Anda di halaman 1dari 34

BAB I.

KONSEP TEORI

1.1 Review Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi jantung


Sumber: kitchenuhmaykoosib.com, 2019

Jantung merupakan organ berongga terdapat 4 ruang dan terletak diantara


kedua paru-paru dibagian tengah rongga thoraks tepatnya di mediasternum. Dua
pertiga jantung terletak di sebelah kiri garis midstral dan sepertiga jantung
terletak disebelah kanan, bagian atas berada pada ICS 2 para sternum line
sinistra dan bagian bawah terletak pada ICS 5 midclavicula line sinitra
(Nurhidayat, 2015). Besarnya seperti genggaman tangan, yang mempunyai
berat ± 250 – 300 gr, mempunyai rongga di bagian tengahnya, tersusun oleh
jaringan otot jantung yang bersifat involunter. Tugasnya yakni untuk memompa
darah ke seluruh tubuh sebanyak 2000 galon/hari dan melakukan mekanisme
berdenyut 100.000 x/hari (Kuntoadi, 2019). Dinding jantung terdiri dari tiga
lapisan yaitu epicardium, miokardium dan endocardium. Lapisan epicardium
yakni lapisan dinding terluar jantung yang tersusun atas jaringan ikat dan lemak
yang mempunyai fungsi sebagai pelindung jantung. Miokardium merupakan
lapisan dinding jantung kedua setelah epikardium. Pada lapisan ini
kemungkinan ditemui pompa darah ke seluruh tubuh. Lapisan endokardium
merupakan yang paling dalam (Kuntoadi, 2019). Jantung memiliki 4 ruang
yakni antrium kanan, antrium kiri, ventrikel kanan, ventrikel kiri:
1. Serambi jantung / atrium jantung / atrium
Terdapat atrium kanan dan kiri. Yang mempunyai fungsi untuk menampung
darah yang masuk ke jantung melalui pembuluh darah vena pulmonalis untuk
atrium kiri dan pembuluh darah vena cava untuk atrium kanan (Kuntoadi, 2019)
2. Bilik jantung / ventrikel jantung / ventricle
Terbagi menjadi ventrikel kanan dan kiri. Yang mempunyai fungsi untuk
mendorong darah keluar dari jantung menuju arteri dan meninggalkan jantung.
Darah meninggalkan ventrikel kanan melalui traktus pulmonar menuju
paruparu. Sedangkan pada ventrikel kiri darah meninggalkan ventrikel kiri
melalui aorta dan mengalir ke seluruh tubuh kecuali paru-paru.

1.2 Definisi Congestive Heart Failure

Gambar 2. Jantung
Sumber: Alodokter, 2018

Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) merupakan


ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Gagal jantung
kongestif merupakan suatu keadaan patologis adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Kasron, 2012).
Gagal jantung kongestif atau heart failure cpngestive (CHF) merupakan
kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk mengantarkan darah yang
kaya oksigen ke utbuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan tubuh
(Andra Saferi, 2013). Gagal Jantung kongestif merupakan sebuah kondisi
abnormalitas struktur maupun fungsi dari jantung dimana hal tersebut membuat
jantung gagal mendistribusikan atau menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh
(Tim Pokja Gagal Jantung dan Kardiometabolik, 2020). Kesimpulan yang bisa
diambil dari definisi diatas bahwa gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan
abnormal dimana jantung tidak mampu memompa darah sehingga tidak
mencukupi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrisi untuk melakukan
metabolisme.

1.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi, gagal jantung akut dekompensata lebih sering
terjadi dibandingkan gagal jantung de novo. Gagal jantung akut umumnya
terjadi pada pasien usia lanjut, sekitar 70 tahun (Farmakis et al., 2015).
Berdasarkan data epidemiologi, secara global gagal jantung akut terjadi pada
1-2% populasi orang dewasa pada negara berkembang. Angka ini meningkat
menjadi ≥ 10% pada populasi yang berusia di atas 70 tahun (Ponikowski et al.,
2016).
Berdasarkan sumber lain, sebagian besar gagal jantung akut merupakan
kasus gagal jantung akut dekompensata. Jumlah kasus gagal jantung akut de
novo ditemukan hanya sebesar 1/4 hingga 1/3 dari seluruh kasus gagal jantung
akut. Sebesar 40-55% pasien dengan gagal jantung akut memiliki fraksi ejeksi
ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction/LVEF) yang masih normal.
Selain itu, sebagian besar pasien dengan gagal jantung akut memiliki riwayat
hipertensi dan penyakit jantung coroner (Farmakis et al., 2015). Selain itu,
risiko seumur hidup gagal jantung akut pada laki-laki adalah sebesar 33%,
sedangkan pada wanita sebesar 28% (Kurmani & Squire, 2017)
Prevalensi kejadian gagal jantung menurut WHO (2015) menyebutkan
yakni 70% (39,5jt orang dari 56,4) tingkat kematian dunia yakni dengan
penyebab masalah penyakit tidak menular. Salah satu yang termasuk kedalam
penyebab kematian penyakit tidak menular yakni masalah penyakit jantung
memiliki angka sebesar 45% (17,7jt dari 39,5) kematian masyarakat dengan
penyebab gagal jantung dengan disertai masalah pembuluh darah (Kemenkes,
RI 2019).
Sedangkan menurut Riskesdas, (2018) menjelaskan terkait angka
prevalensi gagal jantung di indonesia yang sesuai diagnosa ketetapan dokter
yakni berada pada angka 1,5%, provinsi Kalimantan Utara 2,2% merupakan
provinsi tertinggi pertama kematian akibat masalah jantung, serta kedua yakni
yogyakarta sebesar 2%, serta ketiga yakni pada gorontalo sebesar 2%
(Kemenkes, RI 2019). Menurut data Kemenkes RI, (2014) berdasar ketetapan
diagnosis dokter tingkat prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun
2013 berada pada angka sebesar 0,13% atau sejumlah 229.696 masyarakat.
Serta berdasarkan diagnosis ketetapan dokter terkait masalah gagal jantung
adanya gejala yakni sebesar 0,3% atau sejumlah 530.068 masyarakat.

1.4 Etiologi
Mekanisme fisiologis, yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta
dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas meokardium pada
keadaan dimana terjadi penurunan pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Selain ketiga mekaniusme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, ada
faktor fisisologis lain yang dapat pula megakibatkan jantung gagal kerja
sebagai pompa. Faktor-faktor yang menganggu pengisisan ventrikel seperti
stenosis katup atrioventrikuler dapat menyebaban gagal jatung. Penyebab
gagal pompa jantung secara menyeluruh :
a) kelainan mekanisme
1. peningkatan beban tekanan
2. Sentral (stenosis aorta)
3. Perifer (hipertensi sitemik)
4. Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, peningkatan beban awal)
5. Obstruksi terhadap ventrikel (stenosis mitralis atau trikupidalis)
6. Tamponade pericardium
7. Restruksi endokardium atau miokardium
8. Aneurisma ventrikel
9. Dis-sinergi ventrikel
b) kelainan miokardium
1. Primer
a) kardiomiopati
b) miokarditis
c) kelainan metabolik
d) toksisitas (alcohol, kobalt)
e) preskardia
2. Kelainan dinamik sekunder
a) Kekurangan O2
b) Kelainan metabolik
c) Inflamasi
d) Penyakit sistemik
e) Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)
3. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi
a) Henti jantung
b) Fibrilasi
c) Tachycardia atau bradicardia yang berat
d) Asim kronis listrik, gangguan konduksi (Saiful, Hidayat. 2011)
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung kongestif memiliki dua kategori yaitu kategori
kelainan struktural jantung dan kapasitas fungsional (Tim Pokja Gagal Jantung
dan Kardiometabolik, 2020).
1. Berdasarkan struktural jantung
a) Stadium A
a. Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung
b. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional jantung
c. Tidak tampak tanda dan gejal
b) Stadium B
a. Terbentuk kelainan pada struktur jantung yang berhubungan dengan
perkembangan gagal jantung namun tidak terdapat tanda dan gejala
c) Stadium C
a. Gagal jantung simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural
jantung
d) Stadium D
a. Penyakit structural jantung lanjut serta muncul gejala gagal jantung
2. Berdasarkan kapasitas fungsional
a. Kelas I
a. Aktivitas klien tidak dibatasi
b. Aktivitas normal
c. Tidak timbul gejala kelelahan atau sesak nafas
b. Kelas II
a. Ada batasan aktivitas ringan
b. Aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
c. kelelahan atau sesak nafas
c. Kelas III
a. Aktivitas sangat dibatasi
b. Aktivitas ringan menyebabkan kelelahan,
c. berdebar, atau sesak nafa
d. Kelas IV
a. Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
b. Keluhan meningkat saat beraktivitas

1.6 Patofisiologi
Adanya kerusakan pada jantung atau miokardium menjadi awal
terjadinya gagal jantung yang kemudian akan menyebabkan menurunnya
curah jantung. Ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat pada respon
kompensatorik, yaitu adanya peningkatan aktivitas adrenergic simpatis,
peningkatan beban awal akibat aktivasi Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
(RAAS), dan hipertrofi ventrikel. Respon simpatis kompensatorik akan
muncul saat volume sekuncup menurun pada gagal jantung. Hal tersebut akan
merangsang katekolamin dari saraf-saraf adrenergic jantung dan medula
adrenal. Terjadi peningkatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung untuk
menambah curah jantung. Vasokonstriksi arteri perifer juga terjadi yang
bertujuan untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
untuk mengutamakan perfusi ke organ vital seperti jantung dan otak
(Nurkhalis & Adista, 2020). Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron akan
mengakibatkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume
ventrikel, serta regangan serabut. Kontraktilitas miokardium bertambah pada
peningkatan beban awal ini sesuai dengan mekanisme Frank Starling.
Hipertrofi miokardium atau bertambahnya ketebalan otot jantung adalah
respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung. Pada akhirnya, mekanisme
kompensatorik akan menimbulkan gejala dan peningkatan kerja jantung,
sehingga hasil akhir dari peristiwa tersebut adalah meningkatnya beban
miokardium dan berlangsung pada gagal jantung (Nurkhalis & Adista, 2020).
1.7 Manifestasi Klinis
Menurut Wijaya & putri (2013), manifestasi gagal jantung sebagai berikut:
1. Gagal jantung kiri
Menyebabkan kongestif, bendungan pada paru dan gangguan pada mekanisme
kontrol pernafasan. Gejala:
a. Dispnea
Terjadi karena penumpukan atau penimbunan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas. dispnea bahkan dapat terjadi saat istirahat atau
dicetuskan oleh gerakan yang minimal atu sering.
b. Orthopnea
Pasien yang mengalami orthopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan
menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur atau duduk dikursi,
bahkan saat tidur.
c. Batuk
Hal ini disebabkan oleh gagal ventrikel bisa kering dan tidak produktif, tetapi
yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan aputum
berbusa dalam jumlah banyak, yang kadang disertai dengan bercak darah.
d. Mudah lelah
Terjadi akibat curah jantung yang kurang, menghambat jaringan dari srikulasi
normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme.
Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang di gunakan untuk bernafas dan
insomnia yang terjadi akibat distress pernafasan dan batuk.
e. Ronkhi
f. Gelisah dan Cemas
Terjadi akibat gangguan oksigen jaringan, stres akibat kesakitan berfasan dan
pengetahuan bahkan jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Gagal jantung kanan
Menyebabkan peningkatan vena sistemik Gejala:
a. Oedem parifer
b. Peningkatan BB
c. Distensi vena jugularis
d. Hepatomegali
e. Asites
f. Pitting edema
g. Anoreksia
h. Mual
3. Secara luas peningkatan CPO dapat menyebabkan perfusi oksigen kejaringan
rendah, sehingga menimbulkan gejala:
a. Pusing
b. Kelelahan
c. Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d. Ekstrimitas dingin
4. Perfusi pada ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin seta sekresi aldosteron
dan retensi cairan dan natrium yang menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler.

Menurut Nurhidayat, Saiful 2011 manifestasi klinis gagal jantung secara


keseluruhan sangat bergantung pada etiologinya. Namun dapat digambarkan
sebagai berikut:
a. Orthopnea, yaitu sesak saat berbaring.
b. Dyspnea on effert (DOE), yaitu sesak bila melakukan aktivitas
c. Paroxyimal nocturnal dyspnea (PND), yaitu sesak nafas tiba-tiba pada
malam hari disertai batuk
d. Berdebar-debar
e. Lekas capek
f. Batuk-batuk
1. Gambaran klinis gagal jantung kiri:
a. sesak nafas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
b. pernapasan cheyne strokes
c. batuk-batuk
d. sianosis
e. suara sesak
f. ronchi basah, halus, tidak nyaring didaerah basal paru hydrothorax
g. kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama galop, tachycardia
h. BMR mungkin naik
i. Kelainan pada foto roengten
2. Gambaran klinis gagal jantung kanan
a. edema pretibia, edema presakral, asites dan hydrothorax
b. tekanan vena jugukaris meningkat (hepato jugular refluks).
c. gangguan gastrointestinal, anorexia, mual, muntah, rasa kembung
diepigastrium.
d. nyeri tekan mungkin didapati gangguan fungsi hati tetapi perbandingan
albumin dan globulin tetap, splenomegali, hepatomegali.
e. gangguan ginjal, albuminuria, silinder hialin, glanular, kadar ureum meninggi
(60-100%), oliguria, nocturia.
f. Hiponatremia, hipokalemia, hipoklorimia.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk pasien gagal jantung menurut Nugroho, dkk.
2016 adalah sebagai berikut :
1. EKG (elektrokardiogram): untek mengukur kecepatan dan keteraturan
denyut jantung EKG: Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis
iskemia dan kerusakan polamungkin terlihat. Disritmia misalnya
takhikardia, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persistensi 6 minggu
atau lebih setelah imfrak miokrad menunjukkan adanya aneurime
ventricular.
2. Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui ukuran
dan bentuk jantung, serta menilaikeadaan ruang jantung dan fungsi katup
jantung. Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.
3. Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung,
penimbunan cairan diparu-paru atau penyakit paru lainnya.
4. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (Brype nattruretic
peptide) yang pada gagal jantung akan meningkat.
5. Sonogram: dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
6. Skan jantung: tindakan penyuntikan fraksi san memperkirakan pergerakan
dinding.
7. Katerisasi jantung: tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan, sisi kiri, dan stenosis katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikan
kedalam ventrikel menunjukkan ukuran normal dan ejeksi fraksi/perubahan
kontraktilitas.

1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi A. Pelaksanaan


Farmakologi
Terapi farmakologis pada penderita gagal jantung memiliki tujuan untuk
menurunkan afterload dengan meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan
preload. Penggolongan obat pada terapi jantung adalah:
1) Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitors
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ACE Inhibitors antara lain:
captopril, ramipril, lisinopril. Obat golongan ini mencegah konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II.
2) Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Obat golongan ini diberikan apabila pemberian obat ACE Inhibitors tidak
dapat di toleransi pemberiannya. Yang termasuk golongan obat ini adalah
valsartan, irbesartan, telmisartan, candesartan. ARBs ini berfungsi untuk
menghambat reseptor angiotensin, menurunkan resistensi arteri dan dilatasi
arteri.
3) Beta Adrenergic Blockers
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat kerja beta adrenergik pada
sistem saraf simpatis yaitu menurunkan kerja jantung dan kebutuhan yang
lebih akan oksigen melalui penurunan frekuensi jantung dan vasodilatasi
arteri. Obat – obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah carvedilol,
bisoprolol, metaprolol.
4) Diuretic
Golongan obat diuretik terbagi atas tiga jenis, yaitu Loop diuretic, thiazide,
dan Aldosteron agonist. Yang termasuk jenis loo deuretic adalah furosemide
(Lasix), sedangkan yang termasuk jenis Thiazide antara lain
hydrochlorothiazide, dan yang termasuk jenis aldosteron agonist adalah
spironolactone.

1. First line drgs; diuretic.


Tujuan: Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi
kongesti pulmonal pada disfungsi diastolic. Obatnya adalah : thiazide
diurestics untuk CHF sedang, loop diuretic, metolazon (kombinasi dari loop
diuretic untuk meningkatkan pengeluarn cairan), kalium-sparing diuretic.
2. Second line drugs; ACE inhibitor.
Tujuan: membantu meningkatan COP dan menurunkan kerja jantung.
Obatnya adalah:
a. Digoxin: meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan unutk
kegagalan diastic yang mana dibutuhkan pengembangan ventrikel untuk
relaksasi.
b. Hidralazin: menururnkan afterload pada disfungsi sitolik.
c. Isobarbide dinitrat: mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi
sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik.
d. Calsium Chanel Blocker: untuk kegagalan diastolic, meningkatkan
relaksasi dan pengisisan ventrikel (jangan dipakai pada CHF kronik).
e. Beta Blocker: sering dikontraindikasikan karena menekan respon
miokard. Digunakan pada disfungsi diatolic untuk mengurangi HR,
mencegah iskemi miokard, menurunkan TD, hipertofi ventrikel kiri.

B. Pelaksanaan Non Farmakologi


a. CHF Kronik
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.
b. Diet pembatasan natrium (<4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
c. Menghentikan obat-obatan yang mempengaruhi NSAID karena efek
prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan natrium.
d. Pembatasan cairan (± 1200-1500 cc/hari).
b. Olahraga secara teratur.
a. CHF Akut
b. Oksigenasi (ventilasi mekanik)
c. Pembatasan cairan (1,5 liter/hari)
1.10 Komplikasi
Jika gagal jantung menjadi parah, beberapa komplikasi yang mengerikan
dapat terjadi. Yang paling umum di antaranya adalah:
1) Komplikasi Paru
Orang dengan gagal jantung yang mengalami gangguan paru yang
lama atau parah dapat mengalami komplikasi paru-paru, terutama
pneumonia dan emboli paru. Karena pernapasan mereka sudah terganggu
oleh gagal jantung itu sendiri, komplikasi paru ini bisa sangat berbahaya
pada orang dengan gagal jantung. Selain itu, orang yang mengalami
episode edema paru akut yang berulang mungkin hanya mencapai titik di
mana episode akut menyebabkan kematian sebelum mereka mendapatkan
perawatan medis (Fogoros, 2021).
2) Stroke
Stroke sering terjadi pada orang dengan gagal jantung, sebagian
karena aliran darah bisa menjadi relatif "lambat," dan sebagian karena
gumpalan darah yang terbentuk di jantung dapat berjalan ke otak dan
menyebabkan kematian jaringan otak. gumpalan sering berkembang
karena fibrilasi atrium, tetapi mereka juga dapat terbentuk hanya karena
pengumpulan darah di ruang jantung yang melebar secara masif (Fogoros,
2021).
3) Kegagalan organ
Berkurangnya tindakan pemompaan jantung dapat merampas suplai
darah yang dibutuhkan berbagai organ, dan kerusakan organ dapat terjadi.
Selain defisit neurologis yang sering terlihat pada orang dengan gagal
jantung, gagal ginjal dapat terjadi, dan gangguan pencernaan yang parah
sering terjadi. Masalah seperti itu, jelas, berkontribusi pada penurunan
berat badan, kelesuan, dan kelemahan yang dihasilkan oleh curah jantung
yang rendah (Fogoros, 2021).
4) Kematian mendadak
Kematian mendadak sangat umum terjadi pada orang dengan gagal
jantung. Paling sering kematian mendadak ini disebabkan oleh aritmia
jantung (takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel) dan oleh karena itu
berpotensi dapat dicegah (misalnya, dengan menggunakan defibrilator
implan). Namun, kematian mendadak juga dapat terjadi pada orang dengan
gagal jantung parah hanya karena otot jantung yang haus tiba-tiba berhenti
merespons sinyal listrik jantung—suatu peristiwa yang sering disebut
"disosiasi elektro-mekanis." (Fogoros, 2021).
BAB II. CLINICAL PATHWAY
BAB III. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian merupakan proses yang terstruktur dan sistematis, mulai dari
pengumpulan data, verifikasi data, dan komunikasi data tentang klien. Pada fase
pengkajian ini terdapat 2 langkah yaitu pengumpulan data dari klien (sumber
primer) dan keluarga, tenaga kesehatan (sumber sekunder) serta analisa data untuk
diagnosa keperawatan.
a. Identitas Klien
Identittas pasien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan lain-lain hal ini nantinya
akan berkaitan dengan proses keamanan pasien terutama dalam tindakan
medis pemberian obat, pemeriksaan maupun pembedahan jika ada.
b. Riwayat kesehatan
1. Diagnosa medik: diagnosa medis adalah diagnosa yang ditegakkan oleh
dokter, dalam kasus ini diagnosa medisnya ialah congestive heart failure
(CHF) atau gagal jantung.
2. Keluhan utama
Keluhan yang paling sering menjadi alasan pasien untuk meminta
pertolongan pada tenaga kesehatan seperti, dispnea, kelemahan fisik, dan
edema sistemik (Dewi I. N. 2012).
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan
pertanyaan tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat
dengan gejalagejala kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya dispnea,
ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut. Tanyakan juga gajalagejala lain
yang mengganggu pasien (Wijaya & Putri, 2013).
4. Riwayat kesehatan dahulu:
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien apakah
pasien sebelumnya menderita nyeri dada khas infark miokardium, sesak
nafas berat, hipertensi, DM, atau hiperglipide mia. Tanyakan juga obat
obatan yang biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang mungkin
masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki pasien (Wijaya & Putri,
2013).
5. Riwayat kesehatan keluarga:
Riwayat Tanyakan pasien penyakit yang pernah dialami oleh kelurga. Bila
ada keluarga yang meninggal tanyakan penyebab meninggalnya. Penyakit
jantung pada orang tuanya juga menjadi faktor utama untuk penyakit
jantung iskemik pada keturunannya (Ardiansyah, 2012).
6. Genogram:
Genogram berisikan tentang peta garis keturunan yang dimiliki oleh klien,
normalnya digambarkan dalam 3 generasi yang juga dapat membantu dalam
meninjau kembali apakah terdapat riwayat penyakit yang diturunkan dari
keluarga yang belum tampak.
3) Pengakajian keperawatan
a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Dalam pengkajian ini menggambarkan tentang pola kesehatan,
kesejahteraan, dan bagaimana pasien mengelola kesehatannya, terutama
yang memiliki korelasi dengan penyakit CHF yang sedang dialami, seperti
kepatuhan mengkonsumsi obat ataupun memeriksanakan diri, tindak lanjut
pengobatan dan lain-lain.
b. Pola nutrisi / metabolik
Pasien dengan CHF umumnya akan mengalami penurunan berat badan yang
signifikan diakrenakan nafsu makan yang menurun drastis. Sehingga hal ini
diikuti dengan adanya penurunan IMT pada pengukuran antropometri. Pada
tanda klinis (clinical sign) umumnya pasien dengan CHF akan tampak
pucat, dan pada sebagian pasien bibir tampak kering. Pada hasil
biolaboratorium (biomedical sign) juga akan didapatkan nilai tidak normal
khususnya pada elektronit, BUN kreatinin, GFR dan Enzim hati.
c. Pola eliminasi
Pada pasien dengan CHF akan memiliki perubahan pola eliminasi, terutama
pada eliminasi urin atau BAK, hal ini berkaitan dengan adanya proses Renin
angiotensin aldosterone system (RAAS) yang berdampak pula pada sekresi
aldosteron dan anti deuretik hormon untuk tetap menjaga tubuh dalam
keadaan hemeostatis sehingga umumnya kadar urin akan berkurang.
d. Pola aktivitas dan latihan
Pada pola aktivitas dan latihan para pasien dengan CHF akan bergantung
kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, hal ini
dikarenakan pasien CHF mudah merasa kelelahan pada saat melakukan
aktivitas terlebih apabila sudah berada dalam kelas 4 NYHA. Sehingga pasti
terdapat perubahan skala kemandirian menjadi dibantu dengan orang alat
hingga ketergantungan total. Pada pola aktivitas dan latihan ini penting juga
untuk mengkaji tentang kekuatan otot dan rentang gerak sendi, status
oksigenasi, fungsio kardiovaskuler, dan terapi oksigen yang akan menjadi
tidak normal karena adanya gangguan pertukaran gas karena dampak dari
ketidak mampuan jantung dalam memompa darah.
e. Pola tidur dan istirahat
Pasien dengan CHF akan mengalami gangguan tidur, hal ini disebabkan
timbulnya rasa sesak pada dada pasien pada baik saat beraktivitas maupun
berbaring, pada saat berbaring pasien akan merasakan keluhan yang
dinamakan ortopnea dan hanya muncul pada pasien dengan CHF, juga
pasien akan mengalami paroxysmal nocturnal dyspnea yang
f. Pola kognitif dan perseptual
Pada pola kognitif dan persepsual pasien yang perluuntuk dikaji adalah
kemampuan bahasam memori, penilaian, dan pengambilan keputusan serta
kemampuan indera dalam merespon rangsangan.
g. Pola persepsi diri
Pada pola persepsi diri menggambarkan tentang bagaimana pasien CHF
menggambarkan dirinya atau memandang dirinya baik disadari maupun
tidak mencangkup persepsi masa lalu, depan dan sekarang.
h. Pola seksualitas dan reproduksitas
Pada pola sesksualitas dan resproduksi mengkaji tentang kepuasan atau
ketidakpuasan terhadap aspek seksualitas yang dimiliki yang dirasakan oleh
pasien.
i. Pola peran dan hubungan
Pasien CHF akan menjelaskan terkait peran pasien dalam keluarga dan juga
hubungannya dengan orang lain, terkait pengambilan keputusan dalam
keluarga, kooperatif atau tidaknya anggota keluarga dan juga kepuasan
dalam menjalankan perannya baik di keluarga, pekerjaan maupun
lingkungan sosial.
j. Pola manjemen dan koping stres
Pasien CHF menjelaskan pola koping umum dan efektivitas pola dalam hal
toleransi stres. Termasuk juga cara penanganan stres, keluarga atau sistem
pendukung lainnya, dan kemampuan yang dirasakan untuk mengelola
situasi penuh tekanan terlebih pada saat pasien sakit.
k. Sistem nilai dan keyakinan
Pada sistem nilai dan keyakinan ini menjelaskan terkait pola nilai
epercayaan, tujuan ataupun keyakinan termasuk juga spiritualitas yang
memandu pasien dalam mengambil keputusan.
4). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital
Pada pasien dengan CHF tanda vital dapat ketidaknormalitasanya pada tekanan
darah yang umumnya menjadi lebih meningkat karena adanya penyakit tekanan
darah tinggi atau hipertensi sehingga dijumpai tekanan darah lebih dari 120/80
mmHg, adanya nadi yang meningkat dari batas normal 60-100x/menit,
frekuensi nafas atau respiration rate yang meningkat dari batas normal 16-
24x/menit, dan suhu tubuh yang mengikuti kondisi pasien umumnya bernilai
normal pada 36,5-37,5˚C, apabila dilakukan pemeriksanaan kandungan SPO2
juga memungkinkan untuk pasien dengan CHF tidak berada pada rentang
normal yakni 95- 100%.
1) Pemeriksaan lapang dada
1) Paru-paru
- Inspeksi : melihat bentuk dada keseimetrisan dada, pergerakan dada
ataupun nafas, pelebaran dada, penggunaan otot bantu pernapasan pada
pasien dengan CHF. Pada pasien dengan CHF umumnya frekuensi nafas
menjadi lebih cepat dengan adanya bantuan otot diafragma.
- Palpasi : nyeri tekan, benjolan, gerakan dinding dada, ekspansi paru dan
taktil fremitus pada pasien dengan CHF
- Perkusi : menentukan batas paru dengan suara sonor pada normalnya,
namun pada beberapa kasus pasien dengan CHF akan terdengar redup
pada lapang paru bagian bawah dikarenakan adanya efusi pleura
- Auskultasi: suara pernafasan dan suara tambahan pernafasan pada
pasien CHF akan terdenger tidak normal, dapat terderngar suara ronkhi,
wheezing maupun crakles pada kedua ataupun salah satu lapang paru
yang disebabkan adanya alveolus yang terisi oleh cairan dari jantung
2) Jantung
- Inspeksi : penampakan ictus cordis normalnya akan tampak berdetak
pada mid klavikula sinistra intercosta 4, namun pada pasien dengan
CHF yang terjadi kardiomegali maka ictus cordis akan bergeser
- Palpasi : perabaan ictus cordis terletak tepat pada normalnya ataukah
mengalami pergeseran kearah lateral
- Perkusi : penentuan batas jantung dengan paru-paru dapat didengar
dengan perbedaan suara apeks dan sonor
- Auskultasi: mendengarkan bunyi jantung, irama jantung dan bising
jantung pada pasien dengan CHF terdengar suara murmur
3) Abdomen
- Inspeksi : melihat keadaan kulit pada perut ada tidaknya lesi, bentuk
perut, gerakan dinding perut dan keadaan umbilikus. Pada pasien CHF
kemungkinan terjadi perubahan bentuk perut menjadi acites hal tersebut
terjadi karena adanya aliran backward ke daerah perifer ataupun karena
adanya hepatomegali atau spignomegali.
- Palpasi : melihat apakah adanya massa maupun nyeri tekan, pada
pasien dengan CHF terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan atas atau
pada hati karena adanya peningkatkan tekanan vena hati.
- Perkusi : normalnya pada orang sehat bunyi perkusi perut adalah
timpani namun pada beberapa bagian terdengar apeks yakni pada
kuadran kanan atas utamanya pada hati.
- Auskultasi : normalnya bising usus normal yakni 5-15x permenit 4)
Ekstremitas
- Inspeksi : melihat apakah ada lesi, luka ataupun memar pada kedua
bagian ekstremitas baik atas maupun bawah, adakah krepitasi atau
abnormal bentuk ekstremitas
- Palpasi : ada nyeri tekan atau benjolan di ekstremitas atas maupun
bawah, ada tidaknya pitting edema pada ekstremitas bawah yang
ditandai dengan pada saat menekan daerah kaki maka tidak akan
langsung kembali pada posisi semula dalam kurang dari 1 detik.
5) Integumen :
- Inspeksi : Mengidentifikasi adanya warna kulit yang tidak normal,
melihat elastisitas, turgor kulit, kebersihan, akral, lekembaban, dan
distribusi rambut. Umumnya pada pasien dengan CHF memiliki kulit
pucat dan akral dingin karena perfusi tidak optimal pada daerah perifer.
- Palpasi : melihat apakah ada nyeri tekan atau tidak, nilai capilary refil
test (CRT) normalnya < 2 detik, namun pada pasien dengan CHF
umumnya lebih dari 2 detik.
6) Kondisi lokal
Pemeriksaan yang khas pada permasalahan di jantung khususnya adalah
adanya distensi pada vena jugularis, sehingga untuk memastikan apakah
ada masalah di atrium kanan maka perlu untuk memeriksa distensi vena
jugularis dengan cara menggunakan mistar dengannilai normal 3-4 cm
diatas sudut sternum.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, beberapa
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan penyakit
gagal jantung kongestif antara lain (PPNI, 2017) :
1) Penurunan curah jantung (definisi: ketidakedekuatan jantung memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh) b.d perubahan
kontraktilitas
2) Pola nafas tidak efektif (definisi: inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak
memberikan ventilasi yang adekuat) b.d hambatan upaya nafas
3) Gangguan pertukaran gas (definisi: kelebihan atau kekurangan oksigenasi
dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveoluskapiler) b.d
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
4) Intoleransi aktivitas (definisi: ketidakcukupan energi untuk melakukan
aktivitas sehari-hari) b.d ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5) Hipervolemia b.d. menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah
jantung)
3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa RENCANA KEPERAWATAN
No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Penurunan Curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien Perawatan Jantung I.02075
Observasi
Jantung (D.0008) dapat: Menunjukkan Curah Jantung(L.02008) yang dibuktikan
1. Identifikasi tanda/gejala primer
oleh indikator sebagai berikut:
penurunan curah jantung (meliputi
Indikator Awal 1 2 3 4 5
23tress23, kelelahan, edema, ortoprea,
Kekuatan 2  paroxysmal nocturnal dyspnea,
nadi perifer (Meningkat) peningkatan CVP)
2. Identifikasi tanda/gejala sekunder
Gamabran 2 
penurunan curah jantung (meliputi
EKG Aritmia (Menurun)
peningkatan berat badan,
Palpitasi 2  23tress23egaly, distensi vena jugularis,
(Menurun) palpikasi, ronkhi basah, oliguria, batuk.
Kulitpucat)
3. Monitor tekanan darah (termasuk
tekanan darah ortostatik, jika perk)
4. Monitor intake dan output cairan
Monitor berat badan setiap hari pada
waktu yang sama
5. Monitor saturasi oksigen
6. Monitor keluhan nyeri dada (mis
intensitas, lokasi, radiasi,yang
mengurangi nyeri)
7. Monitor EKG 12 sadapan durasi,
presivitasi
8. Monitor artinia (kelainan irama dan
frekuensi)
Terapeutik
1. Posisikan pasien semi-Fowler atau
Fowler dengan kaki ke bawah atau
posisi nyaman dan makanan tinggi
lemak)
2. Berkan diet jantung yang sesuai (mis
batasi asupan kafein, natrium, kolesterol,
3. Berkan terapi relaksasi untuk
mengurangi 25tress, jika perlu
4. Berikan dukungan emosional dan
spiritual
5. Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
2. – Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap Anjurkan berhenti merokok
3. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
berat badan harian
4. Ajarkan paslen dan keluarga mengukur
intake dan output cairan harian
Kolaborasi
1. pemberian antiaritmia, jika perlu Rujuk
ke program rehabilitasi jantung

2. Pola Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,Pemantauan Neurologis (I.06197)
Efektif (D.0005) diharapkan pola napas menjadi efektifdengan kriteria hasil:
Status Neurologis (L.06053)
Observasi

No. Indikator Tujuan 1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan,


1 2 3 4 5 dan reaktifitaspupil
1. Tingkat √ 2. Monitor tingkat kesadaran
Kesadaran 3. Monitor tanda-tanda vital
2. Kontrol Pupil √
4. Monitor status pernafasan
3. Kontrol √
Motorik Pusat Terapeutik

5. Tingkatkan frekuensi pemantauan


Keterangan: neurologis, bila perlu
1. Menurun
6. Hindari aktifitas yang dapat
2. Cukup menurun
meningkatkan tekananintrakranial
3. Sedang
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
4. Cukup meningkat
5. Meningkat Edukasi

8. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu


No. Indikator Tujuan
1 2 3 4 5
1. Pola Nafas √
Manajemen Jalan Napas (I. 01011)
2. Frekuensi √ Observasi
Nafas
1. Monitor pola napas (frekuensi,
Keterangan: kedalaman, usahanapas)
1. Meningkat Terapeutik

2. Cukup meningkat 1. Pertahankan kepatenan jalan napas


3. Sedang
2. Berikan oksigen
4. Cukup menurun
Kolaborasi
5. Menurun
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
jika perlu

3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam Pemantauan Respirasi I.01014
pertukaran gas pasien dapat: Menunjukkan gangguan pertukaran gas yang Observasi
dengan faktor dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman
resiko perubahan Indikator Awal 1 2 3 4 5 dan upaya napas
membran kapiler 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
alveolus (D0003) Dispnea 2  takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
(Meningkat)
Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
Bunyi napas 3  3. Monitor kemampuan batuk efektif
(Meningkat)
tambahan 4. Monitor adanya produksi sputum
PCO2 2  5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
(Membaik)
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
6. Auskultasi bunyi napas
7. Monitor nilai AGD
8. Monitor saturasi oksigen – Monitor hasil
x-ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
4. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien Manajemen Energi I.05178
yang berhubungan dapat: Menunjukkan Toleransi Aktivitas (L.05047) yang Observasi
dengan dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
ketidakseimbangan mengakibatkan kelelahan
suplai oksigen dan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
jaringan yang 3. Monitor pola dan jam tidur
akibat dari Indikator Awal 1 2 3 4 5 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
penurunan curah Frekuensi nadi 2  selama melakukan aktivitas
jantung (D.0056) (Meningkat) Terapeutik
Saturasi 2  1. Sediakan lingkungan nyaman dan
(Meningkat)
oksigen rendah stimulus (mis. Cahaya, suara,
kunjungan)
Keluhan lelah 2 
(Menurun) 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif
dan/atau aktif Berikan aktivitas distraksi
Dispnea saat 2 
(Menurun) yang menenangkan
aktivitas
3. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah barinh
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
5. Hipervolemia b.d. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien Manajemen Hipervolemia
menurunnya laju dapat: Menunjukkan Keseimbangan cairan (L.03020) yang Observasi
filtrasi glomerulus dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
(menurunnya curah Indikator Awa 1 2 3 4 5 (mis, ortopnea, dispnea, edema,
l
jantung) (D.0022) JVP/CVP meningkat, refleks
Asupan 2  hepatojugular positif, suara napas
cairan (meningka
tambahan)
t)
2. Identifikasi penyebab hypervolemia
Keluaran 2 
3. Monitor status hemodinamik (mis.
(meningka
urin t) frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,

Kelembapan 2  CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jika


membran (meningka tersedia tanda hernokonsentrasi (mis.,
mukosa t) kadar natrium, BUN, hematokrit, berat
Edema 3  jenis urine)
(menurun)
4. Monitor tanda peningkatan tekanan
Dehidrasi 2  onkotik plasma (mis. kadar protein dan
(menurun)
albuminmeningkat)
5. Monitor kecepatan infus secara ketat -
Monitor efek samping diuretik (mis.
hipotensi ortortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremla)
Terapeutik
1. Timbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama Batasi asupan cairan
dan garam
2. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40°
Edukasi
3. Anjurkan melapor jika haluaran urin
<0,5 ml/kg/jam dalam 6 Jam
4. Anjurkan melapor Jika BB bertambah
>1 kg dalam sehari
5. Ajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan Ajarkan cara
membatasi cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat diuretic
2. Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy (CRRT), jika perlu.
3.4 Evaluasi Keperawatan
Tindakan atau aplikasi keperawatan yang sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun disebut dengan implementasi
keperawatan. Penilaian hasil dan proses tindakan atau asuhan keperawatan
disebut dengan evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan berfungsi
untuk menilai apakah asuhan keperawatan yang diberikan sudah mencapai
tujuan. Evaluasi dilakukan secara sistematik dan periodic setelah pasien
diberikan intervensi secara berkala. Format evaluasi adalah SOAP:
- S: Data Subyektif, berkaitan dengan masalah dari sudut pandang pasien
- O: Data Obyektif, dokumentasi didapatkan dari hasil observasi,
pemeriksaan fisik dan lab
- A: Asessment, kesimpulan dari data subyektif dan obyektif yang
mencakup diagnosis aktual, potensial dan tindakan segera
- P: Planning, rencana asuhan keperawatan saat ini dan yang akan datang.

3.5 Discharge Planning


Kegiatan menfasilitasi perencanaan kebutuhan yang diperlukan klien
semenjak keluar rumah sakit hingga perawatan di rumah secara mandiri
disebut Discharge planning atau perencanaan pulang. Perawat dapat
memberikan edukasi kepada klien dan kelurga klien terkait hal-hal yang
harus mereka lakukan yaitu:
1. Jelaskan petunjuk penggunaan, dosis, dan efek samping dari obat-
obatan yang telah diresepkan oleh dokter.
2. Anjurkan pasien untuk melakukan cek rutin untuk melihat kondisi
aktual
3. Anjurkan pasien untuk segera pergi ke rumah sakit apabila terjadi
nyeri pada dada, keletihan, lemah, pusing, dan masalah lainnya.
4. Pendidikan pasien: Ajarkan pasien dan keluarganya tentang
manajemen pengobatan, diet rendah natrium, rekomendasi aktivitas
dan olahraga, berhenti merokok, dan belajar mengenali tanda dan
gejala perburukan gagal jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Dinarti dan Y. Mulyanti. (2017). Dokumentasi keperawatan. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia. 167.
Fogoros, R. N. (2021). Symptoms and Complications of Heart
Failure.
https://www.verywellhealth.com/symptoms-and-complications-of-
heartfailure4161320 [Diakses pada 31 Oktober 2022] .
Kuntoadi, G. B. (2019). Buku Ajar Anatomi Fisiologi. Pantera Publishing Laksmi.
I. A. A. Dan P. W. K. Putra. (2020). Program Suportif Edukatif Meningkatkan
Kemampuan Self Care Pada Pasien Gagal Jantung. Yogyakarta: Bintang
Pustaka Madani
Nurkhalis, & Adista, R. J. (2020). Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal
Jantung. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 3(3), 36–46.
Rispawati, B. H. (2019). Pengaruh Konseling Diet Jantung Terhadap Pengetahuan
Diet Jantung Pasien Congestive Heart Failure (CHF). REAL in Nursing
Journal (RNJ), 2(2), 77–85.
https://ojs.fdk.ac.id/inde%0Ax.php/Nursing/index
Tim Pokja Gagal Jantung dan Kardiometabolik. (2020). Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung PP Perki 2020.
Tim Pokja SDKI DPP PPN. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I).
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai