KONSEP TEORI
Gambar 2. Jantung
Sumber: Alodokter, 2018
1.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi, gagal jantung akut dekompensata lebih sering
terjadi dibandingkan gagal jantung de novo. Gagal jantung akut umumnya
terjadi pada pasien usia lanjut, sekitar 70 tahun (Farmakis et al., 2015).
Berdasarkan data epidemiologi, secara global gagal jantung akut terjadi pada
1-2% populasi orang dewasa pada negara berkembang. Angka ini meningkat
menjadi ≥ 10% pada populasi yang berusia di atas 70 tahun (Ponikowski et
al., 2016).
Berdasarkan sumber lain, sebagian besar gagal jantung akut
merupakan kasus gagal jantung akut dekompensata. Jumlah kasus gagal
jantung akut de novo ditemukan hanya sebesar 1/4 hingga 1/3 dari seluruh
kasus gagal jantung akut. Sebesar 40-55% pasien dengan gagal jantung akut
memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction/LVEF)
yang masih normal. Selain itu, sebagian besar pasien dengan gagal jantung
akut memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung coroner (Farmakis et
al., 2015). Selain itu,
risiko seumur hidup gagal jantung akut pada laki-laki adalah sebesar 33%,
sedangkan pada wanita sebesar 28% (Kurmani & Squire, 2017)
Prevalensi kejadian gagal jantung menurut WHO (2015) menyebutkan
yakni 70% (39,5jt orang dari 56,4) tingkat kematian dunia yakni dengan
penyebab masalah penyakit tidak menular. Salah satu yang termasuk kedalam
penyebab kematian penyakit tidak menular yakni masalah penyakit jantung
memiliki angka sebesar 45% (17,7jt dari 39,5) kematian masyarakat dengan
penyebab gagal jantung dengan disertai masalah pembuluh darah (Kemenkes,
RI 2019).
Sedangkan menurut Riskesdas, (2018) menjelaskan terkait angka
prevalensi gagal jantung di indonesia yang sesuai diagnosa ketetapan dokter
yakni berada pada angka 1,5%, provinsi Kalimantan Utara 2,2% merupakan
provinsi tertinggi pertama kematian akibat masalah jantung, serta kedua yakni
yogyakarta sebesar 2%, serta ketiga yakni pada gorontalo sebesar 2%
(Kemenkes, RI 2019). Menurut data Kemenkes RI, (2014) berdasar ketetapan
diagnosis dokter tingkat prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun
2013 berada pada angka sebesar 0,13% atau sejumlah 229.696 masyarakat.
Serta berdasarkan diagnosis ketetapan dokter terkait masalah gagal jantung
adanya gejala yakni sebesar 0,3% atau sejumlah 530.068 masyarakat.
1.4 Etiologi
Mekanisme fisiologis, yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta
dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas meokardium pada
keadaan dimana terjadi penurunan pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Selain ketiga mekaniusme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung, ada faktor fisisologis lain yang dapat pula megakibatkan jantung
gagal kerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang menganggu pengisisan
ventrikel seperti stenosis katup atrioventrikuler dapat menyebaban gagal
jatung. Penyebab gagal pompa jantung secara menyeluruh :
a) kelainan mekanisme
1. peningkatan beban tekanan
2. Sentral (stenosis aorta)
3. Perifer (hipertensi sitemik)
4. Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, peningkatan beban awal)
5. Obstruksi terhadap ventrikel (stenosis mitralis atau trikupidalis)
6. Tamponade pericardium
7. Restruksi endokardium atau miokardium
8. Aneurisma ventrikel
9. Dis-sinergi ventrikel
b) kelainan miokardium
1. Primer
a) kardiomiopati
b) miokarditis
c) kelainan metabolik
d) toksisitas (alcohol, kobalt)
e) preskardia
2. Kelainan dinamik sekunder
a) Kekurangan O2
b) Kelainan metabolik
c) Inflamasi
d) Penyakit sistemik
e) Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)
3. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi
a) Henti jantung
b) Fibrilasi
c) Tachycardia atau bradicardia yang berat
d) Asim kronis listrik, gangguan konduksi (Saiful, Hidayat. 2011)
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung kongestif memiliki dua kategori yaitu kategori
kelainan struktural jantung dan kapasitas fungsional (Tim Pokja Gagal
Jantung dan Kardiometabolik, 2020).
1. Berdasarkan struktural jantung
a) Stadium A
a. Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung
b. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional jantung
c. Tidak tampak tanda dan gejal
b) Stadium B
a. Terbentuk kelainan pada struktur jantung yang berhubungan dengan
perkembangan gagal jantung namun tidak terdapat tanda dan gejala
c) Stadium C
a. Gagal jantung simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural
jantung
d) Stadium D
a. Penyakit structural jantung lanjut serta muncul gejala gagal jantung
2. Berdasarkan kapasitas fungsional
a. Kelas I
a. Aktivitas klien tidak dibatasi
b. Aktivitas normal
c. Tidak timbul gejala kelelahan atau sesak nafas
b. Kelas II
a. Ada batasan aktivitas ringan
b. Aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
c. kelelahan atau sesak nafas
c. Kelas III
a. Aktivitas sangat dibatasi
b. Aktivitas ringan menyebabkan kelelahan,
c. berdebar, atau sesak nafa
d. Kelas IV
a. Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
b. Keluhan meningkat saat beraktivitas
1.6 Patofisiologi
Adanya kerusakan pada jantung atau miokardium menjadi awal
terjadinya gagal jantung yang kemudian akan menyebabkan menurunnya
curah jantung. Ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat pada respon
kompensatorik, yaitu adanya peningkatan aktivitas adrenergic simpatis,
peningkatan beban awal akibat aktivasi Sistem Renin Angiotensin
Aldosteron (RAAS), dan hipertrofi ventrikel. Respon simpatis
kompensatorik akan muncul saat volume sekuncup menurun pada gagal
jantung. Hal tersebut akan merangsang katekolamin dari saraf-saraf
adrenergic jantung dan medula adrenal. Terjadi peningkatan denyut dan
kekuatan kontraksi jantung untuk menambah curah jantung. Vasokonstriksi
arteri perifer juga terjadi yang bertujuan untuk menstabilkan tekanan arteri
dan redistribusi volume darah untuk mengutamakan perfusi ke organ vital
seperti jantung dan otak (Nurkhalis & Adista, 2020). Aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron akan mengakibatkan retensi natrium dan air oleh
ginjal, meningkatkan volume ventrikel, serta regangan serabut. Kontraktilitas
miokardium bertambah pada peningkatan beban awal ini sesuai dengan
mekanisme Frank Starling. Hipertrofi miokardium atau bertambahnya
ketebalan otot jantung adalah respon kompensatorik terakhir pada gagal
jantung. Pada akhirnya, mekanisme kompensatorik akan menimbulkan gejala
dan peningkatan kerja jantung, sehingga hasil akhir dari peristiwa tersebut
adalah meningkatnya beban miokardium dan berlangsung pada gagal jantung
(Nurkhalis & Adista, 2020).
1.7 Manifestasi Klinis
Menurut Wijaya & putri (2013), manifestasi gagal jantung sebagai berikut:
1. Gagal jantung kiri
Menyebabkan kongestif, bendungan pada paru dan gangguan pada mekanisme
kontrol pernafasan. Gejala:
a. Dispnea
Terjadi karena penumpukan atau penimbunan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas. dispnea bahkan dapat terjadi saat istirahat atau
dicetuskan oleh gerakan yang minimal atu sering.
b. Orthopnea
Pasien yang mengalami orthopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan
menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur atau duduk dikursi,
bahkan saat tidur.
c. Batuk
Hal ini disebabkan oleh gagal ventrikel bisa kering dan tidak produktif,
tetapi yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan
aputum berbusa dalam jumlah banyak, yang kadang disertai dengan bercak
darah.
d. Mudah lelah
Terjadi akibat curah jantung yang kurang, menghambat jaringan dari
srikulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang di gunakan
untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernafasan dan
batuk.
e. Ronkhi
f. Gelisah dan Cemas
Terjadi akibat gangguan oksigen jaringan, stres akibat kesakitan berfasan
dan pengetahuan bahkan jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Gagal jantung kanan
Menyebabkan peningkatan vena sistemik Gejala:
a. Oedem parifer
b. Peningkatan BB
c. Distensi vena jugularis
d. Hepatomegali
e. Asites
f. Pitting edema
g. Anoreksia
h. Mual
3. Secara luas peningkatan CPO dapat menyebabkan perfusi oksigen kejaringan
rendah, sehingga menimbulkan gejala:
a. Pusing
b. Kelelahan
c. Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d. Ekstrimitas dingin
4. Perfusi pada ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin seta sekresi aldosteron
dan retensi cairan dan natrium yang menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler.
2. Pola Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Pemantauan Neurologis (I.06197)
Efektif (D.0005) diharapkan pola napas menjadi efektifdengan kriteria hasil:
Status Neurologis (L.06053)
Observasi
5. Tingkatkan frekuensi
Keterangan:
pemantauan neurologis, bila
1. Menurun
perlu
2. Cukup menurun
6. Hindari aktifitas yang dapat
3. Sedang
meningkatkan tekananintrakranial
4. Cukup meningkat
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
5. Meningkat
Edukasi
No. Indikator Tujuan
8. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
1 2 3 4 5
1. Pola Nafas √
Manajemen Jalan Napas (I. 01011)
2. Frekuensi √
Observasi
Nafas
1. Monitor pola napas (frekuensi,
Keterangan: kedalaman, usahanapas)
1. Meningkat Terapeutik
2. Cukup meningkat 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Sedang
2. Berikan oksigen
4. Cukup menurun
5. Menurun Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, jika perlu
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam Pemantauan Respirasi I.01014
pertukaran gas pasien dapat: Menunjukkan gangguan pertukaran gas yang Observasi
dengan faktor dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman
resiko perubahan Indikator Awal 1 2 3 4 5 dan upaya napas
membran kapiler 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
alveolus (D0003) Dispnea 2 takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
(Meningkat)
Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
Bunyi napas 3 3. Monitor kemampuan batuk efektif
(Meningkat)
tambahan 4. Monitor adanya produksi sputum
PCO2 2 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
(Membaik)
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
6. Auskultasi bunyi napas
7. Monitor nilai AGD
8. Monitor saturasi oksigen – Monitor hasil
x-ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
4. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien Manajemen Energi I.05178
yang berhubungan dapat: Menunjukkan Toleransi Aktivitas (L.05047) yang Observasi
dengan dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
ketidakseimbangan mengakibatkan kelelahan
suplai oksigen dan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
jaringan yang 3. Monitor pola dan jam tidur
akibat dari Indikator Awal 1 2 3 4 5 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
penurunan curah Frekuensi nadi 2 selama melakukan aktivitas
jantung (D.0056) (Meningkat) Terapeutik
Saturasi 2 1. Sediakan lingkungan nyaman dan
(Meningkat) rendah stimulus (mis. Cahaya, suara,
oksigen
kunjungan)
Keluhan lelah 2
(Menurun) 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif