH. Ada juga yang membuat SDH bertambah besar, yaitu tekanan vena
cerebral yang berjalan sama dengan tekanan intrakranial, hanya ada
perbedaan sedikit diantaranya. Jika tekanan vena cerebral meningkat maka
darah dari vena kortikal sulit masuk ke dalam sinus sagitalis superior dan
menyebabkan darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDH akan
bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali (Dharmajaya,
2018).

Pada perdarahan subdural kronik memiliki letak diantara duramater dan


arachnoid. Pada kondisi normal, ruangan antara duramater dan arachnoid
tidak ada, seperti yang terlihat pada gambar diatas. Pada perdarahan subdural
kronik dapat ditemukan terkait adanya lapisan sel dengan morfologi unik
yang mempunyai kecenderungan untuk robek. Lapisan ini disebut dural
border cell (DBC), pada lapisan ini memiliki tanda yakni kurangnya ikatan
antar sel serta melebarnya ruangan ekstraseluler yang memiliki kandungan
material amorf nonfilamentosa. Karenanya lapisan ini kurang kuat ikatannya
sehingga mudah untuk robek. Adanya atrofi otak, membran arachnoid akan
tertarik ke tengah, dimana dura masih tetap melekat pada tengkorak Hal ini
dapat berkembang menjadi higroma dan kemudian menyebabkan perdarahan

14
subdural kronik (Medicina, 2011). Perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di
dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik
yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut.
1.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan tanda pasien dengan Subdural hematoma (SDH)
menurut Sidemen (2018) yakni :
1. Subdural Hematoma Akut
a) Gejala yang dapat muncul pada SDH akut ini biasanya timbul secara
cepat atau segera hingga berjam-jam setelah trauma sampai dengan
pada hari ke tiga
b) Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat serta dapat
mengakibatkan keterburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
telah terganggu pada kesadaran dan tanda vitalnya
c) Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas
d) Subdural hematom akut secara klinis memiliki tanda yakni kesadaran
yang menurun yang disertai dengan adanya lateralisasi yang paling
sering berupa hemiparese/plegie.
e) Pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) dihasilkan gambaran
hiperdens
yang menyerupai seperti bulan sabit
2. Subdural Hematoma Subakut
a) Perkembangan SDH ini yakni dalam beberapa hari biasanya sekitar
hari ke 3 – minggu ke 3 sesudah trauma
b) Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya
3. Subdural Hematoma Kronis

15
a) Biasanya terjadi setelah minggu ketiga dan biasanya terjadi pada
orang
tua
b) Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul,
saat tersebut gejala yang terasa hanya pusing.
c) Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.
d) Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah
ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.
Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >>
menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya
sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba
atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.
e) Terdapat trauma pada kepala yang mengakibatkan tidak sadarkan diri,
lalu akan diikuti perbaikan status neurologik secara perlahan.
f) Pada kurung waktu tertentu penderita akan menunjukkan suatu tanda-
tanda terkait status neurologik yang memburuk.
g) Penurunan tingkat kesadaran secara perlahan-lahan dalam beberapa
jam.
h) Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita akan mengalami kesulitan untuk kesadaran dan
biasanya akan tidak menunjukkan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri.
1.8 Komplikasi dan Prognosis
1. Komplikasi
Menurut Sidemen (2018), komplikasi Subdural Hematoma dapat
terjadi segera setelah cedera atau beberapa saat setelah cedera telah
diobati. Subdural Hematoma dapat memberikan komplikasi berupa:
a) Hemiparese/hemiplegia;
b) Disfasia/afasia;
c) Epilepsi;

16
d) Hidrosepalus;
e) Subdural empyema; dan
f) Herniasi otak, yang bisa menyebabkan koma atau kematian.
Tingkat komplikasi tergantung pada tingkat keparahan cedera
otak. Risiko komplikasi pun bisa meningkat apabila sebelumnya sudah
memiliki masalah kesehatan lainnya, yang bisa memengaruhi perdarahan
ringan atau akut (Sidemen, 2018).
2. Prognosis
Menurut Sidemen (2018), prognosis dari penderita SDH ditentukan
dari:
a) GCS awal saat operasi;
b) Lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi;
c) Lesi yang terdapat di jaringan otak;
d) Usia penderita dan pada penderita dengan GCS kurang dari 8
prognosenya 50 %. Semakin rendah GCS, semakin buruk
prognosenya, semakin tua pasien semakin buruk prognosenya. Adanya
lesi lain akan memperburuk prognosenya.
Umumnya orang yang menggunakan obat pengencer darah lebih
beresiko tinggi mengalami komplikasi akibat perdarahan otak dalam. Selain
itu, orang yang berusia di atas 65 tahun juga memiliki resiko lebih tinggi,
terutama untuk Subdural Hematoma kronis (Sidemen, 2018).
1.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Dharmajaya, 2018) :
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal yang dapat digunaan meliputi,
pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan yaitu teknik awal atau modalitas pilihan utama
digunakan pada proses mendiagnosis pendarahan pada subdural atau
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena proses CT-Scan ini cepat maka
memiliki kemampuan untuk melihat seluruh jaringan otak dan secara

17
akurat untuk membedakan sifat serta keberadaan lesi intra-aksial dan
ekstra-aksial.
a) Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut yang dilihat menggunakan CT-scan kepala
(non kontras) memiliki tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih)
ekstra-aksial yang memiliki bentuk menyerupai bulan sabit di
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Perdarahan subdural
yang jumlahnya sedikit (small SDH) dapat saling membaur dengan
gambaran tulang tengkorak serta hanya akan tampak saat
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline
shift) tersebut akan terlihat pada perdarahan subdural yang sedang
maupun besar volumenya. Jika tidak ada midline shift maka perlu
dicurigai terkait adanya massa kontralateral dan bila midline shift
hebat perlu dicurigai terdapat edema serebral yang mendasarinya.
b) Perdarahan Subdural Sub akut
Pada fase subakut ini perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak yang menyebabkan lebih sulit untuk dilihat di gambaran
CT. Maka pemeriksaan CT menggunaka kontras atau MRI sering
dipergunakan untuk kasus perdarahan subdural dengan kurun waktu
48-72 jam setelah trauma kapitis. Gambaran T1-weighted MRI lesi
subakut akan terlihat hiperdens. Dalam pemeriksaan CT menggunakan
kontras, maka vena-vena kortikal akan terlihat secara jelas
dipermukaan otak serta membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak.
c) Perdarahan Subdural Kronik
Fase kronik lesi subdural menjadi hipodens serta sangat lebih mudah
untuk dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural
hematom kronik memiliki sifat bilateral dan berfungsi untuk
mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Bisasanya hematoma
subdural kronis ini dapat muncul sebagai lesi heterogen padat

18
mengindikasikan perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hiperdens) dan kronis (hipodens).
3. Magnetic resonance imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki fungsi sebagai identifikasi
terkait perdarahan ekstraserebral. CT-scan mempunyai proses yang lebih
cepat dan akurat sebagai proses mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada fase akut penyakit. MRI
berguna saat masa setelah trauma terutama sebagai menetukan suatu
kerusakan parenkim otak yang mempunyai hubungan dengan trauma
yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI memiliki
keunggulan lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak non perdarahan,
kontusio, dan cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis
bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang
kurang jelas.
1.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama pada penatalaksanaan hematoma adalah bagaimana
penumpukan darah yang terjadi tersebut dapat dihilangkan. Namun selain itu,
penatalaksanaan medis yang dilakukan juga bisa untuk perbaikan struktur
tulang krani :
1. Non Bedah
Penatalaksanaan awal pasien dengan SDH baik akut, subakut, ataupun
kronis adalah sama. Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut :
a) Mempertahankan tekanan darah, tekanan arteri rata-rata antara 80 dan
110 mmHg. Tekanan arteri sistolik yang tidak melebihi 180 mmHg.
Hal ini berfungsi sebagai pemeliharaan perfusi serebral yang cukup
dan pencegahan perdarahan terjadi secara terus menerus.
b) Pemberian Oksigenasi, oksigen yang berada di otak harus dijaga pada
60 mmHg, hal ini karena apabila otak mengalami kekurangan oksigen
atau hipoksia makan akan terjadi kerusakan secara permanen pada
otak klien.

19
c) Pemberian Intubasi, dalam beberapa kasus seperti cedera parah,
agitasi,keracunan, atau perubahan status mental pada klien, maka
intubasi harus diberikan untuk mencapai kebutuhan oksigenasi dan
untuk mengurangi risiko aspirasi klien.
d) Sedasi yang diberikan adalah etomidate, etomidate biasa digunakan
bersama propofol, ketamin, dan fentanil. Lidokain dan manitol dengan
jalur intravena juga diberikan untuk mencegah peningkatan tekanan
intracranial. Untuk mencapai blokade neuromuskular yang cukup
pemberian intravena suksinilkolin, rocuronium atau cisatracurium
dapat digunakan.
e) Pemberian obat penenang, bertujuan untuk mempertahankan sedasi.
Obat yang digunakan sebagai penenang adalah propofol, midazolam,
fentanyl, dexmedetomidine, atau remifentanil.
f) Pada klien yang memiliki antikoagulan memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya perdarahan. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan warfarin, vitamin K, konsentrat kompleks protrombin,
dan INR.
g) Penatalaksanaan kejang pada hematoma subdural adalah dengan
pemberian fenitoin, levetiracetam
2. Operasi
Kasus SDH dengan asimtomatis dan gejala ringan dapat diobati tanpa
pembedahan, namun untuk kasus sedang hingga berat harus dilakukan
intervensi pembedahan. Hematoma subdural berulang, perubahan status
mental, dilatasi kedua pupil, atau postur ekstensor merupakan manifestasi
klinis yang menunjukkan keburukan keadaan sehingga harus dilakukan
pembedahan segera. SDH dengan ukuran lebih besar dari 10 mm dapat
dilakukan intervensi pembedahan (Turgut, 2021). Terdapat beberapa
teknik bedah dalam kasus SDH yaitu Twist drill craniostomy dan Burr
hole evacuation (Alshora dkk., 2018).

20
a) Twist drill craniostomy
Prosedur ini telah ada sejak tahun 1966. Semakin berkembanganya
jaman maka prosedur pembedahan ini semakin berkembang.
Perkembangan pada prosedur ini meliputi sudut pengeboran yang
ideal untuk masalah SDH, metode pengeboran, penggunaan sekrup,
dan irigasi. Prosedur ini memiliki tingkat komplikasi yang rendah
dibanding dengan prosedur bedah yang lain. Meskipun memiliki
tingkat komplikasi rendah, namun prosedur pembedahan ini tetap
dapat meneybabkan komplikasi seperti kejang, infeksi, dan SDH
kambuh
b) Burr hole evacuation
Burr hole evacuation merupakan salah satu prosedur yang paling
umum dan banyak digunakan. Dalam prosedur ini ukuran lubang yang
dibuat sekitar 14 mm, hal ini mempermudah dalam melihat
perdarahan yang terjadi, observasi bekuan darah, akses dan kontrol
perdarahan yang lebih cepat, dan kemudahan dalam menggunakan
instrumen bedah tambahan lainnya seperti endoskopi.
3. Pasca bedah
Pemantauan kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan segera
sejak pasca operasi. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan
pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian. Observasi setelah operasi harus tetap
dilakukan, dikarenakan pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan
ulang yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empisema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba,
kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk
mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.
Serial scanning tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
Apabila pasca operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematoma atau hal lainnya yang timbul kemudian,
CT scan otak mutlak dilakukan.

21
1.11 Pathway

2
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomer
register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utama pada penderita SDH adalah nyeri kepala, mual dan
muntah, kehilangan kesadaran
3. Riwayat Penyakit (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga)
4. Riwayat sosial
Berisi keluhan terhadap riwayat kontak dengan kejadian penyakit pada
lingkungan, pada orang dengan bowel obtruksi biasanya akan dikaji
bagaimana riwayat aktivitas yang dilakukan.
5. Pola Persepsi kesehatan
a) Pola persepsi kesehatan : pola persepsi pada pasien dengan gangguan
kesadaran pada penderita SDH sulit untuk dikaji secara obyektif.
Siasat lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan data
sekunder berkenaan dengan hal tersebut
b) Pola nutrisi dan metambolik : pada penderita dengan pre trepanasi
atau pembedahan maka gangguan mual dan muntah akan besar serta
penurunan kesadaran menuntut untuk tidak memkonsumsi makanan
untuk menghindari resiko aspirasi dan muntah proyektil
c) Pola eliminasi : gangguan kesadaran yang terjadi pada pasien SDH
biasanya akan mengalami kehilangan tonus otot yang akan mengatur
keluaran urin dan BAB.

2
d) Pola tidur dan istirahat : pada klien dengan SDH tanpa gangguan
kesadaran biasnya akan mengalami pusing, mual, dan muntah.
Gangguan tidur yang terjadi biasanya erat kaitannya dengan masalah
tersebut selama beberapa hari sampai dengan post pembedahan dan
perbaikan keadaan umum.
e) Pola aktivitas : pada pasien dengan cedera otak biasanya akan
dilakukan pengurangan pergerakan berlebih untuk mengurangi efek
peningkatan TIK yang dapat menyebabkan mual, muntah, gangguan
kesadaran, sampai dengan resiko cidera.
f) Pola hubungan dan peran : Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri : Pasien mengalami gangguan
penglihatan, perabaan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit
dan biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
6. Pemerikasaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memperjelas letak pendarahan
yang terjadi dan hasil. Pemeriksaan penunjang meliputi : pemeriksaan
rogten, CT-scan, MRI, dan analisa darah lengkap.
2.2 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum, meliputi :
- Tingkat kesadaran menurut GCS

2
- Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan yaitu :
a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang
sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan
pemeriksa dengan baik
b) Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak
segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya
c) Delirium (nilai GCS 11-10), yaitu kondisi seseorang yang
mengalami kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu
dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta
d) Somnolen (nilai GCS 9-7), yaitu kondisi seseorang yang
mengantuk namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila
rangsan berhenti akan tertidur kembali
e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang
mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak
terbangun sempurna dan tidak menjawab pertanyaan dengan baik
f) Semi-coma (nilai GCS 4), yaitu penurunan kesadaran yang
tidak memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat
dibangunkan sama sekali, respon terhadap rangsang nyeri
hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik
g) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat
dalam, memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada
gerakan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri
- Tanda-tanda vital : pada pasien SDH dengan pendarahan hebat
biasanya dalam waktu beberapa hari seelah kejadian trauma akan
mengalami penutunan tekanan darah, peningkatan nadi, bradipneu
atau apneu, gangguan termoregulasi, dan kejang.
- Keseimbangan elektrolit dan darah lengkap : pada pasien dengan
cedera otak parah akan mengalami gangguan termoregulasi,

2
peningkatan atau penurunan glukosa darah mendadak. Hal tersebut
akan menunjukan hasil kajian laborat yang signifikan.
2. Secara Sistemik
Pemeriksaan sistemik dilakukan dengan metode head to toe, pada
pasien dengan Subdural Hematoma karakteristik yang muncul dalam
pemeriksaannya berada pada kepala dengan karakteristik :
a) Klien mengeluh pusing, nyeri, dan meracau.
b) Inspeksi : terdapat tanda seperti rakun eyes pada penderaita cedera
dan pendarahan selaput otak disertai dengan luka trauma. Pada kasus-
kasus tertentu ditemukan peningkatan tekanan intra okuli dan
gangguan penglihatan
c) Palpasi : terdapat nyeri tekan dan kemungkinan lesi terlihat
Pada pasien dengan cedera otak, penting dikaji untuk melihat
gangguan fungsi neurologis yang mungkin dapat dikaji. Pemeriksaan 12
saraf kranial paten dilakukan :
- Pemeriksaan nervus olfaktorius (N I)
Mengkaji daya penciuman, adanya kelainan rongga hidung pada dua
rongga hidung dengan menggunakan bau-bauanyang tidak iritan dan
cepat menguap.
- Pemeriksaan optikus (N II)
Mengkaji daya pengelihatan, dan lapang pandang. Pada umumnya
pasien stroke mengalami hemianopsia.
- Pemeriksaan nervi okularis (N III, IV, VI)
Mengkaji pergerakan bola mata, kelopak mata dan pupil.
- Pemeriksaan Nervus trigeminus (N V)
Mengkaji kekuatan dan refleks muskulus maseter dan muskulus
temporalis, sensasi nyeri. Pada pasien stroke umumnya kekuatan
kontraksi tidak sama pada sisi kanan atau kiri, dan dagu terdorong ke
arah lesi.
- Pemeriksaan nervus fasialis (N VII)
Mengkaji dan mengamati kesimetrisan muka pasien dengan cara

2
menggerakan muka. Selain itu, pengkajian fungsi pengecapan dengan
meletakan gula, garam, atau sesuatu yang pahit pada bagian kanan dan
kiri lidah.
- Pemeriksaan nervus akustikus (N VIII)
Mengkaji fungsi pendengaran dan vestibular (keseimbagan). Dapat
dilakukan pemeriksaan weber, rinne, dan swabach untuk memeriksa
fungsi pendengaran. Pemeriksaan tes kalori (telinga kiri dimasukan air
dingin akan muncul nistagmuskanan, dan telinga kanan dimasukan air
hangat akan muncul nistagmus kanan), serta past pointing test
(menyentuh jari pemeriksa) dapat dilakukan untuk mengkaji fungsi
keseimbangan.
- Pemeriksaan nervus glosofaringeus (N IX)
Mengkaji muskulus stylopharingeus dengan meminta pasien untuk
mengucapkan ‘AAA’ saat membuka mulut. Orang yang sehat langit-
langit mulutnya akan bergerak keatas.
- Pemeriksaan nervus vagus (N X)
Mengkaji mulut, pita suara, dan refleks muntah pasien dengan
membuka mulut pasien. Pasien stroke pada umumnya uvula akan
miring tertarik ke sisi yang sehat, refleks muntah tak ada pada sisi
lumpuh, suara serak akibat kelumpuhan sisi pita suara dan stridor
inspiratorik.
- Pemeriksaan nervus aksesorius (N XI)
Mengkaji muskulus sternokleidomastoideus dan trapezius. Pasien
dapat dikatakan mengalami paralisis apabila saat kepala menoleh ke
sisi sehat, m. Sternokleidomastoideus tidak menegang. Bahu yang
sakit umumnya terletak lebih rendah daripada yang sehat, margo
vertebralis skapula sisi yang sakit akan lebih kesamping daripada sisi
yang sehat.

2
2.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien SDH yakni :
1. D.0077 Nyeri akut b.d proses inflamasi jaringan
2. D.0076 Nausea b.d peningkatan tekanan intrakranial
3. D.0064 Konfusi akut b.d cedera kepala
4. D.0023 Hipovolemia b.d penurunan intak cairan, kehilangan cairan aktif.
5. D.0142 Risiko Infeksi d.d efek prosedur invasif, peningkatan paparan
organisme patogen lingkungan dan kerusakan integritas kulit
6. D.0017 Resiko perfusi serebral tidak efektif d.d. adanya cedera otak
7. D.0006 Resiko aspirasi b.d. adanya cedera otak

2
2.4 Intervensi
Perencanaan atau intervensi adalah fase dalam proses keperawatan yang
melibatkan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang mengacu
dari hasil pengkajian dan diagnosis keperawatan (Siregar dkk., 2021).
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1. D.0077 Tujuan : Manajemen Nyeri (I.08238)
Nyeri Akut b.d. Setelah dilakukan tindakan Observasi
agen pencedera keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi lokasi,
fisik (fraktur) d.d tingkat nyeri klien menurun, karakteristik, durasi, frekuensi,
keluhan nyeri, dengan kriteria hasil : kualitas, intensitas nyeri
meringis, bersikap Tingkat Nyeri (L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri
distraksi, gelisah, 1. Keluhan nyeri dari skala 1 3. Identifikasi respon nyeri non
frekuensi nadi (meningkat) ke 3 (sedang) verbal
meningkat dan 2. Meringis dari skala 2 4. Identifikasi faktor yang
berfokus pada diri (cukup meningkat) ke 4 memperberat dan
sendiri (cukup menurun) memperingan nyeri
3. Sikap protektif dari skala 5. Identifikasi pengetahuan dan
2 (cukup meningkat) ke 4 keyakinan tentang nyeri
(cukup menurun) 6. Identifikasi pengaruh budaya
4. Gelisah dari skala 2 terhadap respon nyeri
(cukup meningkat) ke 4 7. Identifikasi pengaruh nyeri
(cukup menurun) pada kualitas hidup
5. Berrfokus pada diri 8. Monitor keberhasilan terapi
sendiri dari 2 (cukup komplementer yang sudah
meningkat) ke 4 (cukup diberikan
menurun) 9. Monitor efek samping
6. Frekuensi nadi dari 2 penggunaan analgetik
(cukup meemburu) ke 4 Teraupetik
(cukup membai) 10.Berikan teknik
nonfarmakologis untuk

2
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
11.Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13.Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
14.Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
15.Jelaskan strategi meredakan
nyeri
16.Anjurkan memonitor secara
mandiri
17.Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
18.Ajarkan teknik farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
19.Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Pemberian Analgesik (I.08243)
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri

3
(mis.pencetus, pereda,
kualitas, lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi
obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik (mis. narkotika, non-
narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Mpnitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
Teraupetik
5. Diskusikan jenis analgesik
yang disukai untuk mencapai
anlgesia optimal, jika perlu
6. Pertimbangkan penggunaan
infus kontinu, atau bolus
opioid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
7. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respon pasien
8. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan
efek yang tidak diinginkan
Edukasi
9. Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian

3
dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
2. D.0076 Tujuan : Manajemen Mual (1.01011)
Nausea b.d Setelah dilakukannya Observasi
peningkatan tidakan asuhan keperawatan 1. Identifikasi faktor penyebab
tekanan intrakranial selama 2x24 jam diharapkan mual
Kriteria hasil : 2. Monitor mual
Mual dan muntah (L.14125) Terapeutik
1. Keinginan muntah 3. Berikan kendalikan faktor
dipertahankan pada lingkungan penyebab mual
derajat 3 sedang 4. Berikan makanan dengan
ditingkatkan pada derajat jumlah kecil dan menarik
5 cukup menurun Edukasi
2. Perasaan mual 5. Anjurkan istirahat dan tidur
dipertahankan pada yang cukup
derajat 3 sedang 6. Ajarkan teknik
ditingkatkan pada derajat nonfarmakologis yang
5 cukup menurun dapat digunakan untuk
3. Pendarahan mengatasi mual
dipertahankan pada Kolaborasi
derajat 3 sedang 7. Kolaborasi untuk
ditingkatkan pada menggunakan antiemetik
derajat 5 cukup menurun secara tepat
3. D.0023 Tujuan : Manajemen Hipovolemia
Hipovolemia b.d Setelah dilakukan tindakan (I.03116)
penurunan intak asuhan keperawatan selama Observasi
cairan, kehilangan 3x24 jam diharapkan kondisi 1. Periksa tanda dan gejala
cairan aktif. volume cairan atau status hipovolemia (mis. frekuensi
cairan pasien membaik. nasi meningkat, nadi teraba
Kriteria Hasil : lemah, tekanan darah

3
Status Cairan (L.03028) menurun, membran mukosa
1. Frekuensi nadi dari skala kering, lemah)
2 (cukup memburuk) ke 5 2. Monitor intake dan output
(menurun) cairan
2. Tekanan darah dari skala Teraupetik
2 (cukup memburuk) ke 5 3. Hitung kebutuhan cairan
(menurun) 4. Berikan posisi modified
3. Tekanan nadi skala 2 Trendelenburg
(cukup memburuk) ke 5 5. Berikan asupan cairan oral
(menurun) Edukasi
4. Membran mukosa skala 2 6. Anjurkan memerbanyak
(cukup memburuk) ke 5 asupan cairan oral
(menurun) 7. Anjurkan menghindari
5. Kadar Hb dari skala 2 perubahan posisi mendadak
(cukup memburuk) ke 5 Kolaborasi
(menurun) 8. Kolaborasi pemberian cairan
IV isotonis (NaCl, RL)
4. D.0064 Tujuan : Manajemen Delirium
Konfusi akut b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor status neurologis dan
cedera kepala keperawatan selama 3x24 delirium
jam, tingkat konfusi dapat 2. Hindari stimulus sensorik
menurun. berlebihan
Kriteria hasil : 3. Lakukan pengekangan fisik
Tingkat Konfusi (L.06054) sesuai indikasi
1. Fungsi kognitif dari skala 4. Lakukan reorientasi
2 (menurun) ke 4 (cukup 5. Anjurkan penggunaan alat
meningkat) bantu sensorik
2. Tingkat kesadaran dari 6. Kolaborasi pemberian obat
skala 2 (menurun) ke 4 ansietas dan agitasi jika perlu
(cukup meningkat)
3. Aktivitas psikomotorrik

3
dari skala 2 (menurun)
ke 4 (cukup meningkat)
4. Respon terhadap stimulus
dari skala 1 (menurun) ke 4
(cukup meningkat)
5. D.0142 Tujuan : Pencegahan Infeksi (I.14539)
Risiko Infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi
efek prosedur keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor tanda dan gejala
invasif, diharapkan derajat infeksi infeksi lokal dan sistemik
peningkatan klien menurun, dengan Teraupetik
paparan organisme kriteria hasil : 2. Batasi jumlah pengunjung
patogen lingkungan Tingkat Infeksi (L.14137) 3. Berikan perawatan kulit, kuku
dan kerusakan 1. Demam dari skala 2 dan mulut
integritas kulit (cukup meningkat) ke 5 4. Cuci tangan sebelum dan
(menurun) sesudah kontak dengan pasien
2. Kemerahan dari skala 2 dan lingkungan pasien
(cukup meningkat) ke 5 5. Pertahankan teknik aseptik
(menurun) pada pasien beresiko tinggi
3. Bengkak dari skala 2 Edukasi
(cukup meningkat) ke 5 6. Jelaskan tanda dan gejala
(menurun) infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
8. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi dan cairan
6. D.0017 Setelah dilakukan asuhan Manajemen Peningkatan
Resiko perfusi keperawatan selama 3x24 Tekanan Intrakranial (I.06194)
serebral tidak jam, perfusi serebral Observasi
efektif d.d. adanya meningkat dengan 1. Identifikasi penyebab
cedera otak Kriteria Hasil peningkatan
Perfusi Serebral (L.02014) TIK

3
1. Tingkat kesadaran dari 2. Monitor tanda dan gejala
skala 1 (menurun) ke 4 peningkatan TIK
(cukup meningkat) 3. Monitor MAP (Mean Arterial
2. Kognitif dari skala 1 Pressure)
(menurun) ke 4 (cukup 4. Monitor CPP (Cerebral
meningkat) Perfusion
3. Tekanan intrakranial dari Pressure)
skala 1 (meningkat) ke 4 5. Monitor status pernapasan
(cukup menurun) 6. Monitor intake dan output
4. Sakit kepala dari skala 1 cairan
(meningkat) ke 4 (cukup Teraupetik
menurun) 7. Berikan posisi semi-fowler
8. Cegah terjadinya kejang
9. Hindari penggunaan cairan
hipotonik
10. Pertahankan suhu tubuh
normal
Pemantauan Tekanan
Intrakranial (I.06198)
Observasi
1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK
2. Monitor peningkatan TD
3. Monitor pelebaran tekanan
nadi
4. Monitor penurunan frekuensi
jantung
5. Monitor ireguleritas irama
napas
6. Monitor penurunan tingkat
kesadaran

3
7. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
8. Monitor tekanan perfusi
serebral
Teraupetik
9. Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
7. D.0006 Setelah dilakukan asuhan Pencagahan Aspirasi :
Resiko aspirasi b.d. keperawatan selama 3x24 Observasi
adanya cedera otak jam, tingkat aspirasi menurun 1. Monitor tingkat kesadaran,
dengan batuk, muntah, dan
Kriteria hasil kemampuan menelan
Tingkat Aspirasi (L.01006) 2. Monitor status pernapasan
: Teraupetik
1. Tingkat kesadaran dari 3. Pertahankan kepatenan jalan
skala 1 (menurun) ke 4 napas
(cukup meningkat) 4. Hindari pemberian makan
2. Kemampuan menelan dari melalui selang gastrointestinal
skala 1 (menurun) ke 4 5. Ajarkan strategi mencegah
(cukup meningkat) aspirasi
3. Dispnea dari skala 1 6. Berikan makan dengan
(meningkat) ke 4 (cukup ukuran kecil atau lunak
meurun) 7. Posisikan secara perlahan dan
4. Kelemahan otot dari skala duduk selama beberapa menit
1 (meningkat) ke 4 (cukup sebelum berdiri
meurun)

3
2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, dimana pada
dokumentasi ini akan dibandingkan secara sistematis dan terencana tentang
kesehatan pada pasien dengan tujuan yang telah dirancang sesuai dengan
yang dialami pasien. Evaluasi bertujuan untuk menentukan kemajuan atau
kurangnya kemajuan pasien ke arah pencapaian kriteria hasil, menentukan
efektivitas asuhan keperawatan dalam membantu pasien dalam mencapai
kritera hasil dan menentukan kualitas asuhan yang diberikan (Pangkey dkk.,
2021).
2.6 Discharge Planning
Discharege planning (perencanaan pulang) adalah suatu proses
pembelajaran yang dimulai sejak pasien diterima dilayanan rumah sakit,
melibatkan klien dan keluarga untuk meningkatkan pemahaman,
mengembangkan kemampuan klien dan keluarga tentang perawatan di
rumah, masalah kesehatan yang dihadapi, untuk mempercepat penyembuhan,
menghindari kemungkinan komplikasi dengan pembatasan aktivitas dan
menciptakan lingkungan yang aman bagi klien dirumah (Rosya, E., Sesrianty,
V., Kairani, 2015).

3
DAFTAR PUSTAKA

Apriawanti, V., A. G. R. Saragih., dan D. Natalia. 2019. Hubungan antara


glasgow scale dan lama perawatan pada pasien cedera kepala dengan
pendarahan subdural. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. 5(1).

Awaloei, A. C., N. T. S. Mallo., dan D. Tomuka. 2016. Gambaran cedera kepala


yang menyebabkan kematian di bagian forensik dan medikolegal RSUP Prof
Dr. R. D. Kandou periode Juni 2015 – Juni 2016. Jurnal e-Clinic. 4(2)
Bahrudin. 2019. Neurologi Klinis. UMM Press: Malang

Dharmajaya, R. 2018. Subdural Hematoma. Medan: USU Press. Essential


Emergency Trauma. Medicina dan L, Soertidewi. 2011. Perdarahan Subdural
Kronik Pada Dewasa Muda. Neurona. Vol 29 (1)

Peate, Ian, dan M.Nair. 2017. Fundamentals of Anatomy and Physiology for
Nursing and Healthcare Students Second Edition. United Kingdom :Wiley
Blackwell.

Rios, P. 2015. Preparation of Activated Carbon from Furtural Residues by


Phosphoric Activation. Biomass Chem Eng, 49(23–6)

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Trisnawati, W. 2015. Analisis praktik klinik keperaatan pada pasien dengan


subdural hematoma di ruang picu rsud a. wahab sjahranie samarinda. 1–41.

Anda mungkin juga menyukai