Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KAPITIS

1. Konsep teori
A. Pengertian
Trauma Captis atau Cidera Kepala adalah kerusakan neurologis
yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara
langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2005).
Trauma atau cedera kepala (Brain Injury) adalah salah satu bentuk
trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau
dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan – perubahan fungsi otak (Black, 2005).
Menurut konsensus PERDOSSI (2006), cedera kepala yang
sinonimnya adalah trauma kapitis/head injury/trauma
kranioserebral/traumatic brain injury merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen
B. Anatomi fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh,
dengan kisaran 1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan
sangat penting untuk kehidupan dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu,
otak mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar.
Seperenam dari semua keluaran jantung melewati otak dalam satu
waktu, dan sekitar seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh
otak ketika sedang beristirahat.
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria
dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater
kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura
korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer
serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore, et al.,
2007).

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004. Dalam Yuvinitasari, 2016)
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-
masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus
sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus
parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian).
Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf
sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan
mengenali segala jenis rangsangan somatik.
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling
depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior
sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik
untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area
broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang
mengontrol aktivitas intelektual
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung
atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada
dibelakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan.Serebelum juga mengontrol banyak
fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain
itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
(Ellis, 2006 dalam Yuvinitasari, 2016).
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat
wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit
kepala ketika bangun.
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah
bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak
tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata,pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari
batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla
oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan
XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla.
(Moore, et al., 2007).

C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale ( GCS ) nya, yaitu :
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
2. Sedang
a. GCS = 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS = 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
(Nurarif, et al., 2015).
Menurut, (Brunner, et al., 2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak.
Menurut (Nurarif, et al., 2015) ada beberapa kondisi cedera kepala yang
dapat terjadi yaitu :
1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi haya kehilangan fungsi
otak (pingsan < 10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10
menit) atau terdapat lesi neurologic yang jelas. Kontusio serebri
sering terjadi dan sebagian besar terjadi dilobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada sebagian dari otak.
Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau hari , dapat berubah
menjadi perdarahan intraserebral yag membutuhkan tindakan
operasi.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada cranium.
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai
dengan penurunana kesadaran dengan ketidaksamman neutrologis
sisi kri dan kanan (Hemiparese/plegi, pupil anishokor, reflex
patologis satu sisi). Gambaran CT Scan area hiperdens dengan
bentuk biokonvek atau lentikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >
20 cc atau < 1 cm midline shift > 5 mm dilakukan operasi untuk
menghentikan perdarahan.
5. Subdural Hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter denga sumber perdarahan
dapat berasal dari Bridging Vein , a/v cortical, sinus venous.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan
jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
dapat terjadi dalam 48 jam-2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengatuk, berfikir
lambat, kejang dan udem pupil, dan secara klinis ditandai dengan
penuruna kesadaran, disertai adanya laserasi yang paling sering
berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
gambar hiperdens yang berupa bulan sabit (Cresent). Indikasi
operasi jika perdaraha tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis
tengah > 5 mm.
6. Subarachnoid Hematom (SAH)
Merupakan perdarahan fokal di dareah subarachnoid gejala
klinisnya menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan
didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti area gyrus-gyrus serebri
didaerah yang berdekatan dengan hematom. Haya diberikan terapi
konservatif, tidak memerlukan terapi operatif.
7. Intracerebral Hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadai pada
jaringan otak biasaya akibat robekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan ota. Pada pemeriksaan CT Scan didapatka lesi
perdarahan diantara neuron otak yang relative normal. Indikasi
dilakukan operasi adanya daerah hiperdens, diameter > 3cm, perifer,
adanya pergeseran garis tengah.
8. Fraktur basii crania
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid, ethmoid. Terbagi menjadi basis cranii anterior
dan posterior. Pada fraktur anterior melibatakan tulang ethmoid dan
sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatka tulang
temporal, oksipital, dan beberapa bagian tulang sphenoid, tanda
terdapat fraktur basis crania antara lain :
a. Ekimosisi periorbital (Rocoon’s eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battle’Sign)
c. Keluar darah beserta cairan cerebrospinal dari hidung atau
telinga (Rinore atau Otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial.
(Nurarif, et al., 2015)
D. Etiologi
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
1. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam
kepala yang tidak bergerak
2. Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur
objek yang diam
3. Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus
kecelakaan bermotor dan kekerasan fisik
4. Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak
5. Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan
otak berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau
robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak.
Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum
disebabkan oleh beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, pukulan pada kepala, tertimpa benda berat,
kecelakaan kerja, luka tembak, atau cidera saat lahir.
Arifin dkk (2013) menambahkan bahwa hipoksia dan
hipoperfusi merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya
adalah eksititixisitas, kerusakan akibat radikal bebas, gangguan
regulasi ion, mediator inflamasi, tekanan tinggi intrakranial dan
hipertermia

E. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya
untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan
dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh
otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak, atau dua-duanya
F. Pathway

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya
kontinuitas jaringan Terputusnya Jaringan otak rusak
kulit, otot dan vaskuler kontinuitas jaringan (kontusio, laserasi)
tulang

Gangguan suplai
darah -Perubahan outoregulasi
Resiko Nyeri
-Odem cerebral
infeksi
-Perdarahan
-Hematoma Iskemia Kejang
Perubahan
Hipoksia
perfusi jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg. fungsi otak 1.Bersihan jln.


Gangg. Neurologis nafas
fokal 2.Obstruksi jln.
nafas
Mual – muntah 3.Dispnea
Peningkatan TIK Papilodema 4.Henti nafas
Pandangan kabur Defisit Neurologis 5.Perub. Pola
Penurunan fungsi nafas
pendengaran
Nyeri kepala
Girus medialis lobus
temporalis tergeser Gangg. persepsi Resiko tidak
sensori efektifnya jln. nafas

Herniasi unkus Resiko kurangnya


volume cairan

Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula oblongata

Mesesenfalon Resiko gangg.


tertekan Resiko injuri integritas kulit

Immobilisasi
Gangg. kesadaran Kurangnya
perawatan diri
Cemas
G. Manifestasi klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan
cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala,
vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya
cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada
area tersebut.
H. Komplikasi
(Rosjidi, 2007) mengatakan kemunduran pada kondisi klien diakibatkan
dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan
herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru,
etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat
sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat
refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis,
denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan
memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru,
perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan
hingga 15 mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25
mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai
tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut
selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap
kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi
bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga
peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan
pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera
lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal
atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan
temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area
drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
5. Infeksi
I. Pemeriksaan penunjang
1. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Cat : untuk me ngetahui adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan
pada 24-72 jam setelah injury.
2. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang.
6. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan TIK
10. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan TIK
11. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
J. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan
dengan cara :
a. Obliteri sisterna : Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher,
lakukan foto tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal c1-c7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan
prosedur berikut : pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl
0,9 %)/ larutan ringer rl dan larutan ini tidak menambah edema
cerebri.
c. Lakukan CT Scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan
berat harus dievaluasi adanya:Hematoma epidural, Darah dalam
subraknoid dan infra ventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan
otak, Edema serebri,
d. Elevasi kepala 30o
e. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik
intermitten dengan kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal
10-12 ml/kg
f. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
g. Pasang kateter foley
h. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi
2. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
PTIK
c. Sistem saraf :
 Kesadaran  GCS.
 Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf
kranial.
 Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal,
nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk,
mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola
makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik 
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan 
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan
yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
2. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak
3. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan
penumpukan sputum
4. Gangguan pemenuhan ADL sehubungan dgn penurunan kesadaran
(soporos-coma)
5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien
6. Potensial gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
C. Analisa Data
No Etiologi Masalah
Keperawatan
1 Trauma kepala Gangguan perfusi
jaringan otak
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang


Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi


TTIK
2 Trauma kepala Tidak efektifnya
pola napas
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang


Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Perubahan pola napas


3 Trauma kepala Tidak efektifnya
kebersihan jalan
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah napas

Pendarahan otak

SDH
Suplai oksigen ke otak berkurang
Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Reflek batuk menurun

Penumpukan sekret

Bersihan jalan napas tidak efektif


4 Trauma kepala Gangguan
pemenuhan ADL
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang


Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH
Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Gangguan pemenuhan ADL


5 Trauma kepala Kecemasan

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang


Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel
Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Cemas
6 Trauma kepala Potensial gangguan
integritas kulit
Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang


Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun
Imobilisasi

Risiko gangguan integritas kulit

D. Rencana Asuhan Keperawatan


Dx. Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan

Gangguan Mempertahan- Independent:


perfusi kan dan
1. Monitor dan 1. Refleks membuka mata
jaringan otak memperbaiki
catat status menentukan pemulihan
sehubungan tingkat
neurologis tingkat kesadaran. Respon
dengan udem kesadaran
dengan meng- motorik menentukan
otak fungsi motorik.
gunakan metode kemampuan berespon
GCS. terhadap stimulus eksternal
dan indikasi keadaan
Kriteria hasil :
kesadaran yang baik. Reaksi
Tanda-tanda pupil digerakan oleh saraf
vital stabil, kranial oculus motorius dan
tidak ada untuk menentukan refleks
peningkatan batang otak. Pergerakan mata
intrakranial membantu menentukan area
cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan
intracranial adalah
terganggunya abduksi mata.

2. Peningkatan sistolik dan


penurunan diastolik serta
penurunan tingkat kesadaran
dan tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler
indikasi terhadap adanya
2. Monitor tanda-
peningkatan metabolisme
tanda vital tiap
sebagai reaksi terhadap
30 menit.
infeksi. Untuk mengetahui
tanda-tanda keadaan syok
akibat perdarahan.

3. Perubahan kepala pada satu


sisi dapat menimbulkan
penekanan pada vena
jugularis dan menghambat
aliran darah otak, untuk itu
dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.

4. Dapat mencetuskan respon


otomatik peningkatan
intrakranial.
3. Pertahankan
posisi kepala
yang sejajar dan
tidak menekan.

4. Hindari batuk
yang
berlebihan,
muntah,
mengedan, 5. Kejang terjadi akibat iritasi
pertahankan otak, hipoksia, dan kejang
pengukuaran dpt meningkatkan tekanan
urin dan hindari intrakrania.
konstipasi yang
berkepanjangan

5. Observasi
kejang dan 6. Dapat menurunkan hipoksia
lindungi pasien otak.
dari cedera
akibat kejang.

7. Membantu menurunkan
Kolaborasi:
tekanan intrakranial secara
6. Berikan oksigen biologi/kimia seperti osmotik
sesuai dengan diuritik untuk menarik air
kondisi pasien. dari sel-sel otak sehingga
dapat menurunkan udem
otak, steroid (dexame-tason)
7. Berikan obat-
utk menurunkan inflamasi,
obatan yang
menurunkan edema jaringan.
diindikasikan
Obat anti kejang utk menu-
dengan tepat
runkan kejang, analgetik
dan benar .
untuk menurunkan rasa nyeri
efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial.
Antipiretik untuk
menurunkan panas yang
dapat mening-katkan
pemakaian oksigen otak.
Tidak Mempertahan- Independent:
efektifnya pola kan pola napas
1. Hitung 1. Pernapasan yang cepat dari
napas yang efektif
pernapasan pasien dapat menimbulkan
sehubungan melalui
pasien dalam alkalosis respiratori dan
dengan depresi ventilator.
satu menit pernapasan lambat
pada pusat
meningkatkan tekanan Pa
napas di otak.
Co2 dan menyebabkan
Kriteria
asidosis respiratorik.
evaluasi

Penggunaan
2. Untuk memberikan ventilasi
otot bantu
yang adekuat dalam
napas tidak 2. Cek
pemberian tidal volume.
ada, sianosis pemasangan
tidak ada atau tube
tanda-tanda 3. Sebagai kompensasi ter-
hipoksia tdk perangkapnya udara ter-
3. Observasi ratio
ada dan gas hadap gangguan pertukaran
inspirasi dan
darah dalam gas.
ekspirasi pada
batas-batas
fase ekspirasi
normal.
biasanya 2 x
lebih panjang
dari inspirasi

4. Perhatikan 4. Keadaan dehidrasi dapat


kelembaban dan mengeringkan sekresi/cairan
suhu pasien paru sehingga menjadi kental
dan meningkatkan resiko
infeksi.

5. Cek selang
5. Adanya obstruksi dapat
ventilator setiap
waktu (15 menimbulkan tidak ade
menit) kuatnya pengaliran volume
dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak
adekuat.

6. Siapkan ambu 6. Membantu memberikan


bag tetap berada ventilasi yang adekuat bila
di dekat pasien ada gangguan pada
ventilator.
Tidakefektifny Mempertahan- Independent:
a kebersihan kan jalan napas
1. Kaji dengan 1. Obstruksi dapat disebabkan
jalan napas dan mencegah
ketat (tiap 15 pengumpulan sputum,
sehubungan aspirasi
menit) perdarahan, bronchospasme
dengan
kelancaran jalan atau masalah terhadap tube.
penumpukan
napas.
sputum Kriteria
Evaluasi
2. Evaluasi
Suara napas 2. Pergerakan yang simetris dan
pergerakan dada
bersih, tidak suara napas yang bersih
dan auskultasi
terdapat suara indikasi pemasangan tube
dada (tiap 1 jam
sekret pada yang tepat dan tidak adanya
).
selang dan penumpukan sputum.
bunyi alarm
karena pe- 3. Lakukan
3. Pengisapan lendir tidak
ninggian suara pengisapan
selalu rutin dan waktu harus
mesin, sianosis lendir dengan
dibatasi untuk mencegah
tidak ada. waktu kurang
hipoksia.
dari 15 detik
bila sputum
banyak.
4. Lakukan
fisioterapi dada
4. Meningkatkan ventilasi untuk
setiap 2 jam.
semua bagian paru dan
memberikan kelancaran
aliran serta pelepasan
sputum.
Gangguan Kebutuhan Independent :
pemenuhan dasar pasien
1. Berikan 1. Penjelasan dapat mengu-
ADL dapat ter-
penjelasan tiap rangi kecemasan dan
sehubungan penuhi secara
kali melakukan meningkatkan kerja sama
dgn penurunan adekuat.
tindakan pada yang dilakukan pada pasien
kesadaran
pasien. dengan kesadaran penuh atau
(soporos-
menurun.
coma) Kriteria hasil :

Kebersihan
2. Kebersihan perorangan,
terjaga, 2. Beri bantuan
eliminasi, berpakaian, mandi,
kebersihan untuk
membersihkan mata dan
lingkungan ter- memenuhi
kuku, mulut, telinga,
jaga, nutrisi kebersihan diri.
merupakan kebutuhan dasar
terpenuhi
akan kenyamanan yang harus
sesuai dengan
dijaga oleh perawat untuk
kebutuhan,
meningkatkan rasa nyaman,
oksigen
mencegah infeksi dan
adekuat.
keindahan.

3. Makanan dan minuman


3. Berikan bantuan
merupakan kebutuhan sehari-
untuk
hari yang harus dipenuhi
memenuhi
untuk menjaga kelangsungan
kebutuhan perolehan energi. Diberikan
nutrisi dan sesuai dengan kebutuhan
cairan. pasien baik jumlah, kalori,
dan waktu.

4. Keikutsertaan keluarga
diperlukan untuk men-jaga
hubungan klien - keluarga.
Penjelasan perlu agar
4. Jelaskan pada
keluarga dapat memahami
keluarga
peraturan yang ada di
tindakan yang
ruangan.
dapat dilakukan
untuk menjaga
lingkungan
yang aman dan
5. Lingkungan yang bersih
bersih.
dapat mencegah infeksi dan
kecelakaan.
5. Berikan bantuan
untuk
memenuhi
kebersihan dan
keamanan ling-
kungan.
Kecemasan Kecemasan Independent:
keluarga keluarga dpt
1. Bina hubungan 1. Untuk membina hubungan
sehubungan berkurang
saling percaya. terapeutik perawat-keluarga.
keadaan yang
Dengarkan dengan aktif dan
kritis pada pa-
empati, keluarga akan merasa
sien. Kriteri
diperhatikan.
evaluasi :
Ekspresi wajah
tidak
2. Beri penjelasan 2. Penjelasan akan mengu-rangi
menunjang
tentang semua kecemasan akibat
adanya kece-
prosedur dan ketidaktahuan. Berikan
masan.
tindakan yang kesempatan pada keluarga
Keluarga
akan dilakukan untuk bertemu dengan klien.
mengerti cara
pada pasien. Mempertahankan hubungan
berhubungan
pasien dan keluarga.
dgn pasien.
Pengetahuan
keluarga me- 3. Semangat keagamaan dapat
3. Berikan
ngenai mengurangi rasa cemas dan
dorongan spiri-
keadaan, meningkatkan keimanan dan
tual untuk
pengobatan ketabahan dalam menghadapi
keluarga.
dan tindakan krisis.
meningkat.

Potensial Gangguan Independent: 1. Untuk menetapkan


gangguan integritas kulit kemungkinan terjadinya lecet
1. Kaji fungsi
integritas kulit tidak terjadi pada kulit.
motorik dan
sehubungan
sensorik pasien
dengan
dan sirkuasi
immobilisasi,
perifer
tidak
adekuatnya
2. Keadaan lembab akan
sirkulasi 2. Kaji kulit pasien
memudahkan terjadinya
perifer. setiap 8 jam :
kerusakan kulit.
palpasi pada
daerah yang
tertekan.

3. Ganti posisi
3. Dalam waktu 2 jam
pasien setiap 2 diperkirakan akan terjadi
jam. Berikan penurunan perfusi ke
posisi dalam jaringan sekitar. Maka
sikap anatomi dengan mengganti posisi
dan gunakan setiap 2 jam dapat
tempat kaki memperlancar sirkulasi
untuk daerah tersebut. Dengan posisi
yang menonjol. anatomi maka anggota tubuh
tidak mengalai gangguan,
khususnya masalah
sirkulasi /perfusi jaringan.
Mengalas bagian yang
menonjol guna mengurangi
penekanan yang
mengakibatkan lesi kulit.

4. Meningkatkan sirkulasi dan


elastisitas kulit dan
4. Pertahankan mengurangi kerasakan kulit.
kebersihan dan
kekeringan
pasien :
massage dengan
lembut di atas
daerah yang
menonjol setiap
2 jam sekali.

5. Pertahankan
alat-alat tenun
tetap bersih dan
5. Dapat mengurangi proses
tegang. penekanan pada kulit dan
menjaga kebersihan kulit.

6. Kaji daerah
kulit yang lecet
untuk adanya
6. Sebagai bagian untuk
eritema, keluar
memperkirakan tindakan
cairan setiap 8
selanjutnya.
jam.

7. Berikan
perawatan kulit
pada daerah
yang rusak /
lecet setiap 4 - 8 7. Untuk mencegah bertambah
jam dengan luas kerusakan kulit.
menggunakan
H2O2.

E. IMPLEMENTASI
Dimana sesorang perawat melakukan tindakan yang telah di
rencanakan sesuai dengan SDKI,SIKI, SLKI yang telah di buat.
F. EVALUASI
dimana seorang perawat mengevaluassi keadaan pasoien setelah di
berikan tindakan keperawatan dalam bentuk SOAP yang artinya :
Subjek : keuhan yang didapat dari pasien atau keluarga pasien setelah
dilakukan tindakan
Objek : hasil yang di dapat dari penglihatan seorang perawat atau hasil
dari Pemeriksaan
Assement : masalah yang belum teratasi misal diare
Pleaning : rencana selanjutnya untk pasien tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S. C., Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medical Bedah ed 8. Jakarta;


EGC
Jennifer P, Kowalak, Weish, William, Brenna, Mayer. 2012. Buku Ajar
Patofisiologi. Jakarta; EGC
Hariyani, Vitri. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny C dengan Cidera Kepala
Berat (CKB) Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Moewardi
Surakarta. Surakarta.
Nurarif, Amin Huda, Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda NIC NOC. Yogyakarta;
Mediactron.
Moore, Keith, Apgur, Anne, M.R. 2007. Anatomi Dan Fisiologi Dasar. Jakarta;
EGC.
Doenges, M. E. (2005). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . Jakarta :
EGC.
Hudak & Gallo. (2006). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II.
Jakarta : EGC.
Price and Wilson. (2005). Patofisiologi. Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC.
Suzanne CS & Brenda GB. (2005). Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai