Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

A. Pengertian
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak,
commusio (gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan
serebral yaitu diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak
(Doenges, 2000:270).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit
kepala,tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit
neurologik yangserius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi
epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B. Anatomi Fisiologi
Anatomi Kepala
1. Tulang Tengkorak
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan
luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang
menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior
(didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus
temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan
sereblum).
a. Meningen
Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang
berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan
dibawahnya, meningen terdiri dari:
1) Durameter (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga
yang mengalirkan darah vena ke otak.
2) Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3) Piameter (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-
struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
(Ganong, 2002)
b. Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
1) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling
menonjol. Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua
kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran,
ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi menjadi hemisfer
kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut
fisura longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri
terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai kortek serebri,
terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam
(inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer
saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut
korpus kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa
substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas
sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap
dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang
berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah
kanan.
Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral. Setiap
hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:
a) Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer,
terutama fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah
laku dan etika.
b) Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan
memori.
c) Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
d) Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)
2) Otak tengah
3) Otak belakang
Saraf-Saraf Otak:
a. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan
kemudian diolah lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat
yang sama satu lubang hidung ditutup, penderita diminta
membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau de cologne,
dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma
optikum, kemudian melalui traktus optikus menuju korteks
oksipitalis untuk dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola
mata untuk penglihatan.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola
mata). Fungsi sebagai penggerak bola mata.
d. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik
dengan memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter,
yang merupakan otot-otot pengunyah.
Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
1) Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi:
Kulit kepala dan kelopak mata atas.
2) Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas,
palatum dan hidung.
3) Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi :
Rahang bawah dan lidah.
f. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai
saraf penggoyang bola mata.
g. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut
sensorik yang menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan
serabut motorik yang mensarafi semua otot ekspresi wajah,
termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga
mulut.
h. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa
rangsangan dari pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya:
Sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.
k. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)
Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
Fisiologi
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan
darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma
intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma
subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat
pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat
dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah
beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan
otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau batang
otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua
sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan
kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada
usia lanjut.
1. Hematoma Epidural
Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens
dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bias
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian.
Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul
lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk,
kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak
untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
2. Hematoma Subdural
Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat
kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah: Sakit kepala yang menetap, Rasa
mengantuk yang hilang-timbul, Linglung, Perubahan ingatan,
Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

C. Penyebab
Cedera kepala disebabkan oleh
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

D. Manifestasi klinik

Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa
detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
b. Petechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
“Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat
benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit
s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit
neurologis (tanda hernia):
1). kacau mental → koma
2). gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3). pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidura
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai
dengan berbulan-bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) perluasan massa lesi
6) peningkatan TIK
7) sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1. Cidera kepala Ringan (CKR)
a. GCS 13-15
b. Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2. Cidera Kepala Sedang (CKS)
a. GCS 9-12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari
24 jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Cidera Kepala Berat (CKB)
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c. Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
(Hudak dan Gallo, 1996:226)

E. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan
hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
F. Patway
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
c. Mempertahankan sirkulasi stabil
d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperhidrasi
f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus
g. Mengelola pemberian obat sesuai program
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigenasi dan IVFD
b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)
Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
1) 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
2) 5 mg/8 jam untuk hari III
3) 5 mg/12 jam untuk hari IV
4) 5 mg/24 jam untuk hari V
c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
d. Terapi anti perdarahan bila perlu
e. Terapi antibiotik untuk profilaksis
f. Terapi antipeuretik bila demam
g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari
H. Fokus Pengkajian Keperawatan
Kasus Kegawatdaruratan
1. Primary Survey
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus
dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya
suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan
produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
2. Secondary survey
a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar
dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar
dan cedera yang lain
I. Diagnose Keperawatan
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan dengan
aliran arteri dan atau vena terputus.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas
4. Hipertermi berhubungan dengan trauma (cidera jaringan otak, kerusakan
batang otak)
5. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
6. Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, afektif, dan motorik)
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
8. Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan
kelemahan fisik dan nyeri.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
10. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
11. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status
hipermetabolik.
12. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma/ laserasi kulit kepala
13. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
14. PK: peningkatan TIK dengan proses desak ruang akibat penumpukan
cairan/ darah di dalam otak.
J. Fokus Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan
O
1 Perfusi jaringan tak NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
efektif (spesifik sere- 1.   Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien
bral) b.d aliran arteri 2.   Perfusi jaringan serebral terhadap stimu-lus /
dan atau vena Setelah dilakukan tindakan rangsangan
terputus, dengan keperawatan selama ….x 24 2. Monitor TIK klien dan respon
batasan karak- jam, klien mampu mencapai : neurologis terhadap aktivitas
teristik: 1. Status sirkulasi dengan 3. Monitor intake dan output
 Perubahan respon indikator: 4. Pasang restrain, jika perlu
motoric - Tekanan darah sis-tolik 5. Monitor suhu dan angka
 Perubahan status dan diastolik dalam leukosit
mental rentang yang diharapkan 6. Kaji adanya kaku kuduk
 respon pupil - Tidak ada ortostatik 7. Kelola pemberian antibiotic
 Amnesia hipotensi 8. Berikan posisi dengan kepala
retrograde (gang- - Tidak ada tanda tan-da elevasi 30-40O dengan leher
guan memori) PTIK dalam posisi netral
2. Perfusi jaringan serebral, 9. Minimalkan stimulus dari
dengan indicator : lingkungan
- Klien mampu berko- 10. Beri jarak antar tindakan
munikasi dengan je-las keperawatan untuk
dan sesuai ke-mampuan meminimalkan peningkatan
- Klien menunjukkan TIK
perhatian, konsen-trasi, 11. Kelola obat obat untuk
dan orientasi mempertahankan TIK dalam
- Klien mampu mem- batas spesifik
proses informasi
- Klien mampu mem-buat Monitoring Neurologis (2620)
keputusan de-ngan benar 1. Monitor ukuran, kesimetrisan,
- Tingkat kesadaran klien reaksi dan bentuk pupil
membaik 2. Monitor tingkat kesadaran
klien
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor keluhan nyeri kepala,
mual, dan muntah
5. Monitor respon klien terhadap
pengobatan
6. Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7. Observasi kondisi fisik klien

Terapi Oksigen (3320)


1. Bersihkan jalan nafas dari
secret
2. Pertahankan jalan nafas tetap
efektif
3. Berikan oksigen sesuai
instruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien
tentang pentingnya pemberian
oksigen
6. Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama
aktivitas dan tidur
2 Ketidakefektifan NOC Outcome : Manajemen jalana napas
bersihan jalan napas - Status respirasi : 1. Monitor status respirasi dan
pertukaran gas oksigenasi
- Status respirasi : 2. Bersihkan jalan napas
kepatenan jalan napas 3. Auskultasi suara pernapasan
- Status respirasi : ventilasi 4. Berikan Oksigen sesuai
- Kontrol aspirasi Program

Client Outcome : Suctioning air way


- Jalan napas paten 1. Observasi sekret yang keluar
- Sekret dapat dikeluarkan 2. Auskultasi seblum dan sesudah
- Suara napas bersih melakukan suction
3. Gunakan pealatan steril pada
saat melakukan suction
4. Informasikan pada klien dan
keluarga tentang tindakan
suction

3 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)


dengan agen injuri 1.  Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik, dengan batasan 2.  Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi,
karakteristik: 3.  Tingkat kenyamanan frekuensi, kualitas, dan
- Laporan nyeri ke- Setelah dilakukan asuhan beratnya nyeri.
pala secara verbal keperawatan selama …. x 24 2. Observasi respon
atau non verbal jam, klien dapat : ketidaknyamanan secara verbal
- Respon autonom 1. Mengontrol nyeri, de-ngan dan non verbal.
(perubahan vital indikator: 3. Pastikan klien menerima
sign, dilatasi - Mengenal faktor-faktor perawatan analgetik dg tepat.
pupil) penyebab 4. Gunakan strategi komunikasi
- Tingkah laku eks- - Mengenal onset nyeri yang efektif untuk mengetahui
presif (gelisah, - Tindakan pertolong-an respon penerimaan klien
me-nangis, non farmakologi terhadap nyeri.
merintih) - Menggunakan anal- 5. Evaluasi keefektifan
- Fakta dari getik penggunaan kontrol nyeri
observasi - Melaporkan gejala- 6. Monitoring perubahan nyeri
- Gangguan tidur gejala nyeri kepada tim baik aktual maupun potensial.
(mata sayu, kesehatan. 7. Sediakan lingkungan yang
menye-ringai, dll) - Nyeri terkontrol nyaman.
8. Kurangi faktor-faktor yang
2. Menunjukkan tingkat dapat menambah ungkapan
nyeri, dengan indikator: nyeri.
- Melaporkan nyeri 9. Ajarkan penggunaan tehnik
- Frekuensi nyeri relaksasi sebelum atau sesudah
- Lamanya episode nyeri nyeri berlangsung.
- Ekspresi nyeri; wa-jah 10. Kolaborasi dengan tim
- Perubahan respirasi rate kesehatan lain untuk memilih
- Perubahan tekanan tindakan selain obat untuk
darah meringankan nyeri.
- Kehilangan nafsu 11. Tingkatkan istirahat yang
makan adekuat untuk meringankan
3. Tingkat kenyamanan, nyeri.
dengan indicator :
- Klien melaporkan  Manajemen pengobatan (2380)
kebutuhan tidur dan 1. Tentukan obat yang
istirahat tercukupi dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan
anjuran/ dosis.
2. Monitor efek teraupetik dari
pengobatan.
3. Monitor tanda, gejala dan efek
samping obat.
4. Monitor interaksi obat.
5. Ajarkan pada klien / keluarga
cara mengatasi efek samping
pengobatan.
6. Jelaskan manfaat pengobatan
yg dapat mempengaruhi gaya
hidup klien.

 Pengelolaan analgetik (2210)


1. Periksa perintah medis tentang
obat, dosis & frekuensi obat
analgetik.
2. Periksa riwayat alergi klien.
3. Pilih obat berdasarkan tipe dan
beratnya nyeri.
4. Pilih cara pemberian IV atau
IM untuk pengobatan, jika
mungkin.
5. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda dan
gejala efek samping, misal
depresi pernafasan, mual dan
muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk
obat, dosis & cara pemberian
yg diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5
benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak
diinginkan

4 Defisit self care b.d NOC: NIC: Membantu perawatan diri


dengan kelelahan,  Perawatan diri : klien Mandi  dan toileting
nyeri (mandi, Makan Toiletting,
berpakaian) Aktifitas:
Setelah diberi motivasi 1. Tempatkan alat-alat mandi di
perawatan selama ….x24  tempat yang mudah dikenali
jam, ps mengerti cara dan mudah dijangkau klien
memenuhi ADL secara 2. Libatkan klien dan damping
bertahap sesuai kemam-puan, 3. Berikan bantuan selama klien
dengan kriteria : masih mampu mengerjakan
- Mengerti secara seder- sendiri
hana cara  mandi, makan,
toileting, dan berpakaian NIC: ADL Berpakaian
serta mau mencoba se-
cara aman tanpa cemas Aktifitas:
- Klien mau berpartisipasi 1. Informasikan pada klien dalam
dengan senang hati tanpa memilih pakaian selama
keluhan dalam memenuhi perawatan
ADL
2. Sediakan pakaian di tempat
yang mudah dijangkau
3. Bantu berpakaian yang sesuai
4. Jaga privcy klien
5. Berikan pakaian pribadi yg
digemari dan sesuai
NIC: ADL Makan
1. Anjurkan duduk dan berdo’a
bersama teman
2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum mampu
dan beri contoh
4. Beri rasa nyaman saat makan

5 PK: peningkatan Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tanda dan gejala


tekan-an intrakranial keperawatan selama ….x 24 peningkatan TIK
b.d pro-ses desak jam dapat mencegah atau - Kaji respon membuka mata,
ruang akibat meminimalkan komplikasi respon motorik, dan verbal,
penumpukan cairan / dari peningkatan TIK, dengan (GCS)
darah di dalam otak kriteria : - Kaji perubahan tanda-tanda
(Carpenito, 1999) - Kesadaran stabil (orien-asi vital
Batasan baik) - Kaji respon pupil
karakteristik : - Pupil isokor, diameter - Catat gejala dan tanda-tanda:
- Penurunan kesadar- 1mm muntah, sakit kepala,
an (gelisah, disori- - Reflek baik lethargi, gelisah, nafas keras,
entasi) - Tidak mual gerakan tak bertujuan,
- Perubahan motorik - Tidak muntah perubahan mental
dan persepsi 2. Tinggikan kepala 30-40O jika
sensasi tidak ada kontra indikasi
- Perubahan tanda 3. Hindarkan situasi atau
vi-tal (TD manuver sebagai berikut:
meningkat, nadi - Masase karotis
kuat dan lambat) - Fleksi dan rotasi leher
- Pupil melebar, berlebihan
reflek pupil - Stimulasi anal dengan jari,
menurun menahan nafas, dan
- Muntah mengejan
- Klien mengeluh - Perubahan posisi yang cepat
mual 4. Ajarkan klien untuk ekspirasi
- Klien mengeluh selama perubahan posisi
pandangan kabur 5. Konsul dengan dokter untuk
dan diplopia pemberian pe-lunak faeces,
jika perlu
6. Pertahankan lingkungan yang
tenang
7. Hindarkan pelaksanaan urutan
aktivitas yang dapat
meningkatkan TIK (misal:
batuk, penghisapan,
pengubahan posisi, meman-
dikan)
8. Batasi waktu penghisapan pada
tiap waktu hingga 10 detik
9. Hiperoksigenasi dan
hiperventilasi klien se-belum
dan sesudah penghisapan
10. Konsultasi dengan dokter
tentang pemberian lidokain
profilaktik sebelum
penghisapan
11. Pertahankan ventilasi optimal
melalui posisi yang sesuai dan
penghisapan yang teratur
12. Jika diindikasikan, lakukan
protokol atau kolaborasi
dengan dokter untuk terapi
obat yang mungkin termasuk
sebagai berikut:
13. Sedasi, barbiturat (menurunkan
laju meta-bolisme serebral)
14. Antikonvulsan (mencegah
kejang)
15. Diuretik osmotik (menurunkan
edema serebral)
16. Diuretik non osmotik
(mengurangi edema serebral)
17. Steroid (menurunkan
permeabilitas kapiler,
membatasi edema serebral)
18. Pantau status hidrasi, evaluasi
cairan masuk dan keluar)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II.
Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan


Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doenges, M.E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. Mosby.

Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. Mosby.

NANDA. 2005. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:


North American Nursing Diagnosis Association.

Smelltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai